KOSMOPOLTIANISME DAN NORMA INTERNASIONAL. pdf

KOSMOPOLTIANISME DAN NORMA INTERNASIONAL

Perdebatan Kosmopolitan: Negara dan International
Institusionalisme
Muhammad Faizal Alfian
16/404071/PSP/05744
Universitas Gadjah Mada
Magister Ilmu Hubungan Internasional
2017

Jalan panjang kosmopolitanisme memang menjadi banyak perdebatan, tidak
hanya pada ranah antar pendekatan, akan tetapi antar kamu kosmopolitan juga banyak
memperdebatkan term yang cocok untuk konsep kosmopolitanisme. Prinsip-prinsip
dalam kosmopolitan memang jelas adalah berdasar pada humanity, tanpa adanya
batasan ras, negara-bangsa, agama, suku dan batasan lainnya yang menghambat moral
kemanusiaan.

Akan

tetapi


kosmopolitanisme

lebih

utopis

dalam

ranah

implementasinya. Para pendukung kosmopolitan bahkan terpecah menjadi beberapa
bagian untuk mengimpelentasikan nilai-nilai moral universal kemanusiaan tersebut.
beberapa pemikir kosmopolitan menganggap bahwa moral universal dapat
diwujudkan melalui institusi beyond the state, sehingga negara perlu mengurangi
kedaulatannya sebagian atau bahkan sepenuhnya. Sebaliknya beberapa pemikir
kosmopolitan yang moderat masih menganggap negara masih tetap dibutuhkan dalam
mewujudkan moral universal kosmopolitan. Maka dalam tulisan ini akan membahas
mengenai Kosmopolitan dan Institusi Internasional.
Menyelidik Kosmopolitan
Socrates adalah seorang filusuf yang dijatuhi hukuman mati karena dianggap

sebagai perusuh dalam sistem politik Athena pada masa jayanya. Salah satu gagasan
yang menarik bagi penulis adalah pemikiran Sokrates bahwa dia adalah seorang
citizen of the world. Apology menjadi karya yang satu-satunya dapat menjelaskan
pemikiran Sokrates tentang politik dan dunia. Apology menjelaskan Sokrates
menghabiskan hidupnya untuk berdialog dan bercenkramah dengan masyarakat
secara private.1 Baginya berpolitik secara private dan bukan secara publik (bergabung
pada Majelis dan institusi politik) merupakan bagian dari political business.
Pemikiran tersebut disebutkan olehnya dengan sebutan extraordinary politics,

1

Russell, Bertrand. 2007. “Sejarah Filsafat Barat: Dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari
Zaman Kuno Hingga Sekarang”. Pustaka Pelajar, Jakarta. p.114

Negara dan International Institusionalisme

2




sedangkan berpolitik dalam lngkup majelis dan institusi politik dia sebut sebagai
ordinary politics.2 Atas dasar pemikiran tersebutlah yang mendorong Socrates untuk
berdialektika tentang pandangannya mengenai politik dan dunia pada saat itu.
Socrates menganggap bahwa extraordinary politic adalah cara terbaik untuk
memberikan pelajaran moral dan etika kepada manusia tanpa membeda-bedakannya.
Hal tersebut didukung dengan penyataan bahwa perbedaan konvensional antara pria
dan wanita, tua dan muda, merdeka dan budak, warga negara Yunani ataupun nonYunan adalah sesuatu yang tidak relevan. Bahkan, melalui analisis Brown3, dapat
disimpulkan bahwa Socrates berkomitmen untuk setidaknya memberikan pesan moral
kosmopolitanisme yaitu “manusia memiliki beberapa kewajiban terhadap setiap
manusia lainnya”.
Walaupun secara jelas dalam literature Yunani kuno diterangkan bahwa
Socrates dianggap sebagai perusuh dan musuh politik majelis Athena, jalan
extraordinary politic menjadi jalan baginya untuk mengabdi kepada tuhan, dan
memberikan pelajaran moral bagi manusia tanpa adanya berbedaan-perbedaan
konvensional. Socrates menyatakan bahwa: “I think that no greater good has ever
come to be for you in this city than my service to the god.”4 Secara umum pelayanan
yang diberikan Sokrates, tidak merujuk pada satu daerah, akan tetapi kewajiabannya
adalah untuk melayani Tuhan. Socrates harus bekerja pada tingkat local dengan
pemeriksaan dialektis secara personal. Upaya tersebut dianggap menyatukan
pemikiran manusia, membentuk kesadaran akan nilai moral dan etika yang dia

percayai.
Pemikiran Socrates yang mengarah pada konsep dasar kosmopolitan, jelas
memberikan pelajaran moral dan etika bagi manusia. Tidak ada pembeda antara
manusia, bahkan manusia mempunyai tanggung jawab dengan manusia lainnya.
Walaupun secara jelas dia dihukum mati oleh pengadilan Athena, akan tetapi Socrates
menolak untuk melawan pemerintahan Athena.5 Atas dasar pemikirannya, kewajiaban
dan pengabdian yang diberikan kepada masyarakat Athena adalah dengan
extraordinary politics. Dialektika secara personal dianggap sebagai proses

2

Brown, Eric. 2000, “Socrates the Cosmolopitan”. Standfod Agora: An Online Journal of Legal
Prespectives. p. 80 Diunduh pada https://agora.stanford.edu/agora/libArticles2/brown/brown.pdf
3
Eric Brown p. 86
4
Apology dalam Brown p. 86
5
Eric Brown pp. 85-86


Negara dan International Institusionalisme

3



penyadaran dalam lingkup local, sehingga dapat berpikir secara global. Walaupun
saat itu belum terlihat keberagaman etnis, suku, dan budaya, akan tetapi penyelidikan
Eric Brown membuktikan bahwa pemikiran Socrates dapat menjadi acuan pemikir
Kosmopolitan. Komitmen yang dibawanya dengan membuat manusia lain yang lebih
baik dengan pemeriksaan dialektik.
Penyelidikan

penulis

tidak

berhenti

pada


Sokrates,

perkembangan

kosmopolitan memang tidak dapat terlepas dari perkembangan zaman. Mulai dari
munculnya masyarakat tuan tanah (feodalisme), menuju sistem kerjaaan, dan pada
akhirnya kita mengenal sistem kenegaraan. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20,
negara-negara menulai meninggalkan tradisi memperluas teritori dan menggantinya
memperluas teritori melalui organisasi internasional dalam industry, perbankan,
komunikasi, dan lain-lain. Insturmen dalam politik global tersebut pada akhirnya akan
mempengaruhi sistem global dan secara otomatis akan meregulasi infrastruktur,
perdagangan, tenaga kerja, HAM, kesehatan, dan lain-lain secara global sehingga
negara-negara di dunia saling terikat dalam pola transformasi global.6
Fenomena globalisasi menjadi pemicu perubahan struktur politik global,
dimana terdapat interkonektivitas antar berbagai actor. Andrew Heywood melihat
fenomena globalisasi menimbulkan permbangunan cara berpikir manusia. Lebih jauh
diartikan sebagai perkembangan dalam kontetivitas moral antar manusia menjadi
moral relationship. 7 Moral relationship ini pada akhirnya menghasilkan moral
kemanusiaan berdiri menjadi norma setiap manusia, dan ide ini menjadi tiang dasar

dari berdiri kosmopolitanisme.
Derajat dalam Kosmopolitan
Kosmopolitan menjunjung tinggi nilai universalisme dan kepentingan manusia
secara luas. Kosmopolitan menganggap bahwa nilai bangsa dan struktur sosial
merupakan suatu yang dibentuk. Nilai bangsa dan struktur sosial (termasuk institusi
negara) memperoleh nilai dan perannya dari pelayanan kepada manusia. Menurut


6

David Held, “The Transformation of Political Community: Rethinking Democracy in the Context of
Globalization”, Democracy’s Edge eds. Ian Shapiro; Casiano Hacker-Cordón, Cambridge University
Press, New York, 1999, hal. 84-89.p.95.
7
Andrew Heywood, 2011. “ Global Politics” Palgrave Macmillan: New York p.78

Negara dan International Institusionalisme

4




Robert Audi kosmopolitan juga mempunyai pada tiga level hirarki yaitu extreme
cosmopolitanism, moderate cosmopolitanism, dan minimal cosmopolitanism.8
Eksterm kosmopolitan memprioritaskan nilai kemanusiaan dibandingkan
kepentingan yang hanya dibatasi oleh geografis, ras, dan budaya. Kaum ekstrem
menganggap bahwa nasionalisme bukanlah kebajikan dasar dan berada pada status
pragmatis, sehingga kosmopolitan akan mempromosikan kepentingan kemanusiaan
pada posisi tertinggi dibandingkan kepentingan apapun. Ekstrem kosmopolitan
mempunyai sudut pandang pada hak asasi manusia universal. Dan untuk
merealisasikan dan mempromosikan hak asasi manusia diperlukan institusionalisasi.
Maka dari itu, sudut pandang moral dari eksterm kosmopolitan akan mengarah untuk
mendukung kosmopolitanisme kelembagaan (pemerintah dunia).9
Satu tingkat yang lebih rendah dari kosmopolitan ekstrim adalah kosmopolitan
moderat. kosmopolitan moderat lebih terbuka pada batasan-batasan negara, bahkan
tetap memberikan status yang legal pada negara dan bangsa dan memberikan otonomi
bagi negara untuk fokus pada pelayanan masyarakat. 10 Kepentingan kemanusiaan
tetap utama bagi kosmopolitan moderat akan tetapi kemanusiaan bukanlah
kepentingan yang absolut. Moderat cosmopolitan juga menempatkan patriotisme dan
nasionalisme sebagai norma akan tetapi bukan sebagai norma dasar yang universal.

Pada level ini pemikiran yang tetapat mungkin menggambarkan pemikiran Sokrates
yang tetap bekerja pada tingkat local untuk mempromosikan kepentingan
kemanusiaan. Pada level yang lebih rendah, minimal cosmopolitanism harus peduli
tentang dunia secara keseluruhan walaupun mungkin memiliki perasaan khusus untuk
negara sendiri. kosmopolitan minimal lebih memilih kepentingan kemanusiaan ketika
hal-hal lain atau kepentingan lain seimbang. 11 Dapat disimpulkan bahwa antara
nasionalisme (patriotism) ataupun cosmopolitan memiliki posisi yang berbeda
terhadap nilai tetapi mempunyai hirarki yang sama. Nilai dan norma dasar
Kosmopolitan adalah kepentingan kemanusiaan, sedangkan nasionalisme memiliki
norma dasar terhadap kepentingan nasional.

8

Robert Audi, “Nationalism, Patriotism, and Cosmopolitanism in an Age of Globalization”, The
Journal of Ethics, Vol. 13, No. 4, Patriotism (2009), pp. 365-381 Published by: Springer
http://www.jstor.org/stable/25656267 pp.372-375
9
Robert Audi p.372
10
Robert Audi p.374

11
Robert Audi p.375

Negara dan International Institusionalisme

5



Perdebatan Instutionalisme dalam Perwujudan Kosmopolitanisme
Jalan kosmopolitan memang banyak menjadi perdebatan antara yang
mengarah pada univeraslisme institusional dengan yang masih pragmatis menanggapi
negara, bahkan menggunakannya negara sebagai jalan tengah untuk mempromosikan
kosmoplitanisme

itu

sendiri.

Universalisme


institusional

akan

menekankan

pembentukan lembaga internasional yang sedikit utopis untuk mewujudkan
keramahan terhadap seluruh masyarakat. Kehidupan politik kita bergantung pada
asumsi bahwa kita dapat menghasilkan persamaan melalui organisasi, karena manusia
dapat bertindak dalam dan mengubah dan membangun dunia bersama, sama dengan
persamaannya dan hanya dengan persamaannya. Edmund Burke menyatakan bahwa,
hak-hak yang manusia nikmati, hukum alam, ataupun perintah ilahi, atau konsep
manusia apa pun dibutuhkan sebagai sumber hukum. Konsep tentang hak asasi
manusia, yang didasarkan pada dugaan keberadaan manusia seperti itu, segera runtuh
pada saat mereka yang mengaku percaya akan hal itu untuk pertama kalinya
berhadapan

dengan

orang-orang

yang

telah

kehilangan

semua

kualitas

kemanusiaannya.12 Suatu negara yang membentuk pemikiran bahwa ketika institusi
negara terbentuk, pada saat yang sama berhadapan dengan rival politiknya dapat
menjadi

pelanggar

hak

asasi

manusia.

Sumber

hukum

manusia

kembali

dipertanyakan, bahwa konsep negara moderen yang mengatur prilaku manusia
memang terkadang berlebihan sehingga terjadi pelanggaran kemanusiaan. Jelas
pemikiran tersebut menggugah konsep negara moderen yang mempunyai kedaulatan
yang luas. Kemudian untuk mewujudkan kemanusiaan universal sangat sulit untuk
dibawa oleh negara moderen.
Pernyataan menarik yang termuat dalam buku berjudul “Why is there no
international theory” oleh Martin Wright. Pemikiran Wright, pada pertengahan abad
19, menginisiasikan konsep negara dalam tiga bentuk; yaitu Society of State, Morality
of State, dan negara-negara politik. Ide tersebut menjadi dasar pembentukan negara.
Negara dan masyarakat merupakan kesatuan yang terpadu dimana negara
bertanggung jawab terhadap masyarakatnya, negara juga menanggun nilai moralitas


12

Hannah Ardent “The Decline of the Nation-State and the End of the Rights of Man” dalam “The
Origins of Totalitarianism” A Harvest Book: Florida. p.299

Negara dan International Institusionalisme

6



didalamnya. 13 Sedangkan, Negara-negara yang merefleksikan nilai kebangsaan
memiliki identitas sosial dan nasional yang keduanya hanya membentuk komunitas
politik. Keitga bentuk negara tersebut. pada akhirnya bentuk tersebut hanya
membawa pengelompokan dan dianggap tidak mampu mendistribusikan keadilan
secara merata di masing-masing masyarakatnya.
Untuk menjawab keputusasaan tersebut pemikir Seyla Benhabib adalah
seorang universalism institusional yang mendukung adanya institusi yang memegang
norma bersama. Universalimse menjanjikan petunjuk moral jalan kehidupan manusia.
Benhabib secara nyata mendukung pembentukan lembaga hukum internasional yang
akan memegang peranan universalism tersebut. 14 Mulai dari sinilah perdebatan
muncul, bagaimanakah masa depan kosmopoltian dibawah institusi internasional atau
bentuk politik baru yang dihadirkan oleh kaum universalisme seperti Benhabib?
Apakah institusi tersebut dapat membawa nilai kemanusiaan dan keadilan bagi
seluruh manusia? 15
Bertentangan dengan universalisme institusional, Hannah Arendt ragu dengan
pembentukan institusi internasional yang membawa dua prinsip dalam institusi yaitu
moral dan politik. Dengan adanya institusi internasional seringkali seni dan nafsu
politik bermain, sehingga hukum, moral, dan norma sering berbenturan. Institusional
Dalam catatan kuliah Kosmopolitan dan Norma Internasional, Dr. Dafri Agussalim
menyatakan

bahwa

norma

kemanusiaan

tidak

seharusnya

mengarah

pada

homogenitas. International instutionalization ditakutkan akan membawa homogenitas
norma dan moral yang faktanya norma disuatu kelompok masyarakat berbeda dengan
masyarakat lain. Kelemahan jalan kosmopolitan Benhabib adalah terletak pada
institusi internasional yang melemahkan nilai moral bahkan dapat berbenturan dengan
prinsip kosmopolitan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Keraguan akan
terbentuknya institusi internasional juga dapat ditelisik dari pemikiran Burke, yang
skeptis tentang organisasi yang dibentuk manusia yang akan selalu menghasilkan

13

Charles R. Beitz “Cosmopolitanism and Global Justice”; The Journal of Ethics, Vol. 9, No. 1/2,
Current Debates in Global Justice (2005). Published by: Springer,
http://www.jstor.org/stable/25115813. P.12
14
Bonnie Honig “Another Cosmopolitanism? Law and Politics in The New Europe” dalam Seyla
Benhabib “Another Cosmopolitanism” Oxford University Press, New York. p.109
15
Bonnie Honig “Another Cosmopolitanism? Law and Politics in The New Europe” dalam Seyla
Benhabib “Another Cosmopolitanism” Oxford University Press, New York. p.109

Negara dan International Institusionalisme

7



ketidak adilan yang baru.16 Immanuel Kant menyatakan, orang-orang berakhir dalam
dirinya sendiri; manusia tidak akan pernah diperlakukan dengan benar hanya sebagai
sarana untuk kemuliaan bangsa-bangsa. Pada pandangan yang masih lebih luas yang
mungkin dipegang oleh kosmopolitan, semua nilai non-pribadi berada di bawah
kepentingan pribadi. 17 Hal ini juga membuktikan bahwa kepatuhan masyarakat
terhadap

negara akan terus berlangsung selama negara tidak melanggar moral

bersama.
Dalam kasus pengungsi imigran, Honing memberikan konsep unconditional
hospitality atau keramahan terhadap manusia yang berada disuatu wilayah.18 Faktanya
hukum internasional mengalami kebingungan antara menghukum imigran yang
seringkali sarang kriminal, sehingga permasalahan pengungsi menjadi bahan
perdebatan antara kaum kosmopolitan. Ditambah lagi nasib pengungsi yang sangat
memperihatinkan akan apabila hukum internasional berjalan. Arendt menambahkan
bahwa Uncoditional hospitality menempatkan hak pada posisi yang tidak bisa
diartikan oleh kaum institusionalisme, dimana pada kenyataan tidak ada gudang hak,
tidak peduli seberapa luas institusi dikembangkan dan diamankan, tidak peduli
institusi dapat mewakili nilai mutlak subjek dalam intersubjektif. 19 Maka, bentuk
institusi politik baru atau bahkan badan hukum akan menguntungkan bagi saran
politis.
Pandangan Ardent ini memang akan mengarahkan pikiran kita terhadap
konsep yang diberikan oleh Benhabib mengenai institutionalisasi, yang akan
menentukan masa depan nilai-nilai cosmopolitan. Posisi Benhabib mengambarkan
tujuan utama dari intitusionalis akan mengarah pada validitas norma yang bisa jadi
mengarah pada homogenitas normative dan melupakan prinsip kemanusiaan. Klaim
berbeda akan lebih baik dengan tawaran Arendt yang memberikan keramahan bagi
setiap manusia baik asing maupun tidak. Pandangan tersebut memang memberikan
artian bahwa dalam masyarakat internasional memungkinkan adanya batasan-batasan
dan perbedaan konvensional, baik ras, agama, suku, kultur, budaya, bahkan institusi


16

Hannah Ardent p.300
Robert Audi p.372
18
Bonnie Honig p.105
19
Bonnie Honig p.121
17

Negara dan International Institusionalisme

8



seperti negara, akan tetapi yang lebih terpenting bagaimanakah norma keramahan atau
kemanusiaan tersebut dapat diarahkan kepada individual.
Permasalahaan kosmopolitan citizenship memang mengalami perdebatan
apakah berpusat pada institusi internasional ataupun individualist. Antara Benhabib
dan Ardent telah menawarkan

jalannya masing-masing, akan tetapi perdebatan

tersebut penting untuk menjadi pengetahuan karena hal ini akan menentukan masa
depan masyarakat internasional. Apakah institusi internasional akan dikendalikan oleh
nafsu politik ataukah dapat bertahan memegang prinip keadilan dan kemanusiaan.
Penulis mungkin akan skeptik dengan pandangan universalisme institutional, bahwa
tatanan dunia memang akan selalu membawa serta politik yang akan mempengaruhi
institusi. Mungkin cosmopolitan akan lebih baik dengan mempromosikan keramahan
dan nilai kemanusiaan dalam level individual, seperti apa yang dilakukan oleh
Sokrates yang menjalankan misi pada level lokal di Athena dengan mengindentikan
diri sebagai masyarkat internasional.
Dari perdebatan institusinalisasi negara dalam pemerintahan nasional sangat
tidak dimungkinkan dimana akan membawa ketidakadilan yang baru, dan menjadi
sarang politik praktis negara-negara dominan dalam politik internasional. Dapat
dilihat dari kekuasaan dalam lima negara besar yang memegang hak veto dalam
resolusi Dewan Keamanan PBB. Hal ini menunjukkan bahwa politik keamanan
internasional hanya dimainkan oleh beberapa pihak. Ketidak adilan dalam ranah
internasional pada akhirnya akan menyebabkan distribusi keadilan kesetiap negara
menjadi utopis.
Bagaimana Seharusnya Kosmopolitanisme?
Perubahan struktur dan sistem dunia tidak dapat dipungkiri. Hadirnya lembaga
internasional bukanlah suatu kejadian yang langsung muncul akan tetapi diatur oleh
sistem. Konsep kedaulatan negara memang perlu digugat, karena negara kerapkali
menjadi pelangar kemanusiaan. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa adanya
pemerintahan dunia juga membawa ketidakadilan. Arena perdebatan tentang
kosmopolitan

yang

ekstrimis

dan

kosmopolitan

yang

moderat

membuat

kosmopolitanisme dalam ranah praktis menjadi utopis, untuk diterapkan. Fokus pada
perdebatan bahkan tidak menghasilkan moral kemanusiaan yang universal.

Negara dan International Institusionalisme

9



Penulis meminjam pemikiran Charles Beitz yang menyatakan menawarkan
konsep “moral cosmopolitanism” dimana Beitz meminjam pemikiran Thomas Pogge
yang menyatakan bahwa "that every human being has a global stature as the ultimate
unit of moral concern." Pernyataan tersebut menempatkan manusia sebagai unti
kepedulian, atau menempatkan manusia sebagai subjek dalam politik internasional.20
Menurut Beitz seharusnya konsep tersebut perlu menjadi politik praktis dan justifikasi
internasional.

Dalam prakteknya, tantangan terbesar konsep tersebut adalah

permasalahan global justice.

21

Jhon Rawls dalam bukunya The Law of Peoples

menyatakan bahwa tidak ada distribusi keadilan internasional, masing-masing negara
memiliki kewajiban dalam mendistirbusikan keadilan dalam negerinya sendiri
sehingga tercipta kesejahteraan. 22 Selain itu, Rawls juga mengajukan tiga posisi
penting yaitu: pertama, masyarakat memiliki tugas untuk membantu masyarakat lain
untuk bebas dari beban yang mengikatnya. Dalam kondisi tertentu kadangkala
masyarakat memerlukan transfer kekayaan pada level internasional. Kedua, setiap
manusia memiliki hak dasar yang substansial, serta untuk menghormati hak-hak dasar
rakyatnya, pemerintah yang gagal mungkinkan adanya intervensi pihak eksternal.
Ketiga, hukum masyarakat perlu menggunakan prinsip-prinsip untuk mengatur
kerjasama internasional yang terorganisir misalnya, standar untuk perdagangan yang
adil dan seluruh sistem yang dapat memastikan hak-hak dasar masyarakat dapat
terpenuhi. 23 Menurut Bikhu Parekh, kosmopolitan harus berorientasi pada; Pertama,
secara aktif terlibat dalam kebijakan negara dan memastikan bahwa negara tidak
merusak dalam batas sumber dayanya, mempromosikan kepentingan umat manusia
pada umumnya 24 Kedua, kewarganegaraan yg berorientasi global melibatkan
kepentingan aktif dalam urusan negara lain, baik karena kesejahteraan manusia di
mana-mana harus menjadi masalah moral bagi kita dan karena secara langsung atau
tidak langsung memengaruhi kepentingan kita sendiri. 25 Ketiga, kewarganegaraan
yang berorientasi global melibatkan komitmen aktif untuk menciptakan tatanan dunia

20

Charles Beitz p. 17
Charles Beitz p. 17
22
Jhon Rawls, 2000 “The Law of The People” Harvard University Press: London pp.27-29
23
Jhon Rawls “Theory of Justice” diakses pada
http://www.csus.edu/indiv/c/chalmersk/econ184sp09/johnrawls.pdf pp.210-211
24
Bhikhu Parekh, “Cosmopolitanism and Global Citizenship” Review of International Studies, Vol. 29,
No. 1 (Jan., 2003), pp. 3-17 Published by: Cambridge University Press
http://www.jstor.org/stable/20097831. pp. 12-13
25
Bhikhu Parekh p.13
21

Negara dan International Institusionalisme

10



yang adil, di mana berbagai negara, bekerja sama dalam kesetaraan kerja sama, dapat
memperhatikan kepentingan bersama mereka dengan semangat saling peduli.26
Pada posisi ini penulis jelas mengugat perdebatan institusional kosmopolitan
karena dapat mengesampingkan fokus utama kosmopolitanisme dalam moral
universalisme. Keterbatasan manusia dalam mengatur dirinya sendiri perlu diatasi
dengan membentuk moral bersama dalam ranah sosial, bukanlah ranah politik praktis.
Sehingga untuk mewujudkan cosmopolitan tidak terus berfokus pada politik praktis.
Kosmopoltian institusionalisme menunjukkan pengentasan permasalahan keadilan
model Top-down bukanlah bottom-up. Pada saat yang sama cosmopolitan
institusionalisme membawa homogenitas antar negara. Keterbatasan kesetaraan
manusia menjadi alasan mengapa komunitas politik yang sangat maju, seperti negaranegara kota kuno, negara-negara modern, atau bahkan insitusi internasional sering
bersikeras pada homogenitas pemikiran. 27 Dan untuk saat ini, memang moral
kemanusiaan dalam gerakan cosmopolitan perlu berfokus pada model bottom-up yang
berawal dari masyarakat. Dengan membangkitkan kesadaran universal atas moral
kemanusiaan pada akhirnya membentuk sistem cosmopolitan itu sendiri, sehingga
prinsip kosmopolitan terbentuk secara natural tanpa paksaan dalam ranah politik
praktis.
Kesimpulan
Melihat lebih jauh perdebatan tentang kosmopolitan telah sampai dimana terdapat
benturan dalam politik praktis. Kita tidak dapat memungkiri bahwa terdapat
transformasi secara terus menerus pada sistem dunia. Akan tetapi semangat
cosmopolitan dalam ranah perdebatannya antara diwujudkan oleh pemerintahan dunia
atau negara sama sekali tidak membuahkan norma baru dalam kosmopolitanisme.
Maka dari itu, penulis menganggap bahwa cosmopolitan perlu dibawah dalam ranah
praktis yang tidak hanya dimulai dari politik praktis, tetapi lebih ditekankan pada
extraordinary politik, seperti jalan Sokrates. Bahkan model bottom-up akan lebih
banyak mempengaruhi transformasi institusional dalam mewujudkan cosmopolitan
yang cocok bagi masyarakat dunia, dari pada model top-down kaum institusional
kosmopolitan. Tentunya cosmopolitan akan menemukan jalannya sendiri untuk

26
27

Bhikhu Parekh p.13
Hannah Ardent p.301

Negara dan International Institusionalisme

11



mewujudkan distribusi keadilan, hak asasi manusia, dan moral universalisme,
bukanlah berasal dari pemerintahan dunia, karena fokus kosmopolitanisme adalah
manusia dalam masyarakat internasional.
Referensi:
Andrew Heywood, 2011. “ Global Politics” Palgrave Macmillan: New York
Bertrand Rusell. 2007. “Sejarah Filsafat Barat: Dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang”. Pustaka Pelajar, Jakarta.
Bhikhu Parekh, “Cosmopolitanism and Global Citizenship” Review of International
Studies, Vol. 29, No. 1 (Jan., 2003), pp. 3-17 Published by: Cambridge
University Press http://www.jstor.org/stable/20097831.
Bonnie Honig “Another Cosmopolitanism? Law and Politics in The New Europe”
dalam Seyla Benhabib “Another Cosmopolitanism” Oxford University Press,
New York.
Charles R. Beitz “Cosmopolitanism and Global Justice”; The Journal of Ethics, Vol.
9, No. 1/2, Current Debates in Global Justice (2005). Published by: Springer,
http://www.jstor.org/stable/25115813.
David Held, “The Transformation of Political Community: Rethinking Democracy in
the Context of Globalization”, Democracy’s Edge eds. Ian Shapiro; Casiano
Hacker-Cordón, Cambridge University Press, New York, 1999, hal. 84-89.p.95.
Eric Brown. 2000, “Socrates the Cosmolopitan”. Standfod Agora: An Online Journal
of
Legal
Prespectives.
Diunduh
pada
https://agora.stanford.edu/agora/libArticles2/brown/brown.pdf
Hannah Ardent “The Decline of the Nation-State and the End of the Rights of Man”
dalam “The Origins of Totalitarianism” A Harvest Book: Florida. p.30
Jhon
Rawls
“Theory
of
Justice”
diakses
pada
http://www.csus.edu/indiv/c/chalmersk/econ184sp09/johnrawls.pdf
Jhon Rawls, 2000 “The Law of The People” Harvard University Press: London
Robert Audi, “Nationalism, Patriotism, and Cosmopolitanism in an Age of
Globalization”, The Journal of Ethics, Vol. 13, No. 4, Patriotism (2009), pp.
365-381 Springer http://www.jstor.org/stable/25656267.