KRITIS DAN TERCEMARANYA CITARUM DIJADIKA

CITARUM RIWAYATMU KINI
CITARUM SUNGAI STRATEGIS BAGI KESEIMBANGAN ALAM DAN KEHIDUPAN MAKHLUK HIDUP DI JAWA, MADURA DAN BALI INDONESIA

DzKRITIS DAN TERCEMARANYA CITARUM DIJADIKAN JAMINAN PROYEK
DENGAN SKEMA PENDANAAN HUTANG LUAR NEGERIdz

Oleh, Adi Mulyadi

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN FISIK DAS CITARUM
Klimatologi
 Distribusi hujan secara keruangan di daerah DAS Citarum umumnya tidak
seragam. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata hujan tahunan berkisar
antara 1966 mm sampai 2600 mm. Variabilitas curah hujan di DAS Citarum
sangat dipengaruhi oleh variasi topografi atau ketinggian. Gradien sungai terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu bagian hulu sepanjang + 25 km merupakan daerah
peling terjal, bagian tengah sepanjang + 150 km memiliki kemiringan yang cukup
terjal, dan bagian hilir sepanjang + 70 km memiliki topografi yang landai. Hal ini
sejalan dengan variabilitas curah hujan di DAS Citarum, dimana sangat variatif
dibagian hulu dan berangsur seragam kebagian hilir.

 Bagian hulu DAS Citarum memiliki variasi curah hujan yang tinggi disebabkan

kondisi di daerah hulu yang merupakan daerah cekungan antar gunung (intermountain basin) dimana pada daerah dengan kondisi seperti ini, curah hujan
akan relatif lebih tinggi dibagian lereng pegunungan yang menghadap arah
angin, dan untuk bagian disebaliknya atau yang disebut daerah bayangan hujan
memiliki curah hujan yang relatif lebih kecil. Fenomena ini disebut dengan
fenomena hujan orografis. Rata-rata terendah terjadi di daerah pantai utara
dengan curah hujan sekitar 1500 mm per tahun, sedangkan rata-rata tertinggi
terjadi di daerah hulu Sungai Ciherang, Cilamaya, dan hulu Sungai Cipunegara
dengan curah hujan mencapai 4000 mm per tahun.

 Keadaan iklim di DAS Citarum, sebagaimana umumnya wilayah di Jawa Barat,
memiliki iklim tropis monsoon dengan suhu dan kelembaban udara yang relatif
konstan sepanjangn tahun. Iklim tropis monsoon dicirikan dengan terjadinya
dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Musim hujan terjadi pada bulanbulan Oktober – Maret dan musim kemarau terjadi pada bulan-bulan Juni –
September. Bulan-bulan lainya merupakan masa transisi atau pancaroba. Suhu
rata-rata di dataran rendah sekitar 27oC, sedangkan dibagian hulu sungai yang
berada di dataran tinggi/pegunungan, suhu udara minimum rata-rata 15,3oC
yang tercatat di daerah Ciwidey. Pangelengan, dan Lembang. Kelembaban relatif
berkisar antara 80-92%, dengan tingkat penguapan rata-rata tahunan sekitar
1640 mm.
1|P age


Geologi dan Geomorfologi
 Morfologi yang terbentuk di DAS Citarum adalah hasil kegiatan tektonik dan
vulkanisme, dilanjutkan proses erosi dan sedimentasi. Kondisi morfologi DAS
Citarum terbagi atas:
- Morfologi Gunung Api. Daerah hulu anak-anak sungai di DAS Citarum
terbentuk dari morfologi gunung api yang memiliki kharakteristik relief
landai–bergunung, elevasi ketinggian 750 – 2300 m diatas permukaan air
laut, kemiringan lereng di kaki 5 – 15%, di tengah 15 – 30%, dan di
puncak 30 – 90%. Pola aliran sungai sejajar dan radier, umumnya
merupakan daerah resapan utama air tanah dangkal dan dalam serta
tempat keluarnya mataair pada lokasi tekuk lereng. Batuan penyusun
berupa endapan gunung api muda dan tua, terdiri dari tufa, breksi, lahar,
dan lava. Proses geodinamis adalah aktivitas gunung api dan
pengangkatan karena magma, serta agradasikarena longsoran tebing,
erosi, dan aktivitas manusiaseperti penggalian, pemotongan lereng, dan
lain-lain. DAS Citarum berada pada morfologi gunung api, di daerah
Bandung Utara antara lain berderet G. Tangkubanparahu (2.075m), G.
Burangrang (2.064m), G. Bukit Tunggul (2.209m), dan G. Manglayang
(1800m), dengan anak-anak Sungai Citarum antara lain: S. Cikapundung,

S. Cikeruh, S. Cimahi, S. Cipamokolan, S. Cibeureum, dan S. Cipalasari yang
mengalir ke arah Selatan. Sedangkan deretan di sebelah selatan adalah G.
Malabar (2.343 m), G Tilu (2.040 m), G Wayang (2.182m), G. Patuha, dan
G. Guntur (2.040m) dengan anak-anak Sungai Citarum antara lain: S.
Citarum Hulu, S. Citarik, S. Cisangkuy, S. Ciasiah, dan S. Ciwidey, mengalir
ke Utara. Di daerah Cianjur antara lain G. Gede dengan anak-anak
sungainya yang mengarah ke Timur menuju Waduk Cirata.
- Morfologi Perbukitan, morfologi ini dibagi menjadi perbukitan batuan
beku dan bergelombang, mempunyai kharaktersitik yaitu relief berbukit,
terpisah, elevasi ketinggian 700 – 1500 m diatas permukaan air laut,
kemiringan lereng 15 – 70%, berpola aliran sungai sejajar dan dendritik,
umumnya bukan daerah resapan utama air tanah. Batuan penyusun
berupa batuan beku intrusi dan lava serta breksi gunung dan batuan
sedimen tersier. Proses geodinamis adalah patahan aktif, serta agradasi
karena longsoran tebing, erosi dan aktivitas manusia. DAS Citarum
mempunyai morfologi perbukitan intrusi antara lain G. Parang (975m), G
Haur (522m) di sekitar waduk Jatiluhur, G Lagadar (800 m), G. Lalakon di
Cimahi Bandung, dan gugusan G.Geulis di sekitar Banjaran- Ciparay
Bandung. Perbukitan bergelombang memanjang, terjal terdapat di sekitar
Rajamandala dekat Waduk Saguling.

– Morfologi Dataran, Morfologi dataran dapat dibagi menjadi
dataran tinggi, dataran kipas aluvium, dataran aluvium sungai,
dataran rawa dan pantai. Mempunyai karaktersitik yaitu relief
rendah, elevasi ketinggian 0 – 700 m diatas muka laut (m dpl)
kemiringan lereng 0 – 15%. Sungai-sungai meandering, berpola
sejajar dan dendritik, umumnya merupakan daerah banjir dan
lepasan air tanah. Batuan penyusun berupa kipas gunung api,
endapan sedimen sungai, pantai dan rawa. Proses geodinamis
adalah longsoran tebing sungai, erosi dan aktivitas manusia
2|P age

seperti penggalian, penimbunan dan lain-lain. Datarantinggi
terdapat di Cekungan Bandung dan sekitarnya, sedangkan sisanya
berada pada dataran kipas aluvium ditempati Kota Karawang,
Purwakarta dan Subang. Dataran limpah banjir menghampar
meluas di dataran pantai utara berbentuk meandering, Dataran
aluvium sungai terdapat pada alur-alur dibentuk oleh endapan
sungai-sungai. Dataran rawa dan pantai yang berbatasan langsung
dengan garis pantai terdapat muara beserta cabang-cabangnya
membentuk delta.

Jenis Tanah
 Di DAS Citarum terdapat 4 macam jenis tanah, yaitu Andosol, Andosol hitam,
Aluvial, dan Latosol. Jenis tanah di DAS Citarum hulu didominasi oleh jenis tanah
Andosol da tersebar di area pegunungan. Jenis Andosol hitam terbentuk di
daerah datar Lembang, sedangkan di daerah patahan Lembang jenis tanah yang
berkembang adalah tanah Latosol. Jenis tanah Aluvial ada di lembah sungai.
Keterangan
 Andosol : tekstur silt loam, keberadaan pada lereng-lereng gunungapi dan
mempunyai permeabilitas tinggi
 Regosol : tekstur Clay Loam, keberadaan pada Lanau pasiran sampai lempung
lanauan dan mempunyai permeabilitas Rendah
 Latosol : tekstur Clay Loam, keberadaan pada Lapisan tanah muda hasil
pelapukan vulkanis dan mempunyai permeabilitas rendah
 Aluvial : tekstur Clay Loam, keberadaan pada Daerah bekas banjir/sepanjang
sungai dan mempunyai permeabilitas sangat rendah
Hidrologi
 DAS Citarum Hulu mencakup 7 sub DAS yaitu: Sub DAS Citarik, Sub DAS
Cisangkui, Sub DAS Cirasea, Sub DAS Ciwidey, Sub DAS Cihaur, Sub DAS
Cikapundung, dan Sub DAS CIminyak. Aliran air ketujuh sub DAS tersebut
bergabung kedalam sungai Citarum dan ditampung lagi kedalam Waduk

Saguling. Kondisi hidrologi di DAS Citarum umumnya bervariasi. Sistem akuifer
dangkal kedudukan air tanah umumnya kurang dari 30 m, akuifer tengah antara
50-90 m, sedangkan akuifer dalam lebih dari 100 m. batuan penyusun sistem
akuifer ini secara umum terdiri dari material klasik gunungapi dengan vulkanik
blok, andesit, dan fragmen basal atau pumise putih.
Penggunaan Lahan
 Penggunaan lahan di DAS Citarum dari tahun ke tahun mengalami perubahan.
Pemanfaatan lahan di DAS Citarum tergolong eksploitatif dimana luas hutan
primer dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan, yang berdampak pada
degradasi lahan. Pemanfaatan lahan di DAS Citarum didominasi oleh area
pemukiman, kebun campur, perkebunan dan permukiman.

3|P age

Potensi Sumberdaya Air
DAS Citarum secara geografis melalui 2 Cekungan Air Tanah (CAT) yaitu CAT BandungSoreang pada DAS Citarum Hulu dan CAT Karawang-Bekasi pada DAS Citarum TengahHilir. Untuk di CAT Bandung-Soreang yang secara geografis mempunyai batas-batas
berhimpit dengan DAS Citarum secara umum mempunyai potensi air tanahnya sebagai
berikut:
 Kelompok Akuifer Dangkal (< 40 m). Sistem akuifer dangkal dapat terlihat pada
singkapan batuan dan sumur gali penduduk kedalaman 1,2 – 22,5 m dan

kedalaman sumur bor 30 m. Tebal akuifer 1,2 – 30 m, muka air tanah 0,5 – 20,8
m dibawah muka tanah setempat, semakin dangkal di dataran sekitar Sungai
Citarum, dan semakin dalam di lereng utara, timur, dan selatan. Fluktuasi muka
air tanah di daerah dataran rendah dan kemiringan tinggi relatif tinggi. Arah
aliran mengarah ke dataran mengitari Sungai Citarum.
 Kelompok Akuifer Tengah (40-150 m). Kedudukan kelompok akuifer ini di 35 –
100 m dibawah muka tanah setempat (mbmt), posisi saringan 34,5 dan 69,5
mbmt, Muka Air Tanah 1,1 – 30 mbmt dan 34,5 – 69,5 mbmt di daerah
pengambilan intensif dengan debit sumur 10 L/detik.

 Kelompok Akuifer Dalam (> 150 m). Kelompok akufer dalam mempunyai
kedalaman 100 – 200 mbmt, bersifat tertekan, dengan posisi saringan 57 – 192
mbmt.
 Sedangkan untuk wilayah DAS Citarum Tengah-Hilir termasuk pada CAT
Karawang-Bekasi yang mempunyai potensi air tanahnya sebagai berikut:

 Kelompok Akuifer Dangkal ( 140 m). Kelompok akuifer ini tersusun oleh batu
lempung, batu pasir, dan batu pasir gampingan, diendapkan pada laut dangkal.
Formasi yang secara regional berpotensi sebagai akuifer dengan produktifitas
rendah – sedang. Mengingat keberadaan sungai Citarum yang sangat penting

sebagai penyedia airbaku ibukota, mempunyai dampak ekonomi serta sosial
secara regional, menjadikannya sebagai wilayah sungai strategis nasional
sehingga kewenanganannya berada di Pemerintah Pusat.
 Mengingat keberadaan sungai Citarum yang sangat penting sebagai penyedia
airbaku ibukota, mempunyai dampak ekonomi serta sosial secara regional,
menjadikannya sebagai wilayah sungai strategis nasional sehingga
kewenanganannya berada di Pemerintah Pusat.
Permasalahan Lingkungan
 Permasalahan yang terjadi di DAS Citarum pada dasarnya diakibatkan oleh
pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali yang berakibat pada
meningkatnya eksploitasi ruang dan sumber daya air. Penduduk di Cekungan
Bandung tumbuh pada kisaran 3% pertahun, sebagai pengaruh migrasi ke
daerah dengan pertumbuhan yang cepat.
 Tingginya tekanan kependudukan ini menyebabkan terjadinya peningkatan
lahan kritis akibat perubahan tata guna lahan sehingga Citarum termasuk DAS
utama di JawaBarat yang memiliki luasan lahan kritis yang tinggi. Kerusakan
banyak diakibatkan penggundulan lahan serta pencemaran industri dan rumah
tangga yang berdampak terhadap terjadinya bencana banjir, kekeringan, dan
menurunnya kualitas air di sepanjang sungai Citarum.
Untuk memudahkan identifikasi terhadap semua permasalahan yang ada di Daerah

Aliran Sungai Citarum tersebut, maka DAS Citarum dibagi menjadi 3 zona wilayah yaitu:
• Zona Citarum Hulu : Hulu sungai di Gunung Wayang – Ujung Saguling
• Zona Citarum Tengah : Saguling – Cirata – Jatiluhur
• Zona Citarum Hilir : Citarum Hilir – Muara Citarum

Permasalahan di Zona Citarum Hulu

 Permasalahan di daerah Citarum Hulu disebabkan oleh berkurangnya fungsi
kawasan lindung (hutan dan non hutan), berkembangnya permukiman tanpa
perencanaanyang baik, dan budi daya pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah
konservasi yang menyebabkan banyaknya lahan kritis, kadar erosi yang semakin
tinggi yang mengakibatkansedimentasi di palung sungai, waduk, bahkan masuk
ke jaringan prasarana air. Sungai tercemar limbah permukiman, industri dan
pertanian karena perilakumasyarakat, baik industri ataupun rumah tangga yang
menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan air limbah dikarenakan
pengelolaan limbah belum tertata dengan baiksehingga sungai Citarum dominan
akan genangan banjir, sampah, dan limbah industri dan domestik.

5|P age


 Permasalahan utama lainnya di bagian hulu DAS Citarum meliputi degradasi
fungsi konservasi sumber daya air seperti luas lahan kritis mencapai 26.022,47
ha, yang mengakibatkan run off aliran permukaan sebesar 3.632,50 juta m3
/tahun serta sedimentasi sebesar 7.898,59 ton/ha. Permasalahan lainnya adalah
tingkat pengambilan air tanah yangdiluar kendali dimana sebagian besar
pengambilan air tanah tidak teregistrasi. Diperkirakan pengambilan air tanah
mencapai tiga kali lipat dari jumlah yang dilaporkan oleh pemerintah.
Diperkirakan 90 % penduduk dan 98 % industri di Cekungan Bandung
menggantungkan kebutuhan air sehari – hari pada air tanah. Pengambilan air
tanah yang berlebih dan tidak terkendali dapat mengakibatkan penurunan muka
tanah dan kerusakan struktur pada bangunan gedung serta memperbesar
potensidaerah rawan banjir.Semua permasalahan di Citarum Hulu tersebut
berakibat hampir setiap tahun luapan Sungai Citarum menyebabkan banjir.
Banjir-banjir besar di Bandung dan sekitarnya tercatatpada tahun 1931, 1945,
1977, 1982, 1984, 1986, 1998, 2005, 2010 dan akan tetap terjadi pada tahun
berikutnya bila tidak segera dilakukan penanganan.
Permasalahan di Zona Citarum Tengah
 Tingginya pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung berdampak terhadap
bertambahnya pembuangan limbah domestik tanpa pengolahan, pembuangan
sampah dan limbah industri yang menambah beban pencemaran ke Sungai

Citarum. Berdasarkan PD Kebersihan Kota Bandung rata-rata produksi sampah
sebesar 6.500 m3per hari, dimana1500 m3 diantaranya tidak dikumpulkan dan
dibuang secara benar. Dengan demikian sampah yang tidak terkumpul dengan
benar akan masuk ke sistem drainase dan sungai sebesar 500.000 m3 pertahun.
Berdasarkan kantor pengelola Waduk Saguling diperkirakan jumlah sampah
yang masuk ke Waduk Saguling adalah sebesar 250.000 m3 per tahun.
 Tumpukan Sampah di sebagian Sungai Citarum Kualitas air yang masuk ke
Waduk Saguling memiliki rata-rata kandungan BOD lebihdari 300 mg/liter. Pada
tahun 2004 dilaporkan konsentrasi BOD sebanyak 55 mg/liter danmeningkat
menjadi 130 mg/liter pada musim kemarau. Pencemaran waduk akibat sampah
rumah tangga, sampah padat, dan industri, serta adanya penambangan pasir
menyebabkan terjadinya pendangkalan waduk akibat adanya sedimentasi.
 Selain itu, maraknya usaha keramba jaring apung memperburuk pencemaran air
di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang disebabkan oleh pemberian
makanan ikan jaringapung yang tidak tepat dan berlebihan sehingga menambah
beban limbah yang menumpuk di dasar waduk serta membahayakan
kelangsungan instalasi PLTA akibat korosif.

6|P age

Permasalahan di Zona Citarum Hilir
 Permasalahan di Citarum Hilir dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan dari
lahan pertanian menjadi permukiman akibat berkembangnya permukiman tanpa
perencanaan yang baik. Terjadinya degradasi prasarana pengendali banjir,
menurunnya fungsi prasarana jaringan irigasi, kurangnya prasarana pengendali
banjir di muara, dan terjadinya abrasi pantai di muara. Semua hal tersebut
menyebabkan daerah Citarum Hilir pun merupakan daerah rawan banjir. Banjir
terakhir yang terjadi di bagian hilir Sungai Citarum disebabkan oleh curah hujan
tinggi yang berlangsung terus menerus, Waduk Jatiluhur tidak mampu
menampung debit banjirsehingga limpas di pelimpah dengan tinggi maksimum
141 cm. Akibatnya aliran keluar dariwaduk mengalir ke Sungai Citarum adalah
sebesar 700 m3 /detik. Bersamaan dengan meluapnya Sungai Cikao di
Purwakarta mengakibatkan banjir Sungai Cibeet di Karawangyang mengalir ke
Sungai Citarum, sehingga alur Sungai Citarum di Karawang tidak mampulagi
menampung debit banjir dari hulu, sehingga terjadi banjir di Telukjambe,
Karawang Kulon, Karawang Wetan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi.
 Solusi penanganan DAS Citarum dilakukan melalui pendekatan struktural dan
non-struktural serta sosio-kultural simultan hulu-hilir dengan sinergi multi
sector bersama masyarakat secara terintegrasi dalam wadah koordinasi badan
strategis pengelolaan DAS Citarum. Pendekatan non-struktural meliputi
manajemen hulu DAS, penataan ruang, pengendalian erosi dan alih fungsi lahan,
perijinan pemanfaatan lahan, pemberdayaan masyarakat kawasan hulu,
manajemen daerah rawan banjir, sistem peringatan dini ancaman dan evakuasi
banjir, peningkatan kapasitas kelembagaan dan partisipasi masyarakat untuk
penanggulangan banjir, pengendalian penggunaan air tanah, pengelolaan dan
perbaikan kualitas air sungai.
 Pendekatan struktural meliputi normalisasi sungai, tanggul penahan banjir,
kolam
penampungan
banjir,
sistem
polder
dan
sumur-sumur
resapan,pembangunan waduk dan embung, penyediaan prasarana air baku,
pengembangan sistem penyediaan air minum danair kotor, rehabilitasi jaringan
irigasi, pengembangan pembangkitan tenaga listrik.Sejak beberapa tahun lalu,
sejumlah instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat berpartisipasi
dalam serangkaian dialog yang menghasilkan Citarum Roadmap yaitu suatu
rancangan strategis berisi hasil identifikasi program-program utama untuk
meningkatkan sistem pengelolaan sumber daya air terpadu dan memperbaiki
kondisi di sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum

7|P age

Citarum Mengaliri Listrik Jawa, Madura dan Bali
 Sungai Citarum merupakan sungai yang sangat strategis bagi kepentingan
nasional, air dari sungai Citarum dimanfaatkan tiga waduk pembangkit listrik
tenaga air (PLTA), yakni Waduk Saguling (700-1.400 megawatt), Cirata (1.008
megawatt), dan Jatiluhur (187 megawatt). Ketiga PLTA ini menerangi sekitar +
200 juta jiwa di Jawa, Madura dan Bali.
Citarum Aliri Kehidupan, Sosial Ekonomi
 Air Citarum digunakan mengairi sawah di lumbung padi nasional, Total air
irigasi yang dipasok Citarum mencapai 420.000 hektar di Kabupaten Bandung,
Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Purwakarta,
Karawang, Subang, dan Indramayu. Air Citarum juga merupakan bahan baku air
minum bagi warga Jawa Barat dan DKI Jakarta yang melayani air minum bagi 25
juta jiwa penduduk. Sebanyak 15 juta penduduk tinggal di Jabar dan 10 juta jiwa
lainnya di DKI Jakarta. Selain dari itu di tiga waduk yakni Waduk Saguling, Cirata,
dan Ir H Djuanda pada tahun 2006, adalah sebagai sentra ikan dengan produksi
ikan dari jaring apung Jabar yang mencapai 80,9 persen dari total produksi
nasional atau 143.252 ton dan meningkat di tahun 2008 yang mencapai 144.560
ton dari total produksi nasional sebesar 263.169 ton. Ikan-ikan itu merupakan
konsumsi warga Jabar, Banten, dan DKI Jakarta.
MASALAH UTAMA DI SUNGAI CITARUM
1. Lahan Kritis di Hulu DAS Citarum
Luas
Lahan
Kritis

Wilayah
Administrati
f

+ 1000 Ha

Kecamatan
Kertasari,
Kabupaten
Bandung,
Jawa BaratIndonesia

Gambaran Umum Kecamatan Kertasari

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Desa
Sukapura
Cibeureum
Santosa
Tarumajaya
Neglawangi
Cihawuk
Cikembang
Resmitingal

RW
138

RT
493

KK/Jiw
20.398
Atau
66.892
Jiwa

Ketinggian Luas Wil.
100015.112.2
1700
07 Ha
Meter
Darat
diatas
8.534,97
permukaa
4 Ha
n laut
Jumlah
curah hujan
dalam
tahun
terakhir
tercatat :
2.157.50
Mm.

Sawah
219,233
Ha
Hutan
6.358,00
0 Ha

8|P age

2. Erosi dan Sedimentasi
Uraian
Erosi dan
sedimentasi yang
muncul akibat lahan
kritis. Tingkat erosi
lahan di DAS Citarum
hulu tergolong tinggi,
dari luas lahan
230.802 hektare,
terjadi erosi sebesar
112.346.477 ton per
tahun atau 487 ton
per hektare.

Sedimentasi Citarum
Lokasi
Sedimentasi
Waduk Saguling

Lumpur Tanah & Sampah

8 juta meter kubik per
tahun

Waduk Cirata

7,41 juta meter kubik
per tahun

Waduk Jatiluhur

1,6 juta meter kubik
per tahun.

KM
0-200 KM

Dampak
Sedimentasi di
Cirata 7,41 juta
meter kubik per
tahun.
Sedimentasi
setinggi itu
membuat waduk
yang didesain
berusia 100
tahun akan
berkurang 20
tahun

9|P age

3. Pencemaran Dari Industri Polutif, Ternak dan Sampah
Lokasi
Pencemar
SUB DAS
Citarum dan
Sungai
Citarum

Pencemaran Citarum
Wilayah
Administratif
Lokasi Pabrik
Polutif,Ternak &
Sampah
Kabupaten
Bandung, Kota
Bandung,
Bandung Barat,
Cimahi,
Purwakarta dan
Karawang Jawa
Barat-Indonesia

Industri
Polutif
500 ton
limbah cair
pabrik
industri
Polutif/hari

Limbah
Ternak
100 ton/hari

Sampah

KM

25.300 ton
/hari

0-200 KM

Kandungan Kimia
KM
0-10
Nitrogen,
Magnesium,
Sulfur
oksida, dan
beberapa
unsur
mikro l
ainnya

JUMLAH INDUSTRI POLUTIF DI DAS CITARUM

KM
10-77
Amoniak
bebas (NH3N)
Besi (Fe)
Detergen
(MBAS)
Fenol
Fosfat total
(PO4)
Kadmium (Cd)
BOD
COD
Kromium VI
(Cr)
Mangan (Mn)
Minyak-lemak
Nitrat (NO3N)
Nitrit (NO2-N)
Oksigen
terlarut
pH
air
raksa/merkuri

KM
77-200
Seng (Zn)
Sulfat (SO4)
Tembaga (Cu)
Timbal (Pb)
Air raksa (Hg)
Arsen (As)
Sianida (CN)
Khlorin bebas
(Cl2)
Sulfida (H2S)
krom
heksavalen
(Cr6+),
tembaga (Cu),
seng (Zn),
timbal (Pb),
air
raksa/merkuri
(Hg), mangan
(Mn), dan besi
(Fe)

Fisika
DHL
Temperatur
Zat terlarut
(TDS)
Zat tersuspensi
(TSS)
Biologi
Koli Tinja
Koli Total

JUMLAH TERNAK

Tercatat sekitar 1.700 Industri Polutif yang
ada di DAS Citarum

10 | P a g e

Keanekaragaman Flora dan Fauna di DAS Citarum Jawa Barat
Keanekaragaman Fauna
Secara umum dunia fauna dapat dikelompokkan kedalam: serangga, pisces, amfibi,
reptil, aves dan mamalia. Dari kelompok-kelompok tersebut ada fauna yang langsung
berhubungan dengan kepentingan manusia yaitu bisa bermanfaat bagi manusia, bersifat
hama, disukai untuk dipelihara atau dikonsumsi dan juga fauna dengan status khusus
seperti fauna endemik (hanya ditemui di suatu daerah tertentu), langka/hampir punah
dan punah. Masing-masing kelompok fauna tersebut, yaitu :
Kelompok serangga
 Kelompok ini memiliki berbagai macam manfaat. Salah satu peran serangga yang
sangat penting secara ekologis adalah dalam proses penyerbukan (polinasi) yang
dilakukan oleh kupu-kupu. Akan tetapi kelimpahan dan keanekaragaman
spesiesnya dewasa ini semakin berkurang yang disebabkan oleh beberapa faktor
penting yaitu berkurangnya habitat dan eksploitasi untuk diperdagangkan
karena umumnya kupu-kupu karena keindahannya.
 Karena dalam siklus hidupnya serangga biasanya mengalami proses
metamorfosis, ada fase-fase tertentu dari proses tersebut yang kurang disukai
oleh manusia yaitu pada fase larva atau yang lebih dikenal dengan nama ulat.
Pada fase ini, serangga biasanya dianggap hama oleh para petani karena
merusak tanaman.

 Di habitat alami, belalang dan jengkrik adalah kelompok serangga yang bisa
dimanfaatkan sebagai sumber makanan burung, reptil dan amfibi. Akan tetapi
jenis-jenis belalang tertentu apabila populasinya tidak terkendali dapat bersifat
hama terhadap tanaman bididaya seperti padi sehingga petani mengalami gagal
panen.

Kelompok pisces
Ikan-ikan air tawar yang dijumpai pada daerah aliran sungai citarum dan tiga waduk
besar di wilayah Jawa Barat, yaitu Jatiluhur, Cirata dan Saguling. Ikan-ikan air tawar
yang dijumpai pada daerah-daerah tersebut di atas dapat dikelompokkan menjadi
empat yaitu:
 Ikan yang menjadi ciri khas Sungai Citarum : tagih/baung, hampal, keting dan
udang batu.
 Ikan khas Sungai Citarum yang tidak ditemukan lagi setelah pembangunan
waduk : tawes, lelawak, sengal, arengan, walangi
 Ikan yang masih bisa ditemukan di sungai dan waduk : deleg, sidat/moa, betok,
pepetek, kebo gerang, julung-julung, keting, bereum panon, beunter, sepat,
paray, betutu/bodo, jeler, oleng, gabus, belut
 Ikan budidaya yang diintroduksi ke perairan waduk : patin, ikan mas, nila,
gurame
 Ikan hias yang diintroduksi ke perairan waduk : arwana, golsom, oskar
 Ikan yang secara tradisi dikonsumsi oleh masyarakat sekitar : tagih/baung
 Ikan atau udang yang dijumpai pada bulan/periode tertentu : udang batu
11 | P a g e

Kelangkaan dan kepunahan beberapa jenis ikan indigenous di daerah aliran Sungai
Citarum diakibatkan oleh beberapa hal yaitu: perubahan habitat dari sungai ke
danau/waduk, pencemaran dan overfishing yang dilakukan untuk kebutuhan pangan.
Jenis-jenis ikan yang punah tersebut, yaitu arengan, lelawak, sengal, tawes. walangi
belum sempat didomestikasi sehingga informasi yang berkaitan dengan spesies-spesies
tersebut tidak banyak.
Kelangkaan dan kepunahan beberapa spesies ikan terjadi juga sebagai akibat
penggunaan pestisida terutama untuk ikan-ikan yang mendiami ekosistem binaan
seperti sawah seperti ikan-ikan kecil/impun dan belut sawah.
Kelompok amfibi dan reptile
 Kelompok amfibi dan reptil yang ditemukan di lapangan statusnya semakin hari
akan semakin langka. Hal ini diakibatkan karena habitat yang tersedia semakin
berkurang dan belum satupun dari jenis kelompok ini yang sudah bisa
didomestikasi dan dibudidaya.
 Kelangkaan beberapa spesies kelompok ini terjadi sebagai akibat perburuan oleh
manusia untuk dikonsumsi dan dipelihara antara lain: katak sawah, katak catang,
beberapa jenis ular, biawak, bunglon, kura-kura, dll.
 Beberapa jenis amfibi dan reptil masih sering dijumpai di beberapa daerah di
Jawa Barat adalah biawak (disekitar daerah aliran Sungai Citarum dan waduk,
danau Sanghyang di Tasikmalaya), kura-kura (disekitar daerah aliran Sungai
Citarum dan waduk, sungai-sungai di daerah Bogor/Sentul)
Kelompok aves
 Kelangkaan jenis burung lebih disebabkan karena nilai ekonomis burung yang
sangat tinggi sebagai hewan peliharaan sehingga penagkapan liar tidak bisa
dihindarkan disamping ketersediaan habitat yang semakin berkurang.
 Sebagai contoh burung madu di daerah Tangkuban Parahu, berdasarkan laporan
terakhir dari hasil survey mahasiswa Biologi-ITB, spesiesnya tidak lebih dari
tiga, hal ini disebabkan karena habitatnya terutama sebagai tempat/sumber
makanan semakin berkurang sehingga kondisi ini akan menjadi faktor pembatas
pertumbuhan populasi burung tersebut.
 Berdasarkan hasil survey di daerah danau-danau kecil di Sentul/Bogor,
beberapa jenis burung air atau yang mencari makan di daerah perairan masih
bisa dijumpai seperti belekok, bangau dan raja udang. Beberapa jenis burung
sudah bisa dibudidaya/ditangkar dan didomestikasi

12 | P a g e

Kelompok mamalia
 Kelangkaan jenis mamalia disebabkan oleh dua faktor utama yaitu aktivitas
perburuan dan habitat aslinya terganggu. Salah satu contoh penurunan drastis
kelompok ini adalah jarang dijumpainya lagi banteng di Hutan Sancang (Garut)
dan di Pangandaran. Banteng ini sebenarnya sudah lama menjadi maskot di
kedua daerah tersebut.
 Usaha penangkaran kelompok mamalia yang ada seperti penangkaran Rusa di
Ranca Upas akan sangat bermanfaat bagi kelestarian spesies ini dan juga bisa
dijadikan tempat tujuan wisata dan pendidikan/penelitian. Manusia
memanfaatkan hewan ini untuk hobi/kesenangan, sumber makanan dan
kulitnya untuk bahan sandang.
Keanekaragaman Flora
 Menurut penelitian yang pernah dilakukan Va Steenis (dalam Backer dan
Bakhuizen van de Brink,1965), setidaknya terdapat 3.882 spesies tumbuhan
berbunga dan tumbuhan paku asli Jawa Barat dan 258 jenis yang dimasukkan
dari luar. Perbandingan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk tumbuhan
asli adalah 3.882:2.851:2.717. Khusus untuk anggrek (Orchidaceae) di Pulau
Jawa, di Jawa Barat terdapat 607 jenis alami, 302 jenis (50%) hanya ada di Jawa
Barat. Menurut Comber (1990) di Jabar terdapat 642 jenis anggrek dan hanya
terdapat di Jawa Barat 248 jenis.
 Tumbuhan yang termasuk pohon, di Jawa Barat terdapat 1.106 jenis
(Prawirya,tbt) dengan 51 jenis disebut dengan pohon-pohon penting,
diantaranya jati (Tectona grandis), rasamala (Altingia excelsa), kepuh (Sterculia
foetida), jamuju (Podocarpus imbricatus), bayur (Pterespermum javanicum),
puspa (Schima wallichii), kosambi (Schleichera oleosa), beleketebe (Sloenea
sigun), pasang (Lithocarpus spp.), pedada (Sonneratia alba), bakau (Rhizhopora
mucronata) dll. Menurut Van Steenis (1972) di Jawa Barat terdapat 39 jenis
tumbuhan pegunungan yang dikategorikan jarang, 18 jenis diantaranya sejauh
ini diduga endemik. Di antara yang endemik tersebut, 11 jenis adalah anggrek
(Orchidaceae).
 Sebelumnya Van Steenis menyebutkan ada dua jenis yang endemik di Jawa Barat
yaitu Heynella lactea (Tjadasmalang) dan Silvorchis colorata (di sekitar Garut).
Selain itu, di Pulau Jawa, dari 6.543 jenis yang ada, 1.523 jenis (23,4 %) adalah
tanaman budidaya, sisanya berupa 4.598 jenis tumbuhan liar dan 413 jenis
tumbuhan asing yang ternaturalisasi. Sebagian dari tumbuhan alami terdapat di
kawasan konservasi yaitu hutan lindung, cagar alam, suaka margasatwa dan
taman nasional. Di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango terdapat 844 jenis
tumbuhan berbunga.
 Salah satu genus flora yang unik di Jawa adalah bunga Rafflesia. Jenis Rafflesia
padma banyak tercatat di hutan Jawa Barat dan jenis Rafflesia sochussenii yang
baru ditemukan kembali oleh pencinta alam Lawalata IPB di Gunung Salak
setelah 73 tahun hilang. Hutan pegunungan di Jawa Barat juga sebagai benteng
terakhir bagi bunga abadi Edelweiss (Anaphalis javanica). Bunga Edelweiss
dapat dijumpai di puncak-puncak pegunungan, seperti di Gunung Papandayan
(Garut), Gunung Ciremai (Kuningan), dan Gunung Gede-Pangrango (Bogor).

13 | P a g e

Program dan Kebijakan Pemerintah di Citarum
Dengan Sekema Pendanaan Hutang Luar Negeri
Beragam intervensi kebijakan dan program serta anggaran yang dikeluarkan untuk
menangani Citarum belum memberikan dampak perbaikan yang signifikan bagi
pemajuan kualitas lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat di DAS citarum. Dari
tahun ke tahun, kondisi kualitas lingkungan hidup makin memburuk dan bencana tak
terhindarkan lagi. Dalam kurun waktu lima tahun ke belakang, salah satu kebijakan dan
program untuk menyelesaikan persoalan pengelolaan WS Citarum adalah kebijakan
perencanaan terpadu dalam bentuk Citarum Roadmap yang disusun Bappenas yang
bersumber dari dana utang Asian Development Bank (ADB).
Dalam dokumen roadmap yang disusun 2009 dimutahirkan tahun 2010 dan 2011
terdiri dari 85 kegiatan yang terkait langsung dengan sektor air, yang dipilih
berdasarkan observasi lapangan dan konsultasi dengan stakeholder, dengan total nilai
investasi sebesar 3,5 miliar USD.Kegiatan lain juga dilakukan oleh pemerintah provinsi
Jawa Barat dan kabupaten Kota. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
provinsi Jawa Barat adalah dengan membentuk Dewan Sumber Daya Air. Namun,
beragam agenda dan kebijakan tersebut yang dijalankan oleh intansi pemerintah di
level nasional, provinsi dan kabupaten/kota, belum menjawab permasalahan utama
bahkan menyisakan sejumlah permasalahan menjadi penanda program tersebut tidak
berjalan secara efektif dan tepat sasaran.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Pawapeling dan Citarum Sobat Bumi yang didasarkan
pada lapora audit BPK RI tahun 2012 ditemukan sejumlah fakta:
1. Hasil pemeriksaan kinerja atas pengelolaan SDA WS Citarum pada umumnya
menunjukkan bahwa pengelolaan SDA WS Citarum selama periode TA 2009 sd 2012
kurang efektif
2. masih belum optimalnya pengendalian pencemaran yang dilakukan oleh Kemen LH
bersama dengan pemerintah daerah
3. ketidakefektifan anggaran yang dikelola instansi pemerintah pusat dan daerah
mencapai Rp 3,93 milyar
4. terdapat penyimpangan yang diduga mengandung unsur perbuatan melawan
hukum tindakan pidana lingkungan yang menimbulkan kerusakan lingkungan hidup
5. Terdapat dua perencanaan dan koordinasi pengelolaan WS Citarum yaitu Citarum
ROADMAP yang disusun oleh Bappenas dan pola rencana pengelolaan Sungai
Citarum yang disusun oleh Kementerian PU. Hal tersebut mengakibatkan potensi
ketidakjelasan pengelolaan Sungai Citarum, khususnya bagi para instansi terkait
pengelolaan di pusat dan daerah. Penyebabnya adalah lemahnya koordinasi antara
Kementerian PU dan Bappenas pada saat perencanaan kontrak dengan dalam
pembuatan pola dan rencana untuk WS Citarum. Kekuatan hukum roadmap Citarum
tidak jelas.
Selain itu, dari kajian laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II tahun 2012 BPK
ditemukan sejumlah masalah utama terutama menyangkut Koordinasi antar instansi
sehingga mempengaruhi terhadap efektivitas program dan kegiatan. Hal lain yang
menjadi penghambat adalah lemahnya penegakan hukum. BPK mencatat ada potensi
perbuatan yang melawan hukumlingkungan hidup sehingga bisa memperburuk kondisi
lingkungan, hal tersebut adalah :
14 | P a g e

1. Terdapat empat perusahaan di Kabupaten Purwakarta yang membuang limbahnya
tanpa memiliki izin pembuangan limbah cair.
2. Terdapat tujuh pelaku usaha (industri) di Kabupaten Bandung yang membuang
limbah cair ke WS Citarum melebihi baku mutu lebih dari satu kali dan empat pelaku
usaha (industri) yang membuang limbah cair tanpa memiliki izin pembuangan
limbah cair
3. Terdapat 16 pelakuusaha (Industri) di Kabupaten Bandung Barat yang membuang
limbah cair ke WS Citarum melebihi baku mutu lebih dari satu kali.
4. Adanya kasus-kasus yang terindikasi melanggar sejumlah peraturan perundangperundangan
5. Rekomendasi BPK terkait Proyek ICWRMIP adalah Bappenas harus mengintruksikan
Deputi Sarana dan Prasarana berkoordinasi dengan kementrian PU dalam
pengelolaan roadmap Citarum dengan memperhatikan amanat Loan ICWRMIP No
2500-INO(SF) dan 2501-INO (SF).
Berdasarkan temuan-temuan di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1. Adanya kelemahan koordinasi antar intansi dan sektor dalam penanganan Citarum
2. Terjadi dualisme perencanaan pengelolaan sungai Citarum
3. Kekuatan hukum Roadmap ICWRIMP dipertanyakan bahkan tidak sesuai dengan
memiliki dasar hukum
4. Lemahnya upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan
daerah kepada para perusahaan pencemar sungai Citarum
5. Indikasi perbuatan melawan hukum/pelanggaran terhadap peraturan perundanganundangan oleh intansi pemerintah dan perusahaan negara terkait dengan
pengelolaan anggaran negara mencapai Rp 22, 7 Milyar dengan jumlah kasus
mencapai 26 buah.
Berdasarkan fakta ini maka Kami memandang diperlukan satu agenda konsolidasi
semua pihak untuk memeriksa, menilai dan mengelaborasi gagasan-gagasan bersama
untuk membangun solusi ke depan.
Bandung, Januari 2014
KETUA PAGUYUBAN WARGA PEDULI LINGKUNGAN ( PAWAPELING)
KABID PROGRAM DAN DATABES CITARUM SOBAT BUMI (CSB) JAWA BARAT
ttd
ADI MULYADI
Hp. 087822617218

Sumber:
Diolah dari berbagai sumber

Citarum Bersih, Bumi Lestari!
"HEMAT KERTAS - PERTIMBANGKAN SEBELUM DI PRINT"
--semakin banyak pakai kertas, semakin banyak pohon harus ditebang--

15 | P a g e