Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rakut Si Telu: Studi Sosiologis terhadap Rakut Si Telu sebagai Identitas Sosial bagi Masyarakat Karo Diaspora Yogyakarta

Bab Empat

4.Rakut Si Telu Sebagai Pembentuk Identitas Sosial.

Pada bagian ini penulis akan menganalisa temuan berdasarkan teori yang dipakai. Temuan yang ditemukan penulis seperti Konsep diri orang Karo, Pemahaman jemaat GBKP Yogyakarta terhadap rakut si telu, pelaksanaan peradatan di Yogyakarta, arisan masyarakat Karo serta perpulungen jabu-jabu. Komponen-komponen ini ditemukan penulis selama penelitian. Dan hal diatas dijadikan jemaat GBKP Yogyakarta sebagai ruang atau tempat dimana rakut si telu menjalankan fungsi dan tujuannya sebagai perekat kehidupan masyarakat Karo di dalam perantauan.

Rakut si telu sebagai pembentuk identitas sosial berarti fungsi-fungsi dan peran kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru terlihat di Yogyakarta sebagai pembentuk identitas sosial. Identitas sosial berarti suatu kenyataan sosial yang tampak dan dijadikan sebagai ciri khas suatu kumpulan masyarakat untuk berinteraksi. Sehingga apa yang dilakukan masyarakat budaya tersebut dijadikan sebagai identitas sosial. Sosial berarti menyentuh unsur-unsur kehidupan seperti komunitas, beribadah, bermasyarakat dan relasi-relasi sosial yang terkait sebagai identitas.

Konsep Diri Orang Karo

Sumber Interaksi

Orang Karo Sebagai

Interaksi Simbolik

Pelaksanaan Rakut

Bahasa, Karakter, Si Telu

Aktor

Sangkep Nggeluh

Sistem Sosial

Situasi Masyarakat Karo Di GBKP

Peradatan Suku Karo Yogyakarta

Bagan di atas merupakan kajian sosiologis terhadap teori identitas yang dipakai dan dihubungkan dengan temuan yang diperoleh oleh penulis. Proses pembentukan identitas dalam masyarakat Karo di GBKP Yogyakarta dapat dilihat pada bagan di atas. Jalinan interaksi simbolik menjadi hal yang sangat penting didalam proses pembentukan identitas. Disusul dengan situasi masyarakat Karo di GBKP Yogyakarta dalam melaksanakan peradatan dan usaha-usaha yang mereka lakukan demi mempertahankan budaya Karo yang terintegrasikan didalam rakut si telu /sangkep nggeluh.

4.1. Identifikasi Diri Tentang Orang Karo Sebagai Pembentuk Awal Identitas Sosial.

Realitas adanya suatu masyarakat tidak bisa terlepas dari suatu proses ataupun kemampuan untuk mengenali suatu konsep diri dan tindakan diri seseorang. Dengan adanya realitas itu seseorang akan mulai mengenali dirinya melalui tindakannya berdasarkan realitas lingkungan yang mengikutinya. Realitas-realitas itu memampukan seseorang memiliki pengalaman atau refleksi tentang keadaan dirinya dan siapa dirinya. Sehingga konsep diri seseorang bisa jadi ditentukan oleh keadaan lingkungan yang menjadi konteks individu melakukan suatu tindakan sosial.

Individu secara sadarnya akan menemukan atau mengidentifikasi dirinya untuk tetap bertahan dalam situasi dan sistem sosial yang individu ikuti dan yang diterapkannya. Dengan memiliki kemampuan mengidentifikasi dirinya dan orang lain, individu mampu bertahan dan tetap menunjukkan siapa dirinya. Oleh sebab itu Konsep diri dan dirinya menjadi suatu objek kajian sosial yang tidak terlepas dari makna dirinya. Sehingga kekuatan individu berawal dari mereka yang mampu melakukan tindakan sosial berdasarkan dirinya dan konsep diri yang sudah melekat dalam dirinya.

Realitas masyarakat yang tercipta membentuk suatu konsep diri. Berdasarkan pengertian diatas penulis melihat suatu realitas yang ada dalam diri Orang Karo Yogyakarta terkhususnya dalam jemaat GBKP Yogyakarta. Jemaat GBKP Yogyakarta merupakan suatu realitas yang tidak tunggal melainkan suatu realitas yang jamak dan plural dalam melihat siapa dirinya. Konsep orang Karo tidak terlepas dari mana orang Karo tersebut berasal, tinggal, budaya, profesi bahkan lingkungan yang mengikutinya. Melihat pengidentifikasian yang begitu beragam ini, orang Karo diaspora mencoba memposisikan dirinya sebagai orang Karo yang berwajah baru tanpa Realitas masyarakat yang tercipta membentuk suatu konsep diri. Berdasarkan pengertian diatas penulis melihat suatu realitas yang ada dalam diri Orang Karo Yogyakarta terkhususnya dalam jemaat GBKP Yogyakarta. Jemaat GBKP Yogyakarta merupakan suatu realitas yang tidak tunggal melainkan suatu realitas yang jamak dan plural dalam melihat siapa dirinya. Konsep orang Karo tidak terlepas dari mana orang Karo tersebut berasal, tinggal, budaya, profesi bahkan lingkungan yang mengikutinya. Melihat pengidentifikasian yang begitu beragam ini, orang Karo diaspora mencoba memposisikan dirinya sebagai orang Karo yang berwajah baru tanpa

Konsep tentang diri terdiri dari "i" dan "me" membawa perhatian terhadap hubungan antara persepsi dan tindakan yang dipandu oleh pikiran. "i" adalah aspek agen-aktor dari diri sendiri yang memulai tindakan untuk membawa konsekuensi atau niat yang diinginkan. "i" adalah perseptif-pengamat aspek diri yang melihat aksi, melihat lingkungan, melihat hubungan dan memandu aktivitas "me" untuk mencapai tujuan akhir. "i" bukan hanya persepsi individu, namun karena juga mengandung pengetahuan sosial tentang komunitas atau budaya dimana

individu tersebut hidup. 1 Berdasarkan teori di atas diatas Masyarakat Karo dihubungkan dengan persepsi dan tindakan yang mengikutinya.

Dalam Perspektif “i” masyarakat Karo ditandai dengan merga/beru yang mereka miliki dan yang mereka dapati dari orang tua mereka. Merga dan beru ini merupakan identitas awal masyarakat Karo dan ini dijadikan sebagai pengetahuan yang sudah melekat dalam diri masyarakat Karo.Selain itu perspektif “i” dalam diri masyarakat Karo mengenal tutur ( budaya kekerabatan/perkenalan dalam suku Karo) artinya memiliki pengetahuan tentang budaya Karo dan mengenal sangkep nggeluhnya.

Dan hal itu melekat dalam diri individu Karo. dan pengetahuan akan budaya Karo atau dalam hal ini sangkep nggeluhnya dikonsepsikan dalam pikirannya sebagai hal yang menentukan

sikap individu Karo untuk bertindak dalam ruang publiknya bersama masyarakat Karo. 2 Persepsi tentang orang Karo harus dimulai dengan suatu perspektif bahwa orang Karo ialah masyarakat

1 Burke and Stets,” Identity of Theory”, 19-20. 2 Lihat pada bab ketiga Karakteristik dan Sifat orang Karo. Wawancara dengan Drs Sinar Sebayang. Halaman 39.

yang sangat membutuhkan orang lain terutama kepada sesama orang Karo, hal ini berkaitan tentang masyarakat Karo merantau pasti akan menjunjung tinggi dan melaksanakan budayanya sebagai media pertahanan diri terhadap perkembangan zaman yang ada.

Masyarakat Karo harus memiliki pemahaman dan pengetahuan terhadap merga atau tutur (mengenal sangkep nggeluhnya) dengan mereka memahami kedua hal ini masyarakat Karo akan bisa menjalankan kehidupannya sebagai orang Karo yang berbudaya, sebab kedua hal di atas menjadi hal yang mendasar di dalam orang Karo, dan dengan mengenal merga dan sangkep nggeluh nya masyarakat Karo akan tahu bagaimana untuk bersikap seperti menghormati kalimbubu nya, memiliki hubungan dekat dengan senina/sembuyak serta menyayangi anakberu nya.

Kemudian perspektif “i” di dalam diri orang Karo juga terlihat dari kemampuan mereka yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sosial mereka tentang komunitas orang Karo dan budaya orang Karo itu sendiri. Budaya Orang Karo yang dimaksud ialah mengenal bagaimana proses peradatan perkawinan/kematian, pelaksanaan runggu (musyawarah), komunitas/arisan orang Karo dan ertutur (bersikap ramah dan sopan kepada masyarakat Karo) sebab hal ini ternyata tidak terlepas dari kehidupan jemaat GBKP Yogyakarta sebagai masyarakat Karo.

Meskipun mereka sudah merantau hidup berbudaya masih melekat dalam diri jemaat GBKP Yogyakarta bahkan di perantauan praktik budaya Karo tetap dijalankan dan dilestarikan sebagai upaya pertahanan diri dari berbagai konsep-konsep diri lainnya yang melekat akibat lingkungan, tempat kerja dan pekerjaan. Melekatnya budaya Karo dalam kehidupan di jemaat GBKP Yogyakarta dapat dilihat dari mereka masih fasih berbahasa Karo, masih menjalankan rakut si telu di dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat dalam hal ini konteks karo Meskipun mereka sudah merantau hidup berbudaya masih melekat dalam diri jemaat GBKP Yogyakarta bahkan di perantauan praktik budaya Karo tetap dijalankan dan dilestarikan sebagai upaya pertahanan diri dari berbagai konsep-konsep diri lainnya yang melekat akibat lingkungan, tempat kerja dan pekerjaan. Melekatnya budaya Karo dalam kehidupan di jemaat GBKP Yogyakarta dapat dilihat dari mereka masih fasih berbahasa Karo, masih menjalankan rakut si telu di dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat dalam hal ini konteks karo

Kemudian konsep diri yang ditawarkan Peter Burke dan Jan Stets dalam perspektif “me”. Mereka mengemukakan bahwa konsep diri “i” ialah fase dari diri "me”, “me” memulai tindakan yang kemudian berada di bawah arahan, kontrol, dan bimbingan dari " 3 i” . Jika dilihat dalam mengidentifikasi orang Karo, secara umum “me” yang dimaksud disini ialah bagaimana orang Karo bertindak berdasarkan konsep diri (saya) yang sudah melekat dalam dirinya. Konsep diri orang Karo yang sudah melekat itu ialah orang Karo yang memiliki merga, yang menjalankan adat-istiadat dan mengenal dan memahami sangkep nggeluh atau yang sering disebut rakut si telu . Sehingga “me” merupakan tindakan atas konsep yang sudah identifikasikan. Berarti secara sosial, bahwa “me” adalah orang Karo yang melakukan konsep diri yang melekat dalam persepsi orang Karo tersebut. Sehingga orang karo dalam hal “me” ialah orang yang memiliki aksi sosial berbasis budaya Karo dan memiliki fungsi sosialnya didalam masyarakat.

“me” disini ialah adalah orang Karo yang memiliki peran dalam rakut si telu.Orang Karo yang memiliki peran dalam rakut si telu itu ialah yang menghormati kalimbubu, bersaudara atau senina/sembuyak dan menyayangi anak berunya dan pada hakekatnya Itulah fungsi sosial orang Karo. Orang Karo Diaspora terkhususnya di Yogyakarta memaknai dirinya sebagai kumpulan orang Karo yang tetap membawa konsep awalnya sebagai orang Karo yang berbudaya, bermerga dan tetap melaksanakan tinggi adat istiadat dan rakut sitelu. Hal ini menjadi 3 dasar orang Karo Diaspora yang untuk tetap menjadi orang Karo. Kemudian bagaimana orang Karo tetap menjalankan peran mereka sebagai rakut si telu yang menjadi identitas sosial orang Karo di Yogyakarta.

3 Burke and Stets,” Identity of Theory”, 19-20.

Konsep diri orang Karo yang telah dikonsep kan diatas baik perspektif “i” dan “me” mengarah kepada konsep budaya orang Karo yang disebut rakut si telu. Hal ini ditandai dengan konsep diri “i” yang memiliki merga, memahami adat istiadat dan memiliki peran sosial di dalam ke hidupannya sebagai orang Karo. Konsep diri “me” terlihat dari bagaimana aksi sosial yang berdasarkan konsep diri “i” yang melekat di dalam orang Karo itu sendiri. Ketiga konsep dasar orang Karo diatas merupakan suatu peran yang harus membutuhkan rakut si telu sebagai pelaku sosial dalam mempertahankan ketiga hal tersebut. Rakut si telu tidak bisa dilepaskan dari kehidupan orang Karo.

Itu sudah dimiliki oleh tiap-tiap individu orang Karo. tanpa memiliki merga orang Karo tidak bisa mempunyai peran mereka di rakut si telu. Sebab dengan adanya merga orang Karo mampu diklasifikasikan sebagai kalimbubu, senina dan anak beru. Sehingga merga menjadi suatu instrument yang sangat penting didalam rakut si telu. Kemudian konsep diri kedua yaitu orang Karo yang memahami budaya dan adat istiadat. Di dalam adat-istiadat orang Karo, rakut si telu menjadi tiang budaya bagi masyarakat Karo. mereka lah yang mampu menjalankan budaya dan adat istiadat orang Karo, tanpa mereka adat-istiadat orang Karo tidak berjalan dengan baik. Bahkan tidak dianggap sah jika rakut si telu tidak lengkap.

Hal ini menandakan bahwa orang Karo memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Serta memiliki hubungan emosional secara praktik budaya dan fungsi sosialnya. Polarisasi semacam ini sama seperti konsep ketiga yaitu yang memiliki peran sosial dalam masyarakat Karo. Dimana orang Karo harus menjalankan fungsi sosial mereka sebagai pelaku sosial yang memiliki peran didalam rakut si telu. Penjelasan tentang bagaimana penerapan rakut si telu akan dibahas dalam penjelasan berikutnya untuk mendukung konsep “i” dan “me” yang menjadi dasar rakut si telu sebagai pembentuk identitas sosial di Jemaat GBKP Yogyakarta.

4.2. Bahasa, karakter diri, sangkep nggeluh sebagai simbol interaksi dalam jemaat GBKP Yogyakarta.

Simbol berkaitan dengan tanda-tanda, biasanya dilihat dari situasi dimana tanda tersebut disimpulkan oleh individu yang merasakan simbol tersebut. Sehingga simbol dan tanda sebenarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja, mereka memiliki jalinan sosial antara tanda simbol. Dimana tanda merupakan konsep umum dari simbol. Makna tanda akan memiliki implikasi

terhadap identitas seseorang. 4 Tanda dan simbol tidak bisa dilepaskan begitu saja sebab kedua hal ini saling mengikat dan berhubungan. Tanda merupakan bentuk dari simbol yang melekat

dalam diri seseorang. Sehingga hal itu menjadi kekuatan simbolik bagi suatu individu. Tanda dan simbol itu terlihat dari bagaimana bahasa, karakter diri dan pemahaman budaya tentang sangkep nggeluh yang dialami dan dirasakan oleh jemaat GBKP Yogyakarta.

Berdasarkan pengamatan dan penelitian penulis, bahwa ada tiga hal yang menjadi simbol interaksi di dalam jemaat GBKP Yogyakarta. Simbol-simbol ini berupaya untuk tetap mempertahankan dan mendukung jemaat GBKP Yogyakarta dari sistem-sistem interaksi. Sistem interaksi itu seperti aturan-aturan gereja, peradatan karo yang terjadi dan interaksi yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari jemaat GBKP di Yogyakarta. Ketiga hal itu tersebut ialah bahasa, karakter diri dan sangkep nggeluh.

Pertama bahasa, pada umumnya jemaat di GBKP Yogyakrta masih fasih berbahasa Karo, beberapa narasumber sangat fasih dalam berbahasa Karo, selain itu ibadah minggu juga menggunakan bahasa. Hal ini menandakan bahwa bahasa Karo masih menjadi kekuatan diri yang masih dipegang dan dipergunakan. Tidak hanya orang tua, anak-anak yang ada di Gereja

4 Freese and Burke, “Person,Identity” 12.

GBKP Yogyakarta juga bisa berbahasa Karo. Ini menandakan juga orang tua masih mengajarkan bahasa Karo sebagai bahasa budaya yang tidak boleh ditinggalkan. Hal ini terlihat ketika ibadah berlangsung, komunikasi antar jemaat di dalam gereja dan dilluar gereja ketika selesai beribadah. Mereka masih menggunakan bahasa Karo sebagai alat untuk berkomunikasi.

Bahasa menjadi aspek mendasar dikarenakan itu merupakan simbol dan tanda yang muncul. Tanda ini langsung terhubung kepada objek, pikiran dan tindakan seseorang seperti apa yang dijelaskan Peter Burke dan Jan Stets dalam bukunya identity of theory. Dan ditambahkan lagi bahwa seorang individu mengenal siapa dirinya dalam suatu budaya dan komunitas. Melalui bahasa individu akan mampu bertahan dalam struktur sosial dan sistem sosial yang diikutinya. Terhubung ke objek berarti bahasa menjadi pusat untuk berinterkasi dimana dalam hal ini jemaat GBKP Yogyakarta mempertahankan bahasa Karo sebagai kekuatan mendasar bagi membangun pola komunikasi dengan orang lain. kemudian hal ini berkaitan dengan bagaimana bahasa memberikan pengalaman langsung bagi jemaat GBKP Yogyakarta. Sebab dengan fasih berbahasa Karo, sesamanya juga akan memiliki penghargaan yang lebih bagi dirinya. Karena memang bahasa menjadi sumber utama masyarakat Karo berinteraksi secara budaya.

Pada dasarnya bahasa juga menjadi norma budaya yang harus menjadi dasar bersama seseorang untuk mampu mengikuti suatu budaya yang melekat dalam dirinya dalam hal ini budaya Karo. Sehingga bahasa Karo menjadi identitas awal bagi orang Karo diaspora di Yogyakarta. Kedua, orang Karo diaspora memahami apa yang dimaksud dengan rakut si telu, berdasarkan penelitian penulis bahwa jemaat yang ada di GBKP Yogyakarta memahami secara mendasar tentang rakut si telu. Meski tidak secara mendalam tetapi mereka mengetahui siapa yang menjadi kalimbubu, senina,sembuyak & anak beru mereka di dalam komunitas mereka. Dikarenakan mereka merantau sehingga mereka mengangkat secara personal/tidak saudara Pada dasarnya bahasa juga menjadi norma budaya yang harus menjadi dasar bersama seseorang untuk mampu mengikuti suatu budaya yang melekat dalam dirinya dalam hal ini budaya Karo. Sehingga bahasa Karo menjadi identitas awal bagi orang Karo diaspora di Yogyakarta. Kedua, orang Karo diaspora memahami apa yang dimaksud dengan rakut si telu, berdasarkan penelitian penulis bahwa jemaat yang ada di GBKP Yogyakarta memahami secara mendasar tentang rakut si telu. Meski tidak secara mendalam tetapi mereka mengetahui siapa yang menjadi kalimbubu, senina,sembuyak & anak beru mereka di dalam komunitas mereka. Dikarenakan mereka merantau sehingga mereka mengangkat secara personal/tidak saudara

Yogyakarta untuk bisa tetap memahami rakut si telu didalam kehidupan sosial mereka.

Mereka tidak hanya memahami rakut si telu sebagai suatu warisan budaya saja, melainkan pemahaman mereka sudah sampai kepada tataran sosial yaitu rakut si telu menjadi kekuatan sosial mereka untuk tetap bisa bertahan hidup dan bersosialisasi dengan orang Karo. Artinya mereka mengangkat sangkep nggeluh bukan hanya untuk memenuhi kewajiban norma budaya yang mengharuskan memiliki sangkep nggeluh tetapi mereka menganggap itu menjadi kebutuhan mendasar sebagai orang Karo yang merantau. Sebab sangkep nggeluh lah yang nantinya akan menjadi keluarga terdekat mereka. Sehingga bukan sebagai tuntutan budaya melainkan untuk memperkuat rasa kekeluargaan di tanah rantau.

Ada jemaat yang kemalangan atau yang mengalami kesusahan baik secara ekonomi dan persoalan lainnya. Kalimbubu, senina dan anak beru yang telah diangkat oleh jemaat tersebut pada umumnya memiliki kewajiban untuk membantu jemaat tersebut. Biasanya jika terjadi hal demikian jemaat yang bersangkutan akan datang terlebih dahulu kepada senina ( orang yang satu merga dengannya jika itu laki-laki) sebab posisi senina ialah mendengarkan curhatan dan kesusahan dari orang lain. Kemudian mereka akan datang kepada anak beru dari jemaat yang bersangkutan untuk memohon agar diberitahu kepada kalimbubu jemaat yang bersangkutan agar dapat dibicarakan. Sebab kalimbubu memiliki fungsi untuk memberi saran, solusi dan berhak untuk membantu jemaat yang bersangkutan. Demikinalah proses sangkep nggeluh yang terjadi.

5 Lihat pada bagian III tentang pengetahuan dan pemahan rakut si telu. Wawancara dengan Bp bebas Tarigan dan Hendri Perangin-Angin.

ini menandakan bahwa orang Karo sangat dekat sekali dengan sangkep nggeluhnya dan mereka tidak bisa hidup secara utuh tanpa bantuan dari orang lain terkhusus dari sangkep nggeluhnya.

Ketiga, identitas awal orang Karo diaspora Yogyakarta terlihat dari ciri orang Karo disana yang sudah mulai demokratis sosialis. Artinya, orang Karo tidak hanya hidup dan memperhatikan orang Karo saja, melainkan sudah berbicara tentang bagaimana menolong sesama manusia. identitas ini menjadi penting dikarenakan, orang Karo pada umumnya memiliki

kebiasaan yang pandai bersaudara dan mengambil hati orang lain. 6 Tidak hanya itu,orang Karo sudah terbiasa hidup dengan polarisasi yang sudah ada di peradatan suku Karo, yang dimana

didalamnya sangat menjunjung nilai persaudaran, kemanusiaan dan budaya yang tinggi. Sehingga sifat demokratis sosialis sangat kelihatan. Itu saya alami sendiri kita sampai di GBKP Yogyakarta, beberapa jemaat yang kebetulan bertemu dengan saya, langsung menawarkan

tempat tinggal danmembantu proses penelitian saya. 7

Keempat, identitas awal orang Karo diaspora sampai kepada karakteristik orang Karo itu sendiri. Karakteristik orang Karo pada umumnya ialah tekun, pekerja dan tidak mudah menyerah. Itu terlihat dari keberhasilan orang Karo yang merantau di Yogyakarta. Baik secara materi dan secara kehidupan sosial mereka bersama masyarakat. Mereka sangat ramah, mudah bergaul dan rendah hati. Ini menjadi penanda bahwa orang Karo dengan identitas sangat melekat dalam dirinya. Dengan prinsip memiliki kesamaan nasib pergi merantau dan pernah hidup susah, dan pernah ditolong sehingga menyebabkan hal itu mereka lakukan kepada orang Karo merantau

6 Lihat pada bagian II tentang Karakteristik dan sifat orang Karo. Wawancara dengan Jekonia Tariga Pt. Em. Madison Ginting & Ibu Rosdiana B.Sc. Halaman 34.

7 Lihat pada bagian II tentang Karakteristik dan sifat orang Karo.Wawancara dengan Yanti Br Pencawan & Bp. Wahyuni Ginting Manik. Halaman 34 7 Lihat pada bagian II tentang Karakteristik dan sifat orang Karo.Wawancara dengan Yanti Br Pencawan & Bp. Wahyuni Ginting Manik. Halaman 34

Berdasarkan penjelasan di atas bahwa bahasa, karakter diri, dan sangkep nggeluh merupakan simbol interaksi bagi jemaat GBKP Yogyakarta. Simbol-simbol ini membuat jemaat dapat bertahan dari sistem interaksi yang mereka jalankan. Dan bisa dikatakan juga bahwa ketiga unsur di atas ialah sumber interaksi yang akan bisa memunculkan sistem interaksi. Sistem interaksi ini terlihat di peradatan dalam masyarakat Karo. Seperti apa yang dikatakan Peter Burke dan Jan Stets dalam bukunya identity of theory bahwa sumber interaksi berfungsi untuk mempertahankan pengetahuan/budaya terhadap sistem interaksi yang terjalin di dalam kehidupan jemaat GBKP Yogyakarta.

Mungkin saja kalau orang Karo yang tinggal di tanah Karo masih beranggapan bahwa rakut si telu akan selalu hidup dan menjadi dasar bersama untuk kehidupan mereka. Tetapi disini menjadi keprihatinan orang Karo kalau tidak memiliki sangkep nggeluh atau rakut si telu. Karena rakut si telu menjadi perekat sosial bagi kehidupan orang Karo. Sehingga hal itu penting untuk dilaksanakan dan dihidupi. Bagi orang Karo diaspora rakut si telu menawarkan jaminan kehidupan yang lebih baik, dan jaminan bahwa kekeluargaan akan selalu ada dan hidup akan selalu terkait karena sudah diikat dalam suatu struktur budaya yaitu rakut si telu dalam menjalankan kehidupan mereka melalui fungsi/peran sosial mereka di dalam rakut si telu.

4.3. Rakut Si Telu Sebagai Pembentuk Identitas Sosial di Jemaat GBKP Yogyakarta.

Rakut si telu digambarkan sebagai berikut.

Kalimbubu Senina/Sembuyak

Sukut

Anak beru

Gambar segitiga itu atau sering dikatakan sebagai tiga kaki tungku. Dimana kalimbubu dengan senina berada di posisi kiri dan kanan sedangkan anak beru berada dibagian bawah. Dan di tengah itu merupakan sukut atau pemilik pesta. Kalau adat perkawinan berarti pengantin dan orangtuanya sedangkan kalau kematian, keluarga yang ditinggalkan. Sukut dikelilingi oleh rakut si telu . Hal didasari oleh pengertian bahwa orang Karo membutuhkan ketiganya untuk bisa menjalankan peradatan tersebut. masing-masing kelompok tersebut melakukan tugasnya dengan baik dan benar sesuai dengan apa yang sudah menjadi bagian dari mereka.

Di dalam sistem interaksi ini tidak ada yang berada di dalam posisi paling tinggi dan rendah semua sama dalam pengertian bahwa mereka merupakan sistem kekerabatan yang tak terpisahkan hanya saja yang membedakan mereka ialah tugas dan tanggung jawab mereka ketika peradatan berlangsung. Kalimbubu memiliki tanggung jawab sebagai kelompok pemberi dara bagi keluarga. Dalam hal ini kalau diilihat dalam keadaan penulis, yang termasuk dalam kalimbubu penulis ialah saudara laki-laki dari ibu penulis (paman).

Kalimbubu juga memiliki sebutan sebagai dibata ni idah (Tuhan yang kelihatan). Konsep kalimbubu sebagai Tuhan kelihatan disebabkan oleh tugas dan tanggung jawab mereka yang diidentikan sebagai penasehat dalam peradatan suku Karo, dengan kata lain pada kelompok Kalimbubu juga memiliki sebutan sebagai dibata ni idah (Tuhan yang kelihatan). Konsep kalimbubu sebagai Tuhan kelihatan disebabkan oleh tugas dan tanggung jawab mereka yang diidentikan sebagai penasehat dalam peradatan suku Karo, dengan kata lain pada kelompok

Fungsi kalimbubu sebagai pemberi saran ialah mereka bertanggung jawab mendengarkan kesusahan yang dialami oleh anak berunya sehingga kelompok ini bertanggungjawab untuk memberikan saran serta memberikan solusi bagi persoalan yang sedang dihadapi. Kelompok ini sangat penting dalam peradatan suku Karo. Sebab mereka sangat dibutuhkan. Kalimbubu juga memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam peradatan karena memang mereka sangat diperlukan sebagai wakil dari pihak perempuan yang akan menikah kalau berdasarkan adat perkawinan. Tanpa kelompok kalimbubu ini acara peradatan suku Karo tidak bisa dilaksanakan

Berarti kalimbubu bisa diartikan sebagai orang yang dihormati dan di segani dalam masyarakat Karo. Sebab kedudukan mereka sangat diharapkan di dalam peradatan suku Karo. Kemudian dari sisi mana kalimbubu bisa dijadikan sebagai pembentuk identitas sosial dalam masyarakat Karo Yogyakarta terkhususnya dalam masayarakat Karo yang beribadah di GBKP Yogyakarta. Dapat menjadi pembentuk identitas sosial karena fungsi-fungsi budaya bahkan sosial dari kelompok ini banyak memberikan kemudahan, pertolongan dan membuat jemaat GBKP Yogyakarta ataupun masyarakat Karo yang berada di dalam posisi ini dengan sadarnya untuk membantu orang lain dan turut membuat hubungan persaudaraan semakin dekat. Di dalam kedudukan kalimbubu ini, masyarakat Karo pada umumnya akan berada di dalam posisi yang sangat penting.

Dalam teori Burke dan Stets buku identity of theory tentang Agen/Aktor dan Peran, mereka mengatakan bahwa agen bisa dikategorikan sebagai indivdu yang memiliki peran Dalam teori Burke dan Stets buku identity of theory tentang Agen/Aktor dan Peran, mereka mengatakan bahwa agen bisa dikategorikan sebagai indivdu yang memiliki peran

Dari sisi sosialnya kalimbubu akan berusaha menolong keluarga terdekatnya, sebab keluarga terdekatnya juga akan bersikap sebagaimana mestinya. Kemudian kalimbubu juga erat kaitannya sebagai juru damai di dalam permasalahan yang terjadi di Keluarga orang Karo. Ketika ada permasalahan antar sanak keluarga, kalimbubu menjadi tempat untuk mengadu dan diharapkan bisa menyelesaikannya. Kalimbubu memakai kekuatan perannya sebagai orang yang dianggap bijaksana. Oleh sebab itu permasalahan yang terjadi kalau kalimbubu mengetahuinya. Sebisanya masalah itu akan terselesaikan dengan adil dan damai.

Selanjutnya dari hubungan berelasi dengan kalimbubu. Biasanya orang yang dianggap kalimbubu keluarga tidak bisa sembarangan berbicara kepada kalimbubu, artinya orang-orang harus bersikap ramah, sopan santun dan tahu tata krama. Hal ini diterapkan demi menjaga hubungan keluarga dengan pihak kalimbubu. Sebab kalimbubu dalam setiap peradatan apapun kehidupan lainnya dibutuhkan sehingga tidak bisa dan diharapkan tidak boleh mengalami perselisihan kepada pihak kalimbubu keluarganya.

Kalau dilihat dari peranan kalimbubu seperti yang dijelaskan di atas. Kalimbubu menjadi pembentuk identitas sosial dikarenakan dalam kelompok ini, orang-orang yang di dalamnya akan hidup sebagai orang yang mengatur dan menyelaraskan tatanan kehidupan yang tidak baik Kalau dilihat dari peranan kalimbubu seperti yang dijelaskan di atas. Kalimbubu menjadi pembentuk identitas sosial dikarenakan dalam kelompok ini, orang-orang yang di dalamnya akan hidup sebagai orang yang mengatur dan menyelaraskan tatanan kehidupan yang tidak baik

Senina/Sembuyak . Senina pada umumnya dikaitkan dengan kelompok yangn bertanggung jawab terhadap seluruh upacara adat sukut (pemilik pesta). Sebab senina artinya satu pendapat atau satu kata. Atau dengan kata lain senina/sembuyak adalah penyambung lidah keluarga ketika peradatan berlangsung. Mereka turut mendamping keluarga yang akan melaksanakan peradatan. Sehingga senina diambil dari orang yang satu merga dengan pemilik pesta meski tidak saudara kandung. Misalnya merga barus yang menikah, yang bertanggungjawab dalam pesta peradatan ialah yang satu merga dengan penulis (dapat dilihat dari submerga pada bagian III tentang merga ).

Kemudian senina juga memiliki fungsi sebagai teman sharing tentang apa yang menjadi pergumulan jika dikaitkan dengan pesta peradatan, pemilik pesta akan berdiskusi dengan senina nya untuk menanyakan bagaimana persiapan pesta dan apa saja yang akan dipersiapkan untuk melancarkan acara tersebut. Kemudian sembuyak, kelompok ini merupakan yang satu merga dengan pemilik pesta tetapi berasal dari keturunan yang sama atau kandung (laki-laki). Jika di dalam posisi pesta kedudukan mereka hampir sama dengan senina karena memiliki fungsi dan peran hampir sama sebagai pengatur dan bertanggungjawab atas peradatan yang akan dilakukan.

Intinya senina/sembuyak ialah kelompok yang memiliki hubungan yang dekat kepada yang akan melaksanakan pesta. Merekalah yang akan bertanggungjawab akan peradatan yang Intinya senina/sembuyak ialah kelompok yang memiliki hubungan yang dekat kepada yang akan melaksanakan pesta. Merekalah yang akan bertanggungjawab akan peradatan yang

Oleh sebab itu kelompok ini menjadi pembentuk identitas sosial dikarenakan mereka ialah orang yang akan menjadi pendamping keluarga ketika mengalami kesusahan atau pun akan melaksanakan peradatan. Kelompok mereka inilah yang mendampingi dan akan mengatur segala persiapannya. Kalau dikaitkan dengan kehidupan pada umumnya kelompok ini menjadi kelompok yang paling dekat dengan keluarga yang akan melaksanakan pesta. Oleh sebab itu menjadi kelompok ini berarti menjadi orang yang selalu ada buat orang lain. Dengan kata lain kelompok senina ini bisa bisa menjadi pembentuk identitas dikarenakan mereka memiliki fungsi selain di atas sebagai pendamping keluarga atau bisa dikatakan sebagai malaikat yang bertanggungjawab untuk membantu dan selalu ada buat keluarga yang mengangkat mereka sebagai senina/sembuyak dalam keluarganya.

Kemudian yang terakhir ialah anak beru. Anak beru ialah kelompok yang satu merga dengan pemilik pesta atau keluarga merga tertentu (tetapi yang perempuan, kalau senina tadi laiki, anak beru perempuan). Tugas dari anak beru ialah mengatur jalannya musyawarah/runggu, mereka mengatur jalannya musyawarah, mereka yang akan menjembatani diskusi yang sedang berlangsung antara kalimbubu, senina dan anakberu. Segala sesuatu yang dibicarakan kemudian dicatat oleh pihak anak beru agar mereka tahu apa yang akan dikerjakan. Kemudian mereka menyiapkan hidangan pesta, artiya mereka menyiapkan dari mulai menyiapkan perkakas alat masak, membeli kebutuhan masak dan memasaknya serta menghidangkannya kepada tamu yang hadir.

Selain itu mereka berkewajiban memberi kabar/undangan ketika akan dilaksanakan peradatan kepada keluarga terdekat, undangan pelaksanaan peradatan harus sampai kepada kerabat dan tidak boleh tidak disampaikan sebab orang Karo pada umumnya sangat sensitive kalau tidak di undang langsung. Dan tugas anak beru lainnya ialah menjadwalkan pertemuan keluarga, ketika aka ada perihal yang akan disampaikan kepada keluarga terdekat mereka juga bertanggungjawab untuk menyampaikannya Dan menjadi juru damai kalimbubunya. Jika terjadi perselisihan antara kalimbubu dengan orang lain, anak beru berkewajiban menjadi juru damai. Karena anak beru merupakan saudara terdekat dari kalimbubunya.

Kelompok ini bisa dikatakan adalah tim sukses di dalam menyelesaikan adat yang akan sedang berlangsung. Karena begitu pentingnya peran mereka dalam struktur peradatan masyarakat Karo, pada umumnya masyarakat Karo akan menyayangi anak beru mereka karena merekalah yang akan mempersiapkan dari persiapan acara hingga sampai acara selesai. Kelompok ini bisa menjadikan dirinya sebagai pembentuk identitas karena kelompok ini menawarkan suatu sistem kekerabatan sosial yang sangat baik. Mereka membuat kekerabatan suku Karo begitu erat. Begitulah kehidupan orang Karo sangat erat dan saling memperhatikan sesamanya.

Oleh sebab itu ketiga unsur ini selalu akan bersinggungan dengan kehidupan masyarakat Karo. Dimana ada kegiatan masyarakat Orang Karo, kemalangan, perkawinan bahkan perselisihan ketiga unsur ini pasti ada sebagai suatu sistem kekerabatan yang menolong.

Dalam teori Burke dan Stets buku identity of theory tentang Agen/Aktor dan Peran, mereka mengatakan bahwa agen bisa dikategorikan sebagai indivdu yang memiliki peran sebagai orang bertindak atau yang memiliki aksi diri dalam ruang interaksi dan menciptakan pola interaksi sebagai sarana untuk bertindak. Agen berhubungan dengan apa yang dimaksud dengan Dalam teori Burke dan Stets buku identity of theory tentang Agen/Aktor dan Peran, mereka mengatakan bahwa agen bisa dikategorikan sebagai indivdu yang memiliki peran sebagai orang bertindak atau yang memiliki aksi diri dalam ruang interaksi dan menciptakan pola interaksi sebagai sarana untuk bertindak. Agen berhubungan dengan apa yang dimaksud dengan

8 Tetapi agen juga berbicara tentang hubungan, perilaku. Berarti agen melaksanakan peran mereka demi menciptakan interaksi dan mempertahankan pola interaksi yang sudah ada.

Sehingga pola interaksi tetap bisa terjaga. Hal inilah yang dilakukan sangkep nggeluh yang ada di Yogyakarta. Mereka mempertahankan rakut si telu dengan tetap melaksanakan peran dan tugas mereka didalam sangkep nggeluh yang mereka miliki. Sehingga rakut si telu dapat dikategorikan sebagai agen dan fungsi mereka dapat dikatakan sebagai peran sebagaimana yang dimaksud Burke dan Stets.

Ini menandakan orang karo sangat berhubungan satu dengan lainnya. Sehingga dapat dikatakan rakut si telu menjadi sumber interaksi didalam konteks bermasyarakat. Selain itu mereka menjadi jalinan sosial yang sudah terstruktur dalam kehidupan orang Karo meski tidak secara organisatoris melainkan secara budaya terlebih kepada kesadaran diri dalam tiap individu orang Karo. Oleh sebab itu pada umumnya orang Karo sudah bisa memposisikan dirinya sebagai apa, dan tugasnya apa dalam suatu peradatan suku Karo. semua jalinan ketiga kelompok sosial ini berjalan begitu seterusnya. Sehingga memang dibutuhkan kedewasaan diri ketika berada diantara salah satu kelompok sosial tersebut. Dari penjelasan diatas, ketiga kelompok sosial diatas tidak hanya dipandang sebagai suatu struktur budaya saja, melainkan ialah suatu perekat sosial didalam suku Karo.

Kelompok sosial harus digeserkan maknanya sebagai identitas sosial dalam masyarakat Karo. Identitas sosial berarti, tugas, fungsi dan peran ketiga kelompok sosial ini tidak hanya sebatas di peradatan saja melainkan dalam kehidupan lainnya seperti kehidupan keluarga,

8 Burke and Stets, “ Identity of Theory”, 6.

kehidupan tetangga dan kehidupan beragama. Maknanya harus sampai ditahap ini. Sehingga kehidupan masyarakat suku Karo terjalin dengan baik.

Kita tidak hanya menghormati kalimbubu sangat ada peradatan, kita tidak hanya berempati dengan senina ketika ada masalah dengan kalimbubu atau orang lain, kita tidak hanya menyayangi anak beru ketika mau melaksanakan adat. Semua didasari karena ketiga kelompok sosial.budaya ini menjadi kebutuhan dasar bersama yang di hidupi dalam sektor-sektor kehidupan yang lebih luas. Sehingga rakut si telu menjadi kekuatan sosial yang mampu mempertahankan sistem sosial yang sudah terjalin diantara ketiga kelompok tersebut. Dengan kata lain ketiga kelompok tersebut menjadi landasan masyarakat suku Karo dimanapun berada

Menurut Lee Freeze dan Peter Burke dalam teori person, identitiy and social interaction seseorang bisa memiliki jalinan komunikasi dengan orang lain ketika sumber identitas seseorang terletak di jaringan peran, status, dan norma subkultur orang tersebut. Jaringan yang menyediakan struktur interaksi interpersonal dengan begitu individu bisa menemukan, mendefinisikan, dan mengidentifikasi orang. Orang-orang berhubungan dengan lingkungan

mereka sebagian karena tanda-tanda sosial didalam lingkungan sekitarnya. 9 Jaringan peran, status dan norma itu terjalin dalam kehidupan orang Karo pada umumnya termasuk yang ada di

Jemaat GBKP Yogyakarta.

Interaksi Interpersonal yang dikemukakan oleh Lee Freeze dan Peter J. Burke berkaitan dengan apa yang ingin dibangun oleh masyarakat Karo diaspora dalam hal ini jemaat GBKP Yogyakarta dalam melakukan interaksi kepada sesama orang Karo. Interaksi yang dibangun oleh

9 Fresse and Burke , “ Person, Identity And Social Interaction”, 17.

masyarakat Karo Yogyakarta khususnya jemaat GBKP Yogyakarta terlihat pada apa yang mereka lakukan seperti tetap melakukan pelaksanaan runggu, peradatan perkawinan/kematian dan arisan komunitas Karo.Hal ini dinamakan interaksi interpersonal dan hal dibawah ini dijadikan sebagai sumber interaksi.

Di dalam penjelasan teori Burke dan Stets tentang sumber interaksi ialah suatu tempat dimana orang dan kelompok melaksanakan proses interaksi. Dimana ada proses interaksi antara individu dengan individu. Dan dimana sumber itu membantu dan mendukung proses interaksi tersebut dengan simbol interaksi yang ada seperti tanda, simbol, sumber dan respon. Ini terlihat dari beberapa kegiatan/peradatan suku Karo yang ada dan masih dilakukan oleh jemaat GBKP

Yogyakarta. 10

Sumber ini berfungsi untuk mempertahankan pengetahuan ataupun informasi yang sudah ada dari sistem-sistem interaksi. Sebab sistem interaksi akan menghasilkan banyak informasi dan pengetahuan dari berbagai interaksi yang sudah dihasilkan sehingga diperlukan suatu pertahanan diri bagi pengetahuan dan informasi yang sudah ada. Sumber Informasi dihasilkan melalui lingkungan ataupun situasi sosial yang sedang terjadi. Informasi didapatkan melalui

interaksi intensif yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain. 11 Runggu, Perpulungen Jabu-Jabu dan arisan masyarakat Karo menjadi sumber interaksi. Sebab didalam kegiatan

tersebut proses interaksi, bentuk interaksi dan sistem interaksi terlihat sebagai jalinan rakut si telu sebagai identitas masyarakat Karo Yogyakarta.

4.3.1. Runggu ( Musyawarah).

10 Burke and Stets, “ Identity of Theory”, 6. 11 Frese and Burke,”Person,Identity,” 11.

Runggu adalah suatu musyawarah yang biasa dilakukan oleh masyarakat Karo. Dalam runggu biasa diidentikan dengan percakapan antar keluarga yang bersangkutan (sukut) dalam hal ini yang ingin melakukan adat perkawinan/kematian atau yang ingin melakukan runggu. Biasanya runggu berisikan tentang musyawarah yang bermufakat dan menghargai perbedaan pendapat. Runggu bisa dilakukan ketika sangkep nggeluh sudah hadir dan lengkap seperti kalimbubu, senina dan anak beru. Dalam penelitian penulis, jemaat GBKP runggun Yogyakarta masih melakukan runggu sebagai suatu ruang bersama untuk mempertemukan sangkep nggeluh yang dimiliki oleh suatu keluarga yang ingin melaksanakan pesta adat Karo.

Di dalam runggu, musyawarah di pimpin oleh anak beru dari pihak keluarga. Anak beru akan menanyakan kepada pihak keluarga kalau pihak kalimbubu, senina/sembuyak, anak beru sudah hadir atau belum. Jika belum hadir dari salah satu sangkep nggeluhnya musyawarah belum bisa dilakukan. Sebab mereka harus hadir di dalam pengambilan keputusan. Hal ini menegaskan bahwa keterikatan ketiga unsur ini sangat erat. Mereka tidak bisa dipisahkan karena saling berhubungan.

Selama runggu berjalan, anak beru akan memulai musyawarah bersama, di dalam diskusi ini biasanya jika untuk adat perkawinan, biasanya akan dibahas tentang mahar dari laki- laki ke perempuan, di dalam musyawarah ini akan disepakati tentang kesanggupan pemberian mahar kepada pihak perempuan. Setelah itu disepakati tentang tanggal peradatan dan lokasi peradatan. Biasanya akan dilaksanakan di tempat perempuan. Karena kita pihak perempuan adalah orang yang sangat dihormati begitu filosofinya bagi masyarakat Karo. Selain itu akan dibahas tentang sarana dan prasarana untuk persiapan peradatan dari kebutuhan makanan, minuman dan hidangan apa yang akan diberikan kepada tamu. Hal ini dibicarakan dengan begitu cermat.

Kemudian semua yang telah di musyawarahkan dan telah disepakati tidak bisa di ganggu gugat oleh siapapun sebab kesepakatan di dalam runggu sangat dihormati. Sebelum musyawarah selesai, senina/sembuyak dari keluarga yang terkait menanyakan kepada keluarga tersebut apakah masih ada yang perlu dipersiapkan atau sudah cukup. Ketika bagi keluarga sudah cukup, akan dipersilahkan kepada kalimbubu jika masih ingin bertanya atau memberikan nasehat ataupun saran. Tak kala juga kalimbubu akan menanyakan kepada keluarga mengenai pendanaan. Jika mengalami kendala dalam pendanaan biasanya kalimbubu dan anak beru akan berinisiatif untuk melunasi kekurangan dana tersebut.

Runggu ini tidak dilupakan oleh jemaat GBKP Yogyakarta karena musyawarah ini sangat demokratis, ramah lingkungan dan menjunjung sekali pendapat antar tiap individu orang Karo. Sehingga peran rakut si telu terlihat di runggu . Runggu menjadi model komunikasi yang dibangun, di dalam runggu biasanya hal yang dibicarakan cukuplah serius sehingga ditata dengan begitu baik.

Model interaksi semacam ini menunjukkan interaksi interpersonal jemaat GBKP Yogyakarta sanga kelihatan menjunjung tinggi hasil musyawarah dibandingkan dengan keputusan dari suatu keluarga. Karena menjadi orang Karo adalah menjadi suatu keharusan untuk menerapkan norma budaya salah satunya adalah pelaksanaan runggu sebagai langkah awal untuk membangun suatu percakapan dan hasilnya rencana pelaksanaan peradatan.

Tanpa adanya runggu interaksi rakut si telu tidak berjalan dengan baik. Meski pertemuan ketiga kelompok sosial ini bisa saja terlihat dalam kehidupan sehari-hari tetapi di dalam runggu itu terlihat jelas sebagai suatu perekat sosial di dalam membantu rencana pelaksanaan suatu adat Tanpa adanya runggu interaksi rakut si telu tidak berjalan dengan baik. Meski pertemuan ketiga kelompok sosial ini bisa saja terlihat dalam kehidupan sehari-hari tetapi di dalam runggu itu terlihat jelas sebagai suatu perekat sosial di dalam membantu rencana pelaksanaan suatu adat

Sistem interaksi ini terlihat ketika rakut si telu dipertemukan dalam nuansa adat yang berlangsung. Kemudian bagaimana relasi rakut si telu tersebut diperhadapkan dengan kehidupan sehari-hari. Sebab pola komunikasi yang dibangun tentu tidak sekaku atau terstruktur ketika di dalam peradatan dimana ada juru bicara yang mengatur kelompok sosial mana saja yang berbicara terlebih dahulu. Di dalam kehidupan sosial proses interaksi mereka berada dalam posisi yang lebih santai dan lebih bersahabat.

4.3.2. Arisan orang Karo

Arisan orang Karo yang ada di Yogyakarta dan diikuti oleh jemaat GBKP Runggun Yogyakarta terdiri dari arisan merga, arisan berdasarkan kampung halaman, arisan merga silima sinuan buluh . Arisan ini dibentuk bertujuan untuk tetap mempertahankan pola komunikasi yang sudah ada di dalam masyarakat Karo Yogyakarta dan juga untuk menjaga kerukunan masyarakat Karo. Selain itu tujuan dari arisan ini untuk bertemu dan bertegur sapa antar orang karo satu dengan lainnya. Arisan ini sangat beragam yang ada di jemaat GBKP Yogyakarta hal ini disebabkan karena setiap arisan yang diikuti tentu memiliki nuansa yang berbeda. Ketika arisan dengan satu kampung halaman yang sama pasti pola komunikasi yang dibangun pasti selalu bernuansa tentang percakapan bagaimana keadaan kampung dan informasi tentang keadaan kampung. Ungkapan keadaan kampung bertujuan untuk menahan rindu akan kampung halamannya sehingga ada rasa ingin berbuat sesuatu untuk kampung halaman. Misalnya kekurangan apa yang bisa dilakukan untuk kampung.

Kemudian arisan antar sub merga yang sama. Ini biasanya bersifat kekuatan submerga. Biasanya bertemu untuk membicarakan tentang keadaan keluarga masing-masing. Sehingga jika mengalami kekurangan dan membutuhkan bantuan biasanya arisan ini membantu apa yang bisa meringankan beban dari salah satu keluarga. Sebab arisan submerga dianggap menjadi suatu arisan keluarga besar yang memiliki asal ibu yang sama.

Anggapan itu dihidupkan agar kedekatan menjadi lebih dekat. Sehingga tidak ada jarak antara keluarga satu dengan lainnya. Karena sudah dianggap sebagai saudara kandung, berarti tidak ada alasan untuk tidak saling membantu. Sehingga sangat jelas terlihat bahwa kekuatan sub merga yang sama memberikan dampak kepada interaksi yang dibangun. Sehingga interaksi yang dibangun juga bisa berasal dari emosional submerga. Karena memiliki submerga sama harus memiliki rasa kebersamaan. Disinilah terletak bagaimana kekuatan orang karo sebagai penjunjung tinggi rasa persaudaran.

Kemudian arisan merga silima sinuan buluh. Arisan ini merupakan kumpulan dari kelima merga yang diikuti oleh jemaat GBKP Yogyakarta. Arisan ini cukup besar karena meliputi kelima merga yang ada di suku Karo. Di Yogyakarta arisan ini membahas secara luas bagaimana perkembangan komunitas tersebut. Dan bisa dijadikan sebagai wadah mengevaluasi diri, hal-hal apa saja yang menjadi kekurangan selama ini. Sehingga arisan ini memiliki kebermanfaatan yang positif bagi orang Karo yang mengikuti arisan tersebut. Biasanya arisan ini berkumpul semua sangkep nggeluh yan ada di orang karo Yogyakarta. Sehingga jalinan komunikasi yang terjadi sangat kuat. Oleh sebab itu arisan ini tidak hanya bertemu dan berkumpul saja. Melainkan ada pembahasan yang dibicarakan. Misalnya tentang perkembangan arisan yang sudah dibentuk dan dilaksanakan.

Kemudian misalnya ada dari salah satu anggota dari arisan tersebut sudah lama tidak hadir, maka arisan merga tersebut wajib untuk mengetahui alasan mengapa anggota arisan tersebut tidak hadir, biasanya pengurus arisan dan kerabat dekat anggota yang tidak aktif juga hadir untuk menanyakan langsung persoalan apa yang sedang terjadi sehingga menyebabkan ketidakaktifan dari anggota arisan tersebut. Di dalam proses pelaksanaan Arisan, misalnya arisan merga barus yang menjadi anak beru dalam arisan tersebut ialah sub merga yang sama dengan barus, kemudian mereka mempersiapkan segala hidangan yang sudah disampaikan oleh pihak keluarga. Sehingga arisan tidak hanya berbicara tentang sukacita anggota arisan saja melainkan apa yang menjadi persoalan dari anggota arisan tersebut.

4.3.3. Perpulungen Jabu-jabu dan Ibadah Minggu

Perpulungen Jabu-Jabu ( Ibadah keluarga) yang terbagi menjadi 3 sektor yaitu Korinti yang dilaksanakan tiap hari senin pukul 19.00-21.00 Wib, kemudian tiap hari selasa sektor Filipi pada pukul yang sama dan tiap hari Rabu Sektor Galatia pada pukul yang sama. Kemudian ada pelayanan Kaum Bapa ( mamre) dan Kaum Ibu ( moria) yang dilaksanakan setiap hari minggu selesai Ibadah Minggu dimulai pada pukul 10.00-12.00 Wib. Perpulungen Jabu-jabu juga merupakan bagian dari interaksi interpersonal yang dibangun oleh jemaat GBKP runggun Yogyakarta. Karena di dalam PJJ ini, jemaat melakukan interaksi yang meski bernuansa rohani karena PJJ ini merupakan ibadah keluarga yang menjadi bagian dari pelayanan keluarga yang ada di Gereja.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan Inkuiri terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Noborejo 02 Salatiga Tahun Pelajaran 2010/2011

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan Inkuiri terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Noborejo 02 Salatiga Tahun Pelajaran 2010/2011

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Kelas V SD Negeri Jati 3 Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajara

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Kelas V SD Negeri Jati 3 Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajara

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Kelas V SD Negeri Jati 3 Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajara

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Kelas V SD Negeri Jati 3 Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajara

0 0 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan: Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani

0 0 41

Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan (Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani) TESIS Diajukan kepada Program Studi: Magister Sosiologi Agama, Fakultas: Teologi

0 0 14

2. IDENTITAS SOSIAL BAGI MASYARAKAT KARO DIASPORA 2.1. Pendahuluan. - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rakut Si Telu: Studi Sosiologis terhadap Rakut Si Telu sebagai Identitas Sosial bagi Masyarakat Karo Diaspora Yogyakarta

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rakut Si Telu: Studi Sosiologis terhadap Rakut Si Telu sebagai Identitas Sosial bagi Masyarakat Karo Diaspora Yogyakarta

0 0 45