REPOSISI PERAN PEREMPUAN DALAM AKSES DAN
REPOSISI PERAN PEREMPUAN DALAM
AKSES DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI
Oleh: Yuli Candrasari, S.Sos, MSi*)
Merebaknya VCD mesum, internet porno ataupun handphone
“mesra” yang melibatkan selebritis, pejabat publik, sampai dengan
anak-anak sekolah akhir-akhir ini makin kerap terjadi. Intensitasnya
sampai pada taraf “mencemaskan” karena
tidak semata-mata
terjadi di pusat kota-kota besar sebagai sentra perkembangan
teknologi, namun telah merambah jauh hingga ke pelosok-pelosok
desa.
Pada kasus-kasus tersebut --- baik foto bugil di internet,
handphone mesra, maupun video mesum--- maka perempuan yang
ada di dalamnya akan cenderung menjadi pesakitan dan “dihakimi”
masyarakat dengan munculnya wacana, tudingan miring, sampai
dengan gosip publik. Bahkan ada indikasi bahwa ---dalam beberapa
kasus yang melibatkan pejabat publik/politik sebagai pelakon--tubuh perempuan dipolitisir menjadi konsumsi media yang bisa
berujung pada kehancuran karir politik sang pelakon.
perempuan yang menjadi “korban teknologi”
dalam
pergaulan
masyarakat
dengan
penggoda,
atau
ini
akan terisolasi
stereortipe
pencari
Akibatnya
sebagai
perempuan
murahan,
popularitas.
Perempuan itu menjadi korban stigma sosial, karena
dianggap mau “menyerahkan dirinya” untuk
sensasi
dan
berpose seronok.
Sedangkan
“sang
sutradara”
bahkan
yang
mempublikasikan
---biasanya kaum laki-laki--- jarang menjadi sorotan apalagi sanksi.
Teknologi Kurang Diminati Perempuan
Situs-situs internet yang mengeksploitasi perempuan dan seks
meningkat secara cepat dan diakses jutaan orang di seluruh dunia
setiap pekannya sehingga bisa dikatakan bahwa terjadi pelecehan
dan eksploitasi tubuh perempuan yang terjadi di dunia virtual ini.
Lagi-lagi perempuan menjadi korban dan hanya menjadi “pemuas”
syahwat para pengakses situs porno yang mayoritas para lelaki.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa
karyawan laki-laki menggunakan 62% jam kerja mereka untuk
mengakses situs-situs porno. Inilah yang menunjukkan bahwa
perempuan rentan menjadi korban dari suatu teknologi (komunikasi)
Sementara itu, remaja putri usia 15-17 tahun hanya sekitar 67%
yang
menggunakan internet sedangkan
remaja laki-laki yang
menggunakan internet sebesar 86%. Remaja putri juga cenderung
kurang percaya diri terhadap kemampuannya dalam komputer dan
menggunakan internet daripada remaja laki-laki.
Bahkan remaja
putri kemudian menunjukkan kurang tertarik terhadap komputer
(Vale & Leder, 2004).
Data yang diberikan oleh ITU (International Telecommunication
Union)
tahun
2002
menunjukkan
bahwa
pengguna
internet
perempuan jauh lebih kecil dibandingkan laki, yaitu hanya 26,4% dari
seluruh pengguna internet (www.mennegpp.go.id).
Hal ini menujukkan bahwa
minat
laki-laki terhadap
teknologi komunikasi dan informasi lebih tinggi daripada kaum
perempuan. Rendahnya dan tidak adanya percaya diri pada kaum
perempuan
terhadap
teknologi
komunikasi
dan
informasi
mengakibatkan pengetahuan dan wawasan tentang teknologi kaum
perempuan lebih rendah. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian
yang dilakukan oleh Carver (2000) yang menyatakan bahwa
rendahnya
representasi
perempuan
dalam
bidang
teknologi
informasi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu rendahnya minat
dan motivasi perempuan terhadap teknologi, rendahnya kemampuan
perempuan secara matematis, serta kurangnya sosialisasi teknologi
terhadap perempuan juga kurangnya percaya diri perempuan atas
kemampuannya secara teknis.
Akibatnya
kaum perempuan lebih
sulit untuk menyesuaikan dan mengadopsi teknologi baru.
Teknologi telah merasuki simpul kesenangan dan
simbolisasi manusia secara massif.
Teknologi telah membuat
kehidupan manusia lebih mudah, lebih baik, lebih bahagia, dan lebih
smart. Singkatnya bisa dikatakan bahwa teknologi berperan besar
sebagai penunjang untuk mencapai kepuasan material.
Teknologi
pembangunan
komunikasi dan informasi merupakan sarana bagi
manusia
dan
sumber
pengetahuan
bagi
kaum
perempuan, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.
Teknologi mampu memberikan kemudahan bagi manusia, termasuk
juga
kaum perempuan dalam mengakses
informasi,
sehingga
pemberdayaan perempuan dalam pengetahuan, juga secara sosial
dan politik dapat dengan mudah dilakukan.
Pemanfaatan teknologi informasi membuka peluang untuk
memperlancar berbagai kegiatan manusia, sekaligus meningkatkan
kemampuan SDM yang memanfaatkannya. Namun demikian, masih
terdapat
gap yang cukup lebar antara laki-laki dan perempuan
dalam menggunakan dan mengakses teknologi komunikasi. Pesatnya
perkembangan teknologi tersebut
pada pihak lain kurang diikuti
dengan kesediaan kaum perempuan untuk
mengadopsi teknologi
baru.
Data penelitian tentang kreator teknologi di Amerika Serikat
menyebutkan bahwa dari 4072 responden kaum perempuan hanya
6% yang berperan sebagai kreator sedangkan 94%-nya adalah kaum
laki-laki.
Studi ini setidaknya menunjukkan
bahwa penguasaan
perempuan dalam bidang teknologi tertinggal jauh dibandingkan
dengan laki-laki.
Hal yang sama terjadi pada bidang pekerjaan (Baron, 2003:
32). Kaum perempuan di Amerika Serikat memiliki kecenderungan
selalu berada pada atau memilih posisi sebagai profesional atau
manajemen daripada menekuni
bidang
teknologi komunikasi dan
informasi. Data tersebut juga menyebutkan bahwa
hanya 25,4%
kaum perempuan yang bekerja di posisi teknologi komunikasi dan
informasi.
Sebuah
survei
menunjukkan bahwa
terhadap
82%
pelajar
sekolah
di
Perancis
anak laki-laki percaya bahwa mereka
mampu meraih sukses di bidang sains, sedangkan yang perempuan
hanya 53%. (Kompas, 16/3/2007).
Hal ini menunjukkan bahwa minat perempuan atau bahkan
kesempatan perempuan untuk berada dalam bidang teknologi
komunikasi dan informasi masih sangat rendah.
Indonesia sendiri, para orang tua
lazim
Sementara itu di
mengarahkan anak
perempuannya untuk memilih jurusan yang lebih dikaitkan dengan
fungsi domestik, sementara itu anak laki-laki diharapkan berperan
dalam menopang ekonomi keluarga sehingga harus lebih
banyak
memilih
industri
keahlian-keahlian
ilmu
keras,
teknologi
dan
(Ernawati, Kalteng Pos 31/5/2007). Hal ini bisa dipertegas lagi dari
hasil penelitian terdahulu tentang
Gaya Hidup Pembaca Majalah
Teknologi menunjukkan bahwa sebagian besar pembacanya adalah
kaum laki-laki dengan tingkat pendidikan menengah ke atas (Arianto
& Suratnoaji, 2005).
Individu perempuan memiliki minat dan motivasi yang rendah
untuk studi dan memiliki karier di bidang keteknikan. Sebagaimana
yang telah disebutkan di atas bahwa di negara maju seperti Amerika
Serikat kaum perempuan yang berkiprah di bidang teknologi hanya
sekitar 25,4% (Raphael, et.al, www.jcmc.indiana.edu/diakses tanggal
28 Mei 2007).
Bahkan di Perancis pelajar putri hanya memiliki
keyakinan sebesar 53% untuk berhasil di bidang sains sedangkan
pelajar laki-laki memiliki keyakinan 82% untuk berhasil di bidang
sains. Demikian juga dengan keadaan di Indonesia. Banyak pelajar
putri yang lebih memilih jurusan “perempuan” dan pelajar laki-laki
lebih memilih keahlian “ilmu keras”, yaitu teknologi dan industri.
Akibatnya memang terdapat kesenjangan wawasan,
pengetahuan dan kemampuan antara kaum laki-laki dan perempuan
khususnya dalam bidang teknologi (komunikasi dan informasi). Lakilaki kemudian menjadi berperan besar dalam penciptaan
hal-hal
yang berkaitan dengan teknologi. Sebuah studi di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa
dari 4072 responden yang diteliti ternyata
hanya 6% perempuan yang menjadi kreator teknologi, 94% nya
adalah laki-laki (Baran: 2003: 32).
juga menunjukkan bahwa
Lebih jauh
penelitian tersebut
perempuan yang berusia
antara 35-49
tahun hanya 5%, selebihnya (95%) adalah laki-laki yang tahu
teknologi, sedangkan perempuan yang berusia di atas 50 tahun
hanya 2% yang tahu teknologi.
Faktor Pendidikan
Kurangnya keterlibatan perempuan dalam mengadopsi teknologi,
khususnya di Indonesia, juga dikarenakan tingkat pendidikan kaum
perempuan yang relatif lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini bisa
dilihat dari dari data BPS tahun 2002 tentang Gender Developoment
Index (GDI) per Propinsi. Secara umum di Indonesia kaum laki-laki
memiliki waktu yang lebih lama dalam bersekolah dibandingkan
perempuan yaitu rata-rata 7,7 tahuan dibandingkan perempuan yang
rata-rata bersekolah hanya 5,9 tahun.
Dari jenjang pendidikan
terlihat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin kecil
angka rata-rata masuk perempuan.
Tingkat SD, perbandingan
perempuan dengan laki-laki adalah 49,18% : 50,83%, SMP; 46,34% :
53,56%, SMA; 41,45% : 58,57%, dan Perguruan Tinggi; 33,60% :
66.40%.
Untuk tingkat yang lebih tinggi, kesempatan perempuan
akan jauh lebih sedikit (www.rahima.or.id/SR/07-03/ diakses tanggal
5 Juni 2007).
Knowledge Gap Theory
Knowledge Gap Theory
pengetahuan
dan
menjelaskan bahwa
kemampuan
individu
kesenjangan
dikarenakan
kesenjangan tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi.
adanya
Mereka yang
ada di kelas sosial ekonomi menengah atas akan memiliki wawasan
dan pengetahuan yang lebih baik daripada masyarakat yang ada
pada kelas sosial ekonomi bawah (Baran, 2006: 219). Kesenjangan
wawasan dan pengetahuan tersebut dikarenakan masyarakat yang
ada pada strata sosial ekonomi menengah atas
lebih memiliki
kesempatan dalam mengakses dan mendapatkan informasi dari
media massa, termasuk internet, daripada masyarakat yang ada
pada kelas sosial ekonomi bawah. Artinya bahwa mereka yang
memiliki kemampuan lebih baik (dalam hal ini pendidikan dan
wawasan) serta ditunjang kemampuan secara ekonomi lebih baik
maka akan memiliki pengetahuan lebih baik.
Bila dikaitkan dengan tingkat pendidikan perempuan dalam
teknologi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki
maka wajar jika kemudian perempuan memiliki kemampuan yang
lebih
rendah
dan
terdapat
kesejangan
pengetahuan
tentang
teknologi antara perempuan dengan laki-laki.
Lebih jauh teori ini mengungkapkan bahwa sebenarnya media
massa, termasuk internet memang ditujukan
untuk masyarakat
yang ada pada kelas sosial ekonomi menengah atas.
Dalam arti
bahwa internet akan lebih banyak ditujukan untuk laki-laki daripada
perempuan. Mengingat kemampuan dan tingkat pendidikan laki-laki
khususnya dalam bidang teknik atau teknologi informasi lebih baik
daripada perempuan.
Teori Knowledge Gap ini pun mempertegas kenyataan bahwa
masyarakat
kalangan ekonomi bawah akan
memiliki tingkat
pengetahuan yang lebih rendah karena kelompok masyarakat yang
mempunyai masalah dengan ekonomi, akses terhadap teknologi
informasi sangat kurang, terutama ketika harus berebut dengan
kebutuhan
sehari-hari.
Secara
umum,
di
bidang
ekonomi
kemampuan perempuan mendapatkan peluang kerja dan berusaha
masih rendah, demikian juga akses terhadap sumber daya ekonomi.
Hal ini ditunjukkan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
perempuan yang rendah, yaitu 45% (2002) dibanding laki-laki
75,34%
(BPS,
Statistik
Kesejahteraan
Rakyat
1999-2002).
Sedangkan di 2003 TPAK laki-laki lebih besar dibanding TPAK
perempuan
yakni
76,12%
berbanding
44,81%
(BPS,
Statistik
Kesejahteraan Rakyat 2003).
Dengan kondisi demikian, perempuan akan selalu tertinggal
dalam
teknologi daripada laki-laki.
Sehingga kesempatan dan
peluang perempuan
mengakses teknologi komunikasi menjadi
sangat rendah, alih-alih untuk mendapatkan manfaat atau hasil atas
kemajuan teknologi komunikasi itu.
Berdasarkan teori tersebut maka bisa dipahami bila
perempuan lebih sulit untuk memahami dan mengadopsi teknologi
komunikasi dan informasi.
Terutama di Indonesia, sebagai negara
yang sedang berkembang, maka tingkat pendidikan – sebagai
indikator dari kelas sosial – relatif masih lebih rendah dibandingkan
dengan negara maju.
Hal itu tentu berkaitan juga dengan
faktor
ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara maju.
.
Faktor Budaya
Faktor budaya berperan dalam rendahnya keterlibatan perempuan
dalam mengadopsi teknologi.
Selama ini terdapat pembedaan
perilaku masyarakat dalam memperlakukan anak laki-laki dan
perempuan, dimulai dari jenis permainan.
banyak
orang
tua
yang
lebih
Pada masa kanak-kanak
sering
mengarahkan
anak
perempuannya pada permainan yang feminin seperti boneka atau
memasak.
Sedangkan pada anak laki-laki lebih diarahkan pada
permainan mobil sampai dengan merusak atau membongkar mobilmobilannya sebagai suatu tindakan yang wajar. Perlakuan semacam
ini sebenarnya telah membentuk minat anak secara sains maupun
matematis. Anak laki-laki yang dibiarkan untuk membongkar pasang
pemainannya maka
diarahkan untuk lebih menyukai hal-hal yang
bersifat teknis daripada perempuan yang lebih feminis.
Munculnya stereotipe terhadap permainan ini ternyata didukung
oleh para produsen permainan.
Video games yang sekarang
bermunculan lebih banyak muncul dengan karakter laki-laki daripada
perempuan, sehingga banyak konsumennya pun lebih banyak anak
laki-laki. Hal ini sebenarnya secara tidak langsung berdampak pada
pilihan anak-anak terhadap mata pelajaran yang lebih disukai.
Kenyataannya para guru di tingkat sekolah dasar selalu lebih
condong mengarahkan anak laki-laki pada kemampuan matematika
atau sains.
Bahkan ada anggapan bahwa sains, matematika, dan
teknologi adalah dunia laki-laki.
Kecenderungan ini akhirnya juga
terbawa sampai dengan ketika si anak harus memilih jurusan pada
sebuah perguruan tinggi.
Mayoritas pemilih jurusan teknik adalah
laki-laki sebaliknya jurusan yang non teknik mayoritas akan dipilih
oleh perempuan.
Demikian juga dalam hal menggunakan komputer sebagai salah
satu bentuk teknologi informasi. Harus diakui bahwa keberadaan
teknologi saat ini mayoritas diciptakan oleh laki-laki. Sampai-sampai
ada anggapan bahwa komputer itu hanya untuk laki-laki. Muncul
sebuah persepsi bahwa ketika perempuan menggunakan komputer
maka
ia akan lebih banyak bertanya dan bergantung pada laki-laki
tentang apa yang selanjutnya dia lakukan, sebaliknya laki-laki ketika
menggunakan komputer dengan kepercayaan dirinya yang lebih
besar dia bebas mengkesplor komputer tersebut sesuai dengan yang
diinginkannya (Carver, 2000:18).
Fenomena di atas tidak terlepas dari faktor budaya yang telah
terbangun di masyarakat.
Perempuan dan Adopsi Teknologi
Akibatnya kaum perempuan lebih tertinggal pengetahuan dan
kemampuannya di bidang teknologi komunikasi dan informasi
dibandingkan dengan kaum laki-laki. Meskipun harus diakui bahwa
teknologi akan memberikan keuntungan bagi perempuan.
Perempuan lebih tertinggal dalam hal pengetahuan maupun
kemampuan tentang teknologi informasi dan komunikasi juga dapat
ditelisik dari banyaknya kaum perempuan yang selama ini selalu
menggantungkan diri terhadap laki-laki terutama yang berkaitan
dengan penggunaan teknologi.
Akibat dari
ketidaktahuan dan
ketidakmampuan kaum perempuan terhadap teknologi menjadikan
mereka selalu menjadi “korban teknologi”.
menjadi alat untuk menarik perhatian.
Perempuan hanya
Banyak pelecehan seksual
dan ketidakadilan gender bermula dari situ.
Mengingat
(206.264.595)
jumlah
perempuan
sebesar
Indonesia
(Sensus
penduduk
49.9%
dari
Penduduk
total
2000)
merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar, partisipasi
aktif
perempuan
mempercepat
berperannya
dalam
setiap
tercapainya
kaum
proses
tujuan
perempuan,
pembangunan
pembangunan.
akan
memperlambat
akan
Kurang
proses
pembangunan. Sebagaimana yang telah dituliskan di atas bahwa
teknologi informasi akan mempercepat laju pertumbuhan sosial dan
ekonomi
suatu
negara.
Bila
kaum
perempuan
mampu
menggunakan teknologi dengan baik maka peran perempuan dalam
pembangunan khususnya untuk mengatasi masalah-masalah sosial,
ekonomi dan politik dapat berjalan dengan baik. Perempuan tidak
akan
menjadi beban pembangunan termasuk diantaranya menjadi
“korban teknologi”, termasuk didalamnya ketidakadilan gender;
misalnya marginalisasi, subordinasi, stereotipe negatif sekaligus
perlakuan diskriminatif.
Perempuan cenderung kurang mengadopsi teknologi dengan
baik.
Artinya, dalam hal pengembangan teknologi mayoritas
perempuan hanya sebagai pengguna pasif bahkan banyak
juga
perempuan
teknologi
baru
kemudahan
dan
meskipun
yang
resisten
teknologi
terhadap
tersebut
kehadiran
memberikan
keuntungan dalam kehidupannya.
Hal ini bisa dilihat dari pengguna internet, sebagai teknologi
komunikasi inofrmasi modern yang memiliki banyak keuntungan dan
keunggulan. Kenyataannya perempuan lebih pasif terhadap internet.
Rendahnya tingkat pengadopsian tersebut salah satu faktornya
adalah rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan kaum perempuan
daripada laki-laki.
Selain itu juga internet sebagai teknologi yang
masih ‘dikuasai’ laki-laki masih terlalu rumit
bagi perempuan.
Sebagaimana yang dikatakan Rogers (Griffin, 2000: 341) dalam teori
Adopsi Inovasi, bahwa sebuah inovasi (teknologi baru) akan lebih
mudah diterima bila
bila inovasi tersebut memiliki syarat-syarat,
yaitu: (1) memiliki keuntungan relatif; (2) sesuai dengan keadaan
masyarakat (nilai dan norma masyarakat); (3) inovasi tersebut tidak
kompleks atau rumit; (4) bisa dicoba dengan mudah; (5). Inovasi
tersebut
mudah untuk dikomunikasikan khususnya
mampu
membantu memecahkan persoalan yang ada dalam masyarakat
penerima.
Teknologi informasi dan komunikasi yang baru akan lebih
bisa diterima jika memang menguntungkan pengguna – khususnya
kaum
perempuan,
compatible,
dan
yang
lebih
penting
pada
perempuan adalah bila teknologi tersebut mudah dicoba dalam arti
mudah untuk dipelajari. Pada kenyataannya, teknologi informasi dan
komunikasi yang mutakhir selalu sedikit rumit dan kompleks. Hal ini
tidak bisa dipungkiri karena memang pencipta teknologi tersebut
mayoritas adalah laki-laki.
Akibatnya yang lebih mudah untuk
memahami dan menerima teknologi baru mayoritas adalah laki-laki.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rogers bahwa sebenarnya
sebuah inovasi akan mudah diterima bila inovasi tersebut bisa
dikomunikasikan dan disosialisasikan dengan baik.
Sulitnya perempuan menerima teknologi baru salah satunya
adalah karena ada perbedaan kemampuan otak antara laki-laki dan
perempuan.
Otak perempuan
menurut Michael Guriaan dalam
bukunya “Could He be Thingking?” dikatakan bahwa terdapat
perbedaan mendasar antara otak laki-laki dan perempuan yaitu
perbedaan
spasial,
perbedaan
verbal,
dan
perbedaan
ukuran
memori. Perkembangan spasial yang lebih kompleks pada laki-laki
membuat mereka mampu melakukan fungsi-fungsi spasial lebih baik
daripada perempuan (Ernawati dalam Kalteng Pos Online). Sehingga
bisa dimengerti bila kerumitan dan kekompleksan teknologi baru
lebih mudah dipelajari untuk kemudian diadopsi laki-laki daripada
perempuan.
Selain itu juga dikarenakan dalam persepsi perempuan di
Indonesia bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan teknologi
atau sains adalah dunia laki-laki. Kenyataannya anggapan tersebut
telah menjadi steretotipe di masyarakat.
Perempuan lebih sulit
untuk menerima teknologi baru.
Pada dasarnya proses penyebaran sebuah inovasi terjadi dalam
lima tahap yaitu diawali dengan memberikan pengetahuan pada
masyarakat, mempersuasi,
kemudian
masyarakat memutuskan,
mengimplementasikan dan mengkonfirmasi (untuk menerima atau
menolak) (Sury, W. Daniel, www2.gsu.edu/ diakses pada 1 Juni 2007).
Oleh karena itu penting bagi kaum perempuan untuk memiliki
pengetahuan yang baik tentang sebuah teknologi baru untuk dapat
mengadopsi teknologi baru tersebut.
Sulitnya teknologi baru bagi kaum perempuan dan kurangnya
sosialisasi terhadap kaum perempuan mengakibatkan terjadinya
kesenjangan
kemampuan
di
bidang
teknologi
(informasi
dan
komunikasi) antara kaum laki-laki dan perempuan.
Akibatnya perempuan lebih banyak hanya menjadi pengguna
pasif dan bahkan sering menjadi ‘korban’
dan komunikasi
sebagai akibat
dari teknologi informasi
lemahnya
pengetahuan dan
kemampuan
perempuan
terhadap
teknologi
informasi
dan
komunikasi yang terus berkembang.
Tampaknya diperlukan suatu konsep atau model tentang
bagaiamana perempuan bisa menerima teknologi baru di tengah
maraknya dan pesatnya perkembangan teknologi (baru).
dimaksudkan
Hal ini
agar kaum perempuan tidak selalu ketinggalan
dengan kaum laki-laki dalam bidang teknologi sehingga kaum
perempuan tidak selalu menjadi korban teknologi dan adanya
diskriminasi terhadap perempuan di bidang teknologi.
Menurut Fenomenologi,
pada dasarnya hubungan antara
teknologi dengan manusia tidaklah tunggal, artinya teknologi itu
bersifat multi-interpretatif tergantung pada konteks kultural di mana
teknologi itu berada (Amir, Zulfikar, www/duniaesai.com/sosiologi/
diakses tanggal 30 Mei 2007).
Pada tingkat praksis, dikatakan
bahwa teknologi bisa dibuat lebih ‘manusiawi’ dan dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat bila ada nilai-nilai budaya
dalam konfigurasi
teknologi.
Artinya
diadopsi
bahwa kaum perempuan
akan lebih mudah menerima sebuah teknologi bila memang dalam
konfigurasi
teknologi
Sebagaimana yang
tersebut
terkandung
nilai-nilai
feminitas.
dituliskan oleh Burkman dalam Sury,W. Daniel
(www2.gsu.edu/ diakses 1 Juni 2007)
bahwa sebuah inovasi akan
bisa diterima bila inovasi tersebut mengadung lima hal sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi pengadopsi yang potensial
2. Mengukur persepsi pengadopsi yang potensial
3. Mendesign dan menciptakan produk yang sederhana
4. Menginformasikan inovasi pada pengadosi yang potensial
5. Menyediakan
dukungan
terhadap
pengadopsi
setelah
menggunakan inovasi.
Tetapi hal tersebut sangat sulit, karena sebagaimana yang telah
diungkapkan di atas bahwa sebagian besar ‘kreator’ teknologi adalah
kaum laki-laki sehingga konfigurasi teknologi yang muncul pun
sesuai dengan
karakter atau nilai laki-laki yang dominan di
dalamnya.
Namun demikian bagi kaum perempuan tidak perlu menjadi paranoid
dan bersikap antiteknologi. Hal ini dikarenakan pada era teknologi komunikasi
dan informasi ini jelas manusia tidak akan pernah lepas dari teknologi.
Yang
dibutuhkan adalah bagaimana agar kaum perempuan memiliki kesadaran diri,
minat dan motivasi yang tinggi terhadap keberadaan teknologi baru.
Teknologi Sebagai Penggerak Perubahan
Technological Determinism Theory memandang
teknologi
sebagai penggerak utama perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Lebih
jauh
dikatakan
bahwa
teknologi
sebagai
dasar
utama
perubahan dalam masyarakat di samping itu juga teknologi sebagai
alat utama dalam kehidupan masyarakat (Infante, et.al: 2001: 243).
McLuhan secara tegas menyatakan bahwa teknologi selalu menjadi
bagian dari setiap episode sejarah manusia.
Sebagaimana
pandangan
Instumentalis
yang
menyatakan
bahwa
teknologi
sebagai faktor penentu dalam perubahan sosial dan simbol kemajuan
peradaban manusia. Abbe Mowshowitz menuliskan bahwa teknologi
telah memberikan kontribusi
yang besar untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia dan membuat tumbuhnya kehidupan yang
modern (Chandler, Daniel, www.aber.ac.uk/media diakses tanggal 10
Juni 2007).
Oleh karena itu bila perempuan dapat menguasai teknologi
komunikasi dan informasi dengan baik, maka proses ketidakadilan
gender yang terjadi selama ini bisa diminimalkan. Harus diakui, saat
ini memang sudah banyak perempuan yang berkecimpung di bidang
teknologi, tetapi masih pada batas sebagai ‘pekerja’ bukan sebagai
pemegang peran penting dalam pengambil keputusan.
Bisa dibayangkan bila para kreator teknologi komunikasi dan
informasi modern, internet,
didominasi perempuan maka pada
dasarnya akan lebih mudah bagi kaum perempuan menyuarakan
hak-hak perempuan dan jati diri perempuan.
Konstruksi isi pesan
media virtual pun akan lebih feminis. Simbol-simbol yang ada pada
dunia virtual pun tidak lagi didominasi oleh nilai dan norma laki-laki
(male-oriented norms). Karena pada dasarnya internet merupakan
media yang paling menguntungkan saat ini.
Mengingat dengan
internet setiap orang akan dengan mudah mengkonstruksikan dan
merekayasa pesan sesuai dengan ideologinya. Dan seketika itu juga
ide-ide tersebut akan dengan cepat tersebar
pada pengguna dan
akan dijadikan sebagai sebuah kebenaran.
Sebagaiamana hasil
penelitian yang dilakukan National Geographic Survey pada tahun
2003 (Kennedy,et.al, 2003) bahwa pengguna internet meyakini
informasi formal dari internet (seperti layanan berita dan search
engines) adalah sebuah kebenaran sebagaimana mereka meyakini
berita-berita yang ada di televisi dan koran.
Bila hal ini yang terjadi maka sebenarnya mudah bagi
perempuan untuk memberdayakan kaumnya.
Dengan memiliki
kemampuan yang baik tentang teknologi maka perempuan akan
menjadi decision making dalam setiap penciptaan teknologi. Tentu
saja hal tersebut harus didukung dengan tingkat pendidikan yang
baik dan tingkat ekonomi yang memadai.
Adanya kesenjangan pengadposian teknologi sangat dipengaruhi
oleh tingkat ekonomi.
Negara yang memiliki perekonomian tinggi
maka pengguna internet perempuan lebih banyak daripada negaranegara yang perekonomiannya rendah. Pada awal tahun 2002, ratarata
40%
perempuan
di
Swedia,
Inggris,
dan
Jerman
telah
menggunakan internet. Sedangkan pada negara berkembang ratarata hanya 20 persen an perempuan yang menggunakan internet
(Dholakia,et.al, 2003).
Pada
saatnya
nanti
jika
perempuan
memiliki
keahlian,pengetahuan dan tingkat ekonomi yang baik maka teknologi
komunikasi dan informasi akan di-create oleh perempuan.
teknologi komunikasi dan informasi
compatible
bagi
otak
perempuan
spasialnya dibandingkan laki-laki.
Bentuk
yang muncul pun akan lebih
yang
memang
lebih
kecil
Dengan demikian perempuan akan lebih mudah menerima dan
memahami
teknologi.
konsistensi oleh
teknologi.
Untuk
itu
diperlukan
kaum perempuan dalam
Mengingat
dengan
kemauan
juga
belajar dan menguasai
memiliki
kemampuan
dan
pengetahuan yang baik tentang teknologi maka perempuan dapat
mereposisi perannya dalam akses dan pemanfaatan teknologi guna
menunjang upaya meningkatkan kualitas hidupnya.
***
DAFTAR BACAAN
Arianto, D., Irwan & Suratnoaji, Catur. 2006. Gaya Hidup Pembaca Majalah
Teknologi. UPN “Veteran” Jawa Timur.
Baran, J. Stanley. 2006. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and
Culture. Fourth Edition. Boston: McGraw-Hill
Baron, R. Gerald. 2003. Now is Too Late: Survival in an Era of Instant News. New
York: Prentice Hall.
Briggs, Asa & Burke, Peter. 2006. Sejarah Sosial Media: Dari Guttenberg sampai
Internet. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Griffin, Em. 2000. A First Look At Communication Theory. Fourth Edition. New
Jersey: Mc Graw Hill.
Infante, Rancer & Womack. 2001. Building Communication Theory. Illinois:
Waveland Press, Inc.
Non Buku:
Amir, Zulfikar. Dalam Membuka Kota Hitam Teknologi.
www.duniaesai.com/sosiologi/.
BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat, 1999-2002
BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 2003
Carver, L. Doris. 2000. Representation of Women in The Information Technology
Workforce. Paper.
Chandler, Daniel. Technological or Media Determinism.
www.aber.ac.uk/media/Documents/tecdet/tdet.
Dholakia, Roy, Dholakia Nikilesh, Kshetri. Gender and Internet Usage. 2003.
Kennedy, Wellman, Klement. Gendering The Digital Divide. IT & Socienty, Volume
I, Issue 5. p. 72-96
Raphael, Chad, et.al. 2006. Portrayal of Information an Communication Technology
on world wide Web Sites for Girls. Journal of Computer Mediated
Communication,
article
4.,
Vol.
11.
Dalam
jcmc.indiana.edu/vol11/issue3/raphael.html
Sury,W. Daniel. 1997. Diffusion Theory and Instructional Technology. Dalam
www2.gsu.edu/wwwitr/docs/diffusion
Vale & Leder. 2004. The Gaps in Confidence and Interesting between Females and
Males in American University. Journal of American Association of University,
article 6. Vol 9.
www.kaltengpos.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=25060
www.kompas.com/kompas-cetak
AKSES DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI
Oleh: Yuli Candrasari, S.Sos, MSi*)
Merebaknya VCD mesum, internet porno ataupun handphone
“mesra” yang melibatkan selebritis, pejabat publik, sampai dengan
anak-anak sekolah akhir-akhir ini makin kerap terjadi. Intensitasnya
sampai pada taraf “mencemaskan” karena
tidak semata-mata
terjadi di pusat kota-kota besar sebagai sentra perkembangan
teknologi, namun telah merambah jauh hingga ke pelosok-pelosok
desa.
Pada kasus-kasus tersebut --- baik foto bugil di internet,
handphone mesra, maupun video mesum--- maka perempuan yang
ada di dalamnya akan cenderung menjadi pesakitan dan “dihakimi”
masyarakat dengan munculnya wacana, tudingan miring, sampai
dengan gosip publik. Bahkan ada indikasi bahwa ---dalam beberapa
kasus yang melibatkan pejabat publik/politik sebagai pelakon--tubuh perempuan dipolitisir menjadi konsumsi media yang bisa
berujung pada kehancuran karir politik sang pelakon.
perempuan yang menjadi “korban teknologi”
dalam
pergaulan
masyarakat
dengan
penggoda,
atau
ini
akan terisolasi
stereortipe
pencari
Akibatnya
sebagai
perempuan
murahan,
popularitas.
Perempuan itu menjadi korban stigma sosial, karena
dianggap mau “menyerahkan dirinya” untuk
sensasi
dan
berpose seronok.
Sedangkan
“sang
sutradara”
bahkan
yang
mempublikasikan
---biasanya kaum laki-laki--- jarang menjadi sorotan apalagi sanksi.
Teknologi Kurang Diminati Perempuan
Situs-situs internet yang mengeksploitasi perempuan dan seks
meningkat secara cepat dan diakses jutaan orang di seluruh dunia
setiap pekannya sehingga bisa dikatakan bahwa terjadi pelecehan
dan eksploitasi tubuh perempuan yang terjadi di dunia virtual ini.
Lagi-lagi perempuan menjadi korban dan hanya menjadi “pemuas”
syahwat para pengakses situs porno yang mayoritas para lelaki.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa
karyawan laki-laki menggunakan 62% jam kerja mereka untuk
mengakses situs-situs porno. Inilah yang menunjukkan bahwa
perempuan rentan menjadi korban dari suatu teknologi (komunikasi)
Sementara itu, remaja putri usia 15-17 tahun hanya sekitar 67%
yang
menggunakan internet sedangkan
remaja laki-laki yang
menggunakan internet sebesar 86%. Remaja putri juga cenderung
kurang percaya diri terhadap kemampuannya dalam komputer dan
menggunakan internet daripada remaja laki-laki.
Bahkan remaja
putri kemudian menunjukkan kurang tertarik terhadap komputer
(Vale & Leder, 2004).
Data yang diberikan oleh ITU (International Telecommunication
Union)
tahun
2002
menunjukkan
bahwa
pengguna
internet
perempuan jauh lebih kecil dibandingkan laki, yaitu hanya 26,4% dari
seluruh pengguna internet (www.mennegpp.go.id).
Hal ini menujukkan bahwa
minat
laki-laki terhadap
teknologi komunikasi dan informasi lebih tinggi daripada kaum
perempuan. Rendahnya dan tidak adanya percaya diri pada kaum
perempuan
terhadap
teknologi
komunikasi
dan
informasi
mengakibatkan pengetahuan dan wawasan tentang teknologi kaum
perempuan lebih rendah. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian
yang dilakukan oleh Carver (2000) yang menyatakan bahwa
rendahnya
representasi
perempuan
dalam
bidang
teknologi
informasi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu rendahnya minat
dan motivasi perempuan terhadap teknologi, rendahnya kemampuan
perempuan secara matematis, serta kurangnya sosialisasi teknologi
terhadap perempuan juga kurangnya percaya diri perempuan atas
kemampuannya secara teknis.
Akibatnya
kaum perempuan lebih
sulit untuk menyesuaikan dan mengadopsi teknologi baru.
Teknologi telah merasuki simpul kesenangan dan
simbolisasi manusia secara massif.
Teknologi telah membuat
kehidupan manusia lebih mudah, lebih baik, lebih bahagia, dan lebih
smart. Singkatnya bisa dikatakan bahwa teknologi berperan besar
sebagai penunjang untuk mencapai kepuasan material.
Teknologi
pembangunan
komunikasi dan informasi merupakan sarana bagi
manusia
dan
sumber
pengetahuan
bagi
kaum
perempuan, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.
Teknologi mampu memberikan kemudahan bagi manusia, termasuk
juga
kaum perempuan dalam mengakses
informasi,
sehingga
pemberdayaan perempuan dalam pengetahuan, juga secara sosial
dan politik dapat dengan mudah dilakukan.
Pemanfaatan teknologi informasi membuka peluang untuk
memperlancar berbagai kegiatan manusia, sekaligus meningkatkan
kemampuan SDM yang memanfaatkannya. Namun demikian, masih
terdapat
gap yang cukup lebar antara laki-laki dan perempuan
dalam menggunakan dan mengakses teknologi komunikasi. Pesatnya
perkembangan teknologi tersebut
pada pihak lain kurang diikuti
dengan kesediaan kaum perempuan untuk
mengadopsi teknologi
baru.
Data penelitian tentang kreator teknologi di Amerika Serikat
menyebutkan bahwa dari 4072 responden kaum perempuan hanya
6% yang berperan sebagai kreator sedangkan 94%-nya adalah kaum
laki-laki.
Studi ini setidaknya menunjukkan
bahwa penguasaan
perempuan dalam bidang teknologi tertinggal jauh dibandingkan
dengan laki-laki.
Hal yang sama terjadi pada bidang pekerjaan (Baron, 2003:
32). Kaum perempuan di Amerika Serikat memiliki kecenderungan
selalu berada pada atau memilih posisi sebagai profesional atau
manajemen daripada menekuni
bidang
teknologi komunikasi dan
informasi. Data tersebut juga menyebutkan bahwa
hanya 25,4%
kaum perempuan yang bekerja di posisi teknologi komunikasi dan
informasi.
Sebuah
survei
menunjukkan bahwa
terhadap
82%
pelajar
sekolah
di
Perancis
anak laki-laki percaya bahwa mereka
mampu meraih sukses di bidang sains, sedangkan yang perempuan
hanya 53%. (Kompas, 16/3/2007).
Hal ini menunjukkan bahwa minat perempuan atau bahkan
kesempatan perempuan untuk berada dalam bidang teknologi
komunikasi dan informasi masih sangat rendah.
Indonesia sendiri, para orang tua
lazim
Sementara itu di
mengarahkan anak
perempuannya untuk memilih jurusan yang lebih dikaitkan dengan
fungsi domestik, sementara itu anak laki-laki diharapkan berperan
dalam menopang ekonomi keluarga sehingga harus lebih
banyak
memilih
industri
keahlian-keahlian
ilmu
keras,
teknologi
dan
(Ernawati, Kalteng Pos 31/5/2007). Hal ini bisa dipertegas lagi dari
hasil penelitian terdahulu tentang
Gaya Hidup Pembaca Majalah
Teknologi menunjukkan bahwa sebagian besar pembacanya adalah
kaum laki-laki dengan tingkat pendidikan menengah ke atas (Arianto
& Suratnoaji, 2005).
Individu perempuan memiliki minat dan motivasi yang rendah
untuk studi dan memiliki karier di bidang keteknikan. Sebagaimana
yang telah disebutkan di atas bahwa di negara maju seperti Amerika
Serikat kaum perempuan yang berkiprah di bidang teknologi hanya
sekitar 25,4% (Raphael, et.al, www.jcmc.indiana.edu/diakses tanggal
28 Mei 2007).
Bahkan di Perancis pelajar putri hanya memiliki
keyakinan sebesar 53% untuk berhasil di bidang sains sedangkan
pelajar laki-laki memiliki keyakinan 82% untuk berhasil di bidang
sains. Demikian juga dengan keadaan di Indonesia. Banyak pelajar
putri yang lebih memilih jurusan “perempuan” dan pelajar laki-laki
lebih memilih keahlian “ilmu keras”, yaitu teknologi dan industri.
Akibatnya memang terdapat kesenjangan wawasan,
pengetahuan dan kemampuan antara kaum laki-laki dan perempuan
khususnya dalam bidang teknologi (komunikasi dan informasi). Lakilaki kemudian menjadi berperan besar dalam penciptaan
hal-hal
yang berkaitan dengan teknologi. Sebuah studi di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa
dari 4072 responden yang diteliti ternyata
hanya 6% perempuan yang menjadi kreator teknologi, 94% nya
adalah laki-laki (Baran: 2003: 32).
juga menunjukkan bahwa
Lebih jauh
penelitian tersebut
perempuan yang berusia
antara 35-49
tahun hanya 5%, selebihnya (95%) adalah laki-laki yang tahu
teknologi, sedangkan perempuan yang berusia di atas 50 tahun
hanya 2% yang tahu teknologi.
Faktor Pendidikan
Kurangnya keterlibatan perempuan dalam mengadopsi teknologi,
khususnya di Indonesia, juga dikarenakan tingkat pendidikan kaum
perempuan yang relatif lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini bisa
dilihat dari dari data BPS tahun 2002 tentang Gender Developoment
Index (GDI) per Propinsi. Secara umum di Indonesia kaum laki-laki
memiliki waktu yang lebih lama dalam bersekolah dibandingkan
perempuan yaitu rata-rata 7,7 tahuan dibandingkan perempuan yang
rata-rata bersekolah hanya 5,9 tahun.
Dari jenjang pendidikan
terlihat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin kecil
angka rata-rata masuk perempuan.
Tingkat SD, perbandingan
perempuan dengan laki-laki adalah 49,18% : 50,83%, SMP; 46,34% :
53,56%, SMA; 41,45% : 58,57%, dan Perguruan Tinggi; 33,60% :
66.40%.
Untuk tingkat yang lebih tinggi, kesempatan perempuan
akan jauh lebih sedikit (www.rahima.or.id/SR/07-03/ diakses tanggal
5 Juni 2007).
Knowledge Gap Theory
Knowledge Gap Theory
pengetahuan
dan
menjelaskan bahwa
kemampuan
individu
kesenjangan
dikarenakan
kesenjangan tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi.
adanya
Mereka yang
ada di kelas sosial ekonomi menengah atas akan memiliki wawasan
dan pengetahuan yang lebih baik daripada masyarakat yang ada
pada kelas sosial ekonomi bawah (Baran, 2006: 219). Kesenjangan
wawasan dan pengetahuan tersebut dikarenakan masyarakat yang
ada pada strata sosial ekonomi menengah atas
lebih memiliki
kesempatan dalam mengakses dan mendapatkan informasi dari
media massa, termasuk internet, daripada masyarakat yang ada
pada kelas sosial ekonomi bawah. Artinya bahwa mereka yang
memiliki kemampuan lebih baik (dalam hal ini pendidikan dan
wawasan) serta ditunjang kemampuan secara ekonomi lebih baik
maka akan memiliki pengetahuan lebih baik.
Bila dikaitkan dengan tingkat pendidikan perempuan dalam
teknologi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki
maka wajar jika kemudian perempuan memiliki kemampuan yang
lebih
rendah
dan
terdapat
kesejangan
pengetahuan
tentang
teknologi antara perempuan dengan laki-laki.
Lebih jauh teori ini mengungkapkan bahwa sebenarnya media
massa, termasuk internet memang ditujukan
untuk masyarakat
yang ada pada kelas sosial ekonomi menengah atas.
Dalam arti
bahwa internet akan lebih banyak ditujukan untuk laki-laki daripada
perempuan. Mengingat kemampuan dan tingkat pendidikan laki-laki
khususnya dalam bidang teknik atau teknologi informasi lebih baik
daripada perempuan.
Teori Knowledge Gap ini pun mempertegas kenyataan bahwa
masyarakat
kalangan ekonomi bawah akan
memiliki tingkat
pengetahuan yang lebih rendah karena kelompok masyarakat yang
mempunyai masalah dengan ekonomi, akses terhadap teknologi
informasi sangat kurang, terutama ketika harus berebut dengan
kebutuhan
sehari-hari.
Secara
umum,
di
bidang
ekonomi
kemampuan perempuan mendapatkan peluang kerja dan berusaha
masih rendah, demikian juga akses terhadap sumber daya ekonomi.
Hal ini ditunjukkan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
perempuan yang rendah, yaitu 45% (2002) dibanding laki-laki
75,34%
(BPS,
Statistik
Kesejahteraan
Rakyat
1999-2002).
Sedangkan di 2003 TPAK laki-laki lebih besar dibanding TPAK
perempuan
yakni
76,12%
berbanding
44,81%
(BPS,
Statistik
Kesejahteraan Rakyat 2003).
Dengan kondisi demikian, perempuan akan selalu tertinggal
dalam
teknologi daripada laki-laki.
Sehingga kesempatan dan
peluang perempuan
mengakses teknologi komunikasi menjadi
sangat rendah, alih-alih untuk mendapatkan manfaat atau hasil atas
kemajuan teknologi komunikasi itu.
Berdasarkan teori tersebut maka bisa dipahami bila
perempuan lebih sulit untuk memahami dan mengadopsi teknologi
komunikasi dan informasi.
Terutama di Indonesia, sebagai negara
yang sedang berkembang, maka tingkat pendidikan – sebagai
indikator dari kelas sosial – relatif masih lebih rendah dibandingkan
dengan negara maju.
Hal itu tentu berkaitan juga dengan
faktor
ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara maju.
.
Faktor Budaya
Faktor budaya berperan dalam rendahnya keterlibatan perempuan
dalam mengadopsi teknologi.
Selama ini terdapat pembedaan
perilaku masyarakat dalam memperlakukan anak laki-laki dan
perempuan, dimulai dari jenis permainan.
banyak
orang
tua
yang
lebih
Pada masa kanak-kanak
sering
mengarahkan
anak
perempuannya pada permainan yang feminin seperti boneka atau
memasak.
Sedangkan pada anak laki-laki lebih diarahkan pada
permainan mobil sampai dengan merusak atau membongkar mobilmobilannya sebagai suatu tindakan yang wajar. Perlakuan semacam
ini sebenarnya telah membentuk minat anak secara sains maupun
matematis. Anak laki-laki yang dibiarkan untuk membongkar pasang
pemainannya maka
diarahkan untuk lebih menyukai hal-hal yang
bersifat teknis daripada perempuan yang lebih feminis.
Munculnya stereotipe terhadap permainan ini ternyata didukung
oleh para produsen permainan.
Video games yang sekarang
bermunculan lebih banyak muncul dengan karakter laki-laki daripada
perempuan, sehingga banyak konsumennya pun lebih banyak anak
laki-laki. Hal ini sebenarnya secara tidak langsung berdampak pada
pilihan anak-anak terhadap mata pelajaran yang lebih disukai.
Kenyataannya para guru di tingkat sekolah dasar selalu lebih
condong mengarahkan anak laki-laki pada kemampuan matematika
atau sains.
Bahkan ada anggapan bahwa sains, matematika, dan
teknologi adalah dunia laki-laki.
Kecenderungan ini akhirnya juga
terbawa sampai dengan ketika si anak harus memilih jurusan pada
sebuah perguruan tinggi.
Mayoritas pemilih jurusan teknik adalah
laki-laki sebaliknya jurusan yang non teknik mayoritas akan dipilih
oleh perempuan.
Demikian juga dalam hal menggunakan komputer sebagai salah
satu bentuk teknologi informasi. Harus diakui bahwa keberadaan
teknologi saat ini mayoritas diciptakan oleh laki-laki. Sampai-sampai
ada anggapan bahwa komputer itu hanya untuk laki-laki. Muncul
sebuah persepsi bahwa ketika perempuan menggunakan komputer
maka
ia akan lebih banyak bertanya dan bergantung pada laki-laki
tentang apa yang selanjutnya dia lakukan, sebaliknya laki-laki ketika
menggunakan komputer dengan kepercayaan dirinya yang lebih
besar dia bebas mengkesplor komputer tersebut sesuai dengan yang
diinginkannya (Carver, 2000:18).
Fenomena di atas tidak terlepas dari faktor budaya yang telah
terbangun di masyarakat.
Perempuan dan Adopsi Teknologi
Akibatnya kaum perempuan lebih tertinggal pengetahuan dan
kemampuannya di bidang teknologi komunikasi dan informasi
dibandingkan dengan kaum laki-laki. Meskipun harus diakui bahwa
teknologi akan memberikan keuntungan bagi perempuan.
Perempuan lebih tertinggal dalam hal pengetahuan maupun
kemampuan tentang teknologi informasi dan komunikasi juga dapat
ditelisik dari banyaknya kaum perempuan yang selama ini selalu
menggantungkan diri terhadap laki-laki terutama yang berkaitan
dengan penggunaan teknologi.
Akibat dari
ketidaktahuan dan
ketidakmampuan kaum perempuan terhadap teknologi menjadikan
mereka selalu menjadi “korban teknologi”.
menjadi alat untuk menarik perhatian.
Perempuan hanya
Banyak pelecehan seksual
dan ketidakadilan gender bermula dari situ.
Mengingat
(206.264.595)
jumlah
perempuan
sebesar
Indonesia
(Sensus
penduduk
49.9%
dari
Penduduk
total
2000)
merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar, partisipasi
aktif
perempuan
mempercepat
berperannya
dalam
setiap
tercapainya
kaum
proses
tujuan
perempuan,
pembangunan
pembangunan.
akan
memperlambat
akan
Kurang
proses
pembangunan. Sebagaimana yang telah dituliskan di atas bahwa
teknologi informasi akan mempercepat laju pertumbuhan sosial dan
ekonomi
suatu
negara.
Bila
kaum
perempuan
mampu
menggunakan teknologi dengan baik maka peran perempuan dalam
pembangunan khususnya untuk mengatasi masalah-masalah sosial,
ekonomi dan politik dapat berjalan dengan baik. Perempuan tidak
akan
menjadi beban pembangunan termasuk diantaranya menjadi
“korban teknologi”, termasuk didalamnya ketidakadilan gender;
misalnya marginalisasi, subordinasi, stereotipe negatif sekaligus
perlakuan diskriminatif.
Perempuan cenderung kurang mengadopsi teknologi dengan
baik.
Artinya, dalam hal pengembangan teknologi mayoritas
perempuan hanya sebagai pengguna pasif bahkan banyak
juga
perempuan
teknologi
baru
kemudahan
dan
meskipun
yang
resisten
teknologi
terhadap
tersebut
kehadiran
memberikan
keuntungan dalam kehidupannya.
Hal ini bisa dilihat dari pengguna internet, sebagai teknologi
komunikasi inofrmasi modern yang memiliki banyak keuntungan dan
keunggulan. Kenyataannya perempuan lebih pasif terhadap internet.
Rendahnya tingkat pengadopsian tersebut salah satu faktornya
adalah rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan kaum perempuan
daripada laki-laki.
Selain itu juga internet sebagai teknologi yang
masih ‘dikuasai’ laki-laki masih terlalu rumit
bagi perempuan.
Sebagaimana yang dikatakan Rogers (Griffin, 2000: 341) dalam teori
Adopsi Inovasi, bahwa sebuah inovasi (teknologi baru) akan lebih
mudah diterima bila
bila inovasi tersebut memiliki syarat-syarat,
yaitu: (1) memiliki keuntungan relatif; (2) sesuai dengan keadaan
masyarakat (nilai dan norma masyarakat); (3) inovasi tersebut tidak
kompleks atau rumit; (4) bisa dicoba dengan mudah; (5). Inovasi
tersebut
mudah untuk dikomunikasikan khususnya
mampu
membantu memecahkan persoalan yang ada dalam masyarakat
penerima.
Teknologi informasi dan komunikasi yang baru akan lebih
bisa diterima jika memang menguntungkan pengguna – khususnya
kaum
perempuan,
compatible,
dan
yang
lebih
penting
pada
perempuan adalah bila teknologi tersebut mudah dicoba dalam arti
mudah untuk dipelajari. Pada kenyataannya, teknologi informasi dan
komunikasi yang mutakhir selalu sedikit rumit dan kompleks. Hal ini
tidak bisa dipungkiri karena memang pencipta teknologi tersebut
mayoritas adalah laki-laki.
Akibatnya yang lebih mudah untuk
memahami dan menerima teknologi baru mayoritas adalah laki-laki.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rogers bahwa sebenarnya
sebuah inovasi akan mudah diterima bila inovasi tersebut bisa
dikomunikasikan dan disosialisasikan dengan baik.
Sulitnya perempuan menerima teknologi baru salah satunya
adalah karena ada perbedaan kemampuan otak antara laki-laki dan
perempuan.
Otak perempuan
menurut Michael Guriaan dalam
bukunya “Could He be Thingking?” dikatakan bahwa terdapat
perbedaan mendasar antara otak laki-laki dan perempuan yaitu
perbedaan
spasial,
perbedaan
verbal,
dan
perbedaan
ukuran
memori. Perkembangan spasial yang lebih kompleks pada laki-laki
membuat mereka mampu melakukan fungsi-fungsi spasial lebih baik
daripada perempuan (Ernawati dalam Kalteng Pos Online). Sehingga
bisa dimengerti bila kerumitan dan kekompleksan teknologi baru
lebih mudah dipelajari untuk kemudian diadopsi laki-laki daripada
perempuan.
Selain itu juga dikarenakan dalam persepsi perempuan di
Indonesia bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan teknologi
atau sains adalah dunia laki-laki. Kenyataannya anggapan tersebut
telah menjadi steretotipe di masyarakat.
Perempuan lebih sulit
untuk menerima teknologi baru.
Pada dasarnya proses penyebaran sebuah inovasi terjadi dalam
lima tahap yaitu diawali dengan memberikan pengetahuan pada
masyarakat, mempersuasi,
kemudian
masyarakat memutuskan,
mengimplementasikan dan mengkonfirmasi (untuk menerima atau
menolak) (Sury, W. Daniel, www2.gsu.edu/ diakses pada 1 Juni 2007).
Oleh karena itu penting bagi kaum perempuan untuk memiliki
pengetahuan yang baik tentang sebuah teknologi baru untuk dapat
mengadopsi teknologi baru tersebut.
Sulitnya teknologi baru bagi kaum perempuan dan kurangnya
sosialisasi terhadap kaum perempuan mengakibatkan terjadinya
kesenjangan
kemampuan
di
bidang
teknologi
(informasi
dan
komunikasi) antara kaum laki-laki dan perempuan.
Akibatnya perempuan lebih banyak hanya menjadi pengguna
pasif dan bahkan sering menjadi ‘korban’
dan komunikasi
sebagai akibat
dari teknologi informasi
lemahnya
pengetahuan dan
kemampuan
perempuan
terhadap
teknologi
informasi
dan
komunikasi yang terus berkembang.
Tampaknya diperlukan suatu konsep atau model tentang
bagaiamana perempuan bisa menerima teknologi baru di tengah
maraknya dan pesatnya perkembangan teknologi (baru).
dimaksudkan
Hal ini
agar kaum perempuan tidak selalu ketinggalan
dengan kaum laki-laki dalam bidang teknologi sehingga kaum
perempuan tidak selalu menjadi korban teknologi dan adanya
diskriminasi terhadap perempuan di bidang teknologi.
Menurut Fenomenologi,
pada dasarnya hubungan antara
teknologi dengan manusia tidaklah tunggal, artinya teknologi itu
bersifat multi-interpretatif tergantung pada konteks kultural di mana
teknologi itu berada (Amir, Zulfikar, www/duniaesai.com/sosiologi/
diakses tanggal 30 Mei 2007).
Pada tingkat praksis, dikatakan
bahwa teknologi bisa dibuat lebih ‘manusiawi’ dan dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat bila ada nilai-nilai budaya
dalam konfigurasi
teknologi.
Artinya
diadopsi
bahwa kaum perempuan
akan lebih mudah menerima sebuah teknologi bila memang dalam
konfigurasi
teknologi
Sebagaimana yang
tersebut
terkandung
nilai-nilai
feminitas.
dituliskan oleh Burkman dalam Sury,W. Daniel
(www2.gsu.edu/ diakses 1 Juni 2007)
bahwa sebuah inovasi akan
bisa diterima bila inovasi tersebut mengadung lima hal sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi pengadopsi yang potensial
2. Mengukur persepsi pengadopsi yang potensial
3. Mendesign dan menciptakan produk yang sederhana
4. Menginformasikan inovasi pada pengadosi yang potensial
5. Menyediakan
dukungan
terhadap
pengadopsi
setelah
menggunakan inovasi.
Tetapi hal tersebut sangat sulit, karena sebagaimana yang telah
diungkapkan di atas bahwa sebagian besar ‘kreator’ teknologi adalah
kaum laki-laki sehingga konfigurasi teknologi yang muncul pun
sesuai dengan
karakter atau nilai laki-laki yang dominan di
dalamnya.
Namun demikian bagi kaum perempuan tidak perlu menjadi paranoid
dan bersikap antiteknologi. Hal ini dikarenakan pada era teknologi komunikasi
dan informasi ini jelas manusia tidak akan pernah lepas dari teknologi.
Yang
dibutuhkan adalah bagaimana agar kaum perempuan memiliki kesadaran diri,
minat dan motivasi yang tinggi terhadap keberadaan teknologi baru.
Teknologi Sebagai Penggerak Perubahan
Technological Determinism Theory memandang
teknologi
sebagai penggerak utama perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Lebih
jauh
dikatakan
bahwa
teknologi
sebagai
dasar
utama
perubahan dalam masyarakat di samping itu juga teknologi sebagai
alat utama dalam kehidupan masyarakat (Infante, et.al: 2001: 243).
McLuhan secara tegas menyatakan bahwa teknologi selalu menjadi
bagian dari setiap episode sejarah manusia.
Sebagaimana
pandangan
Instumentalis
yang
menyatakan
bahwa
teknologi
sebagai faktor penentu dalam perubahan sosial dan simbol kemajuan
peradaban manusia. Abbe Mowshowitz menuliskan bahwa teknologi
telah memberikan kontribusi
yang besar untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia dan membuat tumbuhnya kehidupan yang
modern (Chandler, Daniel, www.aber.ac.uk/media diakses tanggal 10
Juni 2007).
Oleh karena itu bila perempuan dapat menguasai teknologi
komunikasi dan informasi dengan baik, maka proses ketidakadilan
gender yang terjadi selama ini bisa diminimalkan. Harus diakui, saat
ini memang sudah banyak perempuan yang berkecimpung di bidang
teknologi, tetapi masih pada batas sebagai ‘pekerja’ bukan sebagai
pemegang peran penting dalam pengambil keputusan.
Bisa dibayangkan bila para kreator teknologi komunikasi dan
informasi modern, internet,
didominasi perempuan maka pada
dasarnya akan lebih mudah bagi kaum perempuan menyuarakan
hak-hak perempuan dan jati diri perempuan.
Konstruksi isi pesan
media virtual pun akan lebih feminis. Simbol-simbol yang ada pada
dunia virtual pun tidak lagi didominasi oleh nilai dan norma laki-laki
(male-oriented norms). Karena pada dasarnya internet merupakan
media yang paling menguntungkan saat ini.
Mengingat dengan
internet setiap orang akan dengan mudah mengkonstruksikan dan
merekayasa pesan sesuai dengan ideologinya. Dan seketika itu juga
ide-ide tersebut akan dengan cepat tersebar
pada pengguna dan
akan dijadikan sebagai sebuah kebenaran.
Sebagaiamana hasil
penelitian yang dilakukan National Geographic Survey pada tahun
2003 (Kennedy,et.al, 2003) bahwa pengguna internet meyakini
informasi formal dari internet (seperti layanan berita dan search
engines) adalah sebuah kebenaran sebagaimana mereka meyakini
berita-berita yang ada di televisi dan koran.
Bila hal ini yang terjadi maka sebenarnya mudah bagi
perempuan untuk memberdayakan kaumnya.
Dengan memiliki
kemampuan yang baik tentang teknologi maka perempuan akan
menjadi decision making dalam setiap penciptaan teknologi. Tentu
saja hal tersebut harus didukung dengan tingkat pendidikan yang
baik dan tingkat ekonomi yang memadai.
Adanya kesenjangan pengadposian teknologi sangat dipengaruhi
oleh tingkat ekonomi.
Negara yang memiliki perekonomian tinggi
maka pengguna internet perempuan lebih banyak daripada negaranegara yang perekonomiannya rendah. Pada awal tahun 2002, ratarata
40%
perempuan
di
Swedia,
Inggris,
dan
Jerman
telah
menggunakan internet. Sedangkan pada negara berkembang ratarata hanya 20 persen an perempuan yang menggunakan internet
(Dholakia,et.al, 2003).
Pada
saatnya
nanti
jika
perempuan
memiliki
keahlian,pengetahuan dan tingkat ekonomi yang baik maka teknologi
komunikasi dan informasi akan di-create oleh perempuan.
teknologi komunikasi dan informasi
compatible
bagi
otak
perempuan
spasialnya dibandingkan laki-laki.
Bentuk
yang muncul pun akan lebih
yang
memang
lebih
kecil
Dengan demikian perempuan akan lebih mudah menerima dan
memahami
teknologi.
konsistensi oleh
teknologi.
Untuk
itu
diperlukan
kaum perempuan dalam
Mengingat
dengan
kemauan
juga
belajar dan menguasai
memiliki
kemampuan
dan
pengetahuan yang baik tentang teknologi maka perempuan dapat
mereposisi perannya dalam akses dan pemanfaatan teknologi guna
menunjang upaya meningkatkan kualitas hidupnya.
***
DAFTAR BACAAN
Arianto, D., Irwan & Suratnoaji, Catur. 2006. Gaya Hidup Pembaca Majalah
Teknologi. UPN “Veteran” Jawa Timur.
Baran, J. Stanley. 2006. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and
Culture. Fourth Edition. Boston: McGraw-Hill
Baron, R. Gerald. 2003. Now is Too Late: Survival in an Era of Instant News. New
York: Prentice Hall.
Briggs, Asa & Burke, Peter. 2006. Sejarah Sosial Media: Dari Guttenberg sampai
Internet. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Griffin, Em. 2000. A First Look At Communication Theory. Fourth Edition. New
Jersey: Mc Graw Hill.
Infante, Rancer & Womack. 2001. Building Communication Theory. Illinois:
Waveland Press, Inc.
Non Buku:
Amir, Zulfikar. Dalam Membuka Kota Hitam Teknologi.
www.duniaesai.com/sosiologi/.
BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat, 1999-2002
BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 2003
Carver, L. Doris. 2000. Representation of Women in The Information Technology
Workforce. Paper.
Chandler, Daniel. Technological or Media Determinism.
www.aber.ac.uk/media/Documents/tecdet/tdet.
Dholakia, Roy, Dholakia Nikilesh, Kshetri. Gender and Internet Usage. 2003.
Kennedy, Wellman, Klement. Gendering The Digital Divide. IT & Socienty, Volume
I, Issue 5. p. 72-96
Raphael, Chad, et.al. 2006. Portrayal of Information an Communication Technology
on world wide Web Sites for Girls. Journal of Computer Mediated
Communication,
article
4.,
Vol.
11.
Dalam
jcmc.indiana.edu/vol11/issue3/raphael.html
Sury,W. Daniel. 1997. Diffusion Theory and Instructional Technology. Dalam
www2.gsu.edu/wwwitr/docs/diffusion
Vale & Leder. 2004. The Gaps in Confidence and Interesting between Females and
Males in American University. Journal of American Association of University,
article 6. Vol 9.
www.kaltengpos.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=25060
www.kompas.com/kompas-cetak