PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI informasi

PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
DALAM MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI
DI SULAWESI SELATAN
Oleh : Prof. DR. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc
Dekan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
No. Telpon : 0811 465 771, 085 255 688 763
Email : syam_hasan@yahoo.com

RINGKASAN
Peternakan sapi adalah salah satu sektor penting dalam kehidupan manusia
karena memegang peranan penting dalam hal penyediaan protein hewani, sosial dan
ekonomi dalam farming sistem di Indonesia. Di masa lalu, sektor peternakan hanya
dianggap sebagai pekerjaan sampingan, namun paradigma tersebut bergeser seiring
dengan perjalanan waktu yang menempatkan peternakan sebagai pekerjaan utama
yang menjanjikan untuk masa sekarang.
Permasalahan yang terjadi di Indonesia terkait dengan hal ini adalah
ketidakmampuan Indonesia memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri yang
disebabkan oleh beberapa faktor meliputi : (1) Penurunan mutu genetik yang
disebabkan oleh pola pemeliharaan yang salah dan (2) Masyarakat petani – peternak
masih kurang mengadopsi teknologi peternakan.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bersama dengan Fakultas Peternakan

Universitas Hasanuddin dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah
melakukan terobosan – terobosan yang banyak membantu masyarakat dalam rangka
meningkatkan kualitas dan kuantitas sapi. Terobosan – terobosan tersebut berupa (a)
Peningkatan mutu genetik (b) adopsi teknologi peternakan seperti : (a) Transfer
Embrio (b) Inseminasi Buatan (c) Teknologi Nuklir (d) Seleksi bibit sapi (e)
Penyediaan pakan atau hijauan Pakan. Selain itu, keberhasilan yang dicapai tidak
terlepas dari peran perbankan dan lembaga keuangan lainnya sebagai penyedia modal
usaha bagi petani dan peternak.
Kata kunci : Peternakan, Teknologi, dan Sapi

PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

PENDAHULUAN
Peternakan sapi memegang peranan penting dalam hal penyediaan protein
hewani, sosial dan ekonomi (sumber pendapatan dan atau tabungan bagi peternak)
dalam farming system di Indonesia. Di masa lalu, usaha peternakan masih bersifat
sampingan. Namun sekarang ini, usaha peternakan secara perlahan - lahan bergeser

menjadi usaha pokok yang menjanjikan. Di dalam perkembangannya, selama kurun
waktu satu dekade terakhir komoditi ternak sapi sudah menjadi komoditi unggulan di
kalangan pengusaha. Kenyataan yang ada, Sekitar 19 % kebutuhan daging nasional
dipenuhi oleh daging sapi (Harahap, Purba, Siahaan dan Panjaitan, 2012). Konsumsi
cenderung meningkat

dari 4,1 kg/kapita/tahun pada tahun 2006 menjadi

5,1

kg/kapita/tahun daging sapi pada tahun 2007. Namun, laju konsumsi tersebut tidak
diimbangi dengan laju peningkatan populasi ternak sapi. Kondisi ini di atasi oleh
pemerintah Indonesia dengan melakukan impor sapi, sekitar 600 ribu ekor pada tahun
2011 dan 442 ribu ekor sapi pada tahun 2012. Untuk mengurangi ketergantungan
pada impor sapi potong, pemerintah melakukan suatu gerakan yang disebut “gerakan
Percepatan Swasembada Daging Sapi” dengan target pemenuhan kebutuhan daging,
dimana pada tahun 2014 akan dipenuhi secara domestik sebesar 90-95 % atau setara
dengan 14,2 juta ekor sapi.
Harahap, dkk (2012)


mengemukakan bahwa Kegiatan agroindustri sapi

potong di Indonesia semakin menjurus kepada kegiatan hilir saja yaitu impor dan
perdagangan, dengan putaran modal yang sangat cepat dengan resiko yang lebih
kecil. Kegiatan di hulu seperti perbibitan dan budidaya sapi yang dilakukan oleh
PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

peternak belum berjalan secara optimal. Ini berarti kegiatan di hulu dan di hilir
belum terintegrasi dengan baik. Kendala dari aspek teknis yang dihadapi di hulu
adalah penyediaan sapi bibit, kematian pedet yang masih tinggi, pemotongan sapi
betina yang masih tinggi, mutu genetik yang rendah, kesediaan pakan dan tataniaga,
serta pola pemeliharaan yang pada umumnya masih bersifat tradisional.
Penduduk Indonesia pada tahun 2012 diperkirakan 235 juta orang dan akan
menjadi 273 juta orang pada tahun 2025. Peningkatan jumlah penduduk, tentunya
akan diikuti oleh meningkatnya kebutuhan pangan termasuk pangan hewani. Oleh
karena itu, usaha peternakan termasuk sapi, perlu dikembangkan lebih maju lagi di
masa sekarang, dan di masa yang akan datang.

Di dalam makalah ini akan diuraikan tentang perkembangan sapi potong dan
bagaimana perkembangan teknologi di masyarakat/petani peternak dalam mendorong
industri perbibitan sapi di Sulawesi Selatan.

PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

PERKEMBANGAN PETERNAKAN SAPI POTONG
DI SULAWESI SELATAN
Sulawesi Selatan tahun 1979-1980an, dikenal sebagai lumbung ternak sapi
potong (sapi pedaging) sesudah Jawa Timur, dan Nusa Tenggara, dengan jumlah
populasi sapi dan kerbau > 1 juta ekor (didominasi sapi). Waktu itu, daerah ini
menjadi penyuplai sapi bibit dan sapi potong di Indonesia. Bahkan tercatat bahwa di
dalam sejarah perdagangan, Sulawesi Selatan pernah melakukan ekspor sapi potong
ke Hongkong (Diwyanto dan Setiadi, 1995; Wello, 2008). Namun, didalam
perjalanannya tidak berkesinambungan.
Pada


tahun

1993

(Hasil

Sensus

Pertanian,

Departemen

Pertanian)

menunjukkan penurunan populasi sapi dan kerbau turun drastis yakni hanya 600.000
ekor saja. Ini merupakan suatu angka yang sangat mengejutkan dan sangat
memperhatinkan sebab disamping terjadinya penurunan jumlah populasi secara
drastis, juga diiringi dengan penurunan kualitas genetik ( wello, 2008). Hal ini
ditandai dengan semakin rendahnya berat lahir, berat dewasa kelamin dan dewasa
tubuh, lambatnya pertumbuhan anak sapi serta rendahnya tingkat kelahiran.

Masalah Penurunan kualitas genetik :
Tiga puluh lima tahun yang lalu, dengan mudah kita dapat memperoleh sapi
Bali jantan dengan berat badan dewasa sekitar 450 kg

( Kabupaten Enrekang,

Kab.Bone, Sidrap dan daerah lainnya di Sul-Sel). Tetapi sekarang, untuk memperoleh
ternak sapi Bali yang sama (pada umur dewasa tubuh dan kondisi yang sama)
beratnya hanya 300 kg saja. Penurunan ini bukan hanya terjadi pada berat badan,

PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

tetapi juga terlihat pada aspek reproduksi, berat lahir dan ukuran dimensi tubuh
(Sonjaya, 1991). Dalam aspek reproduksi, calf crop (tingkat kelahiran) dari tahun ke
tahun menunjukkan penurunan.
Berdasarkan pengamatan penulis, Penurunan kualitas genetik sapi potong di
Sulawesi Selatan disebabkan oleh beberapa faktor (1). Adanya pengeluaran sapi bibit

dari Sul-Sel dengan tinggi badan 105 cm pada umur 1,5-2 tahun, standar ini
diturunkan menjadi 102 cm pada umur yang sama, sebab sulit mencari anak sapi
yang tingginya 105 cm. (2). Peraturan Pemerintah yang melarang mengeluarkan sapi
potong dari Sul-Sel yang beratnya kurang 275 kg. Sebenarnya peraturan tentang
pengeluaran sapi bibit tidak salah, tetapi yang menjadi masalah karena tidak diikuti
dengan peraturan larangan mengeluarkan sapi yang tingginya lebih dari 105 cm pada
umur 1,5-2 tahun sehingga semua sapi yang tingginya lebih dari 105 cm dengan umur
seperti diatas juga dikeluarkan sehingga terjadi seleksi negatif (Wello, 2008). Dengan
demikian, yang tinggal di peternak sapi yang pertumbuhannya lambat, kerdil turun
temurun, semakin lama semakin kecil.
Pada tahun 2006-2012, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan bersama dengan Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sul – Sel, Pengusaha serta Petani
– Peternak sepakat mencanangkan dan melaksanakan satu program yakni Gerakan
Pencapain Satu Juta Ekor Sapi pada tahun 2013 yang didukung oleh Pemerintah
Pusat melalui Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian R.I .
Program tersebut telah berhasil secara signifikan sehingga pemerintah provinsi
PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN


DALAM

melanjutkan program tersebut melalui gerakan 2 juta ekor sapi dan kerbau pada tahun
2014 – 2015.
Perlu diketahui bahwa Program satu juta ekor sapi dapat tercapai melalui
program-program unggulan yang meliputi : 1. Gerakan optimalisasi sapi (GOS) ; 2.
Pengembangan Instalasi Perbibitan Rakyat (IPR) ; 3. Pengendalilan Betina
Produktif ; 4. Gerakan Pengentasan Kemiskinan (TASKIN) ; 5. Revitalisasi IB
Mandiri ; 6. BLSM, BPLM, PMUK, dan LM3 ; 7. Pengembangan Brahman
Cross 8. Pengendalian dan Pemberantasan penyakit ternak. Beberapa Program
pendukung lainnya yang tidak kalah penting telah dilakukan adalah seperti gerakan
penyediaan hijauan pakan di masing-masing daerah dan diikuti dengan pelatihanpelatihan intensif. Harapan dari

program ini adalah meningkatkan populasi dan

memperbaiki kualitas genetik sapi-sapi yang dipelihara dan dikembangkan oleh
petani peternak di Sul-Sel.
Teknologi yang Dapat Diterapkan dalam mendorong industri perbibitan sapi di
Provinsi Sulawesi Selatan
Sesungguhnya banyak teknologi yang telah dihasilkan oleh lembaga –

lembaga riset di Indonesia maupun di dunia. Khusus untuk Provinsi Sulawesi Selatan,
Universitas Hasanuddin melalui Fakultas Peternakan bersama Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia telah banyak menghasilkan teknologi di bidang peternakan.
Teknologi tersebut telah membawa perubahan yang berarti bagi pengembangan
industri perbibitan sapi di Sulawesi Selatan. Teknologi – teknologi yang dimaksud
meliputi :

PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

1. Transfer Embrio
Teknologi transfer embrio (TE) pada sapi merupakan generasi kedua
bioteknologi reproduksi setelah inseminasi buatan (IB). Transfer embrio merupakan
suatu proses dimana embrio dipindahkan dari seekor hewan betina yang bertindak
sebagai donor pada waktu embrio tersebut belum mengalami implantasi, kepada
seekor betina yang bertindak sebagai penerima sehingga resepien tersebut menjadi
bunting.
Manfaat teknologi transfer embrio adalah meningkatkan mutu genetik ternak,

mempercepat peningkatan populasi ternak, berpotensi untuk mencegah penularan
penyakit melalui saluran kelamin, mempercepat pengenalan material genetik baru
melalui ekspor embrio beku. Teknologi ini memiliki banyak keunggulan
dibandingkan teknologi inseminasi buatan yang telah sering diterapkan diantaranya
adalah (1) perbaikan mutu genetiknya dapat berasal dari pejantan dan induk yang
unggul berbeda dengan inseminasi buatan (IB) yang perbaikan mutu genetiknya
hanya bersumber dari pejantan, (2) waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh derajat
kemurnian genetik yang tinggi (purebred) dengan TE jauh lebih cepat dibandingkan
IB dan kawin alam, (3) pedet unggul per tahun yang dihasilkan melalui teknologi
transfer embrio (TE) dapat mencapai 20-30 ekor sedangkan teknik IB hanya dapat
menghasilkan satu ekor pedet per tahunnya, (4) kemungkinan terjadinya kebuntingan
besar dengan jalan mentransfer setiap tanduk uterus (cornua uteri) dengan satu
embrio, (5) betina unggul tidak perlu bunting dan menunggu satu tahun untuk
menghasilkan anak, betina unggul hanya berfungsi menghasilkan embrio yang
PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

selanjutnya ditansfer (dititipkan) pada induk resepien yang memiliki kualitas genetik

rata-rata tetapi mempunyai kemampuan untuk bunting.
Embrio yang dapat digunakan untuk transfer embrio dapat berupa embrio
segar atau embrio beku (freezing embrio). Untuk pengggunaan embrio yang akan
dibawa ke daerah-daerah yang membutuhkan, lebih efisien menggunakan embrio
beku, sedangkan embrio segar hanya dapat ditransfer pada saat produksi di lokasi
yang berdekatan dengan donor.
Teknologi Embrio Transfer belum dilirik oleh petani – peternak di Sulawesi
Selatan. Beberapa pertimbangan yang menyebabkan teknologi ini tidak digunakan
dan dikembangkan adalah : (1) Teknologi ini belum dikenal oleh peternak (2)
Pengetahuan yang terbatas (3) Biaya yang mahal (4) ketersediaan alat yang minim.
Namun penerapannya di perguruan tinggi terutama di Universitas Hasanuddin
bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui proyek Hi
– LINK DIKTI (2006-2009), telah menghasilkan 7 (tujuh) pasang sapi kembar yang
dilaksanakan di Ranch PT. BULI, Kabupaten Sidenreng Rappang ( wello, Hasan,
said, Baba, Dagong dan Batosamma, 2009).
2. Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan (IB) adalah pemasukan semen (mani) ke dalam alat
kelamin betina dengan alat khusus yang menirukan perkawinan alam. Dalam praktek,
prosedur IB tidak hanya meliputi definisi di atas. Tetapi juga, mencakup seleksi dan
pemeliharaan pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan, dan

PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

pengawetan semen. Selanjutnya deteksi berahi, waktu inseminasi, pelaporan,
pencatatan, dan penentuan hasil IB serta bimbingan dan penyuluhan bagi peternak.
Dengan cara ini semen (mani) jantan diolah sedemikian diolah sedemikian
rupa sehingga dari satu ejakulasi pejantan akan mampu membuahi lebih banyak
betina. Selain jumlah anak yang dihasilkan lebih banyak, juga mutu genetik
meningkat karena dalam pelaksanaannya, semen yang digunakan adalah semen
unggul.
Aplikasi Teknologi Inseminasi Buatan (IB) di Provinsi Sulawesi Selatan
beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang cukup baik. Terbukti,
keberhasilan IB mencapai 40% secara menyeluruh. Namun, beberapa Kabupaten
Seperti di Bantaeng, Enrekang (sapi perah), Bone, Bulukumba, dan Sidrap,
keberhasilannya telah melebihi angka 50%. Ini merupakan sebuah keberhasilan yang
dapat dijadikan parameter pengembangan peternakan sapi yang jauh lebih baik di
masa yang akan datang. Semen yang digunakan para petani di Sul – Sel diproduksi
oleh Balai Inseminasi Buatan Singosari Jawa Timur dan Lembang Jawa Barat.
Sedangkan untuk Provinsi Sulawesi Selatan sendiri diproduksi oleh UPTD
Inseminasi Buatan Pucak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi
Selatan bekerjasama dengan Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin dan
dengan LIPI. Keberhasilan ini juga didukung oleh keberadaan Inseminator Mandiri
yang hampir ditemukan di seluruh wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.

PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

3. Teknologi Nuklir
Teknik Nuklir adalah teknologi yang melibatkan reaksi inti atom. Atom
merupakan unsur terkecil dari suatu makluk dan terdiri dari dua unsur pokok yakni
inti Atom dan electron mengelilingi inti. Radioaktifitas suatu zat terletak pada inti
dan sifat-sifat kimiawi tergantung pada elektronnya. Inti atom (nucleus) dibangun
oleh proton dan neutron.Inti yang mempunyai proton dan neutron yang berimbang
dianggap zat yang stabil (non-radioaktif). Jika inti atom tersebut memiliki neutron
yang tidak berimbang maka inti menjadi tidak stabil dan zat tersebut menjadi
radioaktif. Zat radioaktif akan mengeluarkan kelebihan energi dalam bentuk sinar
radiasi (Toleng, 2011).
Pemanfaatan teknik nukler di Indonesia dimulai tahun 1964 dan di Kawasan
Timur Indonesia dimulai tahun 1999 , atas kerjasama FAO-IAEA – BATAN (Badan
Tenaga Atom Nasional) dengan Universitas Hasanuddin/Fakultas Peternakan sebagai
lokomotifnya ke masyarakat. Dengan melakukan sosialisasi pemanfatan teknologi
nukler dibawah kordinasi Prof Dr. Latief Toleng terutama dalam bidang reproduksi
Ternak, bidang pakan dan bidang teknologi hasil ternak dapat memberikan informasi
yang cukup menggembirakan satu dekade terakhir ini.
4. Bibit Sapi
Keberhasilan industri perbibitan sapi juga sangat bergantung pada pemilihan
bibit yang baik dan manajemen selama pemeliharaan. Bakalan yang dipilih sebaiknya
dari sapi yang berpotensi tumbuh optimal, terlebih untuk untuk program
penggemukan.
PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

Di Sulawesi Selatan, perbaikan mutu genetik bibit sapi telah dilakukan
beberapa tahun terakhir melalui program pembagian/penyebaran bibit sapi unggul,
pemberian pejantan unggul kepada Kelompok – kelompok Binaan di Seluruh
kabupaten di Sulawesi Selatan. Selain itu, pengembangan Breeding Village Center
yang berbasis masyarakat di Kabupaten Bone dan Barru juga menjadi salah satu
keberhasilan bagi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan
bekerjasama dengan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, LIPI, dan Dirjen
Peternakan dan Kesahatan Hewan Kementrian Pertanin Republik Indonesia. Semua
itu dilakukan semata – mata untuk memajukan industri peternakan sapi di Sulawesi
Selatan termasuk di dalamnya adalah Industri Perbibitan Sapi.
5. Teknologi Biogas
Teknologi biogas diintruduksikan secara massal ke peternak sejak tahun 2004
oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan bersama dengan Fakultas Peternakan
Universitas

Hasanuddin.

Fakultas

peternakan

Universitas

Hasanuddin

memodifikasikan teknologi biogas menjadi lebih murah, mudah dioperasikan
sehingga dijangkau oleh peternak. Dengan menggunakan bahan baku lokal yang ada,
teknologi biogas dapat dibuat sendiri oleh peternak.
6. Penyediaan Pakan
Ketersediaan Hijauan Pakan merupakan kunci keberhasilan usaha peternakan
ruminansia termasuk sapi. Hasil Teknologi Hijauan Pakan unggul yang dihasilkan
oleh Perguruan Tinggi dan lembaga riset telah banyak dimanfaatkan oleh petani –
peternak di Sulawesi Selatan seperti rumput gajah mini (Pennisetum purpureum cv.
PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

Mott ) , Jenis rumput ini dapat di grazing dan di potong dengan nilai gizi dan
palatabilitas yang tinggi (Hasan, 2012). Jenis rumput dan legum unggul yang tahan
kekeringan seperti; Panicum maximum, Setaria

splendinda, Brachiaria dicumbens,

Gliricidia sepium, Sesbania grandiflora dan lain-lain.
Dalam mengantisipasi penyedian hijaun pakan di Sul-Sel terutama di musim
kemarau, ada beberapa model yang dikembangkan seperti model 3 strata pada lahan
marginal/kritis (strata 1 menggunakan rumput menjalar; strata 2 menggunakan
rumput semak dan strata 3 menggunakan legume pohon (Hasan, 2001; Hasan,
Masuda, Shimojo and Natsir, 2005). Model ini

telah diterapkan oleh petani

peternak sapi potong terutama pada pemanfaatan lahan marginal (lahan kritis) dan
model 3 strata yang dikembangkan oleh Nitis dkk di Bali (Nitis, Lana, Suarna,
Sukanten, Putra, Pemayun dan Puger, 1994).
Dalam rangka penyediaan pakan yang berkualitas dengan memanfaatkan
limbah pertanian dan industri melalui teknologi complete feed (Ako, Baba, Fatma dan
Jamila, 2012). Teknologi ini diterima baik oleh petani peternak di Sulawesi Selatan,
disebabkan karena kualitas dan nutrisi lebih lengkap, murah, mudah diaplikasikan
dan dapat disimpan lama.
7. Pendukung Teknologi
Dalam mendorong usaha perbibitan sapi di Sulawesi Selatan, bukan hanya
teknologi yang dibutuhkan. Tetapi harus juga didukung dari aspek finansial.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, aspek ini tidak sepenuhnya di dukung
oleh pemerintah. Walaupun sesungguhnya di beberapa daerah, hal ini sudah
PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

dilakukan. Seperti misalnya : (1) Dana KUPS (Kredit Usaha Peternakan Sapi Potong)
(2) Skim Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (3) CSR dari BUMN (4) KUR dari
Kementrian Koperasi.(5) Dana – dana bantuan luar negeri dan lain - lain. Namun
semua informasi terkait hal ini, tidak diinformasikan secara terbuka. Khusus untuk
Program Sarjana Membangun Desa di Sulawesi Selatan, dapat dikatakan sangat
berhasil. Untuk itu penambahan kuota untuk daerah di luar Pulau Jawa perlu
ditambahkan dan tentunya program ini seyogyanya dapat diteruskan.
Disamping itu, dukungan dari lembaga luar negeri seperti JICA (Japan
International Cooperation Agency) turut memberikan andil dalam pengembangan sapi
potong di Sulawesi Selatan. Kegiatan ini telah berlangsung lebih dari 1 dekade yang
berlokasi di Kabupaten Barru.

PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Peternakan sapi merupakan salah satu sektor penting dalam kehidupan
masyaarakat karena memiliki peran penting dalam penyediaan protein hewani,
sosial dan ekonomi serta dapat menciptakan lapangan kerja yang luas.
2. Telah terjadi pergeseran paradigma peternakan sapi yang awalnya hanya
dipandang sebagai pekerjaan sampingan di kalangan petani - peternak, kini
3.

berubah menjadi pekerjaan utama karena peluang kesuksesannya sangat besar.
Permasalahan mendasar peternakan sapi di Sulawesi Selatan adalah
penurunan genetik ternak yang kini dapat diatasi melalui program – program
unggulan dari pemerintah melalui Dirjen Peternakan Kementrian Pertanian
Republik Indonesia dan Stakeholder.

4. Perkembangan dan penerapan teknologi peternakan dalam mendorong industri
perbibitan sapi di Sulawesi Selatan, sudah mulai maju berkat kerjasama yang
baik antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sul – sel, Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) serta masyarakat petani – peternak di Sulawesi Selatan.
5.

PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

DAFTAR PUSTAKA
Ako, A., Fatma, Jamila, S. Baba . 2012. Produksi dan kualitas Susu Sapi Perah Yang
Diberi Silase Complete Feed Berbahan Baku Limbah Pertanian. Laporan Hasil
Penelitian, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
Diwyanto, K., dan B.Setiadi, 1995. Keterkaitan Penelitian PemuliaBiakan Ternak
Dalam Rangka Pengembangan Peternakan di Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmiah
Penelitian Ternak Gowa. Edisi khusus. Sub Balai Penelitian Ternak Gowa.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Harahap, I.Y., A. Purba, D. Slahan, F.R.Panjaitan. 2012. Integrasi Sawit, Sapid an
Energi : Dukungan Penelitian Pusat Penelitian Kelapa Sawit Untuk
Keberlanjutan .Prosiding Seminar Nasional Peternakan. Prog. Studi Peternakan
dan Prog. Studi Ilmu Peternakan, Fak.Pertanian, Univ. Sumatera Utara.
Hasan, S. 2012. Hijauan Pakan Tropik. IPB Press, Bogor
Hasan. S., Y. Masuda, M. Shimojo, A. Natsir. 2005. Performance of Male Bali
Cattle Raised in the marginal Land with Three Strata Forage System in
Different Seasons. Kyushu University. Japan
Hasan, S. 2001. Improvement of The Marginal Land Productivity With Three Strata
Forage System Integrated With Bali Cattle. Monograph SEAMEO
Nitis, I. M., K. Lana, M. Suarna, W. Sukante, S. Putra, C.N. O. Pemayun and A.W.
Puger 1994. Growth and Reproductive Performance of Bali Heifer under Three
Strata Forage System. Technical Report. Udayana University. Denpasar Bali,
Indonesia
Toleng, A.L. 2011. Pemanfaatan Teknik Nuklir Dalam Bidang Peternakan dan
Pertanian Guna Memperkokoh Ketahanan Pangan dan Ketahanan Nasional.
Pidato Pengukuhan dalam rangka penerimaan Guru Besar dalam bidang
Reproduksi Ternak pada Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.
Sonjaya, H. E. Bustam, M. Jufri, A.L. Toleng dan Sudirman. 1991. Survei ternak sapi
Bali di daerah pedesaan Propinsi Sulawesi Selatan. Proyek Peningkatan Mutu
Perguruan Tinggi Universitas Hasanuddin.
Sumbung, F.P. 2003. Teknologi Pendukung Pembangunan Peternakan. Seminar
Ilmiah HUT ke-40 Fapet, Unhas dan Tahun Kebangkitan Peternakan dan
Keswan, Sul-Sel.

PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM

Wello, B. 2008. Strategi Peningkatan Kualitas GenetikSapi Bali di Sulawesi Selatan.
Pidato Pengukuhan Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu
produksi Ternak Potong pada Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin
Wello, B, S.Hasan, S Said, S. Baba I. Dago dan Batosamma, 2009. Improvement of
Beef Cattle Productivity Through Biotechnology Application. Project Hi-Link
DIKTI-JICA- Faculty of Animal Science, University of Hasanuddin.
.

PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MENDORONG INDUSTRI PERBIBITAN SAPI DI SULAWESI SELATAN

DALAM