MEMAKNAI KEMBALI NEGARA DAN SOSIALISME
MEMAKNAI KEMBALI NEGARA DAN SOSIALISME
Ketika saya melihat tulisan dari kawan Djohan Rudy yang di posting di Suara Kebebasan
dengan judul “Mengapa Negara Sosialis Cenderung Otoriter”[ CITATION Djo16 \l 1033 ]
menarik untuk diulas ketika dia membahas bagaimana di Negara-Negara Sosialis atau sebutan
lainya Kapitalisme Negara, Real Socialism dll menjadi sebuah hal yang negative atau otoriter
serta totaliter. Ada pernyataan yang sangat menggelitik dan bombastis menurut saya ketika dia
menyamakan antara yang totalitarianisme dengan otoritarianisme. Terlebih lagi menyebut
Negara Sosialis seperti Kuba dan figurnya Fidel Castro sebagai seorang totaliter dan
menyamakan dia seperti figur seperti Hitler atau Mussolini sebagai mbahnya gerakan fasis. Lucu
pula saya melihat Soekarno menurut dia dikategorikan sebagai seorang totaliter. Saya tidak
berkesan memaafkan dan memungkiri bahwa praktik-praktik Negara yang disebut sebagai
Sosialis atau saya lebih suka menyebutnya sebagai sebuah Kapitalisme Negara merunut kepada
studi
C.L.R James dan Raya Dunayevskaya[ CITATION Dua50 \l 1033 ] terhadap
perkembangan Negara Uni Soviet atau studi dari Michael Lebowitz yang menyebut sebagai Real
Socialism[ CITATION Leb15 \l 1033 ] sangat otoriter dan tidak demokratis karena tidak ada
kontrol pekerja atau kontrol popular dari bawah oleh massa rakyat itu sendiri. Tidak ada praktik
partisipatoris dan protagonistis dari rakyat karena terkendala oleh otoritas yang menguasai
negara yaitu Partai Komunis dan birokrasinya. Sistem Politik yang rigid dengan Partai
mengontrol dan mengkoordinasikan segala instruksi dari atas dan Ekonomi terencana dibawah
kendali Partai tanpa adanya partisipasi dari dewan-dewan pekerja dari bawah yang merupakan
inti sejati dari Sosialisme itu memang tidak ada didalam praktik-praktik Kapitalisme Negara Uni
Soviet, Kuba, Tiongkok dll. Kita juga harus bisa membedakan antara Sosialisme sebagai sebuah
sistem ekonomi alternative terhadap Kapitalisme dan juga Sosialisme sebagai sebuah bentuk
politik alternatif yang ada daripada menyatakan secara doktriner yang menurut kawan Djohan
ini “Di dalam negara sosialis, totalitarianisme adalah konsekuensi logis dari prinsip dasar
sosialisme itu sendiri. Ini karena prinsip dasar dari sosialisme, yakni nasionalisasi alat-alat
produksi, mengimplikasikan perlunya perencanaan terpusat (central planning) dan peran aktif
pemerintah dalam aktivitas ekonomi”. Sebuah kekeliruan yang sangat fatal tanpa menggali
makna lebih lanjut mengenai apa itu Sosialisme dan membedakan antara yang politik dengan
sebuah sistem ekonomi tersebut. Lalu menggali dengan yang disebut sebagai Negara yang
posisinya selalu memiliki logika nya sendiri. Apalagi terdapat apologi yang menjijikan dari
kawan Djohan teerhadap kediktatoran Pinochet dengan negara kapitalis nya tersebut yang beliau
bilang bukan konsekuensi dari kapitalisme.
Tetapi sebelum itu saya ingin membedakan dahulu antara apa yang disebut sebagai
totalitarianisme dengan otoritarianisme yang didalam tulisan kawan Djohan ini sangat
membingungkan untuk saya karena menggunakan istilahnya tanpa definisi yang jelas.
Otoritarianisme seperti yang dijelaskan oleh Richard Shorten[ CITATION Sho12 \l 1033 ] adalah
sebuah sistem pemerintahan yang dimanifestasikan didalam bentuk kuatnya pemerintahan pusat
dan kebebasan politik yang terbatas. Menurutnya terdapat beberapa karakteristik sistem politik
otoriter tersebut yaitu pluralisme politik yang terbatas, legitimasi pemerintah berdasarkan emosi
serta mobilisasi yang doktriner, mobilisasi sosial yang terbatas akibat adanya represi terhadap
aktivitas didalam masyarakat sipil, dan kekuasaan eksekutif yang batasanya menjadi kabur serta
dapat bergeser.
Kita juga harus membedakan antara otoritarianisme dengan kediktatoran personal dan
juga negara totaliter. Otoritarianisme menjalankan kekuasaan dengan sebuah institusi yang
menopangnya seperti contoh kediktatoran Franco di Spanyol berjalan dengan institusi yang
mendukungnya seperti militer, Gereja dan teknokrat. Sama seperti Soeharto yang menjalankan
kekuasaanya melalui Militer, teknokrat dan birokrasinya. Rezim Soekarno pun merupakan
sebuah rezim otoriter yang ditopang oleh militer terutama Angkatan Darat yang menjadi pemulus
bagi pengangkatan sebagai presiden seumur hidup ditahun 1963, tetapi berbeda dari yang lainya
beliau menggunakan retorika revolusioner untuk membangun kekuatan gerakan massa untuk
menyeimbangi dominasi militer dan elit-elit birokrasi dengan Partai Komunis Indonesia yang
menjadi tumpuanya. Terlebih lagi dengan Fidel Castro di Kuba yang dianggap sebagai figur
pemimpin tetapi kekuasaan tidak dipersonalisasikan kepada dia sendiri melainkan berada pada
Partai Komunis nya serta jajaran nya. Yang menarik dari kasus Kuba ini adalah dikembangkan
sebuah unsur-unsur demokrasi partisipatoris pada ranah lokal untuk mengelola urusan publik nya
sendiri yang ada pada masa krisis 1990an mereka. Elemen didalam Kuba ini terdapat sebuah
demokrasi kolektif dengan adanya mekanisme konsultasi-konsultasi ditataran bawah tetapi
massa rakyat disini bukan menjadi elemen aktif yang menentukan pengelolaan urusan publik
melainkan mereka hanya menjadi sekedar penerima rencana yang sudah diatur oleh Partai
Komunis
nya.
Ini
yang
disebut
oleh
Lebowitz
sebagai
Orchestra
Conductor
Democracy[ CITATION Leb15 \l 1033 ].
Didalam kasus lainya seperti di Venezuela merupakan negara yang berada sejarah otoriter
yang sangat panjang melewati masa rezim militer dan juga di tahun 1958 dengan adanya pakta
Punto Fijo dimana kekuasaan negara dibagi serta dimonopoli oleh 3 partai yang mengakhiri
rezim militer dengan pembentukan sebuah negara demokrasi yang sifatnya prosedural tidak
mengakhiri dari sifat otoriter Negara tersebut. Baru pada tahun 1998 dengan kemunculan Hugo
Chavez melalui pemilu yang menjadi harapan dari rakyat mulai terdapat transformasi yang
berbeda dari rezim sebelumnya dan juga penerapan demokrasi yang partisipatoris dan
protagonistis. Kasus Venezuela adalah menarik Chavez bergerak melalui politik populisnya
sebagai landasan untuk menuju proyek Sosialisme Bolivarian. Politik populis yang dijalankan
oleh Chavez tidak melahirkan personalisasi kekuasaan seperti yang dituduhkan oleh oposisi serta
media
Internasional
kepadanya
melainkan
dia
mendesentralisasikan
kekuasaan
dan
mendemokratiskan negara dengan cara mebentuk dewan-dewan komunal sebagai unit
masyarakat baru untuk sosialisme nya. Disini Dewan Komunal bukanlah atas inisiatif dari
Chavez sendiri melainkan secara sejarah telah terbentuk ketika krisis Caracazo di tahun 1989 dan
1990an dimana warga Barrio atau warga miskin kota mengorganisir diri mereka sendiri untuk
membentuk pemerintaha swakelola. Sekarang ini justru pertentangan yang terjadi di Venezuela
tidaklah mudah kita harus melihat konfigurasi kekuasaan ganda didalamnya serta beberapa
sektor yang bertentangan seperti kekuasaan dari komune-komune sebagai gerakan akar rumput
yang paling murni, Negara melalui birokrasi nya yang menjadu penghalang dari upaya
implementasi demokrasi sejati yang partisipatoris dan protagonistis dari kekuatan massa rakyat
dan sektori privat yang diwakili oleh kekuatan oligarki media serta kapitalis yang dirugikan oleh
proyek sosialisasi atas alat produksi dan juga nasionalisasi yang dilakukan negara tersebut.
[ CITATION Geo16 \l 1033 ]. Ya mungkin secara keseluruhan juga disebut sebagai otoriter atau
totaliter juga menurut kawan Djohan ini ketika tidak sesuai dengan perspektif libertarian kanan
nya dimana dianggap negara demokratis atau tidak otoriter itu ketika tidak memenuhi kriteria
negara menjamin pasar bebas dan melindungi kepemilikan privat atas alat-alat produksi
(bedakan dengan kepemilikan personal) .
Selanjutnya Totalitarianisme merupakan sebuah kasus dimana negara dengan symbol
pemimpin yang kuat menguasai seluruh aspek kehidupan didalam masyarakat sipil. Tidak ada
kebebasan politik dan sipil diluar dari apa yang telah digariskan oleh pemimpin yang menjadi
representasi dari kekuasaanya. Totalitarianisme ini merupakan sebuah bentuk ekstrim dari
otoritarianisme yang didalam sejarahnya rezim Nazi Hitler, Itali Mussolini, Uni Soviet Stalin
dapat dikategorin menjadi rezim Totaliter. Totalitarianisme merupakan sebuah rezim dimana
seluruh aspek kehidupan publik dan privat diatur oleh Negara beserta jajaran elit-elitnya dengan
sebuah justifikasi ideologi yang kuat. Penggunaan istilah Totalitarianisme ini mungkin masih
sangat diperdebatkan karena seperti
karena penggunaan istilah ini sangat berbeda-beda
mengikuti sejarahnya dimulai dari Perang dunia kedua merujuk kepada kekuatan fasisme, Perang
Dingin penggunaan ini kadang merujuk kepada rezim-rezim di Eropa Timur dan Uni Soviet
walaupun bentuknya berubah dan pada masa sekarang mungkin menarik untuk melihat konsep
mengenai Demokrasi Totalitarian yang diperkenalkan oleh Talmon yang merupakan sebuah
sistem pemerintahan dimana Negara itu berjalan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi seperti
adanya pemilu, perlindungan hak-hak sipil dengan partisipasi yang sedikit dan juga tidak ada
tetapi dapat mencenderai nilai-nilai demokrasi itu[ CITATION Tal60 \l 1033 ]. Rezim yang
dikategorikan ini melihat kebebasan baik positif maupun negatif ini sebuah jangka panjang yang
nantinya harus diraih. Rezm ini bergerak atas dua landasan yaitu menggunakan diskursus
kepentingan publik yang dapat merepresi individu demi tujuan yang dikatakan untuk publik
tersebut. Contoh yang menarik diberikan oleh Slavoj Zizek tentang bagaimana Amerika Serikat
yang menggunakan diskursus Perang Atas Teror untuk kepentingan keamanan nya yang
mencederai kebebasan sipil disana[ CITATION Ziž02 \l 1033 ].
Untuk melampaui klasifikasi antara otoritanianisme dan totalitarianisme ini mungkin kita
hrus melihat apa yang disebut sebagai negara. Negara, didalam artian negara-bangsa seperti saat
ini yang menurut saya memiliki logikanya sendiri didalam bergerak. Terbentuknya sebuah
negara memang melalui proses yang sangat panjang di-iringi dengan perkembangan mode
produksi dimana manusia itu hidup. Negara dalam artian yang paling murni terbentuk diawal
yang berada
di Mesopotamia tersebut merupakan pembentukan sebuah hierarki didalam
masyarakat dan juga alat dominasi terhadap masyarakat. Semenjak kemunculan negara dari
awal, represi dan penindasan selalu terjadi terhadap warga biasa atau rakyat. Tindakan otoriter
hingga menuju kepada totaliter tersebut merupakan konsekuensi logis dari kemunculan sebuah
negara. Mungkin dari teori tentang asal mula kemunculan negara dari perspektif kawan Djohan
dan saya akan pasti sangat berbeda karena saya menggunakan perspektif Marxis yang melihat
perkembangan Negara sebagai sebuah bentuk yang tidak alamiah. Serta adanya negara karena
ada kebutuhan untuk mengokohkan dominasi dan hierarki untuk kepentingan kelas yang
dominan pada masanya. Tetapi disini bukan untuk pembahasan hal tersebut, saya melihat
kemunculan Negara ini memang yang menjadi sumber dari permasalahan akan kebebasan
manusia baik individu dan secara kolektif. Saya menggunakan istilah Negara disini merujuk
kepada sebuah institusi yang tersentralisasi memiliki legitimasi untuk memonopoli alat
kekerasaan, sebuah wilayah yang memiliki batas territorial yang jelas dimana aparatur
kekerasaan itu dapat dilaksanakan dan sebuah administratif pemerintahan yang tersentral
untuk menggunakan monopoli alat kekerasaan tersebut.
Yang lebih penting,
Negara
memiliki logikanya sendiri didalam kegiatan serta aktivitas-aktivitasnya baik dalam artian
menjamin hak istimewa yang ada didalam struktur negara dan menjaga kestabilan tatanan yang
terbentuk sesuai dengan mode produksi yang ada.
Negara dalam artian negara-bangsa saat ini menurut saya yang menjadi sumber dari
adanya subordinasi atas kebebasan dalam artian negatif dan juga positif. Negara dalam artian
didalam republik yang demokratis sekalipun itu merupakan sebuah struktur dominasi dimana
segelintir orang-orang berkuasa atas mayoritas. Negara pada hakikatnya secara struktural dan
professional terpisah dari khalayak umum. Negara pada kenyataanya adalah institusi yang
kekuasaanya bersandar pada kekerasaan dan berdiri diatas masyarakat. Kekuasaan yang ada
pada negara tidak didistribusikan secara merata dan hal ini sangat bertentangan dengan
demokrasi apalagi dengan kedaulatan rakyat. Adanya Negara dengan ideal demokrasi formalnya
tidak dapat mewujudkan kedaulatan rakyat melainkan kita menggunakan pendekatan mata rantai
kedaulatan rakyat. Saya disini berposisi melihat kekuasaan Negara lah yang membuat struktur
top-down didalam masyarakat. Baik itu apa yang disebut Negara Sosialis ataupun Negara
Kapitalis dengan adanya negara konsekuensi yang logis terjadi adalah adanya sebuah
otoritarianisme serta totalitarianisme yang bisa terjadi jika rakyat sesungguhnya dalam artian
massa-rakyat itu tidak dapat membentuk suatu bentuk politik
baru yang menjamin kebebasan
personal mereka. Seperti yang dijelaskan Marx didalam jurnal yang diterbitkan organisasi Liga
Komunis nya[ CITATION Dra66 \l 1033 ] :
“ We are not among those communist who are out to destroy personal liberty, who wish to turn the world
into one huge barrack or into gigantic workhouse.There certainly are some communist who,with an easy conscience,
refuse to countenance personal liberty and would like to shuffle it out the world because they consider that is a
hindrance to complete harmony. But we have no desire to exchange freedom for equality. We are convinced that
in no social order will personal freedom be so assured as in a society based upon communal ownership”
Sosialisme, membahas mengenai sosialisme disini kita harus dapat membedakan dua
definisi yang berbeda didalam artian politik dan juga ekonomi. Kawan Djohan disni
menyamakan Sosialisme dengan adanya nasionalisasi dan adanya gambaran sebuah birokrasi
negara yang sangat besar dan tidak efektif serta sangat totaliter. Padahal hal tersebut sangat
berbeda jika kita melihat perkembangan dari pemikiran Sosialisme di era revolusi Perancis
dalam bentuk gerakan-gerakan yang mendukung Sans Cullotes(rakyat jelata), Babeuf, Saint
Simonian dan Sosialisme utopis kita akan melihat bagaimana konsepsi yang dibangun akan
Sosialisme/Komunisme akan sangat kasar, anti demokratis dan elitis [ CITATION Dra66 \l
1033 ]. Tetapi berbeda dengan konsepsi sosialisme yang dibangun oleh Marx yang saat ini lebih
banyak distorsi baik itu dari gerakan kiri Marxis-Leninis atau ortodoksi Moskow maupun
gerakan kanan. Saya berani mengatakan bahwa sosialisme yang dikonsepsikan Marx itu dapat
dikatakan sangat libertarian dan humanis. Hal ini dapat terlihat didalam tulisanya bersama
Engels Manifesto Komunis dimana menurutnya emansipasi kelas pekerja harus dilakukan oleh
kelas pekerja itu sendiri dan juga didalam tulisan Marx Manuskrip Paris 1844 dimana Marx
menentang bentuk masyarakat komunisme yang sangat primitif atau kasar dan menegaskan
pentingnya kebebasan individu didalam artian realisasi potensi individu itu sendiri secara
bebas[ CITATION Dra66 \l 1033 ]. Disini menurut Marx setiap individu yang hidup secara
interdependensi dan kolektif tersebut terutama kelas pekerja yang menjadi agen yang diyakini
Marx sebagai motor sejarah itu harus melaksanakan praktek revolusioner yaitu perubahan
kondisi objektif sekitar sambil mereka merubah diri mereka sendiri selama perjuangan dan
membangun sebuah bentuk politik yang ideal oleh mereka sendiri. Marx sangat menentang
gerakan untuk membangun masyarakat sosialis dari atas yang elitis dan otoriter . Dia mendukung
gerakan sosialisme untuk memenangkan pertempuran demokratis dan dibangun melalui gerakan
massa rakyat dari bawah.
Mungkin yang menyumbang akan adanya pandangan bahwa Sosialisme dalam artian
Marx itu sangat erat dengan negara dimulai dari dua pemikir sosialis yaitu Ferdinand Lassale dan
juga Bernstein. Lassale merupakan penganjur untuk membangun Sosialisme yang menurut dia
dapat menggunakan institusi negara. Menurutnya Sosialisme sebagai bentuk politik yang baru
didalam masyarakat itu dapat muncul dengan bantuan negara. Hal ini sangat ditentang Marx
karena menurutnya Sosialisme hanya bisa dibangun dengan emansipasi kelas pekerja itu sendiri
dan didalam perjuanganya harus menghancurkan fondasi negara itu sendiri. Ini membuktikan
bahwa Marx tidak statis seperti yang dituduhkan kepadanya. Marx selalu menekankan kepada
pembentukan
sebuah masyarakat yang berbasis kepada komunal yang dibentuk secara
independen oleh massa-rakyat dan bukan oleh negara itu sendiri[ CITATION Dra66 \l 1033 ].
Maka dari itu ketika dia merujuk kepada Komune Paris tahun 1871 dengan sebutan kediktatoran
proletariat disitu bukan dalam artian kediktatoran proletarian dalam diskursus Marxis-Leninis
ketika
Partai
menguasai
negara
dan
menggunakan
negara
untuk
membangun
sosialisme/komunisme melainkan sebuah upaya untuk membentuk sistem politik komunal
dengan pemerintahan swakelola dari massa-rakyat itu sendiri yang dia sebut sebagai Republik
Sosial. Tujuan dari Sosialisme atau Komunisme menurut Marx seperti yang dijelaskan oleh
Engels adalah “untuk mengorganisir masyarakat sedemikiran rupa sehingga setiap anggota
masyarakat bisa mengembangkan diri dan mendayagunakan segenap kemampuan dan
kekuatanya secara bebas sepenuhnya tanpa melanggar kebutuhan-kebutuhan dasar
masyarakat tersebut” atau selanjutnya seperti yang dijelaskan Marx sendiri didalam Manifesto
Komunisnya “ asosiasi, yang didalamnya perkembangan diri secara bebas dari setiap
anggotanya menjadi syarat bagi perkembangan bebas seluruh anggotanya”[ CITATION
Leb093 \t \l 1033 ].
Sosialisme didalam artian ekonomi ini merupakan sebuah perdebatan yang sangat
panjang. Tetapi untuk melihat dengan ringkas adalah secara ekonomi Sosialisme bukanlah
nasionalisasi kepemilikan atas nama Negara. Melainkan sosialisme adalah sosialisasi atas alatalat produksi yaitu kepemilikan sosial atas alat-alat produksi ketangan kelas pekerja itu sendiri
melalui dewan-dewan pekerja dan juga Komune-Komune[ CITATION Leb15 \t \l 1033 ].
Sosialisme didalam artian yang revolusioner adalah sebagai alternatif atas Kapitalisme itu sendiri
dan juga perekonomian didesentralisir dengan perancanaan yang partisipatoris. Sebagai alternatif
atas kapitalisme seperti yang dijelaskan oleh Lebowitz yaitu terjadinya
perubahan relasi
produksi,distribusi dan konsumsi menjamin relasi dari suatu asosiasi produsen-produsen secara
bebas dimana individu-individu yang berasosiasi ini akan memperlakukan produktivitas komunal
dan kolektif mereka sebagai kekayaan bersama[ CITATION Leb093 \t \l 1033 ].
Jadi secara keseluruhan tulisan dari kawan Djohan ini terlalu mereduksi pemikiran
mengenai Sosialisme yang bisa saya anggap dia mengkritik Sosialisme Marx dengan melihat
praktiknya pada Kuba, Korut, Tiongkok dan lain-lain yang menggunakan perekonomian
terencana dan mengkonotasikan secara garis lurus dengan perilaku otoriter serta totaliter dari
yang menganutnya. Dengan mengatakan Nasionalisasi dan perekonomian terencana itu sebagai
Sosialisme dia lupa bahwa di negara yang kapitalis pun nasionalisasi dan kordinasi secara
terencana juga dilakukan. Yang pasti akan dibalas oleh dia itu bukanlah kapitalisme sejati
melainkan kroni kapitalisme. Kapitalisme dan pasar secara fenomena memang dianggap telah
memberikan kemajuan kepada kita dan standar hidup manusia menjadi tinggi. Hal ini juga diakui
oleh Marx dengan peran progresif Kapitalisme merevolusionerkan alat produksi dan
menghancurkan formasi sosial Feodal tetapi kita mengabaiakn realitas bahwa didalam
Kapitalisme itu yang dikatakan kita dapat mendapatkan akses informasi yang sama atas pasar
dan juga didalam pasar itu adalah sebuah kebebasan kita tidak melihat bagaiamana pasar yang
terhubung dari kita merupakan sebuah koneksi sosial yang sangat hierarkis dengan beberapa
korporasi-korporasi besar yang menentukan pilihan-pilihan kita.
Marx mengajak kita untuk
melihat struktur eksploitasi yang tak terlihat didalam analisanya atas Kapitalisme pada masanya
didalam Das Kapitalnya. Kalau menurut anda adanya ekses negative seperti ketimpangan,
kemiskinan yang sistemik, pengerusakan lingkungan karena kebutuhan akan ekspansi kapital itu
hanya disebut sebagai ekses yang wajar maka menurut saya itu tidak wajar.
Referensi
Draper, H. (1966). Two Souls of Socialism. Retrieved December 14, 2016, from
digital.library.pitt.edu/u/.../pdf/31735066229067.pdf
Duanyevskaya, C. J. (1950). Retrieved December 14, 2016, from Marxist.org:
https://www.marxists.org/archive/james-clr/works/1950/08/state-capitalism.htm
Lebowitz, M. (2009). Sosialisme Sekarang Juga. Yogyakarta: Resist Book.
Lebowitz, M. (2015). The Socialist Imperative from Gotha to Now. New York : Monthly Review Press.
Maher, G. C. (2016). Building The Commune Radical Democracy in Venezuela . London: Verso .
Rady, D. (2016, December 13). Mengapa Negara Sosialis Cenderung Otoriter. Retrieved December 13,
2016, from Suara Kebebasan: https://suarakebebasan.org/id/opini/item/754-mengapa-negara-sosialiscenderung-totaliter
Shorten, R. (2012). Modernism and Totalitarianism: Rethinking the Intellectual Sources of Nazism and
Stalinism, 1945 to the Present. London: Palgrave Macmilan .
Talmon, J. (1960). Origins of Totalitarian Democracy. Secker & Warburg, .
Zižek, S. ( 2002). Welcome to the Desert of the Real. New York: Verso.
Ketika saya melihat tulisan dari kawan Djohan Rudy yang di posting di Suara Kebebasan
dengan judul “Mengapa Negara Sosialis Cenderung Otoriter”[ CITATION Djo16 \l 1033 ]
menarik untuk diulas ketika dia membahas bagaimana di Negara-Negara Sosialis atau sebutan
lainya Kapitalisme Negara, Real Socialism dll menjadi sebuah hal yang negative atau otoriter
serta totaliter. Ada pernyataan yang sangat menggelitik dan bombastis menurut saya ketika dia
menyamakan antara yang totalitarianisme dengan otoritarianisme. Terlebih lagi menyebut
Negara Sosialis seperti Kuba dan figurnya Fidel Castro sebagai seorang totaliter dan
menyamakan dia seperti figur seperti Hitler atau Mussolini sebagai mbahnya gerakan fasis. Lucu
pula saya melihat Soekarno menurut dia dikategorikan sebagai seorang totaliter. Saya tidak
berkesan memaafkan dan memungkiri bahwa praktik-praktik Negara yang disebut sebagai
Sosialis atau saya lebih suka menyebutnya sebagai sebuah Kapitalisme Negara merunut kepada
studi
C.L.R James dan Raya Dunayevskaya[ CITATION Dua50 \l 1033 ] terhadap
perkembangan Negara Uni Soviet atau studi dari Michael Lebowitz yang menyebut sebagai Real
Socialism[ CITATION Leb15 \l 1033 ] sangat otoriter dan tidak demokratis karena tidak ada
kontrol pekerja atau kontrol popular dari bawah oleh massa rakyat itu sendiri. Tidak ada praktik
partisipatoris dan protagonistis dari rakyat karena terkendala oleh otoritas yang menguasai
negara yaitu Partai Komunis dan birokrasinya. Sistem Politik yang rigid dengan Partai
mengontrol dan mengkoordinasikan segala instruksi dari atas dan Ekonomi terencana dibawah
kendali Partai tanpa adanya partisipasi dari dewan-dewan pekerja dari bawah yang merupakan
inti sejati dari Sosialisme itu memang tidak ada didalam praktik-praktik Kapitalisme Negara Uni
Soviet, Kuba, Tiongkok dll. Kita juga harus bisa membedakan antara Sosialisme sebagai sebuah
sistem ekonomi alternative terhadap Kapitalisme dan juga Sosialisme sebagai sebuah bentuk
politik alternatif yang ada daripada menyatakan secara doktriner yang menurut kawan Djohan
ini “Di dalam negara sosialis, totalitarianisme adalah konsekuensi logis dari prinsip dasar
sosialisme itu sendiri. Ini karena prinsip dasar dari sosialisme, yakni nasionalisasi alat-alat
produksi, mengimplikasikan perlunya perencanaan terpusat (central planning) dan peran aktif
pemerintah dalam aktivitas ekonomi”. Sebuah kekeliruan yang sangat fatal tanpa menggali
makna lebih lanjut mengenai apa itu Sosialisme dan membedakan antara yang politik dengan
sebuah sistem ekonomi tersebut. Lalu menggali dengan yang disebut sebagai Negara yang
posisinya selalu memiliki logika nya sendiri. Apalagi terdapat apologi yang menjijikan dari
kawan Djohan teerhadap kediktatoran Pinochet dengan negara kapitalis nya tersebut yang beliau
bilang bukan konsekuensi dari kapitalisme.
Tetapi sebelum itu saya ingin membedakan dahulu antara apa yang disebut sebagai
totalitarianisme dengan otoritarianisme yang didalam tulisan kawan Djohan ini sangat
membingungkan untuk saya karena menggunakan istilahnya tanpa definisi yang jelas.
Otoritarianisme seperti yang dijelaskan oleh Richard Shorten[ CITATION Sho12 \l 1033 ] adalah
sebuah sistem pemerintahan yang dimanifestasikan didalam bentuk kuatnya pemerintahan pusat
dan kebebasan politik yang terbatas. Menurutnya terdapat beberapa karakteristik sistem politik
otoriter tersebut yaitu pluralisme politik yang terbatas, legitimasi pemerintah berdasarkan emosi
serta mobilisasi yang doktriner, mobilisasi sosial yang terbatas akibat adanya represi terhadap
aktivitas didalam masyarakat sipil, dan kekuasaan eksekutif yang batasanya menjadi kabur serta
dapat bergeser.
Kita juga harus membedakan antara otoritarianisme dengan kediktatoran personal dan
juga negara totaliter. Otoritarianisme menjalankan kekuasaan dengan sebuah institusi yang
menopangnya seperti contoh kediktatoran Franco di Spanyol berjalan dengan institusi yang
mendukungnya seperti militer, Gereja dan teknokrat. Sama seperti Soeharto yang menjalankan
kekuasaanya melalui Militer, teknokrat dan birokrasinya. Rezim Soekarno pun merupakan
sebuah rezim otoriter yang ditopang oleh militer terutama Angkatan Darat yang menjadi pemulus
bagi pengangkatan sebagai presiden seumur hidup ditahun 1963, tetapi berbeda dari yang lainya
beliau menggunakan retorika revolusioner untuk membangun kekuatan gerakan massa untuk
menyeimbangi dominasi militer dan elit-elit birokrasi dengan Partai Komunis Indonesia yang
menjadi tumpuanya. Terlebih lagi dengan Fidel Castro di Kuba yang dianggap sebagai figur
pemimpin tetapi kekuasaan tidak dipersonalisasikan kepada dia sendiri melainkan berada pada
Partai Komunis nya serta jajaran nya. Yang menarik dari kasus Kuba ini adalah dikembangkan
sebuah unsur-unsur demokrasi partisipatoris pada ranah lokal untuk mengelola urusan publik nya
sendiri yang ada pada masa krisis 1990an mereka. Elemen didalam Kuba ini terdapat sebuah
demokrasi kolektif dengan adanya mekanisme konsultasi-konsultasi ditataran bawah tetapi
massa rakyat disini bukan menjadi elemen aktif yang menentukan pengelolaan urusan publik
melainkan mereka hanya menjadi sekedar penerima rencana yang sudah diatur oleh Partai
Komunis
nya.
Ini
yang
disebut
oleh
Lebowitz
sebagai
Orchestra
Conductor
Democracy[ CITATION Leb15 \l 1033 ].
Didalam kasus lainya seperti di Venezuela merupakan negara yang berada sejarah otoriter
yang sangat panjang melewati masa rezim militer dan juga di tahun 1958 dengan adanya pakta
Punto Fijo dimana kekuasaan negara dibagi serta dimonopoli oleh 3 partai yang mengakhiri
rezim militer dengan pembentukan sebuah negara demokrasi yang sifatnya prosedural tidak
mengakhiri dari sifat otoriter Negara tersebut. Baru pada tahun 1998 dengan kemunculan Hugo
Chavez melalui pemilu yang menjadi harapan dari rakyat mulai terdapat transformasi yang
berbeda dari rezim sebelumnya dan juga penerapan demokrasi yang partisipatoris dan
protagonistis. Kasus Venezuela adalah menarik Chavez bergerak melalui politik populisnya
sebagai landasan untuk menuju proyek Sosialisme Bolivarian. Politik populis yang dijalankan
oleh Chavez tidak melahirkan personalisasi kekuasaan seperti yang dituduhkan oleh oposisi serta
media
Internasional
kepadanya
melainkan
dia
mendesentralisasikan
kekuasaan
dan
mendemokratiskan negara dengan cara mebentuk dewan-dewan komunal sebagai unit
masyarakat baru untuk sosialisme nya. Disini Dewan Komunal bukanlah atas inisiatif dari
Chavez sendiri melainkan secara sejarah telah terbentuk ketika krisis Caracazo di tahun 1989 dan
1990an dimana warga Barrio atau warga miskin kota mengorganisir diri mereka sendiri untuk
membentuk pemerintaha swakelola. Sekarang ini justru pertentangan yang terjadi di Venezuela
tidaklah mudah kita harus melihat konfigurasi kekuasaan ganda didalamnya serta beberapa
sektor yang bertentangan seperti kekuasaan dari komune-komune sebagai gerakan akar rumput
yang paling murni, Negara melalui birokrasi nya yang menjadu penghalang dari upaya
implementasi demokrasi sejati yang partisipatoris dan protagonistis dari kekuatan massa rakyat
dan sektori privat yang diwakili oleh kekuatan oligarki media serta kapitalis yang dirugikan oleh
proyek sosialisasi atas alat produksi dan juga nasionalisasi yang dilakukan negara tersebut.
[ CITATION Geo16 \l 1033 ]. Ya mungkin secara keseluruhan juga disebut sebagai otoriter atau
totaliter juga menurut kawan Djohan ini ketika tidak sesuai dengan perspektif libertarian kanan
nya dimana dianggap negara demokratis atau tidak otoriter itu ketika tidak memenuhi kriteria
negara menjamin pasar bebas dan melindungi kepemilikan privat atas alat-alat produksi
(bedakan dengan kepemilikan personal) .
Selanjutnya Totalitarianisme merupakan sebuah kasus dimana negara dengan symbol
pemimpin yang kuat menguasai seluruh aspek kehidupan didalam masyarakat sipil. Tidak ada
kebebasan politik dan sipil diluar dari apa yang telah digariskan oleh pemimpin yang menjadi
representasi dari kekuasaanya. Totalitarianisme ini merupakan sebuah bentuk ekstrim dari
otoritarianisme yang didalam sejarahnya rezim Nazi Hitler, Itali Mussolini, Uni Soviet Stalin
dapat dikategorin menjadi rezim Totaliter. Totalitarianisme merupakan sebuah rezim dimana
seluruh aspek kehidupan publik dan privat diatur oleh Negara beserta jajaran elit-elitnya dengan
sebuah justifikasi ideologi yang kuat. Penggunaan istilah Totalitarianisme ini mungkin masih
sangat diperdebatkan karena seperti
karena penggunaan istilah ini sangat berbeda-beda
mengikuti sejarahnya dimulai dari Perang dunia kedua merujuk kepada kekuatan fasisme, Perang
Dingin penggunaan ini kadang merujuk kepada rezim-rezim di Eropa Timur dan Uni Soviet
walaupun bentuknya berubah dan pada masa sekarang mungkin menarik untuk melihat konsep
mengenai Demokrasi Totalitarian yang diperkenalkan oleh Talmon yang merupakan sebuah
sistem pemerintahan dimana Negara itu berjalan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi seperti
adanya pemilu, perlindungan hak-hak sipil dengan partisipasi yang sedikit dan juga tidak ada
tetapi dapat mencenderai nilai-nilai demokrasi itu[ CITATION Tal60 \l 1033 ]. Rezim yang
dikategorikan ini melihat kebebasan baik positif maupun negatif ini sebuah jangka panjang yang
nantinya harus diraih. Rezm ini bergerak atas dua landasan yaitu menggunakan diskursus
kepentingan publik yang dapat merepresi individu demi tujuan yang dikatakan untuk publik
tersebut. Contoh yang menarik diberikan oleh Slavoj Zizek tentang bagaimana Amerika Serikat
yang menggunakan diskursus Perang Atas Teror untuk kepentingan keamanan nya yang
mencederai kebebasan sipil disana[ CITATION Ziž02 \l 1033 ].
Untuk melampaui klasifikasi antara otoritanianisme dan totalitarianisme ini mungkin kita
hrus melihat apa yang disebut sebagai negara. Negara, didalam artian negara-bangsa seperti saat
ini yang menurut saya memiliki logikanya sendiri didalam bergerak. Terbentuknya sebuah
negara memang melalui proses yang sangat panjang di-iringi dengan perkembangan mode
produksi dimana manusia itu hidup. Negara dalam artian yang paling murni terbentuk diawal
yang berada
di Mesopotamia tersebut merupakan pembentukan sebuah hierarki didalam
masyarakat dan juga alat dominasi terhadap masyarakat. Semenjak kemunculan negara dari
awal, represi dan penindasan selalu terjadi terhadap warga biasa atau rakyat. Tindakan otoriter
hingga menuju kepada totaliter tersebut merupakan konsekuensi logis dari kemunculan sebuah
negara. Mungkin dari teori tentang asal mula kemunculan negara dari perspektif kawan Djohan
dan saya akan pasti sangat berbeda karena saya menggunakan perspektif Marxis yang melihat
perkembangan Negara sebagai sebuah bentuk yang tidak alamiah. Serta adanya negara karena
ada kebutuhan untuk mengokohkan dominasi dan hierarki untuk kepentingan kelas yang
dominan pada masanya. Tetapi disini bukan untuk pembahasan hal tersebut, saya melihat
kemunculan Negara ini memang yang menjadi sumber dari permasalahan akan kebebasan
manusia baik individu dan secara kolektif. Saya menggunakan istilah Negara disini merujuk
kepada sebuah institusi yang tersentralisasi memiliki legitimasi untuk memonopoli alat
kekerasaan, sebuah wilayah yang memiliki batas territorial yang jelas dimana aparatur
kekerasaan itu dapat dilaksanakan dan sebuah administratif pemerintahan yang tersentral
untuk menggunakan monopoli alat kekerasaan tersebut.
Yang lebih penting,
Negara
memiliki logikanya sendiri didalam kegiatan serta aktivitas-aktivitasnya baik dalam artian
menjamin hak istimewa yang ada didalam struktur negara dan menjaga kestabilan tatanan yang
terbentuk sesuai dengan mode produksi yang ada.
Negara dalam artian negara-bangsa saat ini menurut saya yang menjadi sumber dari
adanya subordinasi atas kebebasan dalam artian negatif dan juga positif. Negara dalam artian
didalam republik yang demokratis sekalipun itu merupakan sebuah struktur dominasi dimana
segelintir orang-orang berkuasa atas mayoritas. Negara pada hakikatnya secara struktural dan
professional terpisah dari khalayak umum. Negara pada kenyataanya adalah institusi yang
kekuasaanya bersandar pada kekerasaan dan berdiri diatas masyarakat. Kekuasaan yang ada
pada negara tidak didistribusikan secara merata dan hal ini sangat bertentangan dengan
demokrasi apalagi dengan kedaulatan rakyat. Adanya Negara dengan ideal demokrasi formalnya
tidak dapat mewujudkan kedaulatan rakyat melainkan kita menggunakan pendekatan mata rantai
kedaulatan rakyat. Saya disini berposisi melihat kekuasaan Negara lah yang membuat struktur
top-down didalam masyarakat. Baik itu apa yang disebut Negara Sosialis ataupun Negara
Kapitalis dengan adanya negara konsekuensi yang logis terjadi adalah adanya sebuah
otoritarianisme serta totalitarianisme yang bisa terjadi jika rakyat sesungguhnya dalam artian
massa-rakyat itu tidak dapat membentuk suatu bentuk politik
baru yang menjamin kebebasan
personal mereka. Seperti yang dijelaskan Marx didalam jurnal yang diterbitkan organisasi Liga
Komunis nya[ CITATION Dra66 \l 1033 ] :
“ We are not among those communist who are out to destroy personal liberty, who wish to turn the world
into one huge barrack or into gigantic workhouse.There certainly are some communist who,with an easy conscience,
refuse to countenance personal liberty and would like to shuffle it out the world because they consider that is a
hindrance to complete harmony. But we have no desire to exchange freedom for equality. We are convinced that
in no social order will personal freedom be so assured as in a society based upon communal ownership”
Sosialisme, membahas mengenai sosialisme disini kita harus dapat membedakan dua
definisi yang berbeda didalam artian politik dan juga ekonomi. Kawan Djohan disni
menyamakan Sosialisme dengan adanya nasionalisasi dan adanya gambaran sebuah birokrasi
negara yang sangat besar dan tidak efektif serta sangat totaliter. Padahal hal tersebut sangat
berbeda jika kita melihat perkembangan dari pemikiran Sosialisme di era revolusi Perancis
dalam bentuk gerakan-gerakan yang mendukung Sans Cullotes(rakyat jelata), Babeuf, Saint
Simonian dan Sosialisme utopis kita akan melihat bagaimana konsepsi yang dibangun akan
Sosialisme/Komunisme akan sangat kasar, anti demokratis dan elitis [ CITATION Dra66 \l
1033 ]. Tetapi berbeda dengan konsepsi sosialisme yang dibangun oleh Marx yang saat ini lebih
banyak distorsi baik itu dari gerakan kiri Marxis-Leninis atau ortodoksi Moskow maupun
gerakan kanan. Saya berani mengatakan bahwa sosialisme yang dikonsepsikan Marx itu dapat
dikatakan sangat libertarian dan humanis. Hal ini dapat terlihat didalam tulisanya bersama
Engels Manifesto Komunis dimana menurutnya emansipasi kelas pekerja harus dilakukan oleh
kelas pekerja itu sendiri dan juga didalam tulisan Marx Manuskrip Paris 1844 dimana Marx
menentang bentuk masyarakat komunisme yang sangat primitif atau kasar dan menegaskan
pentingnya kebebasan individu didalam artian realisasi potensi individu itu sendiri secara
bebas[ CITATION Dra66 \l 1033 ]. Disini menurut Marx setiap individu yang hidup secara
interdependensi dan kolektif tersebut terutama kelas pekerja yang menjadi agen yang diyakini
Marx sebagai motor sejarah itu harus melaksanakan praktek revolusioner yaitu perubahan
kondisi objektif sekitar sambil mereka merubah diri mereka sendiri selama perjuangan dan
membangun sebuah bentuk politik yang ideal oleh mereka sendiri. Marx sangat menentang
gerakan untuk membangun masyarakat sosialis dari atas yang elitis dan otoriter . Dia mendukung
gerakan sosialisme untuk memenangkan pertempuran demokratis dan dibangun melalui gerakan
massa rakyat dari bawah.
Mungkin yang menyumbang akan adanya pandangan bahwa Sosialisme dalam artian
Marx itu sangat erat dengan negara dimulai dari dua pemikir sosialis yaitu Ferdinand Lassale dan
juga Bernstein. Lassale merupakan penganjur untuk membangun Sosialisme yang menurut dia
dapat menggunakan institusi negara. Menurutnya Sosialisme sebagai bentuk politik yang baru
didalam masyarakat itu dapat muncul dengan bantuan negara. Hal ini sangat ditentang Marx
karena menurutnya Sosialisme hanya bisa dibangun dengan emansipasi kelas pekerja itu sendiri
dan didalam perjuanganya harus menghancurkan fondasi negara itu sendiri. Ini membuktikan
bahwa Marx tidak statis seperti yang dituduhkan kepadanya. Marx selalu menekankan kepada
pembentukan
sebuah masyarakat yang berbasis kepada komunal yang dibentuk secara
independen oleh massa-rakyat dan bukan oleh negara itu sendiri[ CITATION Dra66 \l 1033 ].
Maka dari itu ketika dia merujuk kepada Komune Paris tahun 1871 dengan sebutan kediktatoran
proletariat disitu bukan dalam artian kediktatoran proletarian dalam diskursus Marxis-Leninis
ketika
Partai
menguasai
negara
dan
menggunakan
negara
untuk
membangun
sosialisme/komunisme melainkan sebuah upaya untuk membentuk sistem politik komunal
dengan pemerintahan swakelola dari massa-rakyat itu sendiri yang dia sebut sebagai Republik
Sosial. Tujuan dari Sosialisme atau Komunisme menurut Marx seperti yang dijelaskan oleh
Engels adalah “untuk mengorganisir masyarakat sedemikiran rupa sehingga setiap anggota
masyarakat bisa mengembangkan diri dan mendayagunakan segenap kemampuan dan
kekuatanya secara bebas sepenuhnya tanpa melanggar kebutuhan-kebutuhan dasar
masyarakat tersebut” atau selanjutnya seperti yang dijelaskan Marx sendiri didalam Manifesto
Komunisnya “ asosiasi, yang didalamnya perkembangan diri secara bebas dari setiap
anggotanya menjadi syarat bagi perkembangan bebas seluruh anggotanya”[ CITATION
Leb093 \t \l 1033 ].
Sosialisme didalam artian ekonomi ini merupakan sebuah perdebatan yang sangat
panjang. Tetapi untuk melihat dengan ringkas adalah secara ekonomi Sosialisme bukanlah
nasionalisasi kepemilikan atas nama Negara. Melainkan sosialisme adalah sosialisasi atas alatalat produksi yaitu kepemilikan sosial atas alat-alat produksi ketangan kelas pekerja itu sendiri
melalui dewan-dewan pekerja dan juga Komune-Komune[ CITATION Leb15 \t \l 1033 ].
Sosialisme didalam artian yang revolusioner adalah sebagai alternatif atas Kapitalisme itu sendiri
dan juga perekonomian didesentralisir dengan perancanaan yang partisipatoris. Sebagai alternatif
atas kapitalisme seperti yang dijelaskan oleh Lebowitz yaitu terjadinya
perubahan relasi
produksi,distribusi dan konsumsi menjamin relasi dari suatu asosiasi produsen-produsen secara
bebas dimana individu-individu yang berasosiasi ini akan memperlakukan produktivitas komunal
dan kolektif mereka sebagai kekayaan bersama[ CITATION Leb093 \t \l 1033 ].
Jadi secara keseluruhan tulisan dari kawan Djohan ini terlalu mereduksi pemikiran
mengenai Sosialisme yang bisa saya anggap dia mengkritik Sosialisme Marx dengan melihat
praktiknya pada Kuba, Korut, Tiongkok dan lain-lain yang menggunakan perekonomian
terencana dan mengkonotasikan secara garis lurus dengan perilaku otoriter serta totaliter dari
yang menganutnya. Dengan mengatakan Nasionalisasi dan perekonomian terencana itu sebagai
Sosialisme dia lupa bahwa di negara yang kapitalis pun nasionalisasi dan kordinasi secara
terencana juga dilakukan. Yang pasti akan dibalas oleh dia itu bukanlah kapitalisme sejati
melainkan kroni kapitalisme. Kapitalisme dan pasar secara fenomena memang dianggap telah
memberikan kemajuan kepada kita dan standar hidup manusia menjadi tinggi. Hal ini juga diakui
oleh Marx dengan peran progresif Kapitalisme merevolusionerkan alat produksi dan
menghancurkan formasi sosial Feodal tetapi kita mengabaiakn realitas bahwa didalam
Kapitalisme itu yang dikatakan kita dapat mendapatkan akses informasi yang sama atas pasar
dan juga didalam pasar itu adalah sebuah kebebasan kita tidak melihat bagaiamana pasar yang
terhubung dari kita merupakan sebuah koneksi sosial yang sangat hierarkis dengan beberapa
korporasi-korporasi besar yang menentukan pilihan-pilihan kita.
Marx mengajak kita untuk
melihat struktur eksploitasi yang tak terlihat didalam analisanya atas Kapitalisme pada masanya
didalam Das Kapitalnya. Kalau menurut anda adanya ekses negative seperti ketimpangan,
kemiskinan yang sistemik, pengerusakan lingkungan karena kebutuhan akan ekspansi kapital itu
hanya disebut sebagai ekses yang wajar maka menurut saya itu tidak wajar.
Referensi
Draper, H. (1966). Two Souls of Socialism. Retrieved December 14, 2016, from
digital.library.pitt.edu/u/.../pdf/31735066229067.pdf
Duanyevskaya, C. J. (1950). Retrieved December 14, 2016, from Marxist.org:
https://www.marxists.org/archive/james-clr/works/1950/08/state-capitalism.htm
Lebowitz, M. (2009). Sosialisme Sekarang Juga. Yogyakarta: Resist Book.
Lebowitz, M. (2015). The Socialist Imperative from Gotha to Now. New York : Monthly Review Press.
Maher, G. C. (2016). Building The Commune Radical Democracy in Venezuela . London: Verso .
Rady, D. (2016, December 13). Mengapa Negara Sosialis Cenderung Otoriter. Retrieved December 13,
2016, from Suara Kebebasan: https://suarakebebasan.org/id/opini/item/754-mengapa-negara-sosialiscenderung-totaliter
Shorten, R. (2012). Modernism and Totalitarianism: Rethinking the Intellectual Sources of Nazism and
Stalinism, 1945 to the Present. London: Palgrave Macmilan .
Talmon, J. (1960). Origins of Totalitarian Democracy. Secker & Warburg, .
Zižek, S. ( 2002). Welcome to the Desert of the Real. New York: Verso.