BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA SENGKETA PERJANJIAN PEMBORONGAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN ANTARA PT. SUPRA UNILAND UTAMA DENGAN CV. NUANSA CITRA ENGINEERING. A. Pengertian Kontrak Kerja Konstruksi - Pilihan Bentuk Penyelesaian Sengketa Perjan

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA SENGKETA PERJANJIAN PEMBORONGAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN ANTARA PT. SUPRA UNILAND UTAMA DENGAN CV. NUANSA CITRA ENGINEERING. A. Pengertian Kontrak Kerja Konstruksi Istilah kontrak berasal dari bahasa inggris yaitu Contracts, sedangkan dalam

  bahasa Belanda disebut dengan overeenkomst (perjanjian) atau kontrak diatas dalam

  pasal 1313 KUHP Perdata berbunyi “ Suatu perjanjian adalah suatu pembuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih” sedangkan kontrak kerja konstruksi itu sendiri cukup jelas pengertiannya dalam Undang undang tentang jasa konstruksi Nomor 18 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa kontrak kerja konstruksi adalah “ Keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi”. 

  Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan secara bebas bahwa pengertian kontrak kerja konstruksi adalah suatu perbuatan hukum antara pihak pengguna jasa dengan pihak penyedia jasa konstruksi dalam melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi dimana dalam hubungan hukum tersebut diatur mengenai hak dan kewajiban para pihak. Suatu kontrak atau perjanjian memiliki unsur-unsur yang mendukung terjadinya suatu perjanjian tersebut. Dalam dataran teori, unsur-unsur itu dapat dikelompok

  57

  menjadi tiga kelompok sebagai berikut:

  a. Unsur essensialia

  b. Unsur naturalia

  c. Unsur accidentalia Ad.a. Unsur essensialia

  Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang harus ada di dalam perjanjian, unsur mutlak, di mana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada.

  Contohnya adalah sebagai berikut: 1.

  “Sebab yang halal” merupakan essensialia untuk adanya perjanjian. Dalam perjanjian jual beli harga dan barang yang disepakati kedua belsh pihsk harus sama.

  2. Pada perjanjian riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formal. Ad.b. Unsur naturalia

  Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur, tetapi yang oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Di sini unsur tersebut oleh Undang-Undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah (regelend/aanvullend recht). 57 J.Satrio, Hukum Perjanjian,Ctk. Pertama, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, Hlm.57-58

  Contoh, kewajiban penjual untuk menaggung biaya penyerahan (Pasal 1476 KUH Perdata) dan untuk menjamin atau vrijwaren (Pasal 1491 KUH Perdata) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak.

  Dalam perjanjian para pihak dapat mencantumkan klausula yang isinya menyimpangi kewajiban penjual, misalnya pasal 1476 KUH Perdata dengan menetapkan: “menyimpang dari apa yang ditetapkan dalam pasal 1476 KUH Perdata, para pihak sepakat untuk menetapkan bahwa biaya pengiriman objek perjanjian ditanggung oleh pembeli sepenuhnya.”

  Penyimpangan atas kewajiban penjual, misalnya Pasal 1491 KUH Perdata dapat diberikan dalam bentuk sebagai berikut: “para pihak dengan ini menyatakan, bahwa para pihak telah mengetahui dengan bentuk-bentuk, warna serta keadaan dari objek perjanjian dan karenanya para pihak sepakat untuk menetapkan, bahwa segala tuntutan atas dasar cacat tersembunyi tidak lagi dibenarkan”.

  Ad.c. Unsur Accidentalia Unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, Undang-Undang sendiri tidak mengatur mengenai hal tersebut.

  Contohnya dalam perjanjian jual beli rumah, para pihak sepakat untuk menetapkan bahwa jual beli tersebut tidak meliputi pintu pagar besi yang ada di halaman depan rumah.

  Sahnya suatu kontrak atau perjanjian, menurut “ Salim H.S.,S.H.,M.S. sebagai

  58

  berikut : 1.

  Kesepakatan kedua belah pihak, syarat pertama syahnya suatu kontrak adalah adanya kesepakatan atau consensus kedua belah pihak, hal ini diatur dalam pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata bahwa yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnnya yang sesuai itu adalah pernyataannnya, karena kehendak itu sendiri tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain. Pada dasarnya cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak yaitu dengan bahasa sempurna secara lisan dan tertulis, tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna dikala timbul perselisihan atau sengketa dikemudian hari.

  2. Kecakapan bertindak, kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum, maka dari itu orang orang yang akan mengadakan ataupun yang menandatangani perjanjian haruslah orang orang yang cakap dan mempunyai wewenang hukum untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana ditentukan oleh Undang - undang.

  3. Adanya objek perjanjian didalam berbagai literature disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian), Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur (Yahya harahap, 1986 : 10 ; Mertokusumo, 1987 : 36).

  4. Adanya Causa yang halal dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai KUH yang halal didalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang – undang kesusilaan dan ketertiban umum.

  Dari apa yang diuraikan diatas setidak tidaknya dapat memberikan gambaran yang jelas bahwa kontrak kerja konstruksi merupakan dasar atau awal adanya hubungan hukum antara pengguna dan penyedia jasa konstruksi, hal hal yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak haruslah diatur secara jelas, tegas dan terperinci karena kontrak kerja konstruksi merupakan awal dari suatu proses 58 Salim, H.S, SH, MS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, hal 33. penegakkan dan perlindungan hukum bagi para pihak yang membuat kesepakatan kerja konstruksi.

  Dengan adanya perlindungan dan penegakan hukum dari suatu kontrak kerja konstruksi maka para pihak dapat merasa tenang dalam melaksanakan hak dan kewajibannya apalagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi beserta peraturan pelaksanaannnya setidaknya semakin memperjelas perlindungan dan penegakkan hukum dalam dunia jasa konstruksi.

  Selain pengertian umum atas kontrak kerja konstruksi sebagaimana yang telah diuraikan diatas dalam dunia konstruksi khususnya dalam lingkup internasional dikenal pula beberapa bentuk syarat syarat kontrak konstruksi yang diterbitkan oleh beberapa beberapa Negara atau asosiasi profesi diantaranya adalah FIDIC

  

(Federation Internasinale des Ingenieurs Counsels) , JCT (Joint Contract Tribunals),

  AIA (American Instite of Architects) dan SIA (Singapore Institute of Architects), dll, bahkan di Indonesia sering pula dijumpai standar kontrak yang memakai standar atau system yang digunakan oleh Negara Negara yang lebih maju seperti FIDIC, JCT, dll, hal demikian tidaklah menjadi suatu masalah selama para pihak menyepakati dan disesuaikan dengan iklim dan kondisi yang ada di Indonesia.

  Dari uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa kontrak dalam suatu kesepakatan kerja konstruksi merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa dipandang remeh karena kontrak atau perjanjian merupakan landasan dan pondasi dari suatu aturan main dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi bagi para pihak khususnya pengguna maupun penyedia jasa apabila terjadi perselisihan antara para pihak akibat klaim yang tidak terselesaikan dengan baik.

B. Tinjauan Umum Wanprestasi dan Sengketa Jasa Konstruksi

1. Wanprestasi Perjanjian dibuat agar apa yang diperjanjikan tersebut dipenuhi prestasinya.

  Dalam perjanjian terdapat obyek perjanjian atau yang diperjanjikan sesuai dengan ketentuan 1320 KUHPerdata. Obyek tersebut berupa prestasi yaitu barang atau sesuatu yang harus dituntut. Prestasi dari seorang debitur diharapkan akan dapat terpenuhi tetapi adakalanya prestasi itu tidak dapat terpenuhi. Maka dalam hal

  59 demikian debitur telah lalai atau melakukan wanprestasi.

  Pengertian wanprestasi tidak dijelaskan secara definitif di dalam Undang- undang. Istilah wanprestasi berasal dari istilah belanda ‘wanprestatie’, yang artinya prestasi buruk. Jadi wanprestasi adalah suatu keadaan di mana tidak terlaksananya suatu prestasi dalam suatu perjanjian oleh pihak debitur karena kesalahannya, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian.

  M. Yahya Harahap memberi pengertian wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.

  Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga

59 Ibid

  terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak

  60 menurut sepatutnya.

  Wanprestasi atau yang kadang disebut dengan cidera janji adalah kebalikan dari pengertian prestasi, dalam bahasa inggris sering disebut dengan istilah default atau nonfulfillment atau breach of contract yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut dalam kontrak bersangkutan.

  Konsekwensi dari yuridis dari tindakan wanprestasi adalah timbulnya hak dari pihak yang dirugikan dalam kontrak tersebut untuk menuntut ganti kerugian dari

  61 pihak yang telah merugikannya, yaitu pihak yang telah melakukan wanprestasi.

  Para sarjana mendefinisikan ingkar janji ke dalam pengertian wanprestasi. Atau

  62

  ingkar janji menjadi tiga bentuk, yaitu: 1.

  Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Terlambat memenuhi prestasi.

  3. Memenuhi prestasi secara tidak baik, sedangkan prestasi itu sendiri merupakan objek perikatan berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.

  Agar debitur dapat dikatakan dalam keadaan wanprestasi ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi yaitu : a. Syarat materiel, yaitu adanya kesengajaan berupa: 60 61 Ibid, hal 60 62 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm 17 Ibid

  1).Kesengajaan, adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan dikehendaki dan diketahui serta disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain. 2).Kelalaian, adalah sesuatu hal yang dilakukan di mana seseorang yang wajib berprestasi seharusnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian.

  b. Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi Wanprestasi mempunyai akibat yang sangat penting, maka harus ditetapkan terlebih dahulu apakah debitur telah melakukan wanprestasi dan apabila hal itu disangkalnya harus dibuktikan di muka hakim. Penentuan saat terjadinya wanprestasi seringkali tidak diperjanjikan dengan tepat, kapan debitur diwajibkan melakukan prestasi yang telah diperjanjikan. Mengenai saat terjadinya wanprestasi diatur dalam

  Pasal 1238 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa “si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan di anggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Berdasarkan Pasal tersebut, terdapat tiga cara untuk menentukan saat debitur telah wanprestasi yaitu: 1.

  Dengan surat perintah.

  2. Dengan akta sejenis.

  3. Dengan isi perjanjian yang menetapkan lalai dengan lewatnya batas waktu dalam perjanjian.

  Apabila debitur telah melakukan wanprestasi maka akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak dalam perjanjian tersebut.

  Ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga”. Menurut Pasal 1267 KUHPerdata tersebut, wanprestasi mengakibatkan kreditur dapat menuntut debitur berupa: 1). Pemenuhan prestasi 2). Pemutusan Prestasi 3). Ganti rugi 4). Pemenuhan janji disertai ganti rugi 5). Pemutusan perjanjian disertai ganti rugi.

  Didalam praktek apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian pemborongan maka pemberi kerja biasanya akan terlebih dahulu memberikan teguran agar pemborong memenuhi kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam

  63 jangka waktu yang layak.

  Jika pemborong tidak dapat menyelesaikan pekerjaan menurut waktu yang ditetapkan atau menyerahkan pekerjaan dengan tidak baik, maka atas gugatan dari si pemberi tugas hakim dapat memutuskan perjanjian tersebut sebagian atau seluruhnya beserta segala akibatnya. Yang dimaksudkan dengan pemutusan perjanjian disini adalah pemutusan untuk waktu yang akan datang dalam arti bahwa mengenai 63 F.X. Djumialdji, Hukum Bangunan, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal 17 pekerjaan yang telah diselesaikan/dikerjakan akan tetap dibayar, namun atas

  64 pekerjaan yang belum dikerjakan itu yang diputuskan.

  Dengan adanya pemutusan perjanjian demikian perikatan bukan berhenti sama sekali seperti seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan sama sekali, dan wajib dipulihkan ke keadaan semula melainkan dalam keadaan tersebut diatas si pemberi tugas dapat menyuruh orang lain untuk menyelesaikan pemborongan itu, sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan. Atau jika telah terlanjur dibayar kepada pemborong atas biaya yang harus ditanggung oleh si pemborong sesuai dengan pembayaran yang telah diterima 2.

   Sengketa Jasa Konstruksi Dalam kosa kata inggris terdapat 2 istilah, yakni “conflict” dan “dispute” yang

keduanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua

belah pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata “conflict” sudah

diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosa kata “dispute”

dapat diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa”. Sebuah konflik, yakni sebuah situasi

dimana kedua belah pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan

berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya

memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau

berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah

menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak

yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. 64 Sri Soedewi Masjun Sofwan, Hukum Bangunan, Liberti, Yogyakarta, 1982, hal 82

  Ini berarti sengketa merupakan lanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan

berubah menjadi sengketa bila tidak dapat diselesaikan dengan baik. Konflik dapat

diartikan “pertentangan” diantara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang jika

tidak dislesaikan dengan baik dapat mengganggu hubungan diantara mereka. Sepanjang

para pihak tersebut dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik, maka sengketa tidak

akan terjadi. Namun, bila terjadi sebaliknya, para pihak tidak dapat mencapai kata

sepakat mengenai solusi pemecahan masalahnya, maka sengketalah yang akan timbul.

  Dalam suatu hubungan hukum atau perikatan selalu dimungkinkan terjadi

perselisihan di antara para pihak yang pada akhirnya menimbulkan sengketa. Sengketa

dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa dapat

berupa masalah perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan

  65 lain-lain.

  Sengketa dapat terjadi setiap saat disebabkan oleh keadaan yang sekilas tampak

tidak berarti dan kecil sehingga terabaikan atau tanpa diperhitungkan sebelumnya.

  

Sengketa secara umum dapat berkenaan dengan hak-hak, status, gaya hidup, reputasi,

  66 atau aspek lain dalam kegiatan perdagangan atau tingkah laku pribadi antara lain : 1.

  Kenyataan yang mungkin timbul akibat kredibilitas para pihak itu sendiri, atau dari data yang diberikan oleh pihak ketiga termasuk penjelasan-penjelasan tentang kenyataan-kenyataan data tersebut; 65 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 1. 66 Prof. H. Priatna Abdulrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu

  Pengantar, PT. Fikhahati Aneka, Jakarta, 2002, hal. iii

  2. Masalah hukum yang pada umumnya akibat dari pendapat atau tafsiran penyelesaian sengketa yang diberikan oleh para ahli hukum yang terkait;

  3. Akibat perbedaan teknis termasuk perbedaan pendapat dari para ahli teknik dan profesionalisme dari para pihak;

  4. Perbedaan pemahaman tentang sesuatu hal yang muncul, misalnya dalam penggunaan kata-kata yang membingungkan atau adanya perbedaan asumsi; dan

5. Perbedaan persepsi mengenai keadilan, konsep keadilan dan moralitas, budaya, nilai- nilai dan sikap.

  Sengketa Jasa Konstruksi terjadi disebabkan karena adanya klaim konstruksi yang tidak terselesaikan secara sempurna. Menurut Blacks Law Dictionary :

  “ Claim to demand as one’s own or as one’s right; to assert, to urge; to insist, cause of action. Means by or through which claimant possession or enjoyment of 67 privilege or thing. Femand for money or property, e.g. insurance claim ” .

  Menurut kamus besar bahasa Indonesia, WJS Purwadarminta klaim adalah tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (untuk memiliki atau mempunyai) atas sesuatu, “ pemerintah Indonesia akan mengajukan klaim ganti rugi

  68 kepada pemilik kapal asing itu “.

  Bahwa dari dua definisi pengertian tersebut di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa klaim adalah suatu tuntutan ataupun permohonan atas suatu keadaan dan apabila dihubungkan dengan pengertian dalam dunia jasa konstruksi maka dapat diartikan secara sederhana bahwa klaim konstruksi adalah 67 th Henry Campbel Black, Black’s Law Dictionary 5 ed , st. Paul MN, West publishing Co.

  1979, hal. 224 68 W.J.S. Poewodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, 1976, hal. 506

  “permohonan atau tuntutan yang timbul dari atau sehubungan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau antara penyedia jasa utama dengan sub-penyedia jasa atau pemasok bahan atau antara pihak luar dengan pengguna jasa / penyedia jasa yang bisaanya mengenai permintaan tambahan waktu, biaya atau kompensasi lain “

  Menurut pendapat Prof. H. Priatna Abdulrasyid, ada beberapa sebab terjadinya klaim

  69

  : a. Informasi desain yang tidak tepat ( delayed design information ) b. Informasi design yang tidak sempurna ( Inadequate design information ) c. Investigasi lokasi yang tidak sempurna ( Inadequate site insvetigation ) d. Reaksi klain yang lambat ( Slow client response ) e. Komunikasi yang buruk ( Poor Communication ) f. Sasaran waktu yang tidak realistis ( Unrealistic time targets ) g.

  Administrasi kontrak yang tidak sempurna ( Inadequate contract

  administration ) h.

  Kejadian ekstern yang tidak terkendali ( Uncontrollabe external events ) i. Informasi tender yang tidak lengkap ( incomplete tender information ) j.

  Alokasi resiko yang tidak jelas ( Unclear risk allocation ) k.

  Keterlambatan – ingkar membayar ( Lateness-non payment ) Dari uraian diatas jelas terlihat bahwa klaim dapat terjadi karena sebab- sebab yang datangnya baik dari pengguna jasa maupun dari penyedia jasa atau sebab-sebab lain. Sebab-sebab inilah yang menjadi dasar filosofi atau pandangan bahwa klaim sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar terjadi dalam dunia jasa konstruksi sehingga klaim haruslah dipandang sebagai sesuatu yang biasa terjadi dengan demikian kita dapat mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. 69 Prof. H. Priatna Abdulrasyid, Op. Cit, hal. 214

  Untuk mempersiapkan sebuah klaim tentunya pengguna maupun penyedia jasa harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik dan benar terutama mengenai data dan keadaan yang mendasari terjadinya sebuah klaim sehinggga klaim tersebut dapat tertangani dengan baik dan benar serta tidak menimbulkan suatu kerugian bagi para pihak baik bagi yang mengajukan maupun yang menerima klaim dan akan menjadi sebuah persoalan berbeda apabila klaim tersebut tidak tertangani dengan baik karena klaim yang tidak tertangani dengan baik jelas akan menimbulkan sebuah akibat hukum berupa sengketa atau perselisihan.

  Apabila klaim yang diajukan baik oleh pengguna jasa maupun penyedia jasa disetujui maka timbullah perintah kerja baru apabila menyangkut perubahan pekerjaaan dan apabila klaim tersebut tidak tertangani dengan baik maka akan menjadi sebuah sengketa atau perselisihan yang harus diselesaikan melalui jalur hukum yang telah dipilih oleh para pihak dalam kontrak baik melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase, maupun melaui Pengadilan.

  Sengketa Jasa Konstruksi terdiri dari 3 (tiga) jenis : a. Sengketa precontractual yaitu sengketa yang terjadi sebelum adanya kesepakatan kontraktual, dan dalam tahap proses tawar menawar.

  b.

  Sengketa contractual yaitu sengketa yang terjadi pada saat berlangsungnya pekerjaan pelaksanaan konstruksi.

  c.

  Sengketa pascacontractual yaitu sengketa yang terjadi setelah bangunan beroperasi atau dimanfaatkan selama 10 (sepuluh) tahun.

  Sengketa Perjanjian Pemborongan Pembangunan Perumahan Uni Arengka

Garden antara PT. Supra Uniland Utama dengan CV. Nuansa Citra Engineering terjadi

pada saat pekerjaan pelaksanaan sedang berlangsung. Artinya tahapan kontraktual sudah

selesai, disepakati, ditandatangani, dan dilaksanakan di lapangan. Sengketa terjadi

manakala apa yang tertera dalam kontrak tidak sesuai dengan apa yang dilaksanakan di

lapangan. Dalam istilah umum sering orang mengatakan bahwa pelaksanaan proyek di

lapangan tidak sesuai dengan bestek, baik bestek tertulis (kontrak kerja) dan atau bestek

gambar (lampiran-lampiran kontrak), ditambah perintah-perintah direksi/pengawas

proyek (manakala bestek tertulis dan bestek gambar masih ada yang belum lengkap).

  C.

  

Perjanjian Kerja Borongan Pembangunan Perumahan Uni Arengka Garden

antara PT. Supra Uniland Utama dengan CV Nuansa Citra Engineering.

  Perjanjian kerja borongan pembangunan perumahan Uni Arengka Garden antara PT. Supra Uniland Utama dengan CV Nuansa Citra Engineering yaitu Perjanjian Pekerjaan pembangunan 16 (enam belas) unit rumah di perumahan Uni Arengka Garden. Hal ini berarti PT. Supra Uniland Utama berkehendak membangun kontruksi 16 (enam belas) unit rumah dengan menggunakan jasa CV. Nuansa Citra Engineering.

  Layaknya perjanjian atau kontrak pada umumnya, perjanjian pekerjaan pembangunan perumahan Uni Arengka Garden antara PT. Supra Uniland Utama dengan CV. Nuansa Citra Engineering terdiri dari tiga fase yaitu fase pra kontrak,

  70 fase kontrak dan fase pasca kontrak. 70 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal. 36 Dalam fase pra kontrak dikarenakan perjanjian pekerjaan pembangunan perumahan antara PT. Supra Uniland Utama dengan CV. Nuansa Citra Engineering merupakan proyek yang nilainya lebih dari lima puluh juta Rupiah maka sesuai dengan aturan yang berlaku di PT. Supra Uniland Utama wajib di adakan pelelangan/tender yang diikuti oleh seluruh perusahaan rekanan PT. Supra Uniland Utama. Oleh karena sumber pembiayaan pekerjaan berasal dari pihak swasta, maka proses pelelangan tidak harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah. Karena Keputusan Presiden Republik Indonesia tersebut ruang lingkupnya hanya berlaku pada pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.

  Kemudian setelah tahapan pelelangan/tender selesai maka pada tanggal 23 Januari 2006 ditandatanganilah kontrak pelaksanaan perjanjian pekerjaan pembangunan perumahan Uni Arengka Garden antara PT. Supra Uniland Utama dengan CV. Nuansa Citra Engineering yang mana draft perencanaan dari kontrak ini baku dan sepenuhnya disiapkan oleh pihak pertama, pihak kedua tidak diberi hak untuk menambahkan atau mengurangi pasal-pasal yang ada, namun apabila pihak kedua tidak menandatangani kontrak maka pihak kedua dianggap tidak sungguh- sungguh melakukan penawaran pada lelang dan tentunya pihak kedua akan mendapat sanksi berupa tidak boleh mengikuti lelang/tender pekerjaan pengadaan barang dan bangunan yang diadakan oleh PT. Supra Uniland Utama. Dalam perjanjian pemborongan antara PT. Supra Uniland Utama dengan CV. Nuansa Citra Engineering tidak terlihat adanya asas kebebasan berkontrak antara para pihak dikarenakan draft kontrak yang baku dan sepenuhnya disiapkan oleh PT. Supra Uniland Utama.

  Asas kebebasan berkontrak ini dalam pelaksanaannya dibatasi oleh tiga hal seperti yang tercantum dalam Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu perjanjian itu tidak dilarang oleh Undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

  Selain dibatasi oleh Pasal 1337 KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak juga dibatasi oleh :

  1. Adanya standarisasi dalam perjanjian. Hal ini disebabkan adanya perkembangan ekonomi yang menghendaki segala secara cepat. Di sini biasanya salah satu pihak berkedudukan membuat perjanjian baku (standard), baik dalam bentuk dan isinya. Di dalam perjanjian standard itu terdapat pula

  klausula eksenorasi , yaitu yang mensyaratkan salah satu pihak harus

  melakukan atau tidak melakukan atau mengurangi atau mengalihkan kewajiban atau tanggung jawabnya. Apabila klausula eksenorasi yang dibuat oleh pihak lawan, maka pihak lain ini dianggap menyetujui klausula tersebut meskipun klausula tersebut menjadi beban baginya.

2. Tidak bertentangan dengan moral, adab kebiasaan dan ketertiban umum.

  Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan, pembatasan-pembatasan tersebut adalah akibat dari adanya: a.

  Perkembangan masyarakat, khususnya di bidang sosial ekonomi, yaitu misalnya adanya penggabungan-penggabungan atau sentralisasi-sentralisasi daripada perseroan atau perusahaan-perusahaan. Jadi dengan adanya pemusatan atau penggabungan atau sentralisasi ini, mengakibatkan kebebasan berkontrak perseroan dibatasi.

  b.

  Adanya campur tangan pemerintah atau penguasa untuk melindungi kepentingan umum dan si ekonomi lemah dari cengkeraman pihak ekonomi kuat.

  c.

  Adanya strooming atau aliran dari masyarakat yang menuju kearah “keadilan sosial” sehingga ada usaha-usaha untuk memberantas ketidakadilan yang terjadi dalam perjanjian-perjanjian yang tidak memenuhi rasa keadilan serta hak-hak asasi manusia .

71 PT. Supra Uniland Utama diwakili oleh Kepala Cabang Pekanbaru dan Pihak

  CV. Nuansa Citra Engineering sebagai pihak kedua diwakili Direktur CV. Nuansa Citra Engineering. Selanjutnya setelah ditandatanganinya kontrak maka fase berikutnya adalah fase kontrak.

  Kemudian setelah dilakukannya penandatanganan kontrak maka pihak pemberi kerja dalam hal ini PT. Supra Uniland Utama menerbitkan Surat Perintah Kerja kepada CV. Nuansa Citra Engineering yang berisi agar pekerjaan segera dimulai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian, bahwa pekerjaan harus sudah dimulai selambat-lambatnya 7 hari kalender kerja setelah surat perintah kerja diterima.

  Setelah mendapatkan Surat Perintah Kerja maka CV. Nuansa Citra Engineering pada keesokan harinya langsung melakukan pekerjaannya, meskipun dikemudian hari CV. Nuansa Citra Engineering melakukan wanprestasi dengan tidak 71 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dikutip dari Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum

  

Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989, hal. 53-54. dapat menyerahkan pekerjaan pada tanggal yang telah ditentukan dalam Surat Perintah Kerja.

  Dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pembangunan perumahan Uni Arengka Garden ini pihak CV. Nuansa Citra Engineering tidak memberikan jaminan pelaksanaan pekerjaan kepada PT. Supra Uniland Utama.

  Hak dan Kewajiban Para Pihak

  Seperti dalam kontrak pada umumnya akan menimbulkan hak di salah satu pihak dan akan menimbulkan kewajiban di pihak lain atau begitu pila sebaliknya.

  Begitu pula pada perjanjian pemborongan pembangunan perumahan Uni Arengka Garden dengan CV. Nuansa Citra Engineering juga menimbulkan hak dan kewajiban pada pihak pertama yakni PT. Supra Uniland Utama dan juga hak dan kewajiban pada pihak kedua yakni CV. Nuansa Citra Engineering. Ada pun hak dan kewajiban para pihak adalah sebagai berikut :

  72

a. Hak Pihak Pertama 1.

  Melakukan pemeriksaan ulang terhadap hasil pekerjaan yang dilakukan pihak kedua.

  2. Menegur pihak kedua apabila melakukan kesalahan dan juga berhak menghentikan pekerjaan apabila pihak kedua tidak mengindahkan teguran 72 pihak pertama.

  Perjanjian Kerja Nomor 03/SUU-PB/PROJECT-NCE/I/2006

  3. Jika pihak kedua gagal melakukan pekerjaan maka pihak pertama berhak melaksanakan pekerjaan itu dengan tenaga kerjanya sendiri atau dengan pihak lain.

  73

b. Kewajiban Pihak Pertama 1.

  Berkewajiban menunjuk pengawas yang bertindak untuk dan atas nama pihak pertama.

2. Berkewajiban mengeluarkan berita serah terima akhir apabila pihak kedua telah memenuhi segala kewajibannya.

  3. Melaksanakan pembayaran atas hasil Pekerjaan Pihak Kedua yang sesuai dengan

  ketentuan perjanjian pemborongan;

  74

  c. Hak Pihak Kedua 1.

  Berhak atas pembayaran harga sesuai yang telah diperjanjikan di dalam perjanjian.

  75

  d. Kewajiban Pihak Kedua

  Dalam Pasal 7 ayat (2) tentang kewajiban kontraktor perjanjian pekerjaan pembangunan perumahan Uni Arengka Garden antara PT. Supra Uniland Utama dengan CV. Nuansa Citra Engineering ditentukan bahwa pihak kedua harus membuat, menyelesaikan dan memelihara pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam dokumen kontrak dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian. 73 74 Ibid 75 Ibid Ibid

  Pihak kedua juga harus menyediakan semua tenaga kerja termasuk tenaga pengawas pelaksana, bahan, peralatan dan lain-lain keperluan yang diperlukan, apakah itu tetap atau sementara yang diperlukan bagi pelaksana pekerjaan. Lebih terperinci : 2.

  Pihak Kedua dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk: a.

  Mengikuti prosedur tata tertib dan pedoman kerja dari Pihak Pertama; b.

  Menyediakan tenaga kerja yang trampil dan berpengalaman untuk melaksanakan Pekerjaan yang disebutkan pada Pasal 1 di atas, termasuk staf pengawas/pelaksana lapangan, penjaga malam dan tenaga kerja lainnya yang sesuai dengan kebutuhan Pihak Kedua; b.

  Atas permintaan secara tertulis dari Pihak Pertama, mengganti tenaga kerja Pihak Kedua dalam hal tenaga kerja tersebut tidak mematuhi tata tertib Pihak Pertama, indisipliner, berbuat tindak pidana, keributan, tidak trampil bekerja, ataupun alasan lain dari Pihak Pertama; c.

  Menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk melaksanakan Pekerjaan; d.

  Menyediakan peralatan dan perlengkapan kerja yang berada dalam kondisi baik dan siap pakai untuk melaksanakan Pekerjaan; e.

  Memberikan upah, uang makan dan pemondokan bagi tenaga kerja Pihak Kedua; f. Memberikan segala hak dari tenaga kerja Pihak Kedua, terutama mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan

  Kematian dan asuransi tenaga kerja lain dan tunjangan-tunjangan seperti namun tidak terbatas pada tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya, dan tunjangan lainnya yang diwajibkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; g.

  

Menyelesaikan masalah perburuhan yang timbul dari dan dengan tenaga kerja

Pihak Kedua berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian ini dan membebaskan

Pihak Pertama dari gugatan dalam bentuk apapun dari tenaga kerja Pihak Kedua;

h.

Menjamin Pihak Pertama bahwa segala bahan-bahan, material, peralatan dan

perlengkapan kerja Pihak Kedua adalah milik sah dan/atau diperoleh secara sah

oleh Pihak Kedua, dan membebaskan Pihak Pertama dari gugatan dalam bentuk

dan nama apapun dari pihak lain sehubungan dengan masalah

pengadaan/pembelian bahan material, peralatan dan perlengkapan kerja yang

dilakukan oleh Pihak Kedua dalam melaksanakan Pekerjaan; i.

  

Mengasuransikan dan menjaga keamanan segala peralatan dan perlengkapan

kerja miliknya dari segala akibat yang mungkin dapat menimbulkan kerugian dan

Pihak Kedua membebaskan Pihak Pertama dari gugatan dalam bentuk apapun

dari Pihak Ketiga ataupun dari pihak lainnya atas segala bentuk kerugian yang

diderita oleh Pihak Kedua akibat kelalaian Pihak Kedua mengasuransikan dan

menjaga keamanan tersebut di atas; j.

  

Menjamin keamanan dan/atau mengasuransikan Pekerjaan yang telah selesai

ataupun dalam tahap pembangunan dan belum dilaksanakan Serah Terima Tahap

Kedua sebagaimana tersebut pada Pasal 6 ayat (3) dengan baik ke Pihak Pertama; k. Melakukan pembersihan lapangan, perataan dan pemadatan tanah; l.

Merahasiakan segala sesuatu yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia

perusahaan Pihak Pertama, dan tidak memberitahukan mengungkapkan atau

membeberkan kepada pihak lain, segala hal yang berkaitan dengan hubungan kerja antara kedua belah pihak, serta tidak memperbanyak, menggandakan, meniru, baik untuk tujuan pemakaian sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Pertama, segala sistem, data, informasi, gambar-gambar dan mengetahui bagaimana yang telah atau sedang diterapkan/dipergunakan oleh Pihak Pertama dalam melaksanakan rangkaian kegiatan-kegiatan usaha yang diketahui atau akan diketahui oleh Pihak Kedua; Menyimpan dengan baik seluruh Gambar-gambar, Bill of Quantity, Spesifikasi m. teknis dan data-data lainnya yang diberikan oleh Pihak Pertama dan harus mengembalikan setelah Pekerjaan ini selesai dilaksanakan;

e. Jangka Waktu Pelaksanaan

  Pada perjanjian pemborongan pekerjaan pembangunan perumahan Uni Arengka Garden jangka waktu pelaksanaan pekerjaan sampai dengan selesai 100% ditetapkan selama : 300 (tiga ratus sepuluh) hari kalender, terhitung sejak tanggal 26 Januari 2006 sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1).

D. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Perjanjian

  

Pemborongan Pembangunan Perumahan Antara PT. Supra Uniland Utama

Dengan CV. Nuansa Citra Engineering.

  Didalam pelaksanaan pekerjaan pemborongan, khususnya pemborongan bangunan pada proyek pemerintah maupun swasta. Walaupun di dalam perjanjian pemborongan tersebut diatur mengenai sanksi atau denda yang akan dikenakan apabila terjadi pelanggaran perjanjian, akan tetapi hal tersebut tidak menjamin bahwa dalam tahap pelaksaannya tidak terjadi pelanggaran atau wanprestasi, baik itu berasal dari kesalahan pemborong sendiri ataupun berasal dari faktor diluar pemborong.

  Mitropoulos dan Howell menjelaskan bahwa pada dasarnya terdapat tiga akar permasalahan penyebab persengketaan dalam penyelenggaraan proyek konstruksi yaitu : 1.

  Adanya faktor ketidakpastian dalam setiap proyek konstruksi.

  2. Masalah yang berhubungan dengan kontrak konstruksi.

  3. Perilaku oportunis dari para pihak yang terlibat dalam suatu proyek

  76 konstruksi.

  Kondisi ideal bagi pelaksana konstruksi adalah apabila seluruh komponen kontrak konstruksi dengan pengguna jasa terinci secara jelas yang tercakup dalam surat perjanjian, syarat umum kontrak, syarat khusus kontrak, spesifikasi teknis, gambar rencana, dan daftar kuantitas (bila ada). Pelaksana konstruksi biasanya berasumsi bahwa seluruh informasi yang ada dalam kontrak sesuai dengan kondisi aktual, namun kondisi proyek yang diketahui selama masa pelaksanaan sering kali tidak sesuai dengan asumsi tersebut. Perbedaan kondisi ini dapat meningkatkan biaya pelaksanaan proyek, termasuk pembayaran kepada pelaksana konstruksi, tergantung kesepakatan yang telah diatur dalam kontrak. Perbedaan kondisi yang sering dijumpai adalah pada aspek kondisi bawah tanah. 76 Mitropoulos, P. and Howell, G. (2001). “Model for Project Disputes,” American Society of

  

Civil Engineers (ASCE), Journal of Construction Engineering and Management, Vol. 127, No. 3,

2001, hal 223-231.

  Aspek waktu penyelesaian pekerjaan merupakan bagian penting pada suatu kontrak konstruksi, karena pengguna jasa biasanya membutuhkan bangunan konstruksi untuk keperluan tertentu pada waktu yang sudah ditentukan sebelumnya. Banyak hal yang dapat mempengaruhi penyelesaian pekerjaan tetap waktu, misalnya

  

faktor cuaca. Keterlambatan dalam penyelesaian pekerjaan konstruksi yang disebabkan

oleh kesalahan pelaksana konstruksi umumnya dapat berakibat pengenaan denda oleh

pengguna jasa sesuai dengan lamanya keterlambatan dengan batas maksimal denda

tertentu.

  Hal lain yang seringkali menjadi penyebab sengketa adalah terjadinya kesalahan/perubahan terhadap rencana/rancangan (design) awal proyek dalam masa pelaksanaan konstruksi. Sesuai dengan karakteristik proyek konstruksi, kesalahan atau perubahan terhadap design awal terkadang tidak dapat dihindarkan walaupun proses perencanaan dan perancangan telah dilakukan secara matang. Di samping perubahan terhadap rancangan awal yang memang perlu dilakukan, pihak pengguna jasa terkadang memutuskan untuk melakukan perubahan pula sesuai dengan kebutuhan yang baru terpikirkan kemudian.

  Berbagai faktor potensial penyebab perselisihan dalam penyelenggaraan proyek konstruksi pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga aspek yaitu aspek teknis/mutu, aspek waktu, dan aspek biaya seperti dijelaskan dalam tabel dibawah ini. Faktor-faktor penyebab tersebut saling terkait, timbulnya satu faktor dapat menyebabkan timbulnya faktor lainnya :

  No. Kategori Faktor Penyebab

1. Aspek Teknis/mutu  Faktor perubahan lingkup pekerjaan.

   Faktor perbedaan kondisi lapangan  Faktor kekurangan material yang sesuai dengan spesifikasi teknis  Faktor keterbatasan peralatan  Faktor kurang jelas atau kurang lengkapnya gambar rencana dan/atau spesifikasi teknis.

  2. Aspek Waktu  Faktor penundaan waktu pelaksanaan pekerjaan.

   Faktor percepatan waktu penyelesaian pekerjaan.  Faktor keterlambatan waktu penyelesaian pekerjaan

  3. Aspek Biaya  Faktor penambahan biaya pengadaan sumber daya proyek.

   Faktor penambahan biaya atas hilangnya produktivitas.  Faktor penambahan biaya atas biaya overhead dan keuntungan.

  Dalam pelaksanaan pembangunan perumahan ini pihak pemberi tugas dalam hal ini PT. Supra Uniland Utama telah membentuk suatu tim pengawas tersendiri untuk mewakili kepentingannya dalam hal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian.

  Faktor-faktor yang menyebabkan pelaksanaan perjanjian pemborongan antara PT. Supra Uniland Utama dengan CV. Nuansa Citra Engineering tidak berjalan dengan baik dan menimbulkan keterlambatan dari CV. Nuansa Citra Engineering :

  1. Adanya Kenaikan Harga Bangunan.

  2. Kurangnya Tenaga Kerja.

  3. Adanya selisih penghitungan progress pekerjaan antara PT. Supra Uniland Utama dengan CV. Nuansa Citra Engineering.

  Banyaknya

  4. penambahan atau perubahan rancangan bangunan (variation

  sepanjang masa pelaksanaan konstruksi baik yang bersifat kecil maupun order) besar, dengan tidak mencatat, melaporkan atau mengantisipasi terhadap pengaruh perubahan waktu dan biaya.

  5. Adanya force majeure berupa curah hujan yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan kondisi tanah yang lembek.

  Dalam hal kenaikan harga bangunan, pada pasal 3 (4) jelas disebutkan bahwa harga yang tertera di dalam Perjanjian bersifat final dan tidak akan berubah oleh sebab apapun juga, baik karena kondisi perekonomian global maupun karena kebijaksanaan pemerintah di bidang perekonomian dalam negeri, oleh karena itu kenaikan bahan-bahan bangunan ditanggung sepenuhnya oleh pihak kedua (pemborong) dikarenakan bahan baku akan disediakan oleh CV. Nuansa Citra Engineering sehingga seharusnya CV. Nuansa Citra Engineering telah memperkirakan untuk menghitung kenaikan harga bahan baku pada saat tahap Pra kontrak.

  Mengenai kurangnya tenaga kerja, pihak CV. Nuansa Citra Engineering beralasan banyak tenaga kerja mereka yang dipekerjakan dalam proyek pembangunan perumahan Uni Arengka Garden berhenti dari proyek tersebut setelah mendapat libur lebaran Idul Fitri, hal ini memang diluar dugaan pihak CV. Nuansa Citra Engineering. Sehingga dalam melanjutkan pekerjaan, pihak CV. Nuansa Citra Engineering sementara memakai tenaga kerja yang masih ada, hal ini berpengaruh kepada lambatnya waktu penyelesaian pekerjaan pembangunan perumahan Uni Arengka Garden. Pihak PT. Supra Uniland Utama menganggap hal ini bukan merupakan peristiwa yang dianggap force majeure karena tidak terjadi pemogokan pekerja secara menyeluruh, hanya sebagian kecil saja yang berhenti dari proyek tersebut dan pihak CV. Nuansa Citra Engineering wajib mengganti pekerja yang telah berhenti.

  Mengenai adanya penambahan atau perubahan rancangan bangunan (variation

  

order) dalam pelaksanaan konstruksi yang tidak tercatat dan dilaporkan yang

  berdampak kepada jangka waktu dan biaya, pihak PT. Supra Uniland Utama menganggap hal tersebut merupakan kelalaian CV. Nuansa Citra Engineering dan pihak PT. Supra Uniland Utama tidak bertanggung jawab terhadap hal tersebut. PT. Supra Uniland Utama mengacu kepada pasal 12 ayat (2) Perjanjian Kerja.

  Sedangkan adanya keadaan yang diluar kehendaknya (force majeure) yaitu curah hujan yang cukup tinggi sehingga menyebabkan tana menjadi lembek dibeberapa titik yang telah dikerjakan, dalam hal ini sebaiknya dikembalikan pada ketentuan BW Buku III tentang perikatan pasal 1244 dan 1245 yang berbunyi : Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikat buruk kepadanya.(1244) Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.(1245)

  Serta pasal 11 (1) dalam perjanjian ini yang menyebutkan tentang keadaan memaksa (force majeure) diantaranya yaitu, Bencana Alam meliputi : Gempa Bumi, Tanah longsor dan Banjir. Maka dari itu seharusnya PT. Supra Uniland Utama bisa memaklumi dan menerima kenyataan keterlambatan ini dikarenakan tanah yang telah dan sedang dikerjakan menjadi lembek dikarenakan curah hujan yang cukup tinggi, yang diluar kekuasaan pihak kedua. Dalam hal ini seharusnya diadakan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan, namun pengaturan penambahan waktu pekerjaan tidak diatur di dalam Perjanjian Kerja.

  Karena telah terjadi keterlambatan dalam hal penyelesaian pekerjaan sesuai yang telah ditentukan dalam batas waktu pelaksanaan CV. Nuansa Citra Engineering telah meminta kepada PT. Supra Uniland Utama untuk meminta perpanjangan waktu, permohonan tersebut dikabulkan PT. Supra Uniland Utama, akan tetapi hingga batas waktu yang telah ditetapkan para pihak, CV. Nuansa Citra Engineering tidak dapat menyelesaikan pekerjaan. Akhirnya CV Nuansa Citra Engineering memutuskan untuk menghentikan pekerjaan karena karena ketidakanggupan dari segi finansial.

  PT. Supra Uniland Utama menganggap keterlambatan penyerahan pekerjaan dan penghentian pekerjaan oleh CV. Nuansa Citra Engineering sebagai wanprestasi dan mekanisme penyelesaiaannya dikembalikan pada perjanjian.

  Selanjutnya CV. Nuansa Citra Engineering juga melakukan klaim mengenai penambahan atau perubahan rancangan bangunan (variation order) selama pelaksanaan pekerjaan pembangunan perumahan Uni Arengka Garden, namun tidak ditanggapi oleh PT. Supra Uniland Utama karena tidak tercatat di dalam Bill Quantity yang di pegang oleh PT. Supra Uniland Utama. PT. Supra Uniland Utama hanya akan membayar biaya penambahan atau perubahan rancangan bangunan (variation order) yang tercatat didalam surat spesifikasi pekerjaan (Bill of Quantity).

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Dagang Internasional

1 89 129

ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA KEAGENAN ANTARA PT. CITRA VAN TITIPAN KILAT PUSAT JAKARTA DENGAN CV. TITIPAN KILAT JEMBER

0 3 95

ASPEK HUKUM PERJANJIAN PEMBORONGAN PENGADAAN KERETA API ANTARA PT. INKA DENGAN PT. KA (PERSERO) DI MADIUN

0 2 133

BAB II PENGATURAN - Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam Penyelesaian Sengketa Antar Negara Anggota ASEAN.

0 0 21

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM A. Pengertian kontrak - Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Proyek Pembangunan Jalan (Studi Pada Dinas TaTa Ruang dan Pemukiman Kabupaten Toba Samosir Dengan CV. Ventus)

0 1 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan 1. Pengertian Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan(Studi Pada Panti Sosial Pamardi Putra In

0 0 37

BAB II TERJADINYA PERJANJIAN PENGGUNAAN ROOFTOP ANTARA PERUSAHAAN TELEKOMUNIKASI DENGAN PEMILIK BANGUNAN DI KOTA MEDAN A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya - Perjanjian Penggunaan Rooftop antara Perusahaan Telekomunikasi dengan Pemilik Bangunan di Kota M

0 0 32

BAB II PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pemborongan - Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa Dalam Pelaksanaannya.

0 0 33

BAB II PENGATURAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengaturan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian - Perbandingan Mengenai Peneyelesaian Sengketa dan Perdamaian Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasiona

0 0 31

BAB II LEMBAGA ADAT ACEH SEBAGAI TEMPAT MENYELESAIKAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN A. Pengertian Adat dan Masyarakat Adat - Analisis Yuridis Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan Di Kota Banda Aceh

0 0 49