Islam dalam Kebijakan Luar Negeri Negara

Islam dalam Kebijakan Luar Negeri Negara-negara Islam,
Idealisme Islam vs Pragmatisme: Studi Komparatif Indonesia,
Arab Saudi, dan Turki
Oleh Farah Dina F
(Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Abstract
Islam ever had its victorious moments. The fact that this modern civilization has been
much inspired by the glory of Islam can not be denied. Science and knowledge were
brought by Islamic scientists and experts who were sometimes forgotten by the
historical books and records. Islam was once a driving force ideology that motivated
many Islamic leaders to establish Islamic monarchy which based its rule on Islamic
rules and teachings. Holy Koran, Hadits, Ijma’, and Qiyas were the main sources of
references for the leaders to lead their people. Hundreds of years have been passed.
Globalization has brought a new era and surprisingly changed the foreign policy
orientation of Islamic states. Would these states stick to their idealism on holding
Islamic ideology as one of important factors in their foreign policy? Or Islamic ideology
has been no longer as the main driving force in foreign policy making? When the era of
Western states glory came, everything has changed, and so did the Islamic states in
making their foreign policy. Pragmatism has been seen so far as the only answer to
survive on this western capitalism era.

Key Words: Islam, Ideology, Foreign Policy, Islamic States, Western, Pragmatism
Introduction
Hubungan antara agama dan politik semakin mencolok di beberapa dekade terakhir,
khususnya agama Islam. Maka menurut penulis literatur hubungan internasional perlu
dilengkapi dengan kajian tentang pengaruh Islam dalam kebijakan luar negeri negara-negara
Islam dalam bentuk studi komparatif. Mengapa penulis memilih negara Indonesia, Arab
Saudi, dan Turki sebagai perbandingan? Inilah alasannya. Pengaruh Islam di negara dengan

mayoritas Muslim saat ini tidak dapat disamakan karena terdapat perbedaan pada latar
belakang sejarah, budaya, politik, demografi dan posisinya dalam hubungan internasional.
Islam di Asia Tenggara merupakan Islam yang moderat dan khas karena dalam
perkembangannya secara substansi telah tercampur dengan budaya lokal. Indonesia dipilih
karena jumlah penduduk Muslimnya yang sangat signifikan sehingga dapat mewakili
regional Asia Tenggara. Islam di Timur Tengah merupakan Islam yang masih relatif original
dan kental dengan warisan peradaban Islam di zaman Rasulullah SAW. Arab Saudi sebagai
negara yang pengaruhnya cukup kuat di Timur Tengah dipilih oleh penulis sebagai
representatif negera-negara Timur Tengah. Islam di Eropa hari ini semakin menyita perhatian
peneliti hubungan internasional. Turki yang sebagian wilayahnya berada di Eropa berdampak
pada masuknya pengaruh budaya Eropa ke dalam budaya asli negara runtuhan kerajaan Turki
Usmani yang begitu berjaya pada masanya ini. Maka perbincangan mengenai Turki sebagai

negara Islam yang kini menjadi sekuler pun semakin gencar dibicarakan.
Jadi, penulis akan menyajikan studi komparatif bersumber kepada literatur-literatur
yang terkait dengan masalah bagaimana pengaruh Islam terhadap kebijakan luar negeri ketiga
negara yang memiliki karakter masing-masing tersebut.
Dinamika Pengaruh Islam terhadap Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Arab Saudi, dan
Turki: studi komparatif
Ada dua cara bagaimana Islam dapat mempengaruhi sebuah kebijakan luar negeri
suatu negara Islam. Pertama, melalui hubungan institusional dan struktural antara Islam dan
rezim negara Islam tersebut. Dalam sejarah, agama Islam pernah berhasil menyatukan
seluruh suku Arab, yang sebelumnya tinggal di lokasi terpencil dan tersebar di area yang
berjauhan, menjadi masyarakat tunggal dan sebuah negara teokrasi yang bersatu. Praktek
tradisional dari negara-negara teokrasi ini yakni menyatukan agama dengan kekuasaan
politik, yang telah diusulkan oleh para pemimpin Arab, masih bertahan hingga awal masa
modern. Kemudian munculnya konsep nation-state pasaca Perang Dunia II membawa
perubahan pada hubungan erat agama dan politik ini di berbagai negara Islam. Hubungan
institusional dan struktural antara Islam dan rezim negara Islam bervariasi dalam tiga kategori
negara Islam. Pertama, negara Islam yang secara jelas mendeklarasikan pemisahan politik
dan agama, seperti Turki dan Tunisia. Derajat pengaruh Islam terhadap kebijakan luar negeri
negara dalam kategori ini tidak terlalu kuat. Kedua, negara Islam yang secara samar-samar
(tanpa deklarasi jelas) memisahkan politik dari agama, seperti Mesir, Suriah, Indonesia dan


mayoritas negara Islam lainnya. Derajat pengaruh Islam terhadap kebijakan luar negeri
negara dalam kategori ini cukup kuat. Ketiga, negara Islam yang masih mempertahankan
sistem teokrasi seperti Arab Saudi dan Iran. Derajat pengaruh Islam terhadap kebijakan luar
negeri sebuah negara Islam pada kategori ini sangat kuat.
Lalu cara yang kedua adalah melalui ideologi Pan-Islamisme dan fundamentalisme
Islam. Pan-Islamisme adalah ideologi yang menginginkan bersatunya seluruh umat Muslim
di dunia ke dalam sebuah entitas politik tunggal yang merupakan satu-satunya rumah bagi
seluruh Muslim. Kekuatan ideologi Pan-Islamisme yang mulai pudar karena runtuhnya
kerajaan Turki Usmani ini kemudian mendorong para ulama dunia untuk membentuk sebuah
organisasi religius internasional bernama Organisasi Konferensi Islam atau disingkat OKI
(sekarang berubah menjadi Organisasi Kerjasama Islam). Piagam OKI menginstruksikan
bahwa seluruh negara anggota harus melawan kolonialisme dan diskriminasi rasial, usaha
bersama dalam mempertahankan situs-situs Islam dari berbagai ancaman, dan melakukan
apapun untuk membantu perjuangan umat Islam meraih harga diri, kemerdekaan dan hak-hak
nasional. Maka dari itu, OKI telah berhasil menjadi sebuah dewan menteri negara-negara
Islam yang berfungsi sebagai wadah dan mekanisme bagi negara anggota untuk
berkoordinasi satu sama lain mengenai isu-isu inetrnasional. Pan-Islamisme OKI ini telah
membangkitkan semangat kerjasama antar sesama anggotanya dalam setiap kebijakan luar
negerinya terkait masalah Islam di hubungan internasional.

Selain Pan-Islamisme, ideologi fundamentalisme Islam juga menjadi cara bagi Islam
untuk dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri sebuah negara Islam. Contoh kelompok
fundamentalis Islam ini adalah Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jamaah Islamiyah (JI) Pakistan
dan al-Qaeda yang mulai mendirikan cabang di berbagai negara Islam di dunia. Para
fundamentalis ini mayoritas memposisikan dirinya sebagai oposisi negara dalam upaya
mempengaruhi kebijakan luar negeri negaranya. Kemampuan mereka untuk menciptakan
sebuah gelombang protes dan (pada bentuk ekstrimnya) melakukan aksi terorisme menjadi
faktor penekan pemerintah dalam pembuatan kebijakan luar negeri negara-negara Islam.1
Itulah cara bagaimana Islam mempengaruhi sebuah kebijakan luar negeri negara Islam.
Selanjutnya penulis akan menyajikan studi komparatif dinamika pengaruh Islam terhadap
kebijakan luar negeri di tiga negara Islam, yaitu Indonesia, Arab Saudi, dan Turki.

-

Dinamika Pengaruh Islam terhadap Kebijakan Luar Negeri Indonesia

1 WU Yungui, The Influence of Islam over the Foreign Policies of Contemporary Islamic Countries,

2011.


Sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim, banyak orang mengira
bahwa pengaruh Islam sangat kuat dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia.
Nyatanya tidak. Fakta yang perlu diingat adalah bahwa Indonesia bukanlah negara yang
secara jelas menyatakan identitasnya sebagai negara Islam dan tidak menjadikan al-Quran
dan Hadits sebagai sumber undang-undangnya. Sebagaimana dalam kategori yang telah
dijelaskan sebelumnya, Indonesia termasuk dalam kategori ketiga, yaitu negara yang secara
samar-samar (tanpa deklarasi jelas) memisahkan politik dari agama.
Indonesia adalah sebuah negara netral yang mengadopsi nilai-nilai Pancasila sebagai
basis negara dan memiliki pluralitas etnik, budaya, dan agama. Sebagai konsekuensi,
pemerintah memiliki kewajiban untuk mengakomodasi aspirasi kedua kelompok, yaitu
aspirasi Muslim (sebagai kelompok mayoritas) dan kelompok minoritas.2
Walaupun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 pertama kali diakui oleh
negara-negara Muslim di Timur Tengah, rezim Soekarno tidak pernah diarahkan oleh agenda
Islam. Sebagai konsekuensi dari dari prinsip bebas aktif, Islam tidak pernah menjadi faktor
utama dalam rezim Soekarno. Kealpaan faktor Islam dalam kebijakan luar negeri Indonesia
pada rezim Soekarno lebih terlihat jelas ketika Soekarno memperkenalkan Demokrasi
Terpimpin pada bulan Juli tahun 1957. Pemerintah saat itu menganggap Muslim sebagai
ancaman bagi kekuasaannya. Maka dari itu, Islam cenderung berfungsi sebagai elemen
positif dalam kebijakan luar negeri Indonesia saat perjuangan mendapatkan kemerdekaan.3
Islam di Kebijakan Luar Negeri Indonesia hanyalah berupa fisik, bukan substansi.

Hambatannya adalah pertimbangan prioritas domestik, kepentingan negara, dilema identitas,
dan masalah-masalah internal. Ketika kebijakan luar negeri Indonesia bersifat non-Islami,
kebijakan tersebut di sisi lain juga tidak kontradiktif dengan kepentingan Islam. Hal ini
terjadi ketika masa Presiden Soeharto yang tidak ingin terjadi perlawanan dari komunitas
Muslim. Masalah dual-identity muncul. Soeharto mengatasi masalah tersebut dengan
memberi jatah kepada Islam in terms of form, sedangkan substansinya adalah prioritas kepada
dimensi non-religius. Faktor Islam pada kebijakan luar negeri Soeharto berfungsi sebagai
instrumen untuk rezim Orde Baru mendamaikan kepentingan politik domestiknya dan
kepentingan eksternal regimnya. Semua ini tidak lepas dari ketergantungan Indonesia kepada
Barat, yang mana jika Indonesia terlalu mementingkan faktor agama dapat menurunkan
kepercayaan Barat kepada Indonesia.4
2 Ahmad Fuad Fanani, SBY and The Place of Islam in Indonesian Foreign Policy,
3 Ibid.,
4 Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy, 2003

2012

Dari masa pra-kemerdekaan hingga masa pasca-Soeharto, Muslim Indonesia
menggunakan Islam sebagai sumber nasionalisme (religius) dan benteng terhadap
kolonialisme, eksploitasi, dan represi. Sering dikatakan bahwa pada masa Orde Baru

Soeharto yang otoriter, Islam menjadi lebih radikal dari sebelumnya. Kebijakan depolitisasi
Islam Soeharto, yakni

Muslim boleh mengembangkan dimensi budaya dan religius

agamanya tanpa memasuki arena politik, membuat Islam makin tidak berpengaruh.
Ketidakmampuan Islam untuk berperan aktif dalam politik, domestik maupun internasional,
disebabkan salah satunya oleh tidak adanya partai politik, organisasi atau institusi Islam yang
kuat yang menyatukan seluruh Muslim Indonesia.
Jatuhnya Soeharto disambut dengan banyaknya kelompok-kelompok radikal Islam
yang muncul di Indonesia. Tujuan utama dari kelompok-kelompok radikal ini adalah untuk
mendirikan negara Islam di Indonesia. Bagaimanapun juga, alasan utama berkembangnya
kelompok radikal ini adalah karena kegagalan pemerintah untuk menegakkan hukum dan
menyelesaikan konflik etno-religius serta korupsi yang merajalela. 5 Maka, dilema-dilema
yang terjadi pada masa Soeharto terulang kembali pada pemerintahan Habibi.
Meskipun peran Islam meningkat dalam politik domestik setelah jatuhnya rezim
Soeharto pada tahun 1998, namun tidak demikian dengan perannya dalam kebijakan luar
negeri Indonesia. Islam tetap sebagai faktor nomor dua dibanding faktor-faktor utama
lainnya.6
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid juga terjadi dilema serupa. Rencana

Presiden Wahid untuk membuka kerjasama perdagangan dengan Israel ditolak oleh
komunitas Muslim. Dalam periode ini Islam berfungsi lebih sebagai mekanisme kontrol
daripada faktor utama dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Pada masa Presiden Megawati
justru karakter non-religius semakin nampak pada kebijakan luar negeri Indonesia.
Pemerintah tetap dihadapkan pada masalah double dilemmas, yakni dilema masalah
ketergantungan terhadap Barat karena masalah-masalah internal, serta dilema dual identitas
antara negara non-teokratik atau negara dengan mayoritas Muslim.7
Namun hal yang berbeda terjadi ketika masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono. Sebagai konsekuensi dari demokrasi dan meningkatnya politik Islam, pengaruh
Islam meningkat dalam kebijakan luar negeri Indonesia, walaupun dukungan untuk partai5Anak Agung Banyu Perwita, Islam “Symbolic Politics”, Democratization and Indonesian Foreign Policy
6 Ahmad Fuad Fanani, SBY and The Place of Islam in Indonesian Foreign Policy,
7 Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy, 2003

2012

partai Islam menurun secara signifikan. Faktor-faktor Islam yang mempengaruhi politik
cenderung moderat dan demokratis, hal ini menunjukan bahwa mayoritas Muslim di
Indonesia adalah moderat dan demokratis. Pasca peristiwa 9/11, Indonesia lebih aktif
mengkampanyekan Islam moderat. Indonesia juga berkomitmen untuk berperan aktif dalam
isu-isu Islam dalam hubungan internasional. Indonesia berusaha menjembatani negara-negara

Barat dan Islam. Pemerintah SBY mengadakan beberapa dialog untuk mengkampanyekan
Islam moderat dan meluruskan kesalahpahaman dunia internasional terhadap Islam. Semua
hal tersebut memperbaiki citra Indonesia dan Islam di mata Internasional.8
-

Dinamika Pengaruh Islam terhadap Kebijakan Luar Negeri Arab Saudi
Arab Saudi adalah negara monarki yang beroperasi dengan sistem yang mengintegrasi

politik dengan agama, dimana tidak ada konstitusi, partai politik dan sistem sekuler dan
hanya bersumber kepada al-Quran dan Hadits. Hanya hukum Islam yang menjadi pedoman
untuk menyelesaikan konflik sipil. Sektor religiusnya adalah bagian dari rezim
keseluruhannyakarena elit-elitnya memiliki kepentingan yang sama dengan keluarga
kerajaan. Maka dari itu, tujuan fundamental dari kebijakan laur negeri Arab Saudi adalah
untuk membawa dan merepresentasikan ortodoksi Islam, meraih kepentingan nasionalnya
melalui Islam dan mengkonsolidasi statusnya sebagai pemimpin dunia Islam. Contohnya,
Arab Saudi memutuskan untuk mengerahkan usahanya untuk mendukung AS dalam
memerangi komunisme Uni Soviet (1979-1989), dan melakukan apapun untuk membantu
militer mujahidin Afganistan yang bertujuan untuk mencapai kepentingannya di regional
Asia Tengah.9
Islam adalah unsur penting dalam kebijakan luar negeri Arab Saudi. Sejak tahun

1950an, tiga tema utama yang konsisten terdapat di kebijakan luar negeri Arab Saudi adalah:
keamanan regional, nasionalisme Arab dan Islam. Ketiga tema utama ini saling
mempengaruhi satu sama lain. Islam memberikan dasar pertimbangan Arab Saudi untuk
mencari aliansi dan mungkin yang lebih penting menjadi pemimpin bagi negara-negara
Muslim, tidak hanya di Timur Tengah namun juga di regional Asia dan Afrika, seperti
Pakistan, Bangladesh dan Somalia.
Islam juga merupakan motivasi utama bagi Arab Saudi untuk melawan komunisme
Uni Soviet selama Perang Dingin. Hal ini berarti bahwa dari tahun 1938 hingga 1991, Arab

8 Ahmad Fuad Fanani, SBY and The Place of Islam in Indonesian Foreign Policy, 2012
9 WU Yungui, The Influence of Islam over the Foreign Policies of Contemporary Islamic Countries,

2011.

Saudi tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Uni Soviet yang dianggapnya sebagai
negara Tidak Bertuhan. Hal tersebut juga membuat Arab Saudi menjadi aliansi dekat AS.
Sejak invasi Afganistan, muncul isu Somalia, Chechnya dan Bosnia yang menjadi
perhatian penting kebijakan luar negeri Arab Saudi. Para alumni universitas Islam juga
dibekali spirit Islami. Alumni-alumni inilah yang kemudian dikirim ke berbagai belahan
dunia untuk menyebarkan kepentingan Islami Arab Saudi.

Memang saat ini banyak opini bahwa Arab Saudi adalah aliansi dekat AS dan
cenderung menjadi proksi kepentingan AS di Timur Tengah. Namun bagaimanapun, unsur
Islam masih merupakan unsur utama dalam pembuatan kebijakan luar negeri Arab Saudi.10
-

Dinamika Pengaruh Islam terhadap Kebijakan Luar Negeri Turki
Turki menempati tempat khusus dalam sistem internasional karena posisinya yang

berada di perbatasan antara utara versus selatan dan antara timur versus barat. Terlepas dari
posisi geografinya yang unik, Turki juga menempati posisi yang spesial diantara peradabanperadaban yang berbeda: Muslim, Timur Tengah dan Barat. Turki adalah negara dengan
mayoritas Muslim tetapi juga menganut versi unik negara sekuler yang menerapkan
demokrasi gaya Barat. Walaupun posisi geografis dan budayanya di sistem internasional
yang berada di perbatasan tersebut memungkinkan Turki untuk mempertahankan kebijakan
luar negeri yang multidimensional, namun Turki telah menetapkan identitasnya sebagai
negara “Barat”, khususnya negara “Eropa” dan telah menjalin hubungan dekat dengan
Amerika Serikat.
Gerakan modernisasi atau westernization di Turki mulai terjadi ketika kekuasaan
kerajaan Turki Utsmani menurun di abad 17 dan 18. Ketika Eropa mulai mengalahkan
pasukan Turki Utsmani, pemimpin Turki Utsmani mengirimkan sebuah misi ke Eropa dan
membuka kedutaan besar di berbagai ibukota Barat untuk memahami superioritas Barat.
Ketika misi ini menemukan bahwa keunggulan Barat adalah hasil dari penggunaan ilmu dan
teknologi Turki, pemerintah Turki Utsmani ingin membawa pulang teknologi baru ke
kerajaan mereka dengan mendirikan sekolah-sekolah teknik mesin, medis, militer dan sipil
dengan kurikulum sekuler dan positivis.
Tanzimat, istilah untuk reformasi Kerajaan Turki Utsmani, segera dimulai. Contoh
sistem sekular yang diterapkan diantaranya sekolah medis militer pada tahun 1827, sekolah
10 Simon Henderson, Institutionalized Islam: Saudi Arabias’s Islamic Policies and The Threat They Pose, 2003

militer pada tahun 1836 dan fakultas ilmu administrasi pada tahun 1859. Walaupun tujuan
dari pendirian institusi-institusi ini hanya untuk mengadopsi aspek-aspek material peradaban
Barat, ide-ide positivis dan nilai-nilai budaya Barat juga mulai menyebar dengan cepat,
khususnya diantara kelas-kelas sosial baru yang terbentuk oleh sistem pendidikan sekuler di
kerajaan Turki Utsmani.
Khususnya di sekolah medis militer, pembelajaran pengobatan modern, Biologi dan
Fisika berhasil membawa mental rasionalis dan positivis ke dalam pemikiran muridmuridnya yang kelak menjadi agen reformasi Turki secara besar-besarnya. Menciptakan
kelas-kelas birokrat dan militer dengan ide-ide sekuler dan materialis berarti bahwa
reformasi yang terjadi di Turki pada abad 19 dan 20 kemudian dibawa oleh kelas-kelas ini,
bukan masyarakat secara luas. Walaupun proyek modernisasi ini pada mulanya ditujukan
untuk menyelamatkan kerjaan Turki Utsmani yang mulai hancur, namun pada prakteknya
modernisasi ini melampaui jauh tujuan tersebut dan pada pertengahan kedua abad 19 banyak
hukum-hukum Barat diterapkan.
Namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Menurut sebuah kelompok oposisi
bernama Pemuda Utsman (The Young ottoman), reformasi modernisasi adalah usaha imitasi
sistem Eropa yang mengesampingkan nilai-nilai tradisional Utsmani dan Islam. Mereka
menilai bahwa reformasi belum mampu menyelamatkan kerajaan Turki Utsmani, malah
membuat kerajaan tunduk pada kepentingan Eropa. Menurut mereka, kerajaan harus
mengikuti jejak negara-negara liberal Eropa namun tetap mempertahankan hukum-hukum
Islam.
Penyebaran ideologi Eropa melalui sistem pendidikan yang sekuler di kerajaan juga
menciptakan generasi baru elit-elit Barat yang melawan rezim Raja Abdulhamit II. Mereka
mendirikan komite kecil bernama Ittihat ve Terakki Cemiyeti (Committe of Union and
Proggress, CUP). Sebagian anggota dari mereka ditangkap oleh kerajaan namun sebagain
berhasil melarikan diri ke Paris, Perancis. Kelompok yang berada di Perancis ini
menamakan dirinya sebagai Pemuda Turki (The Young Turks). Ide-ide Pemuda Turki ini
dengan cepat menyebar dan menghasilkan sebuah revolusi di tahun 1908 yang membuka era
konstitusional kedua dalam sejarah Turki.
Pemuda Turki ini sangat dipengaruhi oleh pembelajaran pengetahuan Eropa dan
materialisme. Kontras dengan Pemuda Utsman, mereka tidak berusaha menyatukan
peradaban Barat dan nilai-nilai Islam. Justru mereka melakukan sekularisasi sistem hukum

dan pendidikan di Turki yang mendiskreditkan posisi Ulama. Terjadi persaingan utama
antara tiga ideologi yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Turki pada saat itu, yaitu
Utsmanisme, Pan-Islamisme dan Pan Turkisme. Namun ada juga ideologi Westernism
sebagai ideologi tandingan dari ketiganya. Pengikut Utsmanisme dan Islamisme yang tidak
melawan ide peminjaman nilai-nilai, ilmu dan teknologi Barat untuk Turki berusaha untuk
mengkorporasi unsur-unsur Barat tersebut kedalam prinsip-prinsip Islam. Namun westeners
percaya bahwa jika Turki Utsmani ingin mengadopsi peradaban Eropa maka harus
dilakukan secara total, tanpa harus mempertahankan unsur Islam.
Kemudian terjadilah revolusi Kemalisme pada awal tahun 1920 an yang kemudian
berusaha untuk meninggalkan seluruh nilai-nilai Islam dalam kebijakan luar negeri Turki.
Pada saat itulah terjadi perubahan dari sistem Kerajaan Turki Utsmani menjadi Republik
Turki. Menurut elit Kemalis, hanya ada satu peradaban: Eropa. Kemudian Kemalisme
menjadi ideologi resmi Republik Turki. Hal ini membawa dampak penting bagi
pembentukan kebijakan luar negeri Turki. Kontruksi identitas baru ini memberikan
frameworks baru bagi para pembuat kebijakan. Turki saat itu mulai bergabung dengan
berbagai institusi internasional modern.
Namun karena reformasi kemalisme ini hanya menyentuh para elit kota dan tidak
menyentuh seluruh masyarakat yang ada di pedesaan, maka kemudian terjadilah
kebangkitan Politik Islam. Politik Islam ini mulai menantang validitas orientasi kebaratan
Turki dan menginginkan sebuah perubahan dalam kebijakan domestik dan luar negeri Turki.
Ketika Partai Kesejahteraan Islam memenangkan pemilu pada tahun 1995, pemimpin partai
tersebut (Necmettin Erbakan) mulai menjalin hubungan dekat dengan negara-negara
Muslim Timur Tengah dan memotong hubungan Turki dengan Kristian Barat dan Israel.
Kemudian muncul Partai Islam lain seperti AKP (Justice and Development Party) yang
meneruskan kebangkitan Politik Islam.
Dominasi AKP dalam kebijakan Turki menjadi perhatian khusus AS dan para
sekutunya. Dominasi AKP ini mengerosi demokrasi dan fungsi check and balances dalam
pemerintahan Republik Turki.11
Sebagai kesimpulan, sejak kelahirannya tahun 1923, kebijakan luar negeri Republik
Turki merupakan ekstensi dari kebijakan domestiknyandan perdebatan kebijakan luar negeri
tersebut berkembang di sekitar isu identitas Turki dan akan berlanjut seperti itu. Secara
11 Soner Cagaptay, Secularism and Foreign Policy in Turket, 2007

spesifik, pembagian sekuler atau Islamis telah menjadi determinan utama dalam
pembentukan kebijakan luar negeri Turki. Tantangan para Islamis ketika bangkitnya Politik
Islam di Turki saat ini menjadi pertimbangan penting bagi pembuat kebijakan.
Bagaimanapun juga hal ini tetap menjadi tugas sulit bagi para Islamis karena ketika Turki
mengkontruksi identitasnya, Turki menjadikannya unsur penting dalam kebijakan domestik
dan luar negeri. Para Republikan telah menciptakan institusi militer, yudikatif dan
pemerintahan secara keseluruhan yang lebih mendukung sekulerisme. Maka, masa depan
kebijakan luar negeri Turki akan bergantung kepada negosiasi kedua kelompok ini.12
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa unsur Islam di kebijakan luar negeri Indonesia, Arab Saudi dan
Turki mengalami proses sejarah yang luarbiasa. Unsur Islam ini dipengaruhi banyak faktor
seperti hadirnya kelompok penekan yang mayoritas berasal dari kelompok Islamis. Faktor
lain seperti karakter pemimpin juga mempengharuhi derajat unsur Islam dalam kebijakan
luar negeri ketiga negara ini.
Namun pada faktanya unsur Islam semakin kuat di kebijakan luar negeri ketiga negara
ini walaupun terkadang masih terdapat pragmatisme disebabkan oleh interdependensi
mereka kepada negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa. Negara Barat jelas akan
memberi tekanan kepada ketiga negara ini untuk menganut nilai-nilai Barat agar tetap dapat
dikontrol dan tidak mengancam peradaban Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Cagaptay, Soner. Secularism and Foreign Policy in Turket, 2007
Bozdaglioglu, Yucel. Modernity, Identity and Turkey’s Foreign Policy, 2008
Henderson, Simon. Institutionalized Islam: Saudi Arabias’s Islamic Policies and The Threat They Pose, 2003
Yungui, WU. The Influence of Islam over the Foreign Policies of Contemporary Islamic Countries, 2011.
Sukma, Rizal. Islam in Indonesian Foreign Policy, 2003
Perwita, Anak Agung Banyu. Islam “Symbolic Politics”, Democratization and Indonesian Foreign Policy
Fanani, Ahmad Fuad. SBY and The Place of Islam in Indonesian Foreign Policy, 2012

12 Yucel Bozdaglioglu, Modernity, Identity and Turkey’s Foreign Policy, 2008