BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Mata Pelajaran IPA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 Semester 2 SDN 03
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Mata Pelajaran IPA
2.1.1.1 Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan atau Sains yang semula berasal dari bahasa inggris „Science‟. Kata „Science‟ sendiri berasal dari kata dalam Bahasa Latin „Scientia‟ yang berarti saya tahu.
„Science‟ terdiri dari social sciences (ilmu
pengetahuan sosial) dan natural science (ilmu pengetahuan alam). Namun, dalam perkembangannya science sering diterjemahkan sebagai sains yang berarti ilmu pengetahuan alam (IPA) saja, walaupun pengertian ini kurang pas dan bertentangan dengan etimologi (Jujun Suriasumantri, 1998: 299). Untuk itu, dalam hal ini kita tetap menggunakan istilah IPA untuk merujuk pada pengertian sains yang kaprah yang berarti natural science.
Untuk mendefinisikan IPA tidaklah mudah, karena sering kurang dapat menggambarkan secara lengkap pengertian sains itu sendiri. Menurut H.W Fowler (dalam Laksmi Prihantoro, 1986 : 1.3), IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan induksi. IPA mempelajari alam semesta, benda-benda yang ada di permukaan bumi, di dalam perut bumi dan di luar angkasa, baik yang dapat diamati indera maupun yang tidak dapat diamati dengan indera. Oleh karena itu, dalam menjelaskan hakikat fisika, pengertian IPA dipahami terlebih dahulu. IPA atau ilmu kealaman adalah ilmu tentang dunia zat, baik makhluk hidup maupun benda mati yang diamati (Kardi, S. dan Nur, 1994 : 1) Adapun Wahyana dalam Trianto (2010 :136) mengatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala – gejala alam. Perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah.
Dari penjelasan para ahli di atas penulis menyimpulkan bahwa IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, dan jujur.
2.1.1.2 Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. (Syaiful, 2003:61).
Menurut Hamalik (2007:77) pembelajaran adalah suatu sistem artinya suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen-komponen yang berinteraksi antara satu dengan lainnya dan dengan keseluruhan itu sendiri untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Adapun komponen-komponen tersebut meliputi tujuan pendidikan dan pengajaran, peserta didik dan siswa, tenaga kependidikan khususnya guru, perencanaan pengajaran, strategi pengajaran, media pengajaran, dan evaluasi pengajaran.
Sementara pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:17) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Sedangkan Coney (dalam Sagala, 2005:61) mengatakan bahwa pembelajaran sebagai suatu proses dimana lingkungan seseorang secara tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasitertentu. Dari teori-teori tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh guru yang telah diprogram dalam rangka membelajarkan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan sesuai dengan petunjuk kurikulum yang berlaku.
2.1.1.3 Pembelajaran IPA SD
IPA sebagai disiplin ilmu dan penerapannya dalam masyarakat membuat pendidikan IPA menjadi penting, IPA melatih anak berpikir kritis dan obyektif. Pengetahuan yang benar artinya pengetahuan yang dibenarkan melalui tolak ukur kebenaran ilmu, rasional dan objektif. Rasional artinya masuk akal atau logika, dapat diterima oleh akal sehat. Objektif artinya sesuai dengan objeknya, sesuai dengan kenyataan atau sesuai dengan pengalaman pengamatan pancaindra. Pembelajaran yang baik bagi siswa SD adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih keterampilan-keterampilan proses IPA yang telah disesuaikan dengan tahap perkembangan srtuktur kognitif siswa.
Keterampilan proses IPA yang didefinisikan oleh Paolo dan Marten dalam Usman Samatowa (2010 :
50), adalah: “(1) mengamati, (2) mencoba memahami yang diamati, (3) mempergunakan pengetahuan baru untuk meramalkan apa yang terjadi, (4) menguji ramalan-ramalan di bawah kondisi- kondisi untuk melihat apakah ramalan tersebut benar.”
Pendidikan IPA SD lebih mengacu pada persoalan-persoalan yang terjadi di kehidupan sehari-hari siswa dan terkait dengan alam sekitar siswa. Siswa melakukan keterampilan proses IPA yang dijelaskan di atas untuk membuktikan suatu teori atau memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi siswa.
2.1.1.4 Tujuan Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Tujuan mata pelajaran IPA di SD dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 yaitu:
1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaanNya.
2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengarui antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan.
5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam.
6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturan sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7) Memperoleh bakal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP.
2.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif
2.1.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Pengertian model pembelajaran menurut Depdiknas (2003 : 5) “Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning) merupakan strategi pembelajaran melalui kelompok kecil siswa yang saling bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar”.
Menurut Panintz (dalam Agus Suprijono, 2010 : 54) mendefinisikan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Menurut Slavin dalam (Isjoni, 2011 : 15)
“In cooperative learning
methods, students work together in four member teams to master material
initially presented by the teacher”. Ini berarti bahwa cooperative learning
atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana secara kolaboratif sehingga dapat merangsang peserta didik lebih bergairah dalam belajar.
Dari beberapa pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah cara belajar dalam bentuk kelompok-kelompok kecil yang saling bekerjasama dan diarahkan oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan”.
2.1.2.2 Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A
MatchMenurut Rusman (2011: 223-233) Model pembelajaran tipe Make
A Match (membuat pasangan) merupakan salah satu jenis dari metode
dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu cara keunggulan teknik ini adalah peserta didik mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik, dalam suasana yang menyenangkan.
Menurut Anita Lie (2008 : 56) model pembelajaran tipe Make A
Match atau bertukar pasangan merupakan teknik belajar yang memberi
kesempatan siswa untuk bekerja sama dengan orang lain. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match adalah suatu teknik pembelajaran mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam semua mata pelajaran dan tingkatan kelas.
2.1.2.3 Karakteristik Model Pembelajaran Tipe Make A Match
Model pembelajaran kooperatif dibedakan menjadi empat, antara lain metode STAD (Student Teams Achivement Divisions), metode Jigsaw, metode G (Group Investigasion) dan metode struktural. Berdasarkan beberapa metode di atas Make a Match merupakan bagian dari metode struktural yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa. Struktur-struktur tersebut memiliki tujuan umum diantaranya untuk meningkatkan penguasaan isi akademik dan mengajarkan keterampilan sosial (Sugiyanto, 2010: 44-48).
Teknik Make A Match adalah teknik mencari pasangan, siswa di gabung suruh mencari pasangan dari kartu yang mereka pegang. Keunggulan tekhnik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik (Lorna Curran dalam Miftahul Huda, 2011: 113).
Dari beberapa pendapat para ahli di atas penulis menyimpulkan bahwa teknik Make A Match adalah suatu model pembelajaran dimana dalam pembelajarannya siswa mencari pasangan dari kartu yang dibagikan oleh guru di awal pembelajaran, selanjutnya menggabungkan pertanyaan dengan jawaban sesuai atau sebaliknya. Model pembelajaran Cooperative tipe Make a Match atau mencari pasangan merupakan salah satu
Learning
alternatif yang dapat diterapkan kepada siswa dalam proses belajar mengajar. Penerapan model pembelajaran ini dimulai dari siswa disuruh mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal sebelum batas waktunya, siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin. Secara garis besar Make a Match adalah teknik belajar mencari pasangan, siswa mencari pasangan sambil belajar. Dengan teknik ini diharapkan guru dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban paling tepat, selain itu teknik yang terdapat didalamnya juga mendorong siswa untuk semangat kerjasama.
2.1.2.4 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Make A MatchAdapun langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melakukan pembelajaran dengan teknik Make A Match (mencari pasangan): a.
Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa pertanyaan dan jawaban, pertanyaan dan jawaban ini di buat oleh guru sebelum proses belajar mengajar. b.
Guru membagikan kartu kepada setiap siswa yang nantinya dengan kartu itu siswa akan mencari pasangan yang akan menjadi anggota kelompoknya.
c.
Kartu dibagikan, setiap siswa mencari pasangan dari kartu yang mereka terima/peroleh. Misalnya pemegang kartu yang bertuliskan “kentongan” berpasangan dengan pemegang kartu “alat komunikasi tradisional”.
d.
Siswa dapat bergabung dengan 2 atau 3 siswa lain yang memiliki kartu yang berhubungan dengan kartu yang ia pegang, misalnya pemegang kartu
“kentongan, lesung” bisa bergabung dengan pemilik kartu “alat komunikasi tradisional” (Miftahul Huda, 2011: 135). Sejalan dengan pendapat Miftahul Huda di atas langkah-langkah pembelajaran Make A Match sebagai berikut: a.
Langkah awal guru menyiapkan kartu berisi pertanyaan dan jawaban yang dibuat sebelum pelajaran dimulai.
b.
Setelah semua kartu siap kartu-kartu tersebut siap dibagikan kepada siswa.
c.
Setelah masing-masing sudah mendapatkan kartu setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya.
d.
Siswa dapat bergabung dengan 2 atau 3 siswa lain yang memiliki kartu yang berhubungan. Pasangan siswa mendiskusikan dan menyelesaikan tugas secara bersama-sama. Selesai berdiskusi presentasikan hasil kelompok atau kuis (Sugiyanto, 2010 : 49-50). Pendapat lain Langkah-langkah dalam Make A Match adalah: a. Langkah pertama guru mempersiapkan kartu berisi pertanyaan dan jawaban.
b.
Guru membagi kelompok menjadi tiga kelompok, kelompok pertama membawa kartu pertanyaan kelompok kedua membawa kartu jawaban dan kelompok ke tiga menjadi kelompok penilai.
c.
Posisikan ketiga kelompok membentuk huruf U, jika sudah berada mencari pasangan masing-masing, jika sudah menemukan pasangan siswa wajib melapor kepada kelompok penilai (Agus Suprijono, 2011: 94-95). Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah
Make A Match yang akan digunakan dalam penelitian adalah sebagai
berikut.a.
Pembelajaran dimulai guru menyiapkan kartu-kartu yang berisi pertanyaan dan jawaban tentang materi pelajaran yang akan diajarkan.
b.
Ukuran kartu yang akan digunakan berukuran 20cm X 20cm dengan background kartu yang menarik untuk anak - anak.
c.
Kartu siap, selanjutnya kartu-kartu itu dibagikan kepada setiap siswa secara acak.
d.
Semua mendapatkan kartu, kelompokkan antara pemegang kartu pertanyaan dan kelompok pemegang kartu jawaban, posisikan berdiri siswa saling berhadapan. Posisi ini bertujuan agar siswa mudah untuk mencari pasanganya.
e.
Kedua kelompok saling berhadapan, siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan cara mencari tahu siapa yang memegang pasangan dari kartu yang ia pegang. Guru harus memberikan batasan waktu 2 menit untuk mencari pasangan agar siswa lebih semangat.
f.
Satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya.
g.
Setelah bertemu dengan pasangan masing-masing, siswa bergabung menjadi satu kelompok belajar untuk mengerjakan tugas selanjutnya dari guru.
2.1.2.5 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Tipe
Make A MatchAdapun kelebihan dan kekurangan dalam model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match yang dikemukakan oleh Miftahul Huda (2013 : 253-254), adalah sebagai sebagai berikut:
1. Kelebihan
Kelebihan model ini antara lain: a.
Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa.
b.
Karena ada unsur permainan, model ini menyenangkan.
c.
Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
d.
Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.
e.
Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.
2. Kekurangan
Disamping mempunyai manfaat untuk peserta didik, model pembelajaran tipe Make A Match juga memiliki kekurangan antara lain: a.
Jika strategi ini tidak dipersiapkan dengan baik,akan banyak waktu yang terbuang.
b.
Pada awal-awal penerapan model, banyak siswa yang akan malu berpasangan dengan lawan jenisnya.
c.
Jika guru tidak mengarahkan siswa dengan baik,akan banyak siswa yang kurang memperhatikan pada saat presentasi pasangan.
d.
Guru harus hati-hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada siswa yang tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu.
e.
Menggunakan model Make A Match secara terus-menerus akan menimbulkan kebosanan.
2.1.2.6 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make
A MatchPenerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match akan tetap mengacu pada langkah-langkah pembelajaran model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match yang dikemukakan oleh (Agus Suprijono, 2009 : 94). Akan tetapi akan ada sedikit panambahan dan pengurangan oleh peneliti dimaksudkan agar dapat disesuaikan dengan karakteristik siswa dan materi yang akan diajarkan, serta menyesuaikan kondisi siswa dimana siswa baru pertama kali mengenal model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match serta untuk mempermudah guru dalam proses pembelajaran.
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match dapat bermanfaat bagi siswa karena dapat menumbuhkan minat dan motivasi siswa untuk tetap mengikuti pembelajaran yang aktif dan menyenangkan, serta dapat menumbuhkan kerja sama antar siswa dalam mencari pasangan-pasangan kartu dan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab dan disiplin untuk siswa.
2.1.3 Media Pembelajaran
2.1.3.1 Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harafiah berarti perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2013: 120),
“media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai tujuan pembelajaran .” Sedangkan
Menurut Gerlach & Ely dalam Sri Anitah (2012 : 6), “ media adalah grafik, fotografi, elektronik, atau alat-alat mekanik untuk menyajikan, memproses, dan menjelaskan informasi lisan atau visual.” Dari berbagai pengertian media di atas maka dapat disimpulkan bahwa, media adalah segala benda atau alat yang berguna sebagai penyalur pesan untuk menyajikan, memproses, dan menjelaskan informasi lisan atau visual yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Media ini dapat berupa grafik fotografi, elektronik, atau alat-alat mekanik. Dan merupakan alat bantu mengajar yang dapat digunakan untuk menyalurkan materi yang disampaikan guru kepada siswa dan merangsang pikiran, perasaan, dan perhatian siswa sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
2.1.3.2 Fungsi Media Pembelajaran
Media pembelajaran merupakan sebuah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran yang dapat memberi rangsangan bagi siswa untuk lebih tertarik dalam belajar, sehingga dapat meningkatkan kualitas belajar mengajar dan diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Menurut Arief S. Sudiman. Dkk (2012: 17), secara umum media pendidikan mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai berikut: a.
Memperjelas penyajian peran agar tidak terlalu bersifat verbalitas (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).
b.
Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indra, seperti misalnya: (1) objek yang terlalu besar, bisa digantikan dengan replika, gambar, film, atau model. (2) objek yang terlalu kecil, dibantu dengan proyektor micro, film, atau gambar. (3) kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat, rekaman film, video, maupun foto. (4) konsep yang terlalu luas (gunung berapi, gempa bumi, iklim, dan lain-lain) dapat divisualkan dalam bentuk film, gambar, dan lain-lain.
c.
Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif peserta didik. Dalam hal ini media pendidikan berguna untuk: (1) menimbulkan kegairahan belajar. (2) memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan. (3) memungkinkan anak didik belajar d.
Dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri. Hal ini akan lebih sulit bila latar belakang lingkungan guru dengan siswa juga berbeda. Masalah ini dapat diatasi dengan media pendidikan, yaitu dengan kemampuannya dalam: (1) memberikan perangsang yang sama. (2) mempersamakan pengalaman. (3) menimbulkan persepsi yang sama. Dengan demikian media pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar dalam membantu mempermudah penyampaian materi untuk siswa yang diharapkan dapat tercapainya tujuan pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar siswa.
2.1.3.3 Media Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match
Agus Suprijono (2009 : 94) menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan jika pembelajaran dikembangkan dengan metode pembelajaran kooperatif tipe Make A Match adalah kartu-kartu. Kartu- kartu tersebut berisikan pertanyaan dan jawaban. Langkah berikutnya adalah guru membagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok pembawa kartu-kartu berisi pertanyaan. Kelompok kedua adalah kelompok pembawa kartu-kartu berisi jawaban. Kelompok ketiga adalah kelompok penilai. Aturlah posisi kelompok-kelompok tersebut berbentuk huruf U.
Upayakan kelompok pertama dan kedua berjajar saling berhadapan. Jika masing-masing kelompok sudah berada di posisi masing- masing, guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertama dan kedua saling mencari pasangan yang cocok dari kartu-kartu yang mereka pegang. Pasangan-pasangan yang sudah menemukan pasangan dari kartu-kartu yang mereka bawa, wajib menunjukkan kepada kelompok siswa yang sudah melapor dengan menuliskan kartu-kartu yang siswa bawa. Kelompok penilai akan mencocokkan apakah kartu yang dipegang sudah cocok. Setelah penelitian dilakukan, aturlah kembali ke posisi semula membentuk huruf U. Kemudian kelompok pertama dan kedua masing-masing mewakilkan satu anggota untuk menjadi team penilai. Guru kembali membunyikan peluit sebagai tanda untuk memulai permainan. Kemudian guru bersama siswa mengkonfirmasi atas jawaban yang sudah siswa pasangkan tadi.
Di sini guru memfasilitasi diskusi untuk memberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik untuk mengkonfirmasikan hal-hal yang telah mereka lakukan memasangkan pertanyaan-jawaban dan penilaian, rincian tentang langkah-langkah penggunaan media pembelajaran kooperatif tipe
Make A Match akan diuraikan di bawah ini: a.
Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik, yang cocok untuk sesi review. Sebagian kartu tersebut berisi soal dan sebagian kartu lainnya berisi jawaban.
b.
Guru membagi siswa menjadi 2 atau 3 kelompok besar (kelompok kartu soal dan kelompok kartu jawaban).
c.
Membuat aturan yang berisi penghargaan bagi siswa yang berhasil dan sanksi bagi siswa yang gagal (di sini guru dapat membuat aturan utama bersama-sama dengan siswa).
d.
Guru membagikan kartu-kartu tersebut, setiap siswa mendapat satu buah kartu.
e.
Setiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang sudah mereka dapat.
f.
Setiap siswa mencari pasangan yang cocok dengan kartunya (kartu soal dengan kartu jawaban).
g.
Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu yang sudah disepakati diawal, mendapat point atau reward.
h.
Setelah satu babak, kartu dikocok kembali agar tiap siswa mendapat i.
Siswa diminta untuk membuat kesimpulan dari kegiatan yang baru saja dilakukan.
Guru kemudian menutup pembelajaran.
2.1.3.4 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A
MatchSintaks model pembelajaran Make A Match dapat dilihat pada langkah - langkah kegiatan pembelajaran sebagai berikut:
1. Awal 1.
2. Guru mengecek presensi kehadiran siswa.
3. Guru mereview pembelajaran yang lalu.
4. Guru mengawali kegiatan pembelajaran dengan melakukan apersepsi kegiatan.
5. Guru menyampaikan kompetensi dasar dan indikator pembelajaran. batas waktu yang sudah disepakati diawal, mendapatkan point atau reward.
Guru mengajak siswa untuk memulai kegiatan dengan berdoa.
Guru menyiapkan beberapa kartu yang sebagian kartu tersebut berisi soal dan sebagian kartu lainnya berisi jawaban.
2. Guru membagi siswa menjadi 2 atau 3 kelompok besar (kelompok kartu soal dan kelompok kartu jawaban).
3. Guru membuat aturan yang berisi penghargaan bagi siswa yang berhasil dan sanksi bagi siswa yang gagal (di sini guru dapat membuat aturan bersama - sama dengan siswa).
4. Guru membagikan kartu – kartu tersebut, setiap siswa mendapatkan satu buah kartu.
5. Setiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang sudah mereka dapat.
6. Setiap siswa mencari pasangan yang cocok dengan kartunya (kartu soal dengan kartu jawaban).
7. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum
2. Inti 1.
8. Setelah satu babak, kartu dikocok kembali agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya.
3. Akhir 1.
Siswa diminta untuk membuat kesimpulan dari kegiatan yang baru saja dilakukan.
2. Guru kemudian menutup pembelajaran.
2.1.4 Hasil Belajar
2.1.4.1 Pengertian Belajar
Belajar adalah perubahan perilaku dan merupakan proses mendapatkan pengetahuan dalam memahami apa yang dilihat atau dialami sesuai dengan pengalaman. Belajar dalam idealisme berarti kegiatan psiko-fisik-sosio menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Belajar sebagai konsep mendapatkan pengetahuan dalam praktiknya (Agus Suprijono, 2009 : 4).
Menurut Hamalik (dalam Ahmad Susanto, 2013 : 3) belajar adalah memodifikasi atau memperteguh perilaku melalui pengalaman, artinya belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan merupakan suatu hasil atau tujuan. Dengan demikian belajar itu bukan sekedar mengingat atau menghafal saja, namun lebih luas dari itu, merupakan mengalami. Hamalik juga menegaskan belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku indvidu atau seseorang malalui interaksi dengan lingkungannya.
Menurut Slameto (2003 : 2), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar dalam arti yang luas ialah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian terhadap atau mengenai sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi atau lebih luas lagi, dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi.
Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang diperoleh melalui proses pengalaman, dan perubahan tingkah laku tersebut bersifat permanen.
2.1.4.2 Pengertian Hasil Belajar
Menurut K. Brahim (dalam Ahmad Susanto, 2013 : 5) “hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenal sejumlah ma teri pelajaran tertentu”.
M enurut Nana Sudjana (2010 : 22) “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya
”. Sedangkan Dimyati dan Mudjiono (2002 :
36) “hasil belajar adalah hasil yang ditunjukkan dari suatu interaksi tindak belajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan yang terjadi pada diri siswa dan kemampuan siswa setelah mengikuti kegiatan belajar dan dinyatakan dengan skor nilai tes yang diberikan oleh guru pada sejumlah materi pelajaran tertentu.
2.1.4.3 Faktor
- – faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Siswa Menurut Gestalt, belajar merupakan suatu proses perkembangan.
Artinya bahwa secara kodrati jiwa raga anak mengalami perkembangan. Perkembangan sendiri memerlukan sesuatu baik yang berasal dari diri siswa sendiri maupun pengaruh dari lingkungannya. Berdasarkan teori ini hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua hal, siswa itu sendiri dan lingkungannya. Pertama, siswa ; dalam arti kemampuan berpikir atau tingkah laku intelektual, motivasi, minat, dan kesiapan siswa,baik jasmani maupun rohani. Kedua, lingkungan; yaitu sarana dan prasarana, kompetensi guru, kreativitas guru, sumber-sumber belajar, metode serta dukungan lingkungan, keluarga, dan lingkungan.
Pendapat yang senada dikemukakan oleh Wasliman (2007 : 158), hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mepengaruhi, baik faktor internal maupun eksternal. Secara perinci, uraian mengenai faktor internal dan eksternal, sebagai berikut: 1.
Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri peserta didik, yang mempengaruhi kemampuan belajarnya. Faktor internal ini meliputi: kecerdasan, minat, dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan.
2. Faktor Eksternal
Faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang mempengaruhi hasil belajar yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kedaaan keluarga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Keluarga yang morat-marit keadaan ekonominya, pertengkaran suami istri, perhatian orang tua yang kurang terhadap anaknya, serta kebiasaan sehari-hari berperilaku yang kurang baik dari orang tua dalam kehidupan sehari-hari berpengaruh dalam hasil belajar peserta didik.
2.1.4.4 Hubungan Antara Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Make a Match dengan Hasil BelajarMenurut Ahmad Susanto (2013 : 5) secara sederhana hasil belajar adalah Kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Karena belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap. Siswa yang berhasil dalam belajar adalah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional.
Untuk mengukur hasil belajar siswa yang berupa pengetahuan konsep, guru dapat melakukan evaluasi produk. Sehubungan dengan evaluasi produk ini W.S Winkel (2007 : 540) menyatakan bahwa melalui produk dapat diselidiki apakah dan sampai seberapa jauh suatu tujuan instruktusional telah tercapai. Berdasarkan pandangan winkel ini, dapat diketahui bahwa hasil belajar siswa erat kaitannya dengan tujuan instruktusional (pembelajaran) yang telah dirancang guru sebelum melaksanakan proses belajar mengajar. Akan tetapi, masih banyak ditemukan pelaksanaan pembelajaran IPA menggunakan model ceramah sehingga peserta didik beranggapan bahwa IPA bersifat hafalan. Guru dalam menerapkan pembelajaran lebih menekankan pada model yang mengaktifkan guru, pembelajaran yang dilakukan guru kurang kreatif, lebih banyak menggunakan model ceramah dan kurang mengoptimalkan media pembelajaran. Sehingga peserta didik kurang kreatif dan antusias dalam proses pembelajaran. Model ini akan memberikan dampak yang kurang baik di dalam proses pembelajaran diantaranya antusias peserta didik dalam mengikuti pelajaran akan berkurang, peserta didik merasa bosan karena harus mendengarkan selama berjam-jam, konsentrasi peserta didik dalam memperhatikan pelajaran akan berkurang karena kegiatan pembelajaran yang monoton (dengar, catat, dan hafal), peserta didik akan menjadi pasif. Akibatnya sasaran hasil belajar peserta didik belum dapat dicapai secara optimal.
Hasil pembelajaran IPA di SDN 03 Candimulyo Kota Temanggung masih terbilang rendah hal ini dikarenakan di dalam proses pembelajaran guru kurang memahami kebutuhan dari peserta didik baik dari segi karakteristik maupun dalam pengembangan ilmu. Rendahnya hasil belajar
IPA di sekolah sering diprediksikan dengan permasalahan belajar dari peserta didik dalam memahami materi. Hal ini karena faktor belajar peserta didik yang kurang efektif, karena kurangnya antusias peserta didik dalam mengikuti pembelajaraan di dalam kelas, bahkan peserta didik sehingga menyebabkan peserta didik kurang bahkan tidak memahami materi yang telah diberikan. Permasalahan terjadi dalam penyampaian mata pelajaran IPA, biasanya dikarenakan penggunaan model yang kurang sesuai untuk mata pelajaran IPA. Sehingga hasil belajar yang dicapai kurang sesuai dengan apa yang diharapkan. Dan kurangnya ketertarikan dalam pembelajaran, mengakibatkan peserta didik tidak sepenuhnya memahami materi yang disampaikan. Selain itu hasil belajar peserta didik masih banyak di bawah KKM (70) untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan model yang lebih efektif pada mata pelajaran IPA. Hal yang perlu diperhatikan dalam memilih model tersebut adalah tidak terlalu memberatkan guru dan tidak menggangu kegiatan belajar mengajar (KBM), akan tetapi justru akan mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialami guru ketika mengajar.
Oleh karena itu peneliti menawarkan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match diharapkan peserta didik menjadi lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran dan hasil belajar IPA akan meningkat. Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match akan menumbuhkan antusias peserta didik dalam proses pembelajaran, peserta didik berlomba untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu juga akan terjalin kerja sama antar guru dengan peserta didik.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Suatu penelitian yang akan dibuat, perlu memperhatikan penelitian lain yang digunakan sebagai bahan kajian yang relevan. Adapun penelitian-penelitian yang berkaitan dengan variable penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Menurut Milya Angreranti (2008), dalam penelitiannya yang bejudul “Pengaruh penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe Make A terhadap hasil belajar IPA berdasarkan gender siswa kelas V SDN
Match
01 Kabupaten Grobogan semester 2 tahun pelajaran 2011” menunjukkan berikut: pada siklus I (satu) untuk siswa laki-laki dari 14 siswa yang dinyatakan tuntas sebanyak 9 siswa dengan presentase ketuntasan 64,28%, dan tidak tuntas sebanyak 5 siswa dengan presentase 35,72%. Sedangkan untuk siswa perempuan dari 10 siswa dinyatakan tuntas sebanyak 3 siswa dengan presentase 30%, dan tidak tuntas sebanyak 7 siswa dengan presentase 70%. Rata-rata yang diperoleh 66,00 standar deviasinya 11,74 nilai minimal 48,00 dan nilai maksimalnya 88,00. Nilai pada siklus II (dua) untuk siswa laki-laki dari 14 siswa dinyatakan tuntas semua dengan presentase 100%, sedangkan dari siswa perempuan dari 10 siswa juga dinyatakan tuntas semua dengan presentase 100%. Rata-rata yang diperoleh 83,00 standar deviasinya 6,65 nilai minimal 70,00 dan nilai maksimal 95,00. Hasil belajar siswa yang dicapai setelah diberikan perlakuan meningkat hal ini terbukti dengan nilai rata-rata siklus II (dua) lebih besar dibandingkan dengan siklus I (satu) 83,00>66,00. Berdasarkan analisis data disimpulkan bahwa dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe Make A Match dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pelajaran IPA, dan sangat efektif digunakan untuk menjadikan pembelajaran menjadi aktif dan menyenangkan.
Menurut Gustanul Kumalasari (2014), dalam penelitiannya yang berjudul “Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar dan Hasil Belajar IPA di
Kelas 5 SD Negeri Purworejo 01 Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang Melalui Penerapan Model Kooperatif tipe Make A Match pada semester 2 tahun ajaran 2013/2014”. Bahwa pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar. Peningakatan motivasi belajar siswa dapat dilihat dari presentase siklus I pertemuan 1 yaitu 60,6%, dan pertemuan II yaitu70%, presentase siklus II pertemuan 1 mencapai 86,8% dan pertemuan 2 mencapai 90%. Ketuntasan hasil belajar prasiklus mencapai presentase7,2% kemudian meningkat pada siklus I yaitu 42,85%, kemudian siklus II yaitu mencapai presentase 100%. .
Menurut Imam Hanafi dalam penelitiannya yang berjudul
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match untuk
“
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Menjumlahkan Pecahan Biasa
di Kelas V SDN 2 Dataran Bulan ” Metode penelitian menggunakan desainPTK yang dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari empat
tahap yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) observasi, (4) refleksi.
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas V SDN 2 Dataran Bulan yang
berjumlah 20 orang yang tercatat pada tahun ajaran 2012-2013. Setiap
akhir siklus diadakan penilaian sebagai tolok ukur untuk menentukan
tindakan selanjutnya. Data yang diambil berupa tes awal, tes akhir siklus,
observasi aktivitas guru dan siswa setiap pertemuan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa melalui model pembelajaran kooperatif tipe Make A
Match dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran
matematika di kelas V SDN 2 Dataran Bulan pada materi penjumlahan
pecahan biasa. Pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make
A Match, tes awal siswa yang tuntas 7 orang (presentase tuntas klasikal
35%) dan (daya serap klasikal 56,00%). Pada siklus I siswa yang tuntas 17
orang (presentase tuntas klasikal 85% dan daya serap klasikal 80%). Pada
siklus II meningkat menjadi siswa yang tuntas 18 orang atau prosentase
ketuntasan klasikal 90% dan daya serap klasikal 81,50%. Pada dasarnya
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match dapat
meningkatkan aktivitas belajar siswa, didasari pada perolehan siklus I akan
tetapi untuk peningkatan yang lebih berarti didasarkan pada perolehan
siklus II. Untuk mengetahui aktivitas dalam pembelajaran pada siklus I
dilakukan observasi yang dilakukan peneliti bersama pengamat terhadap
aktivitas siswa dalam proses pembelajaran pada aspek 7 saat mencari
pasangan sesuai kelompok yang telah dibagi oleh guru masih mengalami
kesulitan. Hal ini siswa terkesan lama berfikir mencari jawaban, namun
proses pembelajaran berjalan dengan lancar karena guru terus memberi
bimbingan dalam menyelesaikan penjumlahan pecahan biasa. Pelaksanaan
kemudian dilanjutkan dengan kegiatan mencari pasangan jawaban atau
soal. Hasil observasi menunjukkan bahwa semua aspek pembelajaran guru
sudah tidak lagi mengalami kesulitan dalam mengelola kelas. Dan menurut
pengamat hasil observasi siswa dan guru mengalami peningkatan. Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make
A Match cukup efektif diterapkan dalam proses pembelajaran yang
dilakukan untuk meningkatkan daya nalar siswa, kreativitas, dan
kemampuan mengaitkan satu konsep dengan konsep yang lain sehingga
berdampak pada hasil belajar yang baik. Berdasarkan hasil tersebut dapat
dinyatakan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa kelas V SDN 2
Dataran Bulan pada pelajaran matematika materi penjumlahan pecahan
biasa.Adapun Noviana Irianti S. dalam penelitiannya yang berjudul Penerapan Metode Pembelajaran Make A Match (Mencari Pasangan) untuk Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas
V Semester 2 SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara, Melalui metode pembelajaran kooperatif teknik Make A Match yang akan dilanjutkan oleh peningkatan hasil belajar yang dapat dilihat pada kondisi awal dengan skor rata-rata nilai siswa 57,5, siklus I dengan rata-rata nilai 66,2, siklus II 78,5. Peningkatan hasil belajar pada kondisi awal ke siklus I sebesar 61,5% dan dari siklus I ke siklus II 88,5%. Dengan nilai maksimal siklus I 100 dan nilai minimalnya 70, dan pada siklus II dengan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui Metode Pembelajaran Kooperatif teknik Make
A Match dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa matematika
semester 2 Tahun Pelajaran 2011/2012 kelas V SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.
Dari analisis data disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match sangat efektif digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas 4 SDN 03 Candimulyo Kota Temanggung. Keterkaitan antara kajian penelitian yang relevan dangan penelitian yang dilakukan peneliti dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel 1
Persamaan dan Perbedaan Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
No NamaPeneliti Tahun Variable Penelitian Variabel bebas (X) Variabel Terikat (Y) Model Make A Match Hasil Belajar Keaktifan belajar
1 Milya Angreranti 2008 √ √ -
2 Gustanul Kumalasari 2014 √ √ √
3 Imam Hanafi 2012 √ √ -
4 Noviana Irianti S 2012 √ √ √
5 Paksindra Johan K 2016 √ √ -
Dari tabel di atas dapat dilihat persamaan dan perbedaan variabel penelitian yang diteliti. Persamaan penelitian Milya Angreranti, Gustanul K, Imam Hanafi, Noviana I.S dan peneliti yaitu sama-sama menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match dalam pembelajaran. Sedangkan perbedaan penelitian Milya A, Peneliti, Imam Hanafi, dan peneliti adalah hanya Noviani I.S dan Gustanul K saja yang mengukur keaktifan belajar dan yang lainnya termasuk peneliti mengukur hasil belajar siswa.
2.3 Kerangka Berpikir
Pembelajaran adalah proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, pembelajaran juga dapat diartikan sebagai dialog interaktif antara pesera didik dengan guru. Dengan menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan akan menumbuhkan minat dan antusias peserta didik untuk dapat aktif dan mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Aktif disini dimaksudkan peserta didik tidak hanya mendengarkan penjelasan dari guru tentang materi pelajaran, tetapi peserta didik berani untuk menjawab pertanyaan dari guru dan berani untuk bertanya kalau ada yang belum dimengerti. Maka di dalam proses pembelajaran harus dilakukan secara menyenangkan dengan adanya pendekatanpendekatan dengan model pembelajaran kooperatif.