Kompilasi Hukum Islam Dalam Kaitannya De
Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kaitannya Dengan Fikih Indonesia
Dosen Pengampu : Drs. Oman Fathurrahman
Kelompok 7
M. Abdil Bar
(15370022)
Hukum Tata Negara (Siyasah)
Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2017/2018
1
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. PENGERTIAN
Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengutip A. Hamid S. Attamimi, menjelaskan
bahwa “kompilasi” dalam Black’s Law Dictionary berarti suatu produk berbentuk tulisan
hasil karya orang lain yang disusun secara teratur. 1 Pada dasarnya, istilah “kompilasi” berasal
dari bahasa latin compailare (compilation (Inggris), compilatie (Belanda)) yang diartikan
mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar
dimana-mana.2 Dapat diambil kesimpulan, bahwa kompilasi adalah sebuah buku hukum atau
buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau
aturan hukum.3
Dengan demikian, menurut A. Hamid S. Attamimi, KHI adalah himpunan ketentuan
hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur 4, yang diambil, dicomot, dan
diadaptasi dari berbagai macam pendapat ulama yang tersebar dalam berbagai macam pula
kitab fikih (klasik maupun kontemporer). Atau definisi lain, KHI adalah rangkuman dari
berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fikih
yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan
dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.5
KHI bukanlah peraturan perundang-undangan, bukan hukum tertulis meskipun ia
dituliskan, bukan undang-undang, bukan peraturan pemerintah, bukan keputusan presiden
dan seterusnya. KHI menunjukkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata
dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk
menelusuri norma-norma hukum bersangkutan apabila diperlukanna, baik di dalam maupun
diluar.6
1 A. Hamid S. Attamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Suatu Tinjauan dari
Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia, dalam buku Drs. Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr Bustahnul Arifin, S.H., Cet. 1, ( Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), hlm, 152.
2 A. Rahmat Rosyadi, H.M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia,
(Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 94.
3 Ibid.,
4 A. Hamid S. Attamimi, Op.Cit., hlm. 152.
5 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992), hlm. 12.
6 A. Hamid S. Attamimi, Op.Cit., hlm. 152-153.
2
B. SEJARAH KHI
Sejak lahirnya Peradilan Agama (PA) pada tahun 1882, para hakim PA tidak memiliki
pedoman atau dasar pijakan yang seragam atas putusannya. Sehingga, tidak jarang dalam
kasus yang sama, ternyata terdapat perbedaan dalam pemecahan persoalan. Hal itu terjadi
dikarenankan PA belum memiliki buku pedoman yang seragam bagi para hakimnya dalam
mendasarkan putusannya. Hingga akhirnya pada tahun 1958, lewat Surat edaran Biro PA No.
8/1/735, ditetapkanlah 13 buah kitab7 yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi para
hakim PA dalam setiap putusannya. Dengan harapan rekomendasi tersebut dapat mengatasi
permasalah yang dihadapi. Meskipun pada kenyataannya, kesimpangsiuran dalam
pengambilan landasan hukum relatif dapat diredam, tetapi bukan berarti telah tercapai
keseragaman dalam putusan.8
Untuk mengatasi permaslahan yang belum teratasi tersebut, muncullah wacana untuk
menyusun sebuah buku yang menghimpun hukum terapan yang berlaku di lingkungan PA
yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim PA dalam melaksanakan tugasnya. Dengan
demikian, dapatlah dicapai kesatuan dan kepastian hukum.9 Gagasan inilah yang kemudian
ditangkap oleh Busthanul Arifin tentang perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam.10
Gagasan Busthanul Arifin akhirnya disetujui. Dengan keluarnya Surat Keputusan
Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan
No. 25 Tahun 1985, dibentuklah Tim Pelaksanan Proyek yang terdiri dari para pejabat
Mahkamah Agung dan Departemen Agama, yang Pemimpin Umumnya sendiri adalah
Busthanul Arifin.11 Hingga pada tahun 1991, dihasilkanlah Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yang isinya mengenai perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. 12 Selanjutanya KHI tersebut
diberlakukan dengan Instruksi Presiden (inpres) No. 1 Tahun 1991, yang kemudian diikuti
7 Ketiga belas kitab tersebut adalah: 1. al-Bajuri, 2. Fathul Mu’in, 3. Syarqawi ‘alat-Tahrir, 4. Qalyubi/Mahalli, 5.
Fathul Wahhab dan syrahnya, 6. Tuhfah, 7. Targhibul Musytaghfirin, 8. Qawanin Syar’iyyah lis Sayyid bin Yahya,
9. Qawanin Syar’iyyah lis Sayyid Sadaqah Dahlan, 10. Syamsuri fil-Faraidh, 11. Bughyatul Murtasyidin, 12. AlFiqhu ‘ala Madzhabil Arba’ah, dan 13. Mughnil Muhtaj.
8 Lihat Drs. Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65
Tahun Prof. Dr Bustahnul Arifin, S.H., Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm, 10-11.
9 Ibid., hlm. 11.
10 Ibid.
11 Ibid., hlm. 12.
12 KHI terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan dengan 19 bab dan 170 pasal, Buku II tentang Hukum
Kewarisan dengan 6 bab dan 43 pasal, Buku III tentang Hukum Perwakafan dengan 5 bab dan 15 pasal.
3
dengan keluaranya Keputusan Menag RI No. 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan dan
Penyebarluasan Inpres tersebut.13
C. METODOLOGI PENYUSUNAN KHI
Mengutip Busthanul Arifin, Prof. Khoirudin14 mencatat ada empat metode yang
digunakan dalam penyusunan KHI. Pertama, penelusuran kitab-kitab fikih. Kedua, interview
dengan ulama-ulama Indonesia. Ketiga, yurisprudensi peradilan agama. Keempat, studi
banding ke negara-negara yang mempunyai Perundang-undangan di bidang yang dibahas
dalam KHI, dalam hal ini Maroko, Turki dan Mesir.15
Metode pertama, penelusuran kitab-kitab fikih dilakukan dengan cara menunjuk
Perguruan Tinggi Islam Negeri untuk melaksanakan pengkajian hukum Islam yang terdapat
dalam berbagai macam kitab yang ditentukan. Metode kedua, interview dengan para ulama
ahli hukum Islam di berbagai daerah, mulai dari ulama pesantren, ulama yang mewakili
organisasi maupin ulama yang ditunjuk secara individu. Metode ketiga, yurisprudensi
peradilan agama dengan cara melihat putusan-putusan peradilan agama dalam permasalahan
terkait. Metode keempat, studi banding dilakukan ke negara Maroko (mayoritas Maliki),
Turki (mayoritas Hanafi) dan Mesir (mayoritas mayoritas Syafi’i). 16
Hasil kajian dari empat metode tersebut, selanjutnya dibawa ke dalam Lokakarya para
Alim Ulama Indonesia pada 2-5 Februari 1988. Dalam Lokakarya tersebut, para alim ulama
menerima tiga Rancangan Buku KHI: perkawinan, kewarisan dan pewakafan. Dari situ lah
dibentuk tim yang bertugas untuk merumuskan teks redaksi (KHI).17
D. FIKIH INDONESIA DALAM KHI
Gagasan Fikih Indonesia pertama kali dilontarkan ke permukaan oleh Prof. Dr. Hasbi
Asshidiqi pada tahun 1940-an, yang puncaknya terjadi pada tahun 1961. Dimana Hasbi,
13 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di
Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia+Tazaffa, 2013), hlm. 61.
14 Ibid., hlm. 63.
15 Tetapi, Prof Khoirudin juga menemukan dan mencatat ada pandangan lain yang menyebutkan bahwa
metode penyusunan KHI ada enam. Pandangan yang menyebut ada enam tersebut, hanya menambahkan
produk eksplanasi ajaran Islam melalui kajian hukum oleh Perguruan Tinggi Islam (IAIN) dan pendapat atau
pandangan yang hidup pada saat lokakarya (musyawarah) alim ulama tanggal 2-6 Februari 1998, termasuk
sebagai metode. Empat metode lainnya sama dengan pandangan yang berpendapat ada empat metode. Dan
Prof Khoirudin menilai bahwa pada prinsipnya tambahan tersebut sudah masuk dalam empat metode yang
lain, hanya saja tidak disebutkan secara tekstual. Ibid., hlm. 64.
16 Ibid., hlm 65-69.
17 Ibid., hlm 69.
4
sebagaimana dikutip oleh Mahsun Fuad, memberikan makna dan definisi Fiqh Indonesia
secara artikulatif pertama kalinya pada saat acara Dies Natalis IAIN (UIN) Sunan Kalijaga
yang pertama.18 Hasbi mengatakan: “Fikih Indonesia ialah fikih yang ditetapkan sesuai
dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia”.
Dengan kata lain, Fiqh yang ingin diberlakukan untuk umat Islam Indonesia adalah
hukum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan mereka, yaitu hukum adat yang telah
berkembang dalam masyarakat Indonesia yang tidak bertentangan dengan syara’.19
Kemudian, gagasan mengenai hukum Islam yang memiliki karakteristik bangsa
Indonesia diikuti oleh sederet sarjana lainnya, dengan istilah yang berbeda-beda, namun
memiliki semangat substansi yang sama seperti di atas. Terhitung, sarjana seperti Prof.
Hazairin dengan istilah “Fiqh Madzhab Indonesia”, Munawir Sjadzali dengan istilah
“Reaktualisasi (Konstektualisasi) Hukum Islam”, Abdurrahman Wahid dengan istilah
“Pribumisasi Islam”, Sahal Mahfud dan Ali Yafie dengan istilah “Fiqh Sosial”, dan Masdar F.
Mas’udi dengan istilah “Agama Keadilan” pernah menghiasi wacana pemikiran hukum islam
Indonesia.20
Oleh karena itu, KHI sebagai yuresprudensi hukum islam yang berlaku di Indonesia,
disini berusaha dikaji dan dibahas sejauh mana rumusan-rumusan atau pasal-pasal dalam
peraturan tersebut memuat, memiliki, mencerminkan dan sesuai dengan Fikih Indonesia:
18 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta, Lkis,
2005), hlm. 66.
19 Ibid., hlm. 68-69.
20 Jika mengikuti Agus Mohammad Najib, dalam karyanya Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia dan
Kontribusinya bagi Pembentukan Hukum Nasional, yang membahas para pemikir yang menawarkan Fikih
Indonesia. Ada enam pemikir, yang menurutnya, enam pemikir tersebut sebagai penggagas adanya Fikih
Indonesia, dengan membahasnya secara spesifik dan menuangkannya dalam buku dan karya ilmiah yang
berusaha disebarluaskan dalam berbagai forum. keenam pemikir tersebut adalah: Hasbi Asshiddiqi dengan
“Fikih Indonesia”, Hazairin dengan “Mazhab Indonesia”, Munawir Sjadzali dengan “Konstektualisasi Hukum
Islam”, Busthanul Arifin dengan “Pelembagaan Hukum Islam”, A. Qodri Azizy dengan “Positivisasi Hukum Islam”,
dan Yudian Wahyudi dengan “Reorientasi Fikih Indonesia”. Lihat Agus Mohammad Najib, Pengembangan
Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya bagi Pembentukan Hukum Nasional, (tempat tidak diketahui:
Kementerian Agama RI, 2011), hlm. 6-7.
Pada dasarnya di Indonesia, tetap menurut Agus Mohammad Najib, para penulis dan pemikir Hukum Islam
dapat diklasifikasi menjadi dua kelompok besar, yaitu pertama, kelompok yang mengkaji hukum Islam tanpa
dikaitkan dengan lokalitas keindonesiaan, dan kedua, kelompok yang mengkaji hukum Islam dengan
mengaitkan pada realitas hukum dan konteks keindonesiaan. Kelompok kedua ini dapat dibagi menjadi dua
macam penulis dan pemikir hukum Islam, yaitu: (1) penulis yang hanya mendeskripsikan realitas hukum Islam
di Indonesia, dan (2) penulis yang ingin mengimplementasikan hukum Islam di Indonesia. Macam penulis dan
pemikir terakhir ini, dibagi lagi menjadi dua tipe oleh Agus Mohammad Najib. Tipe pertama adalah pemikir
yang ingin mengimplementasikan hukum Islam di Indonesia secara literalis. Tipe kedua adalah pemikir yang
ingin mengimplementasikan hukum Islam di Indonesia, tetapi sangat mempertimbangkan kondisi sosial kultural
masyarakat Indonesia. Ibid., hlm 23.
5
(mengambil definisi Hasbi) fikih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia,
sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia.
KHI yang memuat tentang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum
Perwakafan, dengan total 30 bab dan 229 pasal secara keseluruhan, ternyata terdapat pasalpasal atau ketentuan-ketentuan yang mengakomodir dan diilhami oleh realitas sosial kultural
bangsa Indonesia. Dengan kata lain, dalam KHI norma-norma hukumnya, ketentuanketentuan pasalnya memiliki karakteristik yang sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai
dengan tabi’at dan watak Indonesia. Setidaknya terdapat enam ketentuan atau pasal dalam
KHI yang mencerminkan Fikih Indonesia: pertama, pasal 45 mengenai ta’lik talak; kedua,
pasal 85-97 mengenai harta bersama/gono-gini; ketiga, pasal 185 mengatur tentang ahli waris
pengganti untuk cucu yatim; keempat, pasal 209 mengatur mengenai wasiat wajibah untuk
anak dan orang tua angkat; kelima, pasal 211 mengatur tentang harta hibah yang
diperhitungkan sebagai harta waris;21 serta keenam, pasal 153 masa iddah (waktu tunggu)
bagi wanita.
1.
Berangkat dari pembahasan pasal 211 KHI mengenai “harta hibah yang
diperhitungkan sebagai harta waris”, yang berbunyi: “Hibah orang tua kepada anaknya
dapat diperhitungkan sebagai warisan”. Mengenai hal ini, dalam literatur kitab-kitab fikih
klasik belum pernah ditemukan pembahasannya. Persoalan ini hanya dapat ditemukan
dalam hukum adat, sebuah realita sosial-kultural empiris di masyarakat kita.22
Menurut Hilman Hadikusuma, sebagaimana dikutip oleh Mahsun Fuad, dalam
hukum adat, penerusan harta warisan yang bersifat individual –seperti dalam hukum
waris Islam- kepada para ahli waris dapat terjadi sebelum pewaris wafat maupun
sesudahnya. Terjadinya penerusan harta warisan ketika pewaris masih hidup, dikalangan
keluarga Jawa disebut “lintiran”. Hal ini berlaku melalui penunjukan dalam bentuk
hibah-wasiat tertulis maupun tidak tertulis yang berupa pesan dari orang tua (pewaris)
kepada ahli warisnya.23
Hal semacam ini menujukkan bahwa KHI dalam bidang kewarisan ternyata
mendasarkan diri pada realitas sosial yang hidup di sekelilingnya, yaitu fenomena aksi
kolektif berupa hibah wasiat.24 Tidak hanya itu, pasal 211 KHI ini juga memiliki motif
dan tujuan untuk mendistribusikan keadilan ekonomi dan menjaga perdamaian di antara
anak-anaknya, sesuai dengan asas keseimbangan dan keadilan dalam hukum kewarisan
21 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia:... Op.Cit., hlm. 270-271.
22 Ibid., hlm. 272.
23 Ibid.
24 Ibid.
6
Islam.25 Sebagaimana dikutip Mahsun Fuad, menurut Azhar Basyir, praktek seperti ini
dianggap sah menurut hukum Islam, karena hal itu didorong oleh semangat dan
keinginan untuk menghindari kemungkinan adanya perasaan tidak adil dalam pembagian
harta warisan tersebut di kalangan anak-anaknya.26
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa ketentuan KHI dalam hal ini tampak
sekali mengakomodasi realitas empiris sebagaimana dikandung dalam nilai-nilai hukum
adat yang telah hidup dan mapan ditengah masyarakat. juga mempertimbangkan nilainilai kemaslahatan, keadilan, dan kedamaian tanpa saling cemburu secara sosial dalam
2.
pembagian tersebut.27
Pasal 85 sampai 97 KHI mengatur tentang harta bersama (harta gono-gini), dimana
dalam sebuah perkawinan suami dan istri memiliki harta yang dihasilkan secara
bersama-sama. Hal ini, dalam literatur kitab fikih klasik tidak dijumpai pembahasan
mengenai hal tersebut. Pembahasan mengenai harta perkawinan dalam fikih klasik –
sepengetahuan penulis- hanya mengakui harta milik atau punya suami. Ilmu fikih
cenderung mengabaikan masalah ini sehingga terkesan bahwa istri tidak berperan dalam
pembinaan rumah tangga, lebih-lebih dalam aspek finansial. Hal ini, boleh jadi,
disebabkan oleh situasi dan kondisi masyarakat pada masa para yuris hukum Islam
menyusun kitabnya.28
Kini keadaan telah berubah. Semangat emansipasi wanita telah membuat seorang
istri dapat dikatakan setara dengan seorang suami dalam urusan rumah tangga. Istri ikut
bekerja, membantu suami membiayai kebutuhan rumah tangga. Bahkan tidak jarang
sektor tenaga kerja tertentu membutuhkan dan didominasi oleh wanita. 29 Agama Islam
tidak pernah menggariskan bahwa istri itu harus berada di rumah. Ajaran agama Islam
lebih menekankan bahwa setiap orang adalah penanggung jawab dan akan dituntut
pertanggungjawabannya.30
Dalam berbagai kasus, diketahui bahwa seorang istri dengan sukarela melepas
perhiasannya agar supaya asap dapur tetap mengepul. Pemandangan semacam ini dapat
ditemui di mana-mana dan di sepanjang masa. Kita semua sepakat mengacungkan
jempol terhadap dedikasi mereka (istri) yang tanpa pamrih itu. 31 Dilihat dari segi lain, hal
25 Ibid., hlm. 273.
26 Ibid.
27 Ibid.
28 Drs. Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional:.., hlm. 59.
29 Ibid.
30 Ibid. Sistem perkawinan dalam masyarakat kita (Indonesia) memiliki sejumlah ciri, antara lain: (a) perlunya
dedikasi secara total dari suami dan istri, (b) perlunya partisipasi penuh kedua belah pihak dalam membina
rumah tangga, (c) katerbukaan dan saling mempercayai, (d) kerja sama dan saling menolong dalam arti luas,
dan (e) adanya jaminan hukum. Ibid., hlm. 60.
31 Ibid.
7
itu merupakan adat/kebiasaan yang mengakar dan berjalan turun temurun. Jadi, dalam
membina rumah tangga, selain menjalankan ketentuan-ketentuan hukum normatif, kita
tidak dapat mengabaikan peranan adat/kebiasaan.32
Agama Islam menunjukkan sikap yang jelas dan konsisten terhadap adat/tradisi,
yaitu tidak a priori menerima dan tidak a priori menolak. Tidak ada adat yang ditolak
karena ia adalah adat, dan adat juga tidak diterima karena dia adalah adat. Semua itu
tergantung apakah adat yang bersangkutan sesuai dengan konsep hukum Islam atau
tidak.33
Atas dasar itu semua, KHI merumuskan dalam pasal 85 sampai dengan pasal 97
3.
mengenai harta bersama ini.
Pasal 153 ayat 2 sampai dengan 6 KHI mengatur mengenai masa iddah (masa
tunggu) bagi wanita yang ditinggal mati atau dicerai oleh suaminya. Masa iddah seorang
wanita (janda) adalah: 130 (seratus tiga puluh) hari apabila ia ditinggal mati suaminya,
walaupun qabla dukhul; 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari apabila ia diceraikan dalam keadaan masih haid, dan 90 (sembilan puluh) hari
bagi yang tidak haid; 3 (tiga) bulan apabila ia diceraikan atau ditinggal mati oleh sang
suami sudah tidak berhaid lagi. Ketentuan ini berlaku buat perempuan yang belum baligh
dan perempuan yang sudah tua tetapi tidak berhaid lagi, baik ia sama sekali tidak berhaid
sebelumnya atau kemudian berhaid akan tetapi putus haidnya.
Ketentuan masa tunggu bagi wanita dalam KHI ini dengan menyebut jumlah
harinya secara langsung, jelas menandakan akan kepastian hukum sekaligus waktunya.
4.
Hal seperti ini tidak ditemukan dalam literatur kitab fikih klasik.
Kali ini, pasal 185 yang mengatur mengenai ahli waris pengganti 34 akan dibahas
secara bersamaan dengan pasal 209 yang mengatur mengenai wasiat wajibah.35
Pembahasannya pun tidak akan panjang lebar, hanya sekilas saja. Ahli waris pengganti
adalah membahas tentang masalah cucu yang tidak mendapatkan bagian harta warisan.
Dengan pertimbangan bahwa kedua ketentuan tersebut adalah sebuah cara, pilihan atau .
ketentuan ini dalam KHI merupakan sebuah terobosan dan antisipasi terhadap
ketimpangan, ketidakadilan dan sebagainya terhadap cucu yang tidak bisa mendapatkan
harta warisan.
32 Ibid.
33 Ibid.
34 Ahli waris pengganti adalah menempatkan seorang ahli waris, yang selama ini dipandang tidak atau belum
berhak menerima harta waris, ke dalam golongan ahli waris yang berhak menerima harta warisan. Ibid., hlm.
63.
35 Wasiat wajibah adalah ketika orang yang merasa dekat ajalnya, sedangkan ia memiliki harta peninggalan
yang cukup banyak, maka ia wajib melakukan wasiat untuk kedua orang tuanya dan kerabatnya, dan bahwa
orang yang mengubah isi wasiat tersebut akan mengandung akibatnya. Ibid., hlm. 65.
8
Mengenai wasiat wajibah, KHI pasal 209 ayat 1 dan 2, menetapkan wasiat wajibah
diberikan kepada orang tua angkat dan anak angkat yang tidak menerima warisan dari
orang tua angkat atau anak angkatnya yang telah meninggal dunia dengan batasan
maksimal 1/3 (sepertiga) harta dari pewasiat. KHI dalam menetapkan adanya kewarisan
dengan adanya wasiat wajibah ini adalah dengan jalan mengkompromikan antara hukum
Islam (referensi fiqih) dengan hukum Adat. Wasiat wajibah, merupakan praktek yang
dilakukan di Mesir, Tunisia dan Maroko, yang diadopsi ke dalam KHI.
E. KESIMPULAN
1. Dalam pembahasan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa penyusunan KHI bertujuan
untuk digunakan sebagai buku yang menghimpun hukum terapan yang berlaku di
lingkungan PA yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim PA dalam melaksanakan
2.
tugasnya. Dengan demikian, dapatlah dicapai kesatuan dan kepastian hukum.
Metode yang digunakan dalam penyusunan KHI ada empat. Pertama, penelusuran kitabkitab fikih. Kedua, interview dengan ulama-ulama Indonesia. Ketiga, yurisprudensi
peradilan agama. Keempat, studi banding ke negara-negara yang mempunyai Perundang-
3.
undangan di bidang yang dibahas dalam KHI, dalam hal ini Maroko, Turki dan Mesir.
Setidaknya enam ketentuan atau pasal dalam KHI yang mencerminkan Fikih Indonesia:
pertama, pasal 45 mengenai ta’lik talak; kedua, pasal 85-97 mengenai harta
bersama/gono-gini; ketiga, pasal 185 mengatur tentang ahli waris pengganti untuk cucu
yatim; keempat, pasal 209 mengatur mengenai wasiat wajibah untuk anak dan orang tua
angkat; kelima, pasal 211 mengatur tentang harta hibah yang diperhitungkan sebagai
harta waris;36 serta keenam, pasal 153 masa iddah (waktu tunggu) bagi wanita.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992).
Attamimi, A. Hamid S., Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia, dalam Drs.
Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional:
36 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia:... Op.Cit., hlm. 270-271.
9
Mengenang 65 Tahun Prof. Dr Bustahnul Arifin, S.H., Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996).
Ahmad, Drs. Amrullah, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Tahun Prof. Dr Bustahnul Arifin, S.H., Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996).
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,
(Yogyakarta, Lkis, 2005).
Najib, Agus Mohammad, Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya
bagi Pembentukan Hukum Nasional, (tempat tidak diketahui: Kementerian Agama RI,
2011).
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan
Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia+Tazaffa, 2013).
Rosyadi, A. Rahmat, H.M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata
Hukum Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2006).
10
Dalam Kaitannya Dengan Fikih Indonesia
Dosen Pengampu : Drs. Oman Fathurrahman
Kelompok 7
M. Abdil Bar
(15370022)
Hukum Tata Negara (Siyasah)
Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2017/2018
1
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. PENGERTIAN
Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengutip A. Hamid S. Attamimi, menjelaskan
bahwa “kompilasi” dalam Black’s Law Dictionary berarti suatu produk berbentuk tulisan
hasil karya orang lain yang disusun secara teratur. 1 Pada dasarnya, istilah “kompilasi” berasal
dari bahasa latin compailare (compilation (Inggris), compilatie (Belanda)) yang diartikan
mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar
dimana-mana.2 Dapat diambil kesimpulan, bahwa kompilasi adalah sebuah buku hukum atau
buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau
aturan hukum.3
Dengan demikian, menurut A. Hamid S. Attamimi, KHI adalah himpunan ketentuan
hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur 4, yang diambil, dicomot, dan
diadaptasi dari berbagai macam pendapat ulama yang tersebar dalam berbagai macam pula
kitab fikih (klasik maupun kontemporer). Atau definisi lain, KHI adalah rangkuman dari
berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fikih
yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan
dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.5
KHI bukanlah peraturan perundang-undangan, bukan hukum tertulis meskipun ia
dituliskan, bukan undang-undang, bukan peraturan pemerintah, bukan keputusan presiden
dan seterusnya. KHI menunjukkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata
dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk
menelusuri norma-norma hukum bersangkutan apabila diperlukanna, baik di dalam maupun
diluar.6
1 A. Hamid S. Attamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Suatu Tinjauan dari
Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia, dalam buku Drs. Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr Bustahnul Arifin, S.H., Cet. 1, ( Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), hlm, 152.
2 A. Rahmat Rosyadi, H.M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia,
(Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 94.
3 Ibid.,
4 A. Hamid S. Attamimi, Op.Cit., hlm. 152.
5 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992), hlm. 12.
6 A. Hamid S. Attamimi, Op.Cit., hlm. 152-153.
2
B. SEJARAH KHI
Sejak lahirnya Peradilan Agama (PA) pada tahun 1882, para hakim PA tidak memiliki
pedoman atau dasar pijakan yang seragam atas putusannya. Sehingga, tidak jarang dalam
kasus yang sama, ternyata terdapat perbedaan dalam pemecahan persoalan. Hal itu terjadi
dikarenankan PA belum memiliki buku pedoman yang seragam bagi para hakimnya dalam
mendasarkan putusannya. Hingga akhirnya pada tahun 1958, lewat Surat edaran Biro PA No.
8/1/735, ditetapkanlah 13 buah kitab7 yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi para
hakim PA dalam setiap putusannya. Dengan harapan rekomendasi tersebut dapat mengatasi
permasalah yang dihadapi. Meskipun pada kenyataannya, kesimpangsiuran dalam
pengambilan landasan hukum relatif dapat diredam, tetapi bukan berarti telah tercapai
keseragaman dalam putusan.8
Untuk mengatasi permaslahan yang belum teratasi tersebut, muncullah wacana untuk
menyusun sebuah buku yang menghimpun hukum terapan yang berlaku di lingkungan PA
yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim PA dalam melaksanakan tugasnya. Dengan
demikian, dapatlah dicapai kesatuan dan kepastian hukum.9 Gagasan inilah yang kemudian
ditangkap oleh Busthanul Arifin tentang perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam.10
Gagasan Busthanul Arifin akhirnya disetujui. Dengan keluarnya Surat Keputusan
Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan
No. 25 Tahun 1985, dibentuklah Tim Pelaksanan Proyek yang terdiri dari para pejabat
Mahkamah Agung dan Departemen Agama, yang Pemimpin Umumnya sendiri adalah
Busthanul Arifin.11 Hingga pada tahun 1991, dihasilkanlah Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yang isinya mengenai perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. 12 Selanjutanya KHI tersebut
diberlakukan dengan Instruksi Presiden (inpres) No. 1 Tahun 1991, yang kemudian diikuti
7 Ketiga belas kitab tersebut adalah: 1. al-Bajuri, 2. Fathul Mu’in, 3. Syarqawi ‘alat-Tahrir, 4. Qalyubi/Mahalli, 5.
Fathul Wahhab dan syrahnya, 6. Tuhfah, 7. Targhibul Musytaghfirin, 8. Qawanin Syar’iyyah lis Sayyid bin Yahya,
9. Qawanin Syar’iyyah lis Sayyid Sadaqah Dahlan, 10. Syamsuri fil-Faraidh, 11. Bughyatul Murtasyidin, 12. AlFiqhu ‘ala Madzhabil Arba’ah, dan 13. Mughnil Muhtaj.
8 Lihat Drs. Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65
Tahun Prof. Dr Bustahnul Arifin, S.H., Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm, 10-11.
9 Ibid., hlm. 11.
10 Ibid.
11 Ibid., hlm. 12.
12 KHI terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan dengan 19 bab dan 170 pasal, Buku II tentang Hukum
Kewarisan dengan 6 bab dan 43 pasal, Buku III tentang Hukum Perwakafan dengan 5 bab dan 15 pasal.
3
dengan keluaranya Keputusan Menag RI No. 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan dan
Penyebarluasan Inpres tersebut.13
C. METODOLOGI PENYUSUNAN KHI
Mengutip Busthanul Arifin, Prof. Khoirudin14 mencatat ada empat metode yang
digunakan dalam penyusunan KHI. Pertama, penelusuran kitab-kitab fikih. Kedua, interview
dengan ulama-ulama Indonesia. Ketiga, yurisprudensi peradilan agama. Keempat, studi
banding ke negara-negara yang mempunyai Perundang-undangan di bidang yang dibahas
dalam KHI, dalam hal ini Maroko, Turki dan Mesir.15
Metode pertama, penelusuran kitab-kitab fikih dilakukan dengan cara menunjuk
Perguruan Tinggi Islam Negeri untuk melaksanakan pengkajian hukum Islam yang terdapat
dalam berbagai macam kitab yang ditentukan. Metode kedua, interview dengan para ulama
ahli hukum Islam di berbagai daerah, mulai dari ulama pesantren, ulama yang mewakili
organisasi maupin ulama yang ditunjuk secara individu. Metode ketiga, yurisprudensi
peradilan agama dengan cara melihat putusan-putusan peradilan agama dalam permasalahan
terkait. Metode keempat, studi banding dilakukan ke negara Maroko (mayoritas Maliki),
Turki (mayoritas Hanafi) dan Mesir (mayoritas mayoritas Syafi’i). 16
Hasil kajian dari empat metode tersebut, selanjutnya dibawa ke dalam Lokakarya para
Alim Ulama Indonesia pada 2-5 Februari 1988. Dalam Lokakarya tersebut, para alim ulama
menerima tiga Rancangan Buku KHI: perkawinan, kewarisan dan pewakafan. Dari situ lah
dibentuk tim yang bertugas untuk merumuskan teks redaksi (KHI).17
D. FIKIH INDONESIA DALAM KHI
Gagasan Fikih Indonesia pertama kali dilontarkan ke permukaan oleh Prof. Dr. Hasbi
Asshidiqi pada tahun 1940-an, yang puncaknya terjadi pada tahun 1961. Dimana Hasbi,
13 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di
Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia+Tazaffa, 2013), hlm. 61.
14 Ibid., hlm. 63.
15 Tetapi, Prof Khoirudin juga menemukan dan mencatat ada pandangan lain yang menyebutkan bahwa
metode penyusunan KHI ada enam. Pandangan yang menyebut ada enam tersebut, hanya menambahkan
produk eksplanasi ajaran Islam melalui kajian hukum oleh Perguruan Tinggi Islam (IAIN) dan pendapat atau
pandangan yang hidup pada saat lokakarya (musyawarah) alim ulama tanggal 2-6 Februari 1998, termasuk
sebagai metode. Empat metode lainnya sama dengan pandangan yang berpendapat ada empat metode. Dan
Prof Khoirudin menilai bahwa pada prinsipnya tambahan tersebut sudah masuk dalam empat metode yang
lain, hanya saja tidak disebutkan secara tekstual. Ibid., hlm. 64.
16 Ibid., hlm 65-69.
17 Ibid., hlm 69.
4
sebagaimana dikutip oleh Mahsun Fuad, memberikan makna dan definisi Fiqh Indonesia
secara artikulatif pertama kalinya pada saat acara Dies Natalis IAIN (UIN) Sunan Kalijaga
yang pertama.18 Hasbi mengatakan: “Fikih Indonesia ialah fikih yang ditetapkan sesuai
dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia”.
Dengan kata lain, Fiqh yang ingin diberlakukan untuk umat Islam Indonesia adalah
hukum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan mereka, yaitu hukum adat yang telah
berkembang dalam masyarakat Indonesia yang tidak bertentangan dengan syara’.19
Kemudian, gagasan mengenai hukum Islam yang memiliki karakteristik bangsa
Indonesia diikuti oleh sederet sarjana lainnya, dengan istilah yang berbeda-beda, namun
memiliki semangat substansi yang sama seperti di atas. Terhitung, sarjana seperti Prof.
Hazairin dengan istilah “Fiqh Madzhab Indonesia”, Munawir Sjadzali dengan istilah
“Reaktualisasi (Konstektualisasi) Hukum Islam”, Abdurrahman Wahid dengan istilah
“Pribumisasi Islam”, Sahal Mahfud dan Ali Yafie dengan istilah “Fiqh Sosial”, dan Masdar F.
Mas’udi dengan istilah “Agama Keadilan” pernah menghiasi wacana pemikiran hukum islam
Indonesia.20
Oleh karena itu, KHI sebagai yuresprudensi hukum islam yang berlaku di Indonesia,
disini berusaha dikaji dan dibahas sejauh mana rumusan-rumusan atau pasal-pasal dalam
peraturan tersebut memuat, memiliki, mencerminkan dan sesuai dengan Fikih Indonesia:
18 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta, Lkis,
2005), hlm. 66.
19 Ibid., hlm. 68-69.
20 Jika mengikuti Agus Mohammad Najib, dalam karyanya Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia dan
Kontribusinya bagi Pembentukan Hukum Nasional, yang membahas para pemikir yang menawarkan Fikih
Indonesia. Ada enam pemikir, yang menurutnya, enam pemikir tersebut sebagai penggagas adanya Fikih
Indonesia, dengan membahasnya secara spesifik dan menuangkannya dalam buku dan karya ilmiah yang
berusaha disebarluaskan dalam berbagai forum. keenam pemikir tersebut adalah: Hasbi Asshiddiqi dengan
“Fikih Indonesia”, Hazairin dengan “Mazhab Indonesia”, Munawir Sjadzali dengan “Konstektualisasi Hukum
Islam”, Busthanul Arifin dengan “Pelembagaan Hukum Islam”, A. Qodri Azizy dengan “Positivisasi Hukum Islam”,
dan Yudian Wahyudi dengan “Reorientasi Fikih Indonesia”. Lihat Agus Mohammad Najib, Pengembangan
Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya bagi Pembentukan Hukum Nasional, (tempat tidak diketahui:
Kementerian Agama RI, 2011), hlm. 6-7.
Pada dasarnya di Indonesia, tetap menurut Agus Mohammad Najib, para penulis dan pemikir Hukum Islam
dapat diklasifikasi menjadi dua kelompok besar, yaitu pertama, kelompok yang mengkaji hukum Islam tanpa
dikaitkan dengan lokalitas keindonesiaan, dan kedua, kelompok yang mengkaji hukum Islam dengan
mengaitkan pada realitas hukum dan konteks keindonesiaan. Kelompok kedua ini dapat dibagi menjadi dua
macam penulis dan pemikir hukum Islam, yaitu: (1) penulis yang hanya mendeskripsikan realitas hukum Islam
di Indonesia, dan (2) penulis yang ingin mengimplementasikan hukum Islam di Indonesia. Macam penulis dan
pemikir terakhir ini, dibagi lagi menjadi dua tipe oleh Agus Mohammad Najib. Tipe pertama adalah pemikir
yang ingin mengimplementasikan hukum Islam di Indonesia secara literalis. Tipe kedua adalah pemikir yang
ingin mengimplementasikan hukum Islam di Indonesia, tetapi sangat mempertimbangkan kondisi sosial kultural
masyarakat Indonesia. Ibid., hlm 23.
5
(mengambil definisi Hasbi) fikih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia,
sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia.
KHI yang memuat tentang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum
Perwakafan, dengan total 30 bab dan 229 pasal secara keseluruhan, ternyata terdapat pasalpasal atau ketentuan-ketentuan yang mengakomodir dan diilhami oleh realitas sosial kultural
bangsa Indonesia. Dengan kata lain, dalam KHI norma-norma hukumnya, ketentuanketentuan pasalnya memiliki karakteristik yang sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai
dengan tabi’at dan watak Indonesia. Setidaknya terdapat enam ketentuan atau pasal dalam
KHI yang mencerminkan Fikih Indonesia: pertama, pasal 45 mengenai ta’lik talak; kedua,
pasal 85-97 mengenai harta bersama/gono-gini; ketiga, pasal 185 mengatur tentang ahli waris
pengganti untuk cucu yatim; keempat, pasal 209 mengatur mengenai wasiat wajibah untuk
anak dan orang tua angkat; kelima, pasal 211 mengatur tentang harta hibah yang
diperhitungkan sebagai harta waris;21 serta keenam, pasal 153 masa iddah (waktu tunggu)
bagi wanita.
1.
Berangkat dari pembahasan pasal 211 KHI mengenai “harta hibah yang
diperhitungkan sebagai harta waris”, yang berbunyi: “Hibah orang tua kepada anaknya
dapat diperhitungkan sebagai warisan”. Mengenai hal ini, dalam literatur kitab-kitab fikih
klasik belum pernah ditemukan pembahasannya. Persoalan ini hanya dapat ditemukan
dalam hukum adat, sebuah realita sosial-kultural empiris di masyarakat kita.22
Menurut Hilman Hadikusuma, sebagaimana dikutip oleh Mahsun Fuad, dalam
hukum adat, penerusan harta warisan yang bersifat individual –seperti dalam hukum
waris Islam- kepada para ahli waris dapat terjadi sebelum pewaris wafat maupun
sesudahnya. Terjadinya penerusan harta warisan ketika pewaris masih hidup, dikalangan
keluarga Jawa disebut “lintiran”. Hal ini berlaku melalui penunjukan dalam bentuk
hibah-wasiat tertulis maupun tidak tertulis yang berupa pesan dari orang tua (pewaris)
kepada ahli warisnya.23
Hal semacam ini menujukkan bahwa KHI dalam bidang kewarisan ternyata
mendasarkan diri pada realitas sosial yang hidup di sekelilingnya, yaitu fenomena aksi
kolektif berupa hibah wasiat.24 Tidak hanya itu, pasal 211 KHI ini juga memiliki motif
dan tujuan untuk mendistribusikan keadilan ekonomi dan menjaga perdamaian di antara
anak-anaknya, sesuai dengan asas keseimbangan dan keadilan dalam hukum kewarisan
21 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia:... Op.Cit., hlm. 270-271.
22 Ibid., hlm. 272.
23 Ibid.
24 Ibid.
6
Islam.25 Sebagaimana dikutip Mahsun Fuad, menurut Azhar Basyir, praktek seperti ini
dianggap sah menurut hukum Islam, karena hal itu didorong oleh semangat dan
keinginan untuk menghindari kemungkinan adanya perasaan tidak adil dalam pembagian
harta warisan tersebut di kalangan anak-anaknya.26
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa ketentuan KHI dalam hal ini tampak
sekali mengakomodasi realitas empiris sebagaimana dikandung dalam nilai-nilai hukum
adat yang telah hidup dan mapan ditengah masyarakat. juga mempertimbangkan nilainilai kemaslahatan, keadilan, dan kedamaian tanpa saling cemburu secara sosial dalam
2.
pembagian tersebut.27
Pasal 85 sampai 97 KHI mengatur tentang harta bersama (harta gono-gini), dimana
dalam sebuah perkawinan suami dan istri memiliki harta yang dihasilkan secara
bersama-sama. Hal ini, dalam literatur kitab fikih klasik tidak dijumpai pembahasan
mengenai hal tersebut. Pembahasan mengenai harta perkawinan dalam fikih klasik –
sepengetahuan penulis- hanya mengakui harta milik atau punya suami. Ilmu fikih
cenderung mengabaikan masalah ini sehingga terkesan bahwa istri tidak berperan dalam
pembinaan rumah tangga, lebih-lebih dalam aspek finansial. Hal ini, boleh jadi,
disebabkan oleh situasi dan kondisi masyarakat pada masa para yuris hukum Islam
menyusun kitabnya.28
Kini keadaan telah berubah. Semangat emansipasi wanita telah membuat seorang
istri dapat dikatakan setara dengan seorang suami dalam urusan rumah tangga. Istri ikut
bekerja, membantu suami membiayai kebutuhan rumah tangga. Bahkan tidak jarang
sektor tenaga kerja tertentu membutuhkan dan didominasi oleh wanita. 29 Agama Islam
tidak pernah menggariskan bahwa istri itu harus berada di rumah. Ajaran agama Islam
lebih menekankan bahwa setiap orang adalah penanggung jawab dan akan dituntut
pertanggungjawabannya.30
Dalam berbagai kasus, diketahui bahwa seorang istri dengan sukarela melepas
perhiasannya agar supaya asap dapur tetap mengepul. Pemandangan semacam ini dapat
ditemui di mana-mana dan di sepanjang masa. Kita semua sepakat mengacungkan
jempol terhadap dedikasi mereka (istri) yang tanpa pamrih itu. 31 Dilihat dari segi lain, hal
25 Ibid., hlm. 273.
26 Ibid.
27 Ibid.
28 Drs. Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional:.., hlm. 59.
29 Ibid.
30 Ibid. Sistem perkawinan dalam masyarakat kita (Indonesia) memiliki sejumlah ciri, antara lain: (a) perlunya
dedikasi secara total dari suami dan istri, (b) perlunya partisipasi penuh kedua belah pihak dalam membina
rumah tangga, (c) katerbukaan dan saling mempercayai, (d) kerja sama dan saling menolong dalam arti luas,
dan (e) adanya jaminan hukum. Ibid., hlm. 60.
31 Ibid.
7
itu merupakan adat/kebiasaan yang mengakar dan berjalan turun temurun. Jadi, dalam
membina rumah tangga, selain menjalankan ketentuan-ketentuan hukum normatif, kita
tidak dapat mengabaikan peranan adat/kebiasaan.32
Agama Islam menunjukkan sikap yang jelas dan konsisten terhadap adat/tradisi,
yaitu tidak a priori menerima dan tidak a priori menolak. Tidak ada adat yang ditolak
karena ia adalah adat, dan adat juga tidak diterima karena dia adalah adat. Semua itu
tergantung apakah adat yang bersangkutan sesuai dengan konsep hukum Islam atau
tidak.33
Atas dasar itu semua, KHI merumuskan dalam pasal 85 sampai dengan pasal 97
3.
mengenai harta bersama ini.
Pasal 153 ayat 2 sampai dengan 6 KHI mengatur mengenai masa iddah (masa
tunggu) bagi wanita yang ditinggal mati atau dicerai oleh suaminya. Masa iddah seorang
wanita (janda) adalah: 130 (seratus tiga puluh) hari apabila ia ditinggal mati suaminya,
walaupun qabla dukhul; 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari apabila ia diceraikan dalam keadaan masih haid, dan 90 (sembilan puluh) hari
bagi yang tidak haid; 3 (tiga) bulan apabila ia diceraikan atau ditinggal mati oleh sang
suami sudah tidak berhaid lagi. Ketentuan ini berlaku buat perempuan yang belum baligh
dan perempuan yang sudah tua tetapi tidak berhaid lagi, baik ia sama sekali tidak berhaid
sebelumnya atau kemudian berhaid akan tetapi putus haidnya.
Ketentuan masa tunggu bagi wanita dalam KHI ini dengan menyebut jumlah
harinya secara langsung, jelas menandakan akan kepastian hukum sekaligus waktunya.
4.
Hal seperti ini tidak ditemukan dalam literatur kitab fikih klasik.
Kali ini, pasal 185 yang mengatur mengenai ahli waris pengganti 34 akan dibahas
secara bersamaan dengan pasal 209 yang mengatur mengenai wasiat wajibah.35
Pembahasannya pun tidak akan panjang lebar, hanya sekilas saja. Ahli waris pengganti
adalah membahas tentang masalah cucu yang tidak mendapatkan bagian harta warisan.
Dengan pertimbangan bahwa kedua ketentuan tersebut adalah sebuah cara, pilihan atau .
ketentuan ini dalam KHI merupakan sebuah terobosan dan antisipasi terhadap
ketimpangan, ketidakadilan dan sebagainya terhadap cucu yang tidak bisa mendapatkan
harta warisan.
32 Ibid.
33 Ibid.
34 Ahli waris pengganti adalah menempatkan seorang ahli waris, yang selama ini dipandang tidak atau belum
berhak menerima harta waris, ke dalam golongan ahli waris yang berhak menerima harta warisan. Ibid., hlm.
63.
35 Wasiat wajibah adalah ketika orang yang merasa dekat ajalnya, sedangkan ia memiliki harta peninggalan
yang cukup banyak, maka ia wajib melakukan wasiat untuk kedua orang tuanya dan kerabatnya, dan bahwa
orang yang mengubah isi wasiat tersebut akan mengandung akibatnya. Ibid., hlm. 65.
8
Mengenai wasiat wajibah, KHI pasal 209 ayat 1 dan 2, menetapkan wasiat wajibah
diberikan kepada orang tua angkat dan anak angkat yang tidak menerima warisan dari
orang tua angkat atau anak angkatnya yang telah meninggal dunia dengan batasan
maksimal 1/3 (sepertiga) harta dari pewasiat. KHI dalam menetapkan adanya kewarisan
dengan adanya wasiat wajibah ini adalah dengan jalan mengkompromikan antara hukum
Islam (referensi fiqih) dengan hukum Adat. Wasiat wajibah, merupakan praktek yang
dilakukan di Mesir, Tunisia dan Maroko, yang diadopsi ke dalam KHI.
E. KESIMPULAN
1. Dalam pembahasan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa penyusunan KHI bertujuan
untuk digunakan sebagai buku yang menghimpun hukum terapan yang berlaku di
lingkungan PA yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim PA dalam melaksanakan
2.
tugasnya. Dengan demikian, dapatlah dicapai kesatuan dan kepastian hukum.
Metode yang digunakan dalam penyusunan KHI ada empat. Pertama, penelusuran kitabkitab fikih. Kedua, interview dengan ulama-ulama Indonesia. Ketiga, yurisprudensi
peradilan agama. Keempat, studi banding ke negara-negara yang mempunyai Perundang-
3.
undangan di bidang yang dibahas dalam KHI, dalam hal ini Maroko, Turki dan Mesir.
Setidaknya enam ketentuan atau pasal dalam KHI yang mencerminkan Fikih Indonesia:
pertama, pasal 45 mengenai ta’lik talak; kedua, pasal 85-97 mengenai harta
bersama/gono-gini; ketiga, pasal 185 mengatur tentang ahli waris pengganti untuk cucu
yatim; keempat, pasal 209 mengatur mengenai wasiat wajibah untuk anak dan orang tua
angkat; kelima, pasal 211 mengatur tentang harta hibah yang diperhitungkan sebagai
harta waris;36 serta keenam, pasal 153 masa iddah (waktu tunggu) bagi wanita.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992).
Attamimi, A. Hamid S., Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia, dalam Drs.
Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional:
36 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia:... Op.Cit., hlm. 270-271.
9
Mengenang 65 Tahun Prof. Dr Bustahnul Arifin, S.H., Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996).
Ahmad, Drs. Amrullah, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Tahun Prof. Dr Bustahnul Arifin, S.H., Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996).
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,
(Yogyakarta, Lkis, 2005).
Najib, Agus Mohammad, Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya
bagi Pembentukan Hukum Nasional, (tempat tidak diketahui: Kementerian Agama RI,
2011).
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan
Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia+Tazaffa, 2013).
Rosyadi, A. Rahmat, H.M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata
Hukum Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2006).
10