BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Dampak Sosial dan ekonomi Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Industri Kelapa Sawit Sei Mangkei di Kecamatan Bandar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Teoritis

2.1.1. Pembangunan Ekonomi

2.1.1.1. Defenisi dan Ruang Lingkup Pembangunan Ekonomi

  Perumusan defenisi tentang pembangunan ekonomi adalah suatu hal yang rumit. Sekitar 3 dasawarsa terakhir pembangunan diseluruh dunia dilaksanakan, Seiring dengan itu defenisi pembangunan ekonomi juga mengalami perubahan. defenisi pembangunan ekonomi bermula dari pengertian pembangunan yang berlandaskan pada pemahaman tentang teori ekonomi tradisional yaitu kapasitas perekonomian nasional yang kondisi awalnya berada dalam kondisi statis, untuk jangka waktu lama untuk menghasilkan dan mempertahankan kenaikan produksi nasional kotor (PNK) sekitar 5 – 7 % atau lebih setahun (Todaro - 1995). Oleh karena itu pembangunan ekonomi dipahami sebagai suatu proses multidimensi yang melibatkan proses dalam struktur, sikap, dan faktor kelembagaan percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakadilan dan penghapusan kemiskinan absolute (Todaro - 1995). Teori tersebut menjelaskan bahwa ruang lingkup usaha pembangunan itu tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga meliputi bidang sosial,politik kebudayaan tersebut.

  Defenisi lain Menurut Bruce Herrick/Charles P.Kindleberger bahwa pembangunan ekonomi itu mempelajari sebab sebab serta cara cara penanggulangan kemiskinan massal.

  8 Ilmu ekonomi pembangunan menurut Todaro selain membahas yang berkaitan dengan permasalahan alokasi sumber daya secara efisien dan pertumbuhan yang lestari dari waktu ke waktu, juga menguraikan hal hal yang berkaitan dengan mekanisme mekanisme perekonomian, sosial, dan kelembagaan, baik yang ada di dalam pemerintahan maupun yang ada di sektor swasta. Tujuannya adalah untuk menciptakan upaya perbaikan taraf kehidupan yang lebih luas serta lebih cepat bagi kelompok yang terus tercekam kemiskinan, kelaparan, serta buta huruf yang hidup di kawasan Afrika, Asia maupun Amerika Latin. Dengan demikian, kata Todaro, ilmu ekonomi pembangunan jauh lebih luas dibandingkan dengan ilmu ekonomi tradisional maupun politik ekonomi, karena ilmu ekonomi pembangunan berkaitan dengan proses proses politik serta perekonomian yang dibutuhkan guna mempengaruhi transformasi struktural serta kelembagaan dari seluruh lapisan masyarakat, dengan cara yang akan menghasilkan adanya kemajuan ekonomi secara efisien bagi kebanyakan penduduk.

  Pembangunan ekonomi pada dasarnya meliputi usaha masyarakat keseluruhan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan mempertinggi tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Namun demikian usaha - usaha pembangunan suatu negara meliputi pula usaha pembangunan di bidang sosial, politik, kebudayaan dan sebagainya.

  Dengan demikian, pada umumnya pembangunan ekonomi di defenisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat (bangsa) meningkat dalam jangka panjang (sukirno – 1978). Jadi dalam pengertian dasar ini, pembangunan ekonomi mempunyai 3 unsur penting yaitu pembangunan merupakan : a.

  Suatu proses, yang berarti merupakan suatu perubahan yang terjadi secara terus menerus, b.

  Adanya usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita, dan c. Kenaikan pendapatan perkapita itu harus berlangsung secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang panjang.

2.1.1.2. Aspek Sosial dalam Pembangunan

  Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa usaha pembangunan tidak hanya berpatokan pada aspek ekonomi, melainkan juga aspek nonekonomi seperti aspek sosial, politik, kebudayaan dan aspek lainnya. Hubungan-hubungan yang saling memiliki keterkaitan antara kedua aspek ini dinamakan sistem sosial. Unsur unsur non ekonomi dapat berupa sikap masyarakat dan individu dalam memandang kehidupan (norma budaya), kerja, dan wewenang: struktur administrasi, hukum, dan birokrasi dalam sektor pemerintah, tingkat partisipasi rakyat dalam perumusan keputusan dan kegiatan pembangunan; serta keluwesan atau kekakuan stratifikasi ekonomi dan sosial (Todaro, 2006). Menurut Rachbini (2001) perubahan sosial yang sitemik pun amat diperlukan agar faktor-faktor manusia dan nonmanusia dapat diintegrasikan menuju self sustained growth yang diharapkan. Perubahan sosial juga merupakan usaha bagaimana mengagregasikan seluruh potensi masyarakat yang ada.

  Pada tahun 2000 perserikatan bangsa-bangsa (PBB) merumuskan delapan butir sasaran utama pembangunan yang kemudian dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs), antara lain:

  1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan secara eksterm,

  2. Memberikan pendidikan dasar secara universal,

  3. Mendukung persamaan gender dan pemberdayaan wanita,

  4. Mengurangi tingkat mortalitas anak,

  5. Meningkatkan kesehatan ibu,

  6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lainnya,

  7. Menjaga keseimbangan lingkungan, dan 8. Mengembangkan kerja sama global untuk pembangunan.

  Sasaran yang disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs) tersebut merupakan perbaikan dari sasaran teori pembangunan yang populer pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an. Pada masa ini sasaran pembangunan hanya terfokus pada pencapaian target pertumbuhan yaitu sebesar GNP 6% setahun.

  Untuk mempercepat proses pembangunan di sebuah wilayah seperti halnya pada suatu negara adalah dengan cara menempuh strategi industrialisasi. Industrialisasi dipandang sebagai satu-satunya jalan pintas untuk meretas nasib kemakmuran suatu negara secara lebih cepat. Bahkan paralelisme antara jalannya pembangunan dan strategi industrialisasi dapat dikatakan sebagai pemaknaan pembangunan yang identik dengan industrialisasi sehingga keduanya tidak terpisahkan. (Yustika, 2003).

  Peran aspek nonekonomi dalam pembangunan juga ditegaskan oleh Schultz yang menyatakan bahwa masalah sumber daya manusia menempati posisi sentral dalam setiap perbincangan tentang pertumbuhan ekonomi, di samping tentunya masalah modal, teknologi dan sebagainya (Rachbini, 2001).

  Pembangunan memiliki dimensi yang lebih luas dibandingkan upaya pengejaran pertumbuhan ekonomi semata. Selain sebagai pertumbuhan ekonomi plus perubahan-perubahan sosial, pembangunan bisa juga diartikan sebagai pertumbuhan nilai-nilai etika yang menekankan pada perubahan kualitas dalam seluruh aspek kemasyarakatan, kelompok, dan individu. Lebih jauh lagi Rachbini berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan materi merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan nilai dan peradaban manusia. Demikianlah faktor sosial ekonomi memainkan peran pentingnya dalam pembangunan.

2.1.2. Industri

2.1.2.1. Defenisi dan Ruang lingkup Industri

  Untuk menjadi suatu negara yang maju maka negara tersebut harus mampu melakukan transformasi atau perubahan struktur ekonomi yang tadinya berbasis pertanian menjadi berbasis industri. Secara umum pengertian industri tidak terlepas dari produksi. Oleh karena itu untuk lebih dapat memahami arti daripada industri maka sebelumnya kita perlu memahami arti dari produksi. Menurut Ace Partadireja (1991) yaitu “Produksi adalah segala kegiatan menciptakan atau menambah nilai guna suatu barang atau segala kegiatan yang ditujukan untuk memuaskan orang lain melalui suatu pertukaran.”

  Selanjutnya menurut Toto Hadikusumo (1990) industri di defenisikan sebagai “suatu unit atau kesatuan produk yang terletak pada suatu tempat tertentu yang meletakkan kegiatan untuk mengubah barang barang secara mekanis atau kimia sehingga menjadi barang (Produk baru yang sifatnya lebih dekat dengan konsumen terakhir ). Termasuk disini memasang bahagian dari suatu barang (Ansembling)”.

  Berdasarkan defenisi di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa secara umum industri itu dapat disimpulkan sebagai keseluruhan unit unit pengolahan yang mengubah bahan – bahan mentah yang belum siap pakai menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.

  Ketika suatu negara telah mencapai tahapan dimana sektor industri sebagai

  leading sector maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut telah telah mengalami

  industrialisasi (yustika,2000). Oleh sebab itu proses industrialisasi dapat didefenisikan sebagai proses perubahan struktur ekonomi dimana terdapat kenaikan kontribusi sektor industri dalam permintaan konsumen, PDB, ekspor dan kesempatan kerja (chenery,1986).

  Industri didefenisikan juga sebagai kegiatan ekonomi yang berperan mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan barang jadi menjadi barang yang lebih tinggi nilai penggunaanya,termasuk kegiatan rancang bangun dan rekayasa industri.

  Definisi Industri menurut Sukirno adalah perusahaan yang menjalankan

  kegiatan ekonomi yang tergolong dalam 14sector sekunder. Kegiatan itu antara lain adalah pabrik tekstil, pabrik perakitan dan pabrik pembuatan rokok.

  Menurut UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.

  Selanjutnya Menurut G.T. Rennes, industri adalah aktifitas ekonomi manusia yang dilaksanakan secara terorganisasi dan sistematis.

  Kementerian Perindustrian dan Perdagangan (Kemenperindag) mengklasifikasikan industri b erdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian

  

Nomor 19/M/ I/1986 yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan

Perdagangan, sebagai berikut:

  1. Industri Kimia Dasar (IKD), yaitu industri yang memerlukan modal yang

  besar, keahlian yang tinggi, dan menerapkan teknologi maju. Adapun industri yang termasuk kelompok IKD adalah sebagai berikut:

  a. Industri kimia organik, misalnya: industri bahan peledak dan industri bahan kimia tekstil.

  b. Industri kimia anorganik, misalnya: industri semen, industri asam sulfat, dan industri kaca.

  c. Industri agrokimia, misalnya: industri pupuk kimia dan pestisida

  d. Industri selulosa dan karet, misalnya: industri kertas, industri pulp, dan industri ban.

  2. Industri Mesin Logam Dasar dan Elektronika (IMELDE), yaitu industri yang

  

mengolah bahan mentah logam menjadi mesin-mesin berat atau rekayasa

mesin dan perakitan. Adapun yang termasuk industri ini adalah sebagai berikut:

  a. Industri mesin dan perakitan alat-alat pertanian, misalnya: mesin traktor, mesin hueler, dan mesin pompa.

  b. Industri alat-alat berat/konstruksi, misalnya: mesin pemecah batu, buldozer, excavator, dan motor grader.

  c. Industri mesin perkakas, misalnya: mesin bubut, bor, dan gergaji.

  d. Industri elektronika, misalnya: radio, televisi, dan komputer.

  e. Industri mesin listrik, misalnya: transformator tenaga dan generator.

  f. Industri keretaapi, misalnya: lokomotif dan gerbong. g. Industri kendaraan bermotor (otomotif), misalnya: mobil, motor, dan suku cadang kendaraan bermotor.

  h. Industri pesawat, misalnya: pesawat terbang dan helikopter. i. Industri logam dan produk dasar, misalnya: industri besi baja, industri alumunium, dan industri tembaga. j. Industri perkapalan, misalnya: pembuatan kapal dan reparasi kapal. k. Industri mesin dan peralatan pabrik, misalnya: mesin produksi, peralatan pabrik, the blower, dan kontruksi.

  3. Aneka Industri (AI), yaitu industri yang tujuannya menghasilkan bermacam-

  macam barang kebutuhan hidup sehari-hari. Adapun yang termasuk industri ini adalah sebagai berikut:

  a. Industri tekstil, misalnya: benang, kain, dan pakaian jadi.

  b. Industri alat listrik dan logam, misalnya: kipas angin, lemari es, dan mesin jahit, televisi, dan radio.

  c. Industri kimia, misalnya: sabun, , sampho, tinta, plastik, obat-obatan, dan pipa.

  d. Industri pangan, misalnya: minyak goreng, terigu, gula, teh, kopi, garam dan makanan kemasan.

  e. Industri bahan bangunan dan umum, misalnya: kayu gergajian, kayu lapis dan marmer.

  4. Industri Kecil (IK), yaitu industri yang bergerak dengan jumlah pekerja sedikit,

  

dan teknologi sederhana. Biasanya dinamakan industri rumah tangga, misalnya:

  

industri kerajinan, industri alat-alat rumah tangga, dan perabotan dari tanah

(gerabah).

  5. Industri Pariwisata, yaitu industri yang menghasilkan nilai ekonomis dari

  

kegiatan wisata. Bentuknya bisa berupa: wisata seni dan budaya (misalnya:

pertunjukan seni dan budaya), wisata pendidikan (misalnya: peninggalan, arsitektur, alat-alat observasi alam, dan museum geologi), wisata alam (misalnya: pemandangan alam di pantai, pegunungan, perkebunan, dan kehutanan), dan wisata kota (misalnya: melihat pusat pemerintahan, pusat perbelanjaan, wilayah pertokoan, restoran, hotel, dan tempat hiburan).

2.1.2.2. Teori Lokasi industri

  Teori lokasi menurut Abdurachmat (1997) adalah “suatu teori untuk melihat dan memperhitungkan pola lokasional kegiatan ekonomi termasuk industri dengan cara yang konsisten dan logis, dan untuk melihat serta memperhitungkan bagaimana antar daerah-daerah kegiatan ekonomi tersebut saling berhubungan”.

  Abdurachmat mengemukakan teori tersebut sebagai berikut: 1. Teori susut dan ongkos transport

  Teori ini mengemukakan hubungan-hubungan antara faktor susut dan ongkos transport, dan bermanfaat untuk melihat kecenderungan-kecenderungan lokasi industri, yang artinya untuk mengkaji kemungkinan penempatan industri di tempat yang paling menguntungkan secara ekonomi. Kecenderungan yang mungkin timbul dari beberapa kasus pada teori ini adalah: Pertama, makin besar angka rasio susut dalam pengolahan, maka makin besar kecenderungan menempatkan pabrik di daerah sumber bahan mentah. Kedua, makin besar perbedaan ongkos transport antara bahan mentah dan barang jadi, maka makin besar daya tarik daerah pemasaran sebagai tempat lokasi industri.

2. Teori Weber

  Weber mengemukakan teorinya yaitu Theory of industrial location(teori lokasi industri). Teori ini dimaksudkan untuk menentukan suatu lokasi industri dengan mempertimbangkan resiko biaya atau ongkos yang paling minimum, dengan asumsi sebagai berikut: a.

  Wilayah yang akan dijadikan lokasi industri memiliki topografi, iklim dan penduduknya relatif homogen.

  b.

  Sumber daya atau bahan mentah yang dibutukan cukup memadai.

  c.

  Upah tenaga kerja didasarkan pada ketentuan tertentu seperti upah minimum regional (UMR).

  d.

  Hanya ada satu jenis alat transportasi.

  e.

  Biaya angkut ditentukan berdasarkan beban dan jarakangkut.

  f.

  Terdapat persaingan antar kegiatan industri.

  g.

  Manusia yang ada di daerah tersebut masih berpikir rasional.

  Persyaratan tersebut jika dipenuhi, maka teori lokasi industri dari Alfred Weber dapat digunakan. Weber menggunakan tiga faktor (variabel penentu) dalam analisis teorinya, yaitu titik material, titik konsumsi, dan titik tenaga kerja. Ketiga titik (faktor) tersebut diukur dengan ekuivalensi ongkos transport.

  Berdasarkan asumsi seperti tersebut di atas, maka penggunaan teori Weber seperti pada gambar berikut ini.

  (a) (b) (c)

Gambar 2.1 Segitiga Weber dalam Menentukan Lokasi Industri Sumber: Ilmu Pengetahuan Populer, 2000.

  Keterangan: M = pasar

  R1, R2 = bahan baku P = lokasi biaya terendah.

  Gambar (a) : apabila biaya angkut hanya didasarkan pada jarak.

  (b) : apabila biaya angkut bahan baku lebih mahal dari pada hasil industri.

  (c) : apabila biaya angkut bahan baku lebih murah dari pada hasil industri.

  Berdasarkan gambar segitiga yang dikemukakan oleh Weber, dapat dijelaskan bahwa: Gambar (a) merupakan biaya angkut hanya didasarkan pada jarak, jadi

  • dalam kasus ini penempatan lokasi industri bisa di tempatkan dimana saja karena dalam pengolahan bahan mentahnya tidak mengalami susut yang berarti dan juga tidak mengalami perbedaan ongkos transport antara bahan mentah dan barang jadi yang berarti, sehingga dalam penempatan lokasi industri dapat ditempatkan diantara tempat bahan mentah maupun pasaran.
  • pada hasil industri. Maksud dari pernyataan tersebut adalah industri cenderung ditempatkan didaerah yang terdapat bahan mentah, karena dalam hal ini bahan mentah yang diperoleh sangat terbatas dan mengalami penyusutan dalam pengolahannya, sehingga untuk mengatasi biaya lokasi terendah maka industri akan di tempatkan di daerah yang dekat dengan bahan mentah.

  Gambar (b) dijelaskan bahwa biaya angkut bahan baku lebih mahal dari

  • pasar, karena biaya angkut bahan baku lebih murah dari pada hasil industri, maka industri akan ditempatkan di daerah yang dekat dengan pasar.

  Gambar (c) menjelaskan bahwa lokasi biaya terendah di tempatkan di dekat

3. Pendekatan Perilaku menurut Pred

  Pred menyusun matrik perilaku yang dapat digunakan untuk menganalisis pengambilan keputusan tentang berbagai lokasi. Pada prinsipnya, lokasi industri menurut Pred ditentukan berdasarkan perilaku pengambilan keputusan.Menentukan lokasi industri atas dasar bahan baku, pasar, biaya angkut, tenaga kerja, modal, tekhnologi, peraturan dan lingkungan dapat dilakukan dengan klasifikasi sebagai berikut: a.

  Lokasi industri dekat dengan bahan baku jika: 1) Bahan baku yang digunakan mudah rusak. 2) Pengangkutan barang jadi lebih mudah daripada pengangkutan bahan baku. 3) Bahan baku yang digunakan lebih berat daripada produk yang dihasilkan.

  b.

  Lokasi industri berdasar pasar, jika: 1) Produksi yang dihasilkan lebih berat dibandingkan dengan bahan baku. 2) Bahan baku yang digunakan tidak mudah rusak. 3) Wilayah pasar luas. 4) Produksi yang dihasilkan lebih mudah rusak setelah pengolahan. 5) Faktor prestise (mengutamankan gengsi , misalnya industri periklanan).

  c.

  Lokasi industri berdasarkan biaya angkut, berarti sedapat mungkindidirikan di daerah yang lancar transportasinya baik jumlah hasil produksinya maupun bahan-bahan baku yang diperlukan.

  d.

  Lokasi industri berorientasi pada tenaga kerja Tenaga kerja dalam industri berkaitan dengan dua hal, yaitu:

1. Kuantitas atau jumlah tenaga kerja yang ditampung oleh industri, atau 2.

  Mutu tenaga kerja yang dimiliki industri e. Lokasi industri berdasarkan modal da tekhnologi

  Lokasi industri perlu diperhitungkan, besarnya modal yang dibutuhkan dalam proses produksi, dan perlu memiliki tekhnologi yang menjadikan industri lebih efisien. Dalam tekhnologi yang dipertimbangkan sumber tenaga yang paling tepat digunakan, seperti tenaga hewan, tenaga air, tenaga listrik, tenaga gas, batubara, atau minyak bumi.

  f.

  Lokasi industri berdasarkan peraturan dan lingkungan Berkaitan dengan hal ini, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah no.29 tahun 1986 tentang pelaksanaan analisis dampak lingkungan (AMDAL), atau analisis mengenai dampak lingkungan.

  Menurut Wignjosoebroto (2003) ada beberapa kondisi umum yang akan dihadapi oleh perusahaan dalam proses penentuan lokasi industri, yaitu:

1. Lokasi di kota besar (city location)

  a) Diperlukan tenaga kerja terampil dalam jumlah yang besar

  b) Proses produksi sangat tergantung pada berbagai fasilitas yang umumnya hanya terdapat di kota besar seperti listrik, gas, dan lainnya.

  c) Kontak dengan pemasok dekat dan cepat.

  d) Sarana transportasi dan komunikasi mudah didapatkan.

2. Lokasi di pinggir kota (sub-urban location)

a) Semi-skiled atau female labor mudah diperoleh.

  b) Menghindari pajak yang berat seperti halnya kalau lokasi terletak di kota besar c)

  Tenaga kerja dapat tinggal berdekatan dengan lokasi pabrik

  d) Populasi tidak begitu besar sehingga masalah lingkungan tidak banyak timbul.

3. Lokasi jauh di luar kota (country location)

  a) Lahan yang luas sangat diperlukan baik untuk keadaan sekarang maupun rencana ekspansi yang akan datang.

  b) Pajak terendah lebih dikehendaki.

  c) Tenaga kerja tidak terampil dalam jumlah besar lebih dikehendaki.

  d) Upah buruh lebih rendah mudah didapatkan.

  e) Baik untuk proses manufakturing produk-produk yang berbahaya

2.1.3. Kelapa Sawit

2.1.3.1. Pemanfaatan Kelapa Sawit

Gambar 2.2 pohon industri kelapa sawit Buah sawit mempunyai warna yang bervariasi yaitu hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. buah.menghasilkan minyak, Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya. Buah terdiri dari tiga lapisan yaitu eksoskarp , mesoskarp, dan endoskarp.eksoskarp merupakan bagian kulit buah yang bewarna kemerahan sedangkan mesoskarp adalah serabut buah dan endoskarp adalah merupakan cangkang pelindung inti (kernel)sawit.

  Buah kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak. Minyak yang berasal dari daging buah ( mesokarp ) berwarna merah. Jenis minyak ini dikenal sebagai minyak kelapa sawit kasar atau Crude Palm Oil ( CPO ). Sedangkan minyak yang kedua adalah berasal dari inti kelapa sawit, tidak berwarna, dikenal sebagai minyak inti kelapa sawit atau Palm Kernel Oil ( PKO ).hasil sampingan dari pengolahan inti sawit dapat berupa bungkil yang dapat digunakan sebagai makanan ternak dan pupuk. Lapisan di atas inti kelapa sawit disebut sebagai lapisan endoskarp atau sering disebut cangkang yang dapat digunakan sebagai arang, karbon aktif, partikel board dan asap cair. kedua jenis minyak ini dapat diolah kembali menjadi produk turunan yang lebih memiliki nilai tambah yaitu berupa minyak goreng, margarin, lemak kue, salad oil, oleokimia dan banyak produk turunan lagi. Selain buah, tanda kosong dan batang dalam kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai partickle board dan penghasil energy.

2.1.3.2. Perkembangan Industri Kelapa Sawit

  Menurut departemen perindustrian, kelapa sawit termasuk tumbuhan pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan, serta bercabang banyak. Buahnya kecil dan apabila masak akan tampak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak yang dapat digunakan sebagai bahan minyak goreng dan sabun serta bahan lainnya. Hampasnya juga dapat bermanfaat sebagai makanan ternak, khususnya sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang. Industri minyak kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis, karena berhubungan dengan sektor pertanian yang banyak berkembang di negara‐negara tropis seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand. Hasil industri minyak kelapa sawit bukan hanya minyak goreng saja, tetapi juga bisa digunakan sebagai bahan dasar industri lainnya seperti industri makanan, kosmetik dan industri sabun.

  Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Berkembangnya sub‐sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama kemudahan yang diberikan dalam hal perijinan. Kemudahan perizinan tentunya akan mendorong terjadinya investasi yang dapat berdampak positif bagi perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia. Salah satu wujud dari komitmen pemerintah dalam mengembangkan industri kelapa sawit di Indonesia adalah dirancangnya program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI).

  MP3EI merupakan program pemerintah dalam mengembangkan berbagai potensi dan keunggulan yang dimiliki oleh suatu wilayah sehingga nantinya diharapkan Indonesia dapat menjadi Negara yang berdaya saing tinggi sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia. Industri Kelapa Sawit Sei mangkei merupakan salah satu fokus dari proyek ini, sei mangke difokuskan sebagai pusat perindustrian yang berbasis sumber daya alam yaitu kelapa sawit di klaster Sumatera. Pernyataan ini disampaikan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2012, tentang Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei.

  Prospek perkembangan industri minyak kelapa sawit saat ini sangat pesat, dimana terjadi peningkatan jumlah produksi kelapa sawit seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat. Dengan besarnya produksi yang mampu dihasilkan, tentunya hal ini berdampak positif bagi perekenomian Indonesia, baik dari segi kontribusinya terhadap pendapatan negara, maupun besarnya tenaga kerja yang terserap sehingga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat yang berada di luar maupun di sekitar perkebunan kelapa sawit. Boleh dibilang, industri kelapa sawit ini dapat diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.

2.1.4. Kawasan Ekonomi Khusus

  Menurut UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dalam Pasal 31 telah menyebutkan adanya pengaturan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai bagian dari kegiatan penanaman modal di Indonesia. Menurut Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Adapun fungsi dari KEK adalah untuk melakukan dan mengembangkan usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, mari-tim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata dan bidang lain. Untuk itu, KEK dibagi ke dalam beberapa zona, antara lain zona pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, dan energi dengan produk-produk yang dihasilkan berorientasi ekspor dan untuk dalam negeri.

  KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor dan kegiatan ekonomi lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional.

  Berbagai kegiatan yang berlangsung di KEK diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun peraturan-peraturan tersebut mencakup ketentuan larangan atau pembatasan impor dan ekspor, pengecualian dalam pembatasan impor dan ekspor, lalu lintas barang ke KEK dan dari KEK, peraturan mengenai karantina, dan penggunaan mata uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di KEK. Setiap KEK juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas, baik fasilitas fiskal/nonfiskal maupun fasilitas dalam RUU KEK.

2.1.5. Pengembangan Wilayah

  Pengembangan diartikan sebagai suatu kegiatan menambah, meningkatkan, memperbaiki atau memperluas. Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis.

  Menurut Sandy (1992) pengembangan wilayah adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial wilayah tersebut serta mentaati peraturan perundang - undangan yang berlaku.

  Sedangkan menurut Hadjisaroso (1994) pengembangan wilayah merupakan suatu tindakan mengembangkan wilayah atau membangun daerah atau kawasan dalam rangka usaha memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat, atau memajukan dan memperbaiki serta meningkatkan sesuatu yang sudah ada (Jayadinata,1992).

  Pengembangan wilayah mempunyai dua makna yaitu : wilayah yang objektif dan wilayah yang subjektif (Ananta,1992). Wilayah objektif adalah suatu wilayah yang oleh para perencana dibagi menjadi beberapa wilayah pembangunan, sedangkan wilayah subjektif adalah perwilayahan yang dibentuk atas dugaan suatu cara mengenal masalah. Hal ini dilakukan untuk membuat klasifikasi, yang selanjutnya wilayah subjektif dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

  1. Wilayah homogeny, yaitu wilayah yang mempunyai karakteristik yang sama secara fisik dan sosial ekonomi.

  2. Wilayah fungsional, yaitu yang dibentuk berdasarkan atas adanya hubungan fungsional antara unsure-unsur tertentu yang ada pada wilayah tersebut.

  Dengan demikian pengembangan wilayah dapat diartikan sebagai peningkatan aktivitas terhadap unsur-unsur dalam wilayah yang mencakup institusi, ekonomi, sosial, dan ekologi dalam upaya meningkatkan tingkat dan kualitas hidup masyarakat.

  Perkembangan pokok bahasan tentang pembangunan wilayah adalah merupakan perkembangan baru yang muncul pada dasawarsa 1950-an. Hal ini ditandai oleh kajian yang selama ini kurang memperhatikan aspek spatial. Dalam perkembangannya Misra (1997) mengungkapkan bahwa perencanaan dan pembangunan wilayah ditopang oleh empat pilar yaitu : aspek geografi, aspek ekonomi, teori lokasi dan perencanaan kota. ekonomi Pengembangan Teori lokasi geografi wilayah

  Perencanan kota

Gambar 2.3 : Empat Aspek Pengembangan Wilayah

  Namun demikian empat pilar diatas belum mencakup aspek-aspek lainnya yang juga memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan wilayah seperti biogeofisik sosial dan lingkungan, maka perencanaan dan pembangunan wilayah akan di topang enam pilar (Budiharsono,2005) yaitu :

  Analisis kelembagaan Analisis Analisis biogeofisik ekonomi

  Pengembangan wilayah Analisis geografi sosial Analisis lokasi

Gambar 2.4 : Enam Aspek Pembangunan Wilayah Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai arti peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata membaik, disamping menunjukkan lebih banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan, maupun kualitasnya.

  Pandangan sebagian besar para ahli ilmu regional barat terutama di Eropa lebih menitik beratkan bahwa pembangunan regional mencakup kepada empat aspek utama yaitu : aspek kelembagaan, aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek ekologi.

  Aspek kelembagaan (institusional) Aspek sosial Aspek

  Regional (social) ekonomi development (economy)

  Aspek ekologi (ecology)

Gambar 2.5 : Empat Aspek Pengembangan Wilayah

2.2. Penelitian Terdahulu

  Doriani Lingga (2012) melakukan penelitian dengan judul Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei sebagai Klaster Industri. Dengan melakukan pengamatan pada PTPN III menyimpulkan, KEK Sei Mangkei nantinya akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Kecamatan Bosar Maligas. Hal ini terwujud dalam penyerapan tenaga kerja lokal maupun penyediaan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi bagi masyarakat Kecamatan Bosar Maligas.

  Penelitian yang dilakukan oleh Hastina Febriaty (2007) yang berjudul Pengaruh Sektor Industri terhadap Pembangunan Ekonomi Sumatera Utara menyimpulkan bahwa dengan adanya pembangunan kawasan industri di Sumatera Utara memiliki pengaruh yang positif bagi pembangunan ekonomi, yang salah satunya melalui penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dari hasil regresi yang menunjukkan penyerapan tenaga kerja sektor industri mempunyai pengaruh positif secara signifikan terhadap pebangunan ekonomi /PDRB Sumatera Utara.

  S. Enny Niatta S.L (2010) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Peranan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Pembangunan Wilayah (Studi Kasus PTP Nusantara II Kebun Bandar Klippa). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PTP Nusantara III berkontribusi dalam menambah pendapatan negara, penyediaan lapangan pekerjaan menyebabkan berkurangnya angka pengangguran, sekaligus turut meningkatkan pendapatan masyarakat.

  Kedua penelitian yang dilakukan oleh Niatta dan Hastina Febriaty Lingga memiliki kesamaan yaitu memfokuskan perhatian pada perubahan sosial ekonomi yang terjadi pada masyarakat setempat dengan adanya industri di sekitarnya. Sedangkan Doriani Lingga membahas tidak hanya memperhatikan pada perubahan sosial ekonomi saja melainkan lebih ke potensi kawasan industri tersebut sebagai daerah pusat pertumbuhan. Penelitian ini kurang lebih memiliki cakupan yang sama. Dengan penelitian Doriani Lingga, hanya saja penelitian ini lebih memfokuskan daerahKecamatan Bandar yang jaraknya juga berdekatan dengan PTPN III sebagai objek penelitian.

2.3 Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual penelitian ini digambarkan sebagi berikut:

  ekonomi Industri Perkembangan

dampak Infrastruktur

kelapa sawit ekonomi Sei Mangkei sosial