Hak Perempuan di Keluarga Batak Toba (Studi tentang Kerentanan)

BAB II
ORANG BATAK DI PERKOTAAN/SUB URBAN

2.1. Masyarakat di pinggiran Kota Medan, Kec. Percut Sei Tuan
Konsep sub urban atau rurban sering diberi arti atau diterjemahkan dengan
“pinggiran kota”. Yang lebih tepat, sub urban adalah merupakan bentuk antara
(in-between): antara rural dan urban. Dilihat sebagai suatu lingkungan daerah,
maka daerah sub urban merupakan daerah yang berada di antara atau di tengahtengah daerah rural dan urban. Jika dilihat sebagai suatu komunitas, maka
suburban merupakan kelompok komunitas yang memiliki sifat tengah-tengah
antara rural dan urban (Indrizal, dalam Skripsi Kiki Intan, Hubungan-Hubungan
Hukum Dalam Dunia Pertukangan, 2015).
Letak geografis Kelurahan Kenangan yang berada di pinggiran Kota
Medan ini termasuk di dalam wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan. Di kecamatan
ini, terdapat kompleks pemukiman padat penduduk. Pemukiman penduduk
tersebut dikenal dengan nama Perumnas Mandala. Penduduk yang mendiami
kawasan ini merupakan campuran dari berbagai suku. Jika dilihat dari kondisi
lingkungannya, Kel. Kenangan, Perumnas Mandala masih merupakan daerah
perkotaan yang ciri-cirinya sama seperti perkotaan. Yaitu penduduk yang terlihat
ramai seperti di Kota, dan tempat-tempat umum yang berada tidak jauh dari Kel.
Kenangan tersebut. Hanya saja batas tempat nya yang sudah agak jauh dari pusat
Kota, Kota Medan. Meskipun demikian arus transportasi cukup lancar. Hampir

keseluruh penjuru kota Medan tersedia sarana angkutan, sehingga mobilitas antar

45

Universitas Sumatera Utara

daerah cukup lancar. Dan tarif angkutan nya juga sama seperti angkutan umum
yang beroperasi di dalam wilayah seputaran Kota Medan.
Jumlah Penduduk berdasarkan Suku Bangsa diurutkan dari yang paling
banyak yaitu : Mandailing 6210 jiwa, Batak Toba 5128 jiwa, Jawa 5096 jiwa,
Minangkabau 4169 jiwa, Melayu 1467 jiwa, Simalungun 884 jiwa, Karo 832 jiwa,
Aceh 814 jiwa, Nias 332 jiwa, dan Dairi 320 jiwa. Ssebagian besar penduduk
kecamatan ini adalah para pendatang sedangkan penduduk asli Suku Melayu Deli
hanya 30% saja.
Jadi, Suku Batak Toba masih merupakan dua suku bangsa terbanyak di
Kec. Percut Sei Tuan. Berdasarkan informasi dari informan Orang Batak saat
penelitian, mereka juga merupakan Orang Batak yang tadinya tinggal di Medan,
namun pindah karena beragam alasan yaitu seperti menikah, pekerjaan, dan
menempati rumah orangtua yang sudah menjadi milik mereka.
Sebagian besar dari Kepala Keluarga masyarakat Kelurahan Kenangan

Baru mata pencahariannya adalah sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta.
Dengan demikian tidaklah berlebihan bila disebutkan bahwa tingkat pendapatan
para Kepala Keluarga berada diatas garis kemiskinan. Namun, tetap saja ada juga
keluarga yang hidup dengan keadaan ekonomi yang berada di garis menengah
kebawah.

2.2. Kebudayaan Orang Batak di Perkotaan
Sebagai masyarakat, orang Batak Toba mengakui kehidupan sosial mereka
tidak dapat terlepas dari kebudayaan yang dimiliki. Konsep kebudayaan
masyarakat ini secara keilmuan telah dibahas secara luas dari sudut disiplin ilmu

46

Universitas Sumatera Utara

sosiologi maupun antropologi. Dari sejumlah uraian buku yang menjelaskan dan
mendeskripsikan kebudayaan Batak Toba, didapati defenisi-defenisi yang sama
tentang kebudayaan Batak Toba yang memiliki dua dimensi yaitu wujud dan isi.
Hal senada, diungkapkan Koentjaraningrat tentang kebudayaan itu sebagai
ungkapan dari ide, gagasan dan tindakan manusia dalam memenuhi keperluan

hidup sehari-hari, yang diperoleh melalui proses belajar dan mengajar.
(2000:215).
Masyarakat yang berbudaya hidup dari berbagai faktor yang menentukan
cara kehidupan masyarakat. Disamping lingkungan dan teknologi, faktor lain
adalah organisasi sosial dan politik berpengaruh dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Unsur-unsur itu disebut dengan inti kebudayaan, meliputi kemampuan
pengetahuan masyarakat terhadap sumber daya yang ada. Inti kebudayaan itu,
menjelaskan lebih luas dalam mempengaruhi pola kehidupan dalam lingkungan
lokal masyarakat Batak Toba. Para etnosains percaya bahwa ideologi sebuah
masyarakat terhadap prinsip-prinsip itu biasanya untuk mempertahankan
kelangsungan hidup komunitasnya. (Haviland, 1988:13)
Seperti di dunia Barat atau di Timur, perkembangan peradaban manusia
tumbuh dalam ruang lingkup budaya dan ideologi. Salah satunya adalah ideologi
patriarki. Dinegara-negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa Barat, budaya
tersebut terlebih dahulu tersingkirkan sejalan dengan perkembangan teknologi,
demokrasi dan lain-lain yang mendudukan persamaan dan keadilan sebagai nilai
yang sentral. Di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, budaya dan
ideologi tersebut masih sangat kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan

47


Universitas Sumatera Utara

struktur masyarakat serta menciptakan ketimpangan-ketimpangan gender. Budaya
dan ideologi bukan satu hal yang turun dari langit. la di bentuk oleh manusia dan
disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Koentjaraningrat mengatakan nilai budaya adalah faktor mental yang
menentukan perbuatan seseorang atau masyarakat (Koentjaraningrat, 1974).
Dalam budaya kita, seperti juga di banyak negara dunia ketiga lain, budaya
patriarki masih sangat kental. Meskipun secara formal, dalam UUD 1945, hak
laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, tetapi dalam kenyataannya sangat
berbeda.
Budaya patriarki inipun terlihat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.
Dalam suatu pertemuan, para perempuan lah yang sibuk di dapur dan melayani
kebutuhan makan laki-laki. Sementara laki-laki biasanya duduk di ruang depan
sambil bercengkerama. Ketika makan pun, biasanya yang dipersilahkan makan
terlebih dahulu adalah para laki-laki. Ketika mereka sudah mengambil makanan,
baru perempuan boleh mengambil makanan. Itu pun mereka harus makan dengan
cepat sebelum laki-laki selesai, untuk kemudian mengambil piring dan
membersihkannya.

Itu hanya sebagian contoh dari budaya patriarki tanah Batak. Walaupun
pada saat ini, masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan lebih bersifat terbuka
dan demokratis, namun budaya patriarki tetap tidak bisa dilepaskan dan tetap
mengakar. Patriarki di pandang sebagai hal yang tidak perlu dipermasalahkan,
karena hal tersebut selalu dikaitkan dengan kodrat yang tidak terbantahkan.

48

Universitas Sumatera Utara

Tambah lagi, faktor agama telah digunakan untuk memperkuat kedudukan
kaum laki-laki. Kepercayaan bahwa Tuhan telah menetapkan adanya perbedaan
laki-laki dan perempuan, sehingga perbedaan dalam kehidupan manusia pun
diatur berdasarkan perbedaan tersebut. Perbedaan biologis juga telah memperkuat
pandangan tersebut. Artinya. karena secara fisik dan biologis perempuan dan lakilaki berbeda maka fungsi-fungsi sosial ataupun kerja dengan masyarakat pun di
ciptakan berbeda.

2.3. Profil Informan Perempuan Batak Toba
1. Basaria Sitorus
Informan pertama saya adalah Ibu Basaria Sitorus yang berusia 55 tahun

yang beralamat di Jalan Kiwi II no. 83, Kel. Kenangan, Perumnas Mandala. Ibu
Basaria Sitorus lahir di Pematang Siantar pada tanggal 22 April 1961 dan bekerja
sebagai pengusaha lampet yaitu sejenis kue jajanan tradisional khas Batak yang
berasal dari Tapanuli, usaha tersebut sudah dijalaninya sejak tahun 2005. Ibu
Basaria adalah seorang janda yang memiliki 5 anak dan suaminya, Bapak M.

49

Universitas Sumatera Utara

Pangaribuan telah meninggal pada bulan Januari tahun 2016. Dan sebelumnya
berprofesi sebagai supir angkot namun kemudian angkot tersebut dijual dan
Bapak Pangaribuan berhenti menjadi supir pada tahun 2008 atas kesepakatan
bersama karena melihat usaha membuat dan menjual lampet yang lebih
menguntungkan.
Sejak itu Bapak Pangaribuan pun ikut serta membantu Ibu Basaria bekerja
sebagai pengusaha lampet, Bapak Pangaribuan biasanya ikut membantu
contohnya dalam hal mengambil daun pandan dari ladang dan mengantar lampet
ke pasar atau pesanan orang lain. Hasil dari penjualan angkot tersebut pun
digunakan untuk menambah modal berusaha dan untuk membuat lampet lebih

mudah karena sebelumnya Ibu Basaria membuat lampet dengan lumbuk beras
namun setelah ada tambahan modal, Ibu Basaria bisa membeli mesin penggilingan
beras yang mempermudah pekerjaannya. Sebelumnya Ibu Basaria juga mengira
saya akan bertanya tentang pembuatan lampet karena sebelumnya mahasiswa
lainnya juga pernah mengajak Ibu tersebut menjadi informan namun tentang
pembuatan lampet. Ibu Basaria mengaku sangat bangga bisa menjadi perempuan
yang bekerja walaupun tidak bersama suami lagi. Salah satunya adalah dari hasil
kerja kerasnya yaitu membuat lampet dari pukul 05.00 pagi sampai pukul 10.00
malam, Ibu Basaria bisa menguliahkan satu anak perempuannya sampai ke
jenjang S2 di Unimed jurusan Matematika.
Kemudian setelah mendapat informan pertama yaitu Ibu Basaria, beliau
bertanya kemana penulis akan pergi untuk melakukan wawancara lagi, penulis
menjawab ke rumah Ibu jahit yaitu Ibu kedua yang direkomendasikan oleh Ruth
yaitu Ibu yang pernah menjahitkan baju untuknya dan kemudian Ibu Basaria juga

50

Universitas Sumatera Utara

merekomendasikan Ibu-ibu yang dikenalnya yang tinggal di sekitar Kelurahan

Kenangan yang bisa penulis tanya untuk menjadi informan. Penulis pun
mengucapkan terima kasih atas ketersediaan Ibu Basaria untuk menjadi informan
bahkan mau untuk merekomendasikan perempuan batak lainnya yang bagi penulis
hal tersebut sangat membantu dalam penelitian skripsi penulis.
2. Priska Sirait
Informan saya yang kedua adalah Ibu Priska Sirait. Ibu Priska Sirait lahir
di Lumban Julu, 26 Februari 1969. Ibu Priska Sirait memiliki 3 anak dan
suaminya, Pak P. Siregar berusia 48 tahun. Ibu Priska Sirait bekerja sebagai
pedagang pakaian bekas di Pasar Loak. Pekerjaannya ini sudah dijalaninya selama
11 tahun, sebelumnya Ibu Priska Sirait pernah bekerja di pabrik tekstil namun
setelah pabrik tempat ia bekerja dulu tutup, ia pun bekerja sebagai pedagang
pakaian bekas. Dengan berdagang pakaian bekas ini, Ibu Priska Sirait bisa
mendapatkan maksimal 100.000 Rupiah per harinya. Uang tersebutlah yang
dibagi-bagi / digunakan

untuk kebutuhan rumah tangganya sehari-hari.

Penghasilan yang bagi Ibu Priska Sirait tidak banyak itu harus bisa mencukupi
semua kebutuhan karena suaminya, Pak P. Siregar tidak memiliki pekerjaan sudah
selama 5 tahun.

Sebelumnya Pak P. Siregar pernah bekerja supir angkot, namun Pak P.
Siregar berhenti bekerja karena sewa angkutan / penumpang yang sudah dirasa
sepi, selain itu Pak P. Siregar juga pernah bekerja sebagai buruh bangunan tapi
Pak P. Siregar juga akhirnya harus berhenti karena tidak pernah mendapat ajakan
untuk bekerja lagi. Sejak berhenti dari pekerjaannya tersebut jugalah Pak P.

51

Universitas Sumatera Utara

Siregar sering bercekcok dengan Ibu Priska Sirait karena masalah finansial rumah
tangga yang terjadi akibat dari pengeluaran yang sangat besar terutama untuk
biaya pendidikan anaknya. Ibu Priska Sirait juga mengatakan bahwa ia bersyukur
bahwa ia dan keluargannya tinggal di rumah yang bukan sewaan lagi / rumah
pribadi pemberian dari mertuanya. Karena apabila rumahnya masih rumah sewaan
ia tak tahu lagi bagaimana untuk membayarnya.
3. L. Simatupang
Informan saya yang ketiga adalah Ibu L. Simatupang yang lahir di Medan
pada 26 November 1969. Ibu L. Simatupang memiliki 3 anak dan suaminya Pak
CM. Sihombing, lahir di Siborong-borong pada 25 Maret 1968. Ibu L.

Simatupang bekerja sebagai pedagang kios / kelontong, dan bensin didepan / teras
rumahnya sendiri. Sedangkan suaminya tidak memiliki pekerjaan padahal telah
menempuh pendidikan S1 Sarjana Hukum di salah satu Perguruan Tinggi Swasta
di Kota Medan. Sebelumnya mereka, Ibu L. Simatupang dan Pak CM. Sihombing
pernah membuka yayasan untuk menerima / menyalurkan baby sitter / perawat
jompo namun karena usaha tersebut sudah mulai sepi dan kurangnya orang untuk
dipekerjakan, Ibu L. Simatupang berinisiatif membuka usaha kecil-kecilan yaitu
berdagang di kios kecil-kecilan. Dan usaha tersebut sudah dijalaninya selama 5
tahun dan lumayan membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pak CM.
Sihombing suaminya dari dulu memang tidak pernah memiliki pekerjaan selain di
yayasan penyalur baby sitter karena setelah tamat dari S1, Pak CM. Sihombing
langsung membantu Ibu L. Simatupang menjalankan yayasan tersebut, namun
setelah usaha yayasan tersebut mulai kurang karyawan, usia Pak CM. Sihombing

52

Universitas Sumatera Utara

dirasa sudah cukup tua untuk melamar pekerjaan sehingga ia tidak ingin melamar
pekerjaan dimanapun.

Hal tersebut tidak dapat diterima Ibu L. Simatupang namun beliau
mengaku tidak bisa berbuat apa-apa karena Pak CM. Sihombing akan marah
apabila terus diingatkan untuk mencari pekerjaan dan akan terjadi percekcokan
antara keduanya yang dimana percekcokan itu terjadi sangat sering karena
menurut Ibu L. simatupang Pak CM. Sihombing adalah orang yang
temperamental.
4. Rosmika Siahaan
Informan saya yang keempat adalah Ibu Rosmika Siahaan. Ibu Rosmika
merupakan istri dari Pak Parlindungan Aritonang. Ibu Rosmika Siahaan lahir di
Kuta Cane pada 8 Juni 1965 dan suaminya Pak Parlindungan Aritonang, lahir di
Kota Medan 16 Mei 1960. Ibu Rosmika Siahaan bekerja sebagai pedagang bahan
pokok seperti cabai, tomat dan bawang di Pajak Suka Ramai dan pekerjaan
tersebut sudah dilaksanakannya selama 15 tahun, namun sejak kecil Ibu Rosmika
Siahaan sudah ikut membantu orangtuanya berdagang bahan pokok yang sama
dengan yang ia jual sekarang.
Bahkan, Ibu Rosmika Siahaan juga hanya menyelesaikan pendidikan SD
dan memilih untuk berhenti sekolah setelah tamat SD dan memilih untuk
membantu orangtuanya berdagang sampai iapun bekerja sebagai pedagang pula
sampai sekarang di Pajak. Pak Parlindungan Aritonang juga bekerja bersama Ibu
Rosmika Siahaan namun Pak Parlindungan Aritonang bergabung dengan Ibu
Rosmika Siahaan berdagang di Pasar masih sejak 5 tahun yang lalu dan

53

Universitas Sumatera Utara

sebelumnya hanya dirumah dan tidak memiliki pekerjaaan. Ibu Rosmika Siahaan
melaksanakan pekerjaannya mulai dari dijemput mobil pick up bersama temannya
pedagang lain untuk belanja dari pukul 12.00 sampai jam 01.00 pagi di Pasar
Induk, Tuntungan. Kemudian suaminya Pak Parlindungan Aritonang akan
menyusul pada pukul 05.30 pagi untuk membuka kedai di Pajak Suka Ramai, dan
setelah itu bekerja menjual dagangan mereka bersama sampai jam 08.00 malam
dan kembali kerumah untuk beristirahat. Pak Parlindungan Aritonang yang
menyusul lebih lama untuk bekerja dan tidak ikut belanja dengan Ibu Rosmika
Siahaan agar saat bekerja di Pajak Suka Ramai, mereka bisa saling bergantian
untuk berdagang dan beristirahat. Jadi apabila Ibu Rosmika Siahaan sudah capek
dari belanja sejak tengah malam, ia bisa istirahat dan Pak Parlindungan Aritonang
yang berdagang. Dan Pak Parlindungan Aritonang juga tidak bisa menggantikan
Ibu Rosmika Siahaan untuk berbelanja pada tengah malam karena Ibu Rosmika
Siahaan yang lebih paham dalam hal menawar.
Karena jam pekerjaan yang padat ini jugalah yang membuat penulis harus
pandai mengatur waktu dan mengajak Ibu Rosmika Siahaan untuk wawancara
karena sudah capek setelah bekerja dan harus bangun segera lagi untuk kembali
bekerja. Karena jangankan untuk wawancara, Ibu Rosmika Siahaan mengaku
sangat sedih karena kurang mendapat waktu untuk bersama-sama mengahabiskan
waktu dengan anak-anaknya. Namun demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ibu
Rosmika Siahaan harus menjalaninya dengan semangat.
5. M. Sitinjak

54

Universitas Sumatera Utara

Informan saya yang kelima adalah Ibu M. Sitinjak yang lahir di Sidikalang
pada 9 September 1973 yang memiliki suami yaitu pak Herman Siburian yang
lahir di Siantar pada 1 Januari 1970. Ibu M. Sitinjak bekerja sebagai penjahit
pakaian dan bisa juga membuat pakaian kebaya yang sudah dikerjakannya sejak ia
selesai mengikuti kursus jahit sejak ia masih gadis. Sedangkan suaminya, Pak
Herman Siburian bekerja sebagai supir angkot 63. Ibu M. Sitinjak biasanya mulai
bekerja sejak pukul 08.00 pagi sampai jam 22.00 malam dan sekaligus
mengerjakan pekerjaan rumah juga karena Ibu M. Sitinjak juga bekerja
dirumahnya sendiri. Namun apabila sedang banyak pakaian yang harus dikerjakan
ia bisa bekerja sampai pukul 2.00 pagi contohnya pada hari-hari raya yaitu Natal /
Tahun Baru yang lebih banyak pelanggan untuk membuat kebaya. Ibu M. Sitinjak
juga tinggal bersama satu adik perempuannya yang ia bantu dalam belajar
menjahit bersamanya.
Selain itu juga ia merawat anak perempuan dari adiknya yang lain. Anak
tersebut berusia 3 tahun dan sudah dirawatnya selama 6 bulan untuk membantu
adiknya karena Ibu M. Sitinjak juga tidak memiliki anak kandung. Anak yang
dirawatnya tersebut adalah anak yang memiliki kebutuhan khusus dan Pak
Herman Siburian juga senang dan tidak ada masalah karena Ibu M. Sitinjak
merawat anak dari adiknya.
6. M. Sihombing
Informan saya yang keenam adalah Ibu M. Sihombing yang lahir di
Medan pada 7 Agustus 1973 dan memiliki suami yaitu Pak P. Nababan yang lahir
di Dolok Sanggul pada 19 Februari 1969 dan bekerja sebagai PNS di Kota Medan.

55

Universitas Sumatera Utara

Ibu M. Sihombing adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang juga bekerja sebagai
pemegang uang jula-jula yang dilaksanakannya dengan temannya ibu-ibu yang
kebanyakan berdagang di Pajak Enggang di Perumnas Mandala. Ibu M.
Sihombing akan mendapat komisi 10% dari jula-jula tersebut yang akan diperoleh
sekali dalam sepuluh hari. Suami Ibu M. Sihombing yaitu Pak P. Nababan telah
berpisah dengan Ibu M. Sihombing sejak 4 tahun yang lalu yaitu sejak tahun
2012. Ibu M. Sihombing dan Pak P. Nababan berpisah karena Ibu M. Sihombing
yang mengetahui bahwa Pak P. Nababan telah menjalin hubungan dengan wanita
lain selain Ibu M. Sihombing sementara Ibu M. Sihombing dan Pak P. Nababan
masih memiliki 3 anak yang membutuhkan kasih sayang dan nafkah dari ayahnya.
Ibu M. Sihombing merasa sangat terpukul dari kejadian 4 tahun yang lalu dan
sangat merasakan haknya yang terabaikan sebagai perempuan.
Hal itu juga sangat bisa ia rasakan karena kehidupannya sekarang yang
sudah sangat berubah dari sebelumnya ia hanya seorang Ibu Rumah Tangga yang
merawat anak-anak dan suaminya namun sekarang ia harus bekerja keras karena
suaminya yang tidak menafkahinya lagi. Sekarang Pak P. Nababan telah hidup
bersama dengan wanita lain tersebut dan satu anaknya dan Ibu M. Sihombing
tinggal bersama ketiga anaknya yang masih duduk di Perguruan Tinggi dan
Sekolah Dasar.
Selain itu juga Ibu M. Sihombing memiliki anak yang memiliki kebutuhan
khusus. Pak P. Nababan saat ini masih memberikan uang sekolah pada anaknya
yang duduk di Sekolah Dasar tapi tidak pernah memberi nafkah lain kepada Ibu
M. Sihombing. Masalah tersebut dirasa semakin berat oleh Ibu M. Sihombing
karena ia juga tidak mendapat dukungan dari mertua dan keluarga dari suaminya.

56

Universitas Sumatera Utara