KEMAMPUAN GENERALISASI DAN ANALOGI SISWA

KEMAMPUAN GENERALISASI DAN ANALOGI SISWA DALAM
PEMEROLEHAN KONSEP JAJARGENJANG DAN KESEBANGUNAN SEGITIGA
Retno Kusuma Ningrum
Jurusan Matematika, FMIPA, Unesa
email : boenga16@yahoo.com

A. Pendahuluan
Tujuan diberikan pelajaran matematika di jenjang sekolah seperti yang
tercantum dalam Standart Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tingkat SMP
antara

lain menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan
dan pernyataan matematika. Jika melihat pada tujuan tersebut, tampak bahwa
kemampuan penalaran memegang peran penting dalam proses – proses dalam
pembelajaran matematika. Penting bagi seorang guru untuk mengetahui kemampuan
penalaran peserta didiknya sebagai salah satu persiapan pelaksanaan pembelajaran
matematika. Pembelajaran matematika melibatkan dua aspek penalaran yaitu
penalaran deduktif dan penalaran induktif. Dalam makalah


ini akan dibahas

mengenai penalaran induktif siswa, khususnya pada kemampuan generalisasi dan
analogi siswa dalam submateri jajargenjang dan kesebangunan segitiga pada dua
orang siswa kelas IX SMP.

B. Penalaran induktif
Penalaran merupakan suatu proses berpikir , dimana terjadi pengorganisasian
pengetahuan – pengetahuan untuk membentuk sebuah konsep baru berdasarkan
sistematika pemikiran yang logis. Menurut Fatima (2008:27) terdapat beberapa tipe
dari penalaran, salah satunya adalah penalaran induktif.
Menurut Markman dan Geutner (2001) dalam Santrock, penalaran induktif
adalah penalaran dari hal – hal yang spesifik menuju sebuah

kesimpulan yang

bersifat lebih umum, mengambil kesimpulan (membentuk konsep) tentang semua
anggota suatu kategori berdasarkan observasi dari beberapa anggota. Sedangkan
menurut Keraf (1987:43) penalaran induktif diartikan sebagai penurunan fakta –
fakta tertentu yang bersifat individual untuk mendapatkan sebuah kesimpulan. Secara


umum, dapat dikatakan bahwa penalaran induktif bergerak dari hal – hal yang
khusus untuk mendapatkan sebuah kesimpulan yang bersifat umum.

Menurut Soekadijo (1991), konklusi atau kesimpulan yang dihasilkan oleh
penalaran induktif bersifat lebih luas daripada fakta- fakta yang ada. Misalkan pada
contoh di bawah ini, terdapat beberapa fakta – fakta tentang segitiga ( dalam Geometri
Euclid)
-

Segitiga sama kaki memiliki jumlah sudut 1800

-

Segitiga sama sisi memiliki jumlah sudut 1800

-

Segitiga tumpul memiliki jumlah sudut 1800


-

Segitiga sebarang memiliki jumlah sudut 1800

Pengamatan tersebut dilakukan terhadap 10 jenis segitiga yang lain. Dari kesamaan –
kesamaan yang ada pada fakta – fakta yang telah diketahui, dapat dibuat sebuah
hipotesis sebagai kesimpulan awal bahwa segitiga kesepuluh juga memiliki jumlah
sudut sebesar 1800. Selain itu, untuk jenis – jenis segitiga yang lain juga diharapkan
memiliki jumlah sudut 1800 juga. Proses pengambilan konklusi inilah yang
merupakan proses penalaran induktif. Hal ini sesuai dengan definisi penalaran
induktif

yang dikemukakan oleh Aristoteles (dalam Soekadijo,1991), bahwa

pengambilan kesimpulan merupakan suatu proses peningkatan dari hal – hal yang
bersifat individual menuju ke sebuah kesimpulan yang bersifat universal.
Menurut Soekadijo (1991:132), terdapat 3 ciri – ciri utama dari penalaran induktif,
yaitu :
1. Premis – premis dari induksi adalah proposisi empirik yang langsung kembali
pada suatu observasi atau proposisi dasar yang menunjuk pada suatu fakta. Jadi

pikiran tidak dapat mempersoalkan bagaimana kebenarannya namun hanya bisa
menerimanya.
2. Konklusi – konklusi dari penalaran induktif lebih luas daripada apa yang
dinyatakan dalam premis – premisnya
3. Meskipun konklusi tidak bersifat mengikat, namun dapat diterima oleh pikiran
dan dipercaya kebenarannya. Konklusi – konklusi ini tidak mengandung nilai
kebenaran, hanya berupa probabilitas atau kemungkinan.

C. Jenis Penalaran Induktif

1. Generalisasi Induktif
Generalisasi merupakan suatu proses penalaran, dimana pengambilan
kesimpulan berdasarkan pada hal- hal atau fakta – fakta yang bersifat umum. Keraf
(1987:43) mendefinisikan penalaran generalisasi sebagai sebuah proses penalaran
yang beracuan pada fenomena – fenomena individual untuk mendapatkan sebuah
kesimpulan yang bersifat umum, yang mencakup semua fenomena tadi.
Menurut Soekadijo (1991:134) prinsip utama yang menjadi dasar penalaran
generalisasi adalah sesuatu yang terjadi beberapa kali dalam suatu kondisi tertentu
dapat diharapkan selalu terjadi pada kondisi – kondisi lain yang serupa. Dalam contoh
diatas misalnya, sebanyak empat kali pengamatan, didapatkan fakta bahwa jumlah

sudut dari segitiga adalah 1800, meskipun segitiga – segitiga tersebut berbeda jenis.
Maka ketika ditemui segitiga kelima dan seterusnya, dengan jenis segitiga yang
berbeda dari keempat segitiga yang ada, dapat disimpulkan segitiga tersebut juga
memiliki jumlah sudut 1800. Tetapi konklusi yang didapatkan hanya berupa sebuah
harapan/ kemungkinan. Hal ini sesuai dengan ciri – ciri dari penalaran induktif,
konklusi yang dihasilkan hanya berupa suatu kemungkinan yang belum dapat
dipastikan nilai kebenarannya.
Menurut Soekadijo (1991:134), syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh
sebuah proses penalaran generalisasi antara lain :
a. Generalisasi tidak terbatas secara numerik, artinya sebuah kesimpulan hasil
generalisasi tidak terbatas pada jumlah tertentu. Sebagai contoh, jika dikatakan
sebuah segitiga memiliki jumlah sudut 1800, berarti hal tersebut berlaku untuk
semua bangun dengan kondisi yang sama dengan kondisi segitiga pada
geometri Euclid.
b. Generalisasi tidak terbatas secara spasio-temporal. Artinya, kesimpulan
tersebut berlaku secara umum, tidak terbatas pada ruang dan waktu.
c. Generalisasi harus dapat dijadikan sebagai dasar pengandaian. Sebagai contoh:
a dan b adalah sebuah bangun yang tidak memenuhi definisi bangun segitiga
pada geomeri Euclid. Terdapat sebuah generalisasi bahwa setiap segitiga
memiliki jumlah sudut 1800. Yang dimaksud pengandaian adalah : Andaikan a

dan b memiliki kondisi yang sama dengan bangun segitiga pada geometri

Euclid, maka bangun a dan b memiliki jumlah sudut 1800. Generalisasi yang
bisa dijadikan pengandaian seperti itulah yang memenuhi syarat ketiga ini.
Kesimpulan yang dihasilkan oleh generalisasi ini merupakan sebuah proposisi
universal
2. Analogi Induktif
Analogi adalah membandingkan dua hal yang memiliki banyak persamaan.
Kesimpulan yang diambil dengan jalan analogi adalah dengan cara membandingkan
situasi yang satu dengan yang telah ada sebelumnya. Dalam bukunya, Keraf
(1987:48) juga menyebutkan bahwa hasil dari analogi adalah sebuah kesimpulan yang
didapatkan dari dua peristiwa khusus yang mirip satu sama lain.
Menurut Soekadijo (1991: 139) yang dimaksud dengan analogi adalah
membicarakan mengenai dua hal yang berlainan, namun saling diperbandingkan satu
sama lain. Dalam melakukan perbandingan, yang dilihat adalah persamaan dan
perbedaan dari dua hal yang diperbandingkan

tersebut. Analogi dapat dijadikan

sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran.

Dalam contoh misalnya, dikatakan bahwa
a. Sebuah bangun datar yang memiliki tiga sisi dan salah satu sudutnya
merupakan sudut tumpul, memiliki jumlah sudut 1800.
b. Sebuah bangun datar yang memiliki tiga sisi dan salah satu sudutnya
merupakan siku – siku memiliki jumlah sudut 1800
c. Sebuah bangun datar yang memiliki tiga sisi dan ketiga sisinya memiliki
panjang yang sama memiliki jumlah sudut 1800
Untuk jenis bangun keempat, misalnya bangun datar yang memiliki tiga sisi
dan ketiga sudutnya merupakan sudut lancip, diharapkan juga berlaku bahwa jumlah
sudut dari segitiga tersebut adalah 1800.

Analogi induktif tidak hanya dapat

menunjukkan persamaan diantara dua hal yang berbeda, tetapi juga dapat dijadikan
sebagai dasar pengambilan sebuah kesimpulan dengan berdasar pada kesamaan –
kesamaan yang ada. Seperti dalam contoh diatas, kondisi bangun keempat yang
dibandingkan dengan kondisi ketiga

bangun yang pertama dapat mengakibatkan


sebuah kesimpulan yaitu bangun keempat juga memiliki jumlah sudut 1800.

Hasil kesimpulan berdasarkan proses analogi bergantung dari subjek – subjek
yang dibandingkan, tidak selalu berupa proposisi universal. Subjek – subjek itu
sendiri dapat bersifat individual, partikular maupun universal. Namun, seperti halnya
penalaran induktif yang lain, konklusi yang didapatkan juga lebih luas daripada
premis – premisnya.
D. Kesesatan Penalaran Generalisasi dan Analogi
Selain beberapa faktor objektif (faktor yang berhubungan dengan premis yang
akan diambil konklusinya) yang mempengaruhi probabilitas konklusi, pengambilan
kesimpulan atau sebuah konklusi juga dipengaruhi oleh faktor lain yang bergantung
pada individu pengambil kesimpulan, yang disebut faktor subjektif. Faktor subjektif
ini bersifat personal , dalam artian bergantung pada masing – masing individu
pembuat konklusi dan biasanya tidak disadari oleh individu tersebut. Biasanya jika
setelah mengambil kesimpulan yang kurang

tepat, ketika dikaji lagi, pengambil

konklusi akan dapat menemukan ketidaksesuaian konklusi yang diambil dengan
kaidah penalaran yang berlaku. Kesimpulan atau konklusi yang salah inilah yang

dinamakan dengan suatu kesesatan.
Menurut Soekadijo (1991:140), terdapat beberapa jenis kesesatan yang dapat
terjadi, antara lain :
a. Kesesatan karena tergesa – gesa
Jenis kesesatan ini dapat terjadi jika pengambilan konklusi dilakukan secara
tergesa – gesa, dalam artian hanya berdasarkan pada beberapa premis ( dalam
jumlah kecil).
b. Kesesatan karena kecerobohan
Jenis kesesatan ini terjadi akibat kecerobohan pembuat konklusi dalam
menganalisis faktor yang penting yang terdapat dalam proses penalaran.
c. Kesesatan karena prasangka
Jenis kesesatan ini terjadi akibat adanya asumsi tertentu yang dimiliki oleh
pembuat konklusi, yang menyebabkan pengambil konklusi tidak mengindahkan
fakta – fakta

yang tidak bersesuaian dengan hasil konklusi, meskipun fakta

tersebut bertentangan dengan kaidah yang ada.
Selain tiga faktor diatas, ada beberapa faktor tambahan yang dapat
mengakibatkan kesesatan dalam penalaran seperti yang dituliskan oleh Keraf

(1987:87) antara lain :

a. Generalisasi / analogi sepintas lalu
Jenis kesesatan ini terjadi akibat pembuat koklusi tidak mau menganalisis lebih
mendalam mengenai fakta yang ada sebelum membuat sebuah kesimpulan
tentang sebuah topik yang sedikit rumit.

b. Analogi yang pincang
Jenis kesesatan ini bisa terjadi akibat ketidaktelitian pembuat konklusi dalam
menganalogikan dua hal, dalam artian pembuat konklusi salah menganalogikan
dua hal yang sebenarnya berlainan untuk mengambil sebuah kesimpulan.

E. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari dua orang siswa yang menjadi subjek penelitian
:
1. Soal generalisasi
Berdasarkan hasil penugasan dan wawancara kepada dua orang siswa kelas IX SMP,
diperoleh ringkasan sebagai berikut :



Siswa 1
Ciri – ciri pada bangun yang termasuk jajargenjang
1. Mempunyai 2 sisi panjang dengan panjang yang sama (ditemukan pada 2
bangun, yaitu jajargenjang dan persegi panjang)
2. Mempunyai 2 sisi lebar dengan panjang yang sama (ditemukan pada 2
bangun, yaitu jajargenjang dan persegi panjang)
3. Mempunyai 4 sisi yang sama panjang (ditemukan pada 2 bangun, yaitu
persegi dan belah ketupat)
4. Masing – masing sudut yang berhadapan besarnya sama (ditemukan pada
keempat bangun)
5. Perpotongan kedua diagonalnya membagi bangun menjadi 4 segitiga siku
– siku (menggambarkan pada bangun jajargenjang)
Dalam mendefinisikan jajargenjang, siswa melakukan pengguguran beberapa
ciri – ciri, yaitu :
1. Mempunyai 4 sisi yang sama panjang

2. Perpotongan kedua diagonalnya membagi bangun menjadi 4 segitiga siku
– siku
Alasan siswa melakukan pengguguran ciri pertama adalah karena menurut
siswa tidak semua bangun dalam soal memiliki 4 sisi yang sama
panjang.sedangkan pengguguran ciri yang kedua adalah karena diagonal dari
masing – masing bangun tidak semua nampak pada gambar.
Gambar 1. Definisi Jajargenjang siswa 1

Pendefinisian diatas telah memenuhi ketiga syarat dalam proses penggeneralisasian,
yaitu :
1. Generalisasi tidak terbatas secara numerik. Dalam hal ini siswa dapat menunjukkan
bahwa ada bangun lain yang berbeda dengan bangun yang telah diberikan, yaitu
bangun ketiga dalam soal selanjutnya yang memenuhi definisi jajargenjang yang
telah dibuat.
2. Generalisasi tidak terbatas secara spasio-temporal.
3. Generalisasi

harus

dapat

dijadikan

sebagai

dasar

pengandaian.

Bentuk

pengandaiannya adalah : misalkan terdapat layang – layang ABCD. Andaikan layang
- layang ABCD memiliki 2 sisi yang berhadapan yang sama panjang dan sudut yang
berhadapan yang sama besar, maka layang – layang ABCD juga merupakan
jajargenjang.

Gambar 2. Bangun lain yang termasuk jajargenjang sesuai definisi siswa 1



Siswa 2
Ciri – ciri pada bangun yang termasuk jajargenjang
1. Mempunyai 2 sisi yang berhadapan dengan panjang yang sama
(ditemukan pada 2 bangun, yaitu jajargenjang dan persegi panjang)
2.

Mempunyai 4 sisi dengan panjang yang sama ( ditemukan pada
bangun persegi)

3. Masing – masing sudut yang berhadapan besarnya sama (ditemukan
pada keempat bangun)
4. Memiliki sisi yang sejajar dan jumlah sudut yang sama ( ditemukan
pada bangun belah ketupat)
Dalam mendefinisikan jajargenjang, siswa tidak melakukan pengguguran ciri
– ciri dari yang telah disebutkan. Berdasarkan pada sisi yang berhadapan
dalam bangun – bangun yang termasuk jajargenjang, siswa mendefinisikan
jajargenjang sebagai berikut :

Gambar 3. Definisi jajargenjang siswa 2

Namun dalam pendefinisian bangun lain yang termasuk jajargenjang, siswa
melakukan kesalahan. Siswa menunjuk bangun trapesium sebagai bangun
yang merupakan jajargenjang, karena trapesium tersebut memiliki sepasang
sisi yang sejajar, meskipun panjang kedua sisi tersebut tidak sama.
Berdasarkan faktor kesesatan yang telah dibahas sebelumnya, kesalahan yang
dilakukan siswa termasuk dalam kesesatan karena prasangka. Siswa
mengabaikan ketaksamaan panjang sisi yang sejajar dalam trapesium karena
menganggap

panjang

rusuk

yang

tidak

sama

tidak

mempengaruhi

kesejajarannya . (dalam hal ini siswa melupakan tentang syarat pada sisi yang
sejajar

yang harus sama panjang , yang telah disebutkan dalam definisi

jajargenjang yang telah dibuat).
Gambar 4. Bangun lain yang termasuk jajargenjang berdasarkan definisi siswa 2

Pendefinisian diatas telah memenuhi ketiga syarat dalam proses penggeneralisasian,
yaitu :

1. Generalisasi tidak terbatas secara numerik. Dalam hal ini siswa dapat
menunjukkan bahwa ada bangun lain yang berbeda dengan bangun yang telah
diberikan. (ketika ditanya mengenai gambar ketiga pada soal ketiga, siswa dapat
menyebutkan bahwa bangun tersebut memenuhi definisi jajargenjang yang
dibuatnya)
2. Generalisasi tidak terbatas secara spasio-temporal.
3. Generalisasi harus dapat dijadikan sebagai dasar pengandaian.

Bentuk

pengandaiannya adalah : misalkan terdapat layang – layang ABCD. Andaikan
layang - layang ABCD memiliki sisi yang sama panjang dan sejajar, maka
layang – layang ABCD juga merupakan jajargenjang.

2. Soal analogi
Berdasarkan hasil penugasan dan wawancara kepada dua orang siswa kelas IX SMP,
diperoleh ringkasan sebagai berikut :

-

Soal no.1

Gambar 5. Jawaban siswa 1

Gambar 6. Jawaban siswa 2



Siswa 1 (kesimpulan benar)

Siswa menyatakan bahwa kedua bangun tersebut sebangun dan
mengetahui bahwa soal tersebut sejenis dengan pengetahuan ke 2
yang diberikan. Alasannya adalah karena kedua bangun tersebut sama
– sama memiliki empat sisi yang panjangnya sama. Siswa juga
menyebutkan bahwa dua bangun yang memiliki panjang sisi yang
sama pasti sebangun.


Siswa 2 (kesimpulan benar)
Siswa menyatakan bahwa kedua bangun tersebut sebangun dan
menganggap soal tersebut sejenis dengan pengetahuan ke 1 dan ke 2.
Di dalam alasannya siswa menyebutkan bahwa kedua bangun
memiliki sudut yang sama jumlahnya. Disini sudut yang dimaksudkan
siswa adalah sudut yang berhadapan pada masing – masing bangun
sama besar.

-

Soal no.2

Gambar 7. Jawaban siswa 1

Gambar 8. Jawaban siswa 2



Siswa 1 (kesimpulan benar)

Siswa mengetahui bahwa soal tersebut sejenis dengan pengetahuan ke
1 yang diberikan dan mengatakan bahwa kedua bangun tersebut
sebangun. Alasannya adalah karena kedua segitiga tersebut memiliki
sudut – sudut dengan ukurann yang sama. Sebelum mengambil
kesimpulan, siswa menghitung dulu sudut ketiga dari masing – masing
segitiga.


Siswa 2 (kesimpuan benar)
Siswa menyebutkan bahwa kedua bangun tersebut sebangun. Tetapi
siswa menyimpulkan hal tersebut hanya berdasarkan pada bentuk
kedua bangun yang sama, bukan berdasarkan sifat dari dua bangun
datar yang sebangun (dalam soal ini diharapkan perhatian siswa ada
pada besar sudut pada masing – masing bangun) . Hal ini dapat terlihat
dari alasan dari siswa tentang kesebangunan kedua segitiga tersebut,
yaitu siswa menyatakan dua bangun tersebut sebangun meskipun
memiliki sudut yang tidak sama besar. Menurut siswa, soal ini hampir
sama dengan pengetahuan pertama, terdapat dua buah bangun yang
sama bentuknya, hanya saja pada soal ini besar sudut yang diketahui
berbeda. Dalam proses penalaran ini, kesalahan penganalogian siswa
termasuk dalam kategori analogi sepintas lalu karena siswa tidak
menganalisis secara mendalam mengenai suatu faktor analogi.

-

Soal no.3

Gambar 9. Jawaban siswa 1

Gambar 10. Jawaban siswa 2



Siswa 1 ( kesimpulan benar)
Siswa mengaku bingung melihat soal no. 3 dan tidak dapat
menemukan bentuk analogi dari pengetahuan yang diberikan. Untuk
menentukan 2 bangun tersebut sebangun atau tidak, siswa menghitung
luas bangun tersebut terlebih dahulu. Lalu siswa melihat pada sisi DC
= EH, dan AD ≠ EH. Setelah melakukan hal tersebut, siswa
menyimpulkan bahwa kedua bangun tersebut tidak sebangun



Siswa 2 (kesimpulan salah)
Siswa mengatakan bahwa kedua bangun tersebut sebangun karena
kedua bangun tersebut sama – sama berbentuk trapesium siku – siku.
Ketika ditanya bagaimana dengan panjang sisinya, siswa menjawab
kedua trapesium tersebut memiliki panjang sisi yang berlainan, namun
hal tersebut tidak mempengaruhi kesebangunannya, karena menurut
siswa kasus soal tersebut sama seperti kasus dalam pengetahuan ke 3.
Kesalahan pengambilan kesimpulan ini dapat dikategorikan dalam
kesalahan yang disebabkan oleh faktor analogi yang pincang, karena
siswa menganalogikan faktor yang salah dalam proses penalaran
(dalam hal ini seharusnya siswa melihat kepada perbandingan sisi dari
kedua bangun, bukan hanya berdasarkan bentuk bangunnya saja).

-

Soal no.4

Gambar 11. Jawaban siswa 1

Gambar 12. Jawaban siswa 2



Siswa 1 (kesimpulan benar)
Siswa mengaku bingung menganalogikan soal tersebut dengan
pengetahuann yang mana. Siswa hanya bisa mengidentifikasi bahwa
keduanya merupakan bangun layang – layang,

dan menganggap

kondisi tersebut analogi dengan pengetahuan kedua.


Siswa 2 (kesimpulan benar)
Siswa mengatakan bahwa kedua bangun tersebut sebangun dengan
alasan kedua bangun tersebut memiliki sudut siku – siku yang letaknya
sama, sama dengan kesebangunan pada pengetahuan ketiga yang
memilikii salah satu sudut yang sama besar. Ketika ditanya bagaimana
sisinya, siswa menjawab bahwa sisi – sisi yang sama tempatnya
memang berbeda panjangnnya, tapi kedua bangun tersebut tetap
dikatakan sebangun. Dalam soal ini, diharapkan siswa melihat
kesebangunan dari perbandingan sisi – sisi layang – layang, bukan
pada letak sudut siku – siku pada perpotongan diagonalnya. Kesalahan
pengambilan faktor analogi ini dapat dikategorikan kedalam bentuk
kesesatan karena kecerobohan, karena siswa tidak menganalisis lebih
dalam faktor analogi yang penting.

-

Soal no.5

Gambar 13. Jawaban siswa 1

Gambar 14. Jawaban siswa 2



Siswa 1 (kesimpulan benar)
Siswa menyatakan bahwa soal ini sejenis dengan pengetahuan ketiga
dan menyimpulkan bahwa kedua bangun tersebut sebangun setelah
melihat kedua bangun tersebut sama – sama memiliki sudut yang
besarnya 500. Namun ada informasi yang tidak dihiraukan oleh siswa
dari pengetahuan ke 3, yaitu mengenai nilai perbandingan sisi - sisinya
yang sama. Kesalahan siswa dalam mengambil faktor analogi ini dapat
dikategorikan ke dalam faktor kesesatan akibat tergesa – gesa karena
siswa hanya menganalisis satu faktor saja dan tidak menghiraukan
faktor penting lainnya.



Siswa 2 (kesimpulan benar)
Siswa menyatakan bahwa soal ini sejenis dengan pengetahuan ke 3 dan
menyatakan bahwa kedua bangun tersebut sebangun. Ketika ditanya
tentang panjang sisi yang tidak sama besar, siswa mengatakan bahwa
bangun tersebut tetap sebangun karena memiliki sudut yang sama
besar, ukuran sisi pada bangun tidak berpengaruh

-

Soal no.6

Gambar 15. Jawaban siswa 1

Gambar 16. Jawaban siswa 2



Siswa 1 (kesimpulan salah)
Siswa menyatakan bahwa soal ini sejenis dengan pengetahuan ke 3.
Siswa menyatakan bahwa kedua bangun tersebut sebangun setelah
melihat besar sudut yang diketahui pada bangun tersebut dan
menghitung sudut lain yang ada. Kemudian siswa menghitung luas dari
kedua bangun. Kesalahan pengambilan kesimpulan ini dapat
dikategorikan ke dalam faktor kesesatan karena kecerobohan, karena
siswa salah melakukan perhitungan sudut pada bangun tersebut.



Siswa 2 (kesimpulan salah)
Siswa menyatakan bahwa kedua bangun tersebut sebangun, karena
memiliki bentuk bangun yang sama. Ketika ditanya mengenai sudut,
siswa mengatakan bahwa sudut keduanya memang tidak sama, tetapi
bangun tersebut memiliki panjang salah satu sisi yang sama. Oleh
karenanya siswa tetap mengatakan bahwa kedua bangun tersebut
sebangun. Kesalahan tersebut dapat dikategorikan dalam kesesatan
karena prasangka, karena siswa menganggap bahwa jika ada dua
bangun yang sama, kedua bangun tersebut tetap sebangun meskipun
sudut dalam kedua bangun tersebut besarnya tidak sama.

F. Penutup
Penalaran merupakan salah satu aspek penting dalam pembelajaran matematika. Dari
hasil penelitian ini didapatkan bahwa siswa 1 dan siswa 2 sudah mampu membuat
kesimpulan sesuai dengan syarat penalaran generalisasi yang ada. Namun dalam
menyelesaikan soal analogi, kedua siswa masih seringkali terjebak oleh faktor –
faktor kesesatan dalam proses penalaran analogi. Mengingat adanya perbedaan
kemampuan penalaran pada masing – masing peserta didik, penting bagi guru untuk
mengetahui kemampuan penalaran peserta didiknya sebagai salah satu persiapan
pelaksanaan pembelajaran matematika agar tujuan pembelajaran matematika dapat
terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

Fatima, Sk. 2008. Reasoning Ability of Adolescents Students. New Delhi : Discovery
Publishing House
Keraf, Gorys. 1987 . Argumentasi dan Narasi . Jakarta : Gramedia
Soekadijo, R.G. 1991. Logika Dasar Tradisional, Simbolik dan Induktif. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama
Surajiyo, dkk. 2006. Dasar – Dasar Logika. Jakarta : PT Bumi Aksara
Suryabrata, Sumadi. 2011. Metodologi Pendidikan . Jakarta : Raja Grafindo Persada