BAB II. LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIK

BAB II. LANDASAN TEORI

2.1

Pengertian Budaya Kerja
Budaya berasal dari bahasa sansakerta budhayah sebagai bentuk jamak dari

kata dasar “budhi” yang artinya akal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan akal
pikiran, nilai-nilai dan sikap mental (Kepmenpan No. 25/KEP/M.PAN/04/2002).
Budidaya berarti memberdayakan budi sebagaimana dalam bahasa Inggris di kenal
sebagai culture (latin – cotere) yang semula artinya mengolah atau mengerjakan
sesuatu (mengolah tanah pertanian), kemudian berkembang sebagai cara manusia
mengaktualisasikan

nilai

(value),

karsa

(creativity),


dan

hasil

karyanya

(performance). Budidaya dapat juga diartikan sebagai keseluruhan usaha rohani dan
materi termasuk potensi-potensi maupun keterampilan masyarakat atau kelompok
manusia. Budaya selalu bersifat sosial dalam arti penerusan tradisi sekelompok
manusia yang dari segi materialnya dialihkan secara historis dan diserap oleh
generasi-generasi menurut “nilai” yang berlaku. Nilai disini adalah ukuran-ukuran
yang tertinggi bagi perilaku manusia.
Budaya diartikan juga sebagai seperangkat perilaku, perasaan dan kerangka
psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota
organisasi (Osborn dan Plastrik, 2000:252). Sehingga untuk merubah sebuah budaya
harus pula merubah paradigma orang yang telah melekat. Pada bagian lain Sofo
(2003:384) memandang budaya sebagai sesuatu yang mengacu pada nilai-nilai,

10 

 

keyakinan, praktik, ritual dan kebiasaan-kebiasaan dari sebuah organisasi. Dan
membantu membentuk perilaku dan menyesuaikan persepsi.
Elemen-elemen budaya kerja menurut Tim Pusdiklat Pegawai BPPK (2008:5)
dan AB Susanto, FX Sujanto, H. Wijanarko, P. Susanto, S. Mertosono, W. Ismangil
(2008:7) dapat digambarkan sebagai berikut:

NILAI DASAR

TIDAK
TAMPAK

TAMPAK

SIKAP
ASUMSI/PERSEPSI

PERILAKU
OUTPUT/HASIL


Gambar 2.1 Elemen-elemen Budaya Kerja
Sumber: Tim Pusdiklat Pegawai BPPK (2008:5)

Pentingnya budaya dalam mendukung keberhasilan satuan kerja menurut
Newstrom dan Davis (1993:58-59) adalah bahwa budaya memberikan identitas
pegawainya, budaya juga sebagai sumber stabilitas serta kontinyuitas organisasi yang
memberikan rasa aman bagi pegawainya, dan yang lebih penting adalah budaya

11 
 

membantu merangsang pegawai untuk antusias akan tugasnya. Sedangkan tujuan
fundamental budaya adalah untuk membangun sumber daya manusia seutuhnya agar
setiap orang sadar bahwa mereka berada dalam suatu hubungan sifat peran sebagai
pelanggan pemasok dalam komunikasi dengan orang lain secara efektif dan efisien
serta menggembirakan (Triguno, 2004:6).
Menurut Hasibuan (2000:47), kerja adalah pengorbanan jasa, jasmani, dan
pikiran untuk menghasilkan barang-barang atau jasa-jasa dengan memperoleh
imbalan prestasi tertentu. Kerja perlu diartikan sebagai kegiatan luhur manusia.

Bukan saja karena kerja manusia dapat bertahan hidup tetapi juga kerja merupakan
penciptaan manusia terhadap alam sekitarnya menjadi manusiawi. Dengan demikian
kerja juga merupakan realisasi diri (S. Poepowardojo, 1985:116).
Pada hakikatnya bekerja merupakan bentuk atau cara manusia untuk
mengaktualisasikan dirinya. Bekerja merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi untuk melahirkan
karya

yang

bermutu

dalam

pencapaian

suatu

tujuan


(Kepmenpan

No.

25/KEP/M.PAN/04/2002). Dalam agama Islam bekerja adalah ibadah, perintah
Tuhan atau panggilan mulia.Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani
dan Baehaqi; “Bahwasanya Allah SWT mencintai orang-orang yang bekerja”.
Dostoyevsky dalam Sofo (2003:390) mengganti istilah kerja dengan kata
“pembelajaran”.
Bagaimana dengan budaya kerja? Sebenarnya budaya kerja sudah lama
dikenal oleh manusia, namun belum disadari bahwa suatu keberhasilan kerja berakar

12 
 

pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaan. Nilai-nilai
tersebut bermula dari adat istiadat, agama, norma dan kaidah yang menjadi keyakinan
pada diri pelaku kerja atau organisai. Nilai-nilai yang menjadi kebiasaan tersebut
dinamakan budaya dan mengingat hal ini dikaitkan dengan mutu kerja, maka
dinamakan budaya kerja. (Triguno, 2004:1).

Budaya kerja merupakan suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup
sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong,
membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang
tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan
yang terwujud sebagai “kerja atau bekerja” (Triguno, 1996:3). Budaya kerja adalah
cara kerja sehari-hari yang bermutu dan selalu mendasari nilai-nilai yang penuh
makna, sehingga menjadi motivasi, memberi inspirasi, untuk senantiasa bekerja lebih
baik, dan memuaskan bagi masyarakat yang dilayani (Kepmenpan Nomor:
25/KEP/M.PAN/04/2002).
Dengan demikian, maka setiap fungsi atau proses kerja mempunyai perbedaan
dalam cara bekerjanya, yang mengakibatkan berbedanya pula nilai-nilai yang sesuai
untuk diambil dalam kerangka kerja organisasi, seperti nilai-nilai apa saja yang
sepatutnya dimiliki, bagaimana perilaku setiap orang akan dapat mempengaruhi kerja
mereka, kemudian falsafah yang dianutnya seperti “budaya kerja” merupakan suatu
proses tanpa akhir” atau “terus menerus”. Biech dalam Triguno (2004:31)
menyebutkan bahwa nilai-nilai, perilaku, dan falsafah yang dianut setiap orang
mempunyai arti proses yang panjang yang terus menerus disempurnakan sesuai

13 
 


dengan tuntutan dan kemampuan SDM itu sendiri sesuai dengan prinsip pedoman
yang diakui. Sehingga budaya kerja dapat diartikan sebagai cara pandang yang
menumbuhkan keyakinan atas dasar nilai-nilai yang diyakini pegawai untuk
mewujudkan prestasi kerja terbaik.

2.2

Terbentuknya Budaya Kerja
Budaya kerja terbentuk begitu satuan kerja atau organisasi itu berdiri, menurut

Sithi-Amnuai dalam Ndraha (2003:76) menjelaskan “being developed as they
learn to cope with problems of external adaption and internal integration”
artinya pembentukan budaya kerja terjadi tatkala lingkungan kerja atau organisasi
belajar menghadapi masalah, baik yang menyangkut perubahan-perubahan ekternal
maupun internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi. Perlu waktu
bertahun bahkan puluhan dan ratusan tahun untuk membentuk budaya kerja.
Pembentukan budaya kerja di awali oleh (para) pendiri (founders) atau pimpinan
paling atas (top management) atau pejabat yang ditunjuk, di mana besarrnya
pengaruh yang dimilikinya akan menentukan suatu cara tersendiri apa yang

dijalankan dalam satuan kerja atau organisasi yang dipimpinnya. Gambar 2.2 berikut
ini merupakan proses terbentuknya budaya kerja dalam satuan kerja atau organisasi.

14 
 

Manajemen
puncak

Filosofi organisasi
yang dijumpai

Kriteria
seleksi

Budaya
Organisasi

Sosialisasi
Gambar 2.2 Proses terbentuknya budaya kerja

Sumber: Robbins (2006:734)

Robbins (2006:734) menjelaskan bagaimana budaya kerja dibangun dan
dipertahankan yang ditunjukkan dari filsafat pendiri atau pimpinannya. Selanjutnya
budaya ini sangat dipengaruhi oleh kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan
pegawai. Tindakan pimpinan akan sangat berpengaruh terhadap perilaku bawahannya
untuk dapat diterima di lingkungan tempat kerjanya. Bagaimana bentuk sosialisasi
akan tergantung kesuksesan yang dicapai dalam menerapkan nilai-nilai dalam proses
seleksi. Namun secara perlahan nilai-nilai tersebut dengan sendirinya akan terseleksi
untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang pada akhirnya akan muncul
budaya kerja yang diinginkan.

15 
 

2.3

Nilai-nilai Budaya Kerja Aparatur
Menurut Kepmenpan Nomor: 25/KEP/M.PAN/04/2002 nilai-nilai budaya


kerja aparatur pemerintah itu terdiri dari 34 unsur/17 pasang yang diharapkan dapat
dikembangkan, sehingga akan menumbuhkan motivasi dan tanggung jawab terhadap
peningkatan produktivitas dan kinerja aparatur pemerintah.
Di bawah ini dijelaskan nilai-nilai budaya kerja yang mencakup: nilai-nilai,
arti, seharusnya, dan upaya untuk dapat dikembangkan lebih lanjut.

Tabel 2.1 Nilai-nilai Budaya Kerja Aparatur Pemerintah
No.
1.

2.

3.

 
 
 
 

Nilai-nilai

Komitmen
dan
Konsisten

Arti

Memegang teguh
dan
berjanji
melaksanakan
tugas secara taat
asas
Wewenang
Setiap
pegawai
dan tanggung diberi peran dan
jawab
tanggung jawab
sesuai posisi
Keikhlasan
Tidak mengharap
dan kejujuran imbalan
dan
berani melawan
ketidak benaran
yang bertentangan
dengan
suara
hatinya

Seharusnya

Upaya

Komit
dan
konsisten
terhadap
visi
dan
misi
organisasi
Wewenang dan
tanggung jawab
jelas dan tegas

Merumuskan visi dan
misi organisasi secara
jelas

Pegawai
jujur
dan
ikhlas
menjadi kunci
bagi tumbuhnya
rasa hormat dan
kepercayaan
masyarakat

Harus menyampaikan
laporan pelaksanaan
tugas
berdasarkan
rencana kerja
Perbaikan
kesejahteraan,
pengawasan,
pengembangan sikap
dan perilaku positip
(ikhlas dan jujur)

16 
 

No.

Nilai-nilai

Arti

4.

Integritas dan Konsisten dalam
profesionalis kata
dan
me
perbuatan
serta
berkemampuan
kerja tinggi

5.

Kreativitas
dan
Kepekaan

6.

7.

8.

9.

10.

Punya
gagasan
baru lebih baik
dan peka terhadap
peluang
dan
perkembangan di
dalam dan di luar
organisasi
Kepemimpin Kemampuan
an
dan memotovasi
Keteladanan bawahan
dan
perilaku
yang
dapat dijadikan
acuan
Kebersamaan Kepentingan
dan
pribadi
dan
Dinamika
kelompok setara
Kelompok
dan
untuk
mencapai tujuan
bersama
Pelayanan
Ketepatan
diberikan
tepat
dan
jumlah,
mutu,
Kecepatan
biaya, prosedur
dan waktu
Rasionalitas
Berfikir cerdas,
dan
objektif, logis dan
Kecerdasan
sistematis, baik
Emosi
dari segi akal
maupun emosi
Keteguhan
dan
Ketegasan

Kuat memegang
prinsip dan tidak
ragu-ragu

Seharusnya
Pegawai punya
integritas
profesionalisme
yang tinggi

Upaya

Memberi
teladan,penghargaan
dan
sanksi
berdasarkan penilaian
objektif sesuai debgan
tolak ukur kinerja
yang jelas
Lingkungan
Penghargaan
bagi
kerja
pegawai yang kreatif
mendorong
dan
menciptakan
kretivitas.Keluh suasana
yang
an masyarakat trasparan.
segera dicarikan
jalan keluarnya.
Pemimpin
Rekrukment pejabat
mengenal visi yang
berdasarkan
dan
misi profesionalisme dan
organisasi
dapat
memberi
secara baik dan tauladan
memberi contoh
Setiap pegawai Sosialisasi
tujuan
harus menyadari organisasi, termasuk
bahwa
ia resiko (pribadi dan
merupakan
kelompok)
dan
bagian
dari keuntungan yang akan
organisasi
diperoleh
Setiap
pegawai
Pelayanan
mempunyai
uraian
memberikan
tugas dan tanggung
kepuasan
jawab yang jelas
kepada
masyarakat
Kebijakan dapat Keterbukaan terhadap
diuji
dan kritik,
diskusi,
menggunakan
musyawarah setara.
iptek.Emosi
memperkokoh
motivasi.
Teguh
dalam Penempatan jabatan
berprinsip dan melalui fit dan proper
tidak ragu-ragu test.
dalam bertindak

17 
 

No.
11.

12.

Nilai-nilai

Arti

Disiplin dan Taat
aturan,
Keteraturan
sistematis dalam
Kerja
langkah
pelaksanaan,
evaluasi,
perbaikan
rencana.
Keberanian
Berani
dan Kearifan menanggung
resiko
dalam
membuat
keputusan yang
tepat waktu dan
sesuai nilai-nilai

13.

Dedikasi dan Sifat
rela
Loyalitas
berkorban demi
pengabdian
kepada instansi,
bangsa
dan
negara

14.

Semangat
dan Motivasi

Daya
yang
mendorong pada
perilaku sampai
pada
tingkat
tertinggi

15.

Ketekunan
dan
Kesabaran

Teliti, rajin dan
tidak emosional
dan tidak putus
asa
dalam
mencapai sasaran
pekerjaan

 
 

Seharusnya

Upaya

Disiplin
dan
teratur
dalam
melaksanakan
pekerjaan

Perangkat
lunak
(SOP) jelas, merit
rating diaplikasikan,
perangkat
keras
dicukupi

Berani
menanggung
nresiko
kegagalan sesuai
dengan
pertimbangan
nilai-nilai yang
ada
Dedikasi
dan
loyalitas tinggi
terhadap bangsa
& negara, bukan
loyalitas tinggi
terhadap atasan
demi
kepentingan
pribadi
Bersemangat
kerja
tinggi,
untuk
membangun
kepercayaan dan
pencapaian
tujuan individu
dan oragisasi
Pegawai
memiliki sifat
pejuang,
semangat
pelayanan prima
dan
tidak
mengeluh

Menegakkan hukum
secara konsisten, tegas
dan
adil
tanpa
pandang bulu

Membentuk kelompok
budaya kerja (KBK).
Menanamkan
kesadaran
terhadap
pencapaian visi

Peningkatan
kesejahteraan
pegawai.Sosialisasi
pengembangan
budaya kerja

Merumuskan sasaran
organisasi
secara
spesifik,
terukur,
dapat dicapai, realistis
dan jelas (SMART).

18 
 

No.

Nilai-nilai

Arti

Seharusnya

16.

Keadilan dan Adil
pada Ketentuan agar
Keterbukaan pegawai
dan dijalankan
masyarakat sesuai secara terbuka
fungsi, hak dan dan
kewajibanya,
dilaksanakan
serta melakukan secara adil
kegiatan secara
terbuka sehingga
diketahui
oleh
stakeholders
17.
Ilmu
Pekerjaan
Mengikuti era
Pengetahuan dilaksanakan atas globalisasi
dan
dasar ilmu yang informasi
dan
Teknologi
baku
dan menguasai ilmu
menggunakan alat pengetahuan dan
yang tepat guna
teknologi
Sumber: Kepmenpan Nomor: 25/KEP/M.PAN/04/2002

Upaya
Sosialisasi ketentuan
secara terbuka dan
jelas,
pelanggar
mendapatkan sanksi
yang tegas.

Program
diklat
Penyebaran informasi
dan teknologi.

Penerapan budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan perilaku
aparatur menuju tata kerja yang terartur, rapi, bersih dalam menggapai peningkatan
produktivitas dan kualitas kerja, agar pencitraan aparatur Departemen Agama yang
mengemban misi penjaga moral bangsa menjadi lebih baik dan berwibawa.
Menurut Suparta (2008), budaya kerja yang secara umum akan dikembangkan
di lingkungan Departemen Agama dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi
dinilai sangat strategis dalam upaya memulihkan dan memperkuat kepercayaan publik
atas keberadaan, fungsi dan kinerja Departemen Agama. Gagasan atas pengembangan
sikap kerja yang positif diyakini dapat menciptakan atmosfir yang baik dalam
membentuk perilaku kerja produktif di Departemen Agama.

19 
 

2.4

Persepsi Pegawai dan Pengaruhnya Terhadap Sikap dan
Perilaku
Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana individu-individu

mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna
kepada lingkungan mereka (Robbins, 2006:169). Persepsi sebagai penghayatan
langsung oleh seorang pribadi atau proses-proses yang menghasilkan penghayatan
langsung. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar,
cakrawala dan pengetahuan seseorang (Mar’at 1984:22-23). Manusia mengamati
obyek dengan inderanya sendiri yang diwarnai oleh nilai dari kepribadiannya,
sedangkan obyeknya dapat berupa kejadian, ide atau situasi tertentu.
Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki seseorang akan terjadi keyakinan
terhadap obyek tersebut. Robbins (2006:170) membagi beberapa faktor yang
mempengaruhi persepsi berdasarkan keberadaan faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi itu sendiri, apakah berada di pihak perilaku persepsi, dalam obyeknya atau
target yang dipersepsikan, atau dalam konteks dari situasi dalam mana persepsi itu
dilakukan, sebagaimana gambar berikut:

20 
 

Faktor dalam situasi
• Waktu
• Keadaan /
tempat kerja
• Keadaan sosial

Faktor pada
pemersepsi
• Sikap
• Motif
• Kepentingan
• Pengalaman
• Pengharapan

PERSEPSI

Faktor pada
target
• Hal baru
• Gerakan
• Bunyi
• Ukuran
• Latar
belakang
• Kedekatan

Gambar 2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
Sumber: Robbins (2006:170)

Gambar tersebut di atas menunjukkan bagaimana pegawai mempersepsikan
kerja berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki akan membentuk persepsi tertentu
mengenai kerja. Di sini setiap pegawai memberikan makna yang berbeda dalam
memandang nilai-nilai budaya kerja yang ada.
Hubungan antara persepsi pegawai terhadap nilai, sikap dan perilaku sesuai
dengan yang diinginkan dapat terjadi apabila terdapat kesesuaian antara persepsi yang
didasarkan pada nilai-nilai yang diyakini dengan nilai-nilai budaya kerja yang ada.

21 
 

2.5

Budaya Kuat, Tepat dan Adaptif
Budaya kuat adalah budaya kerja yang ideal. Dimana kekuatan budaya

mampu mempengaruhi intensitas perilaku. Ada tiga ciri khas budaya kuat thickness,
extent of sharing, dan clarity of ordering (Sathe, 1985 dalam Ndraha, 2003:122-123).
Sedangkan menurut Robbins “A strong culture is characterized by the organization’s
core values being intensely held, clearly ordered, and widely shared”. Semakin kuat
budaya, semakin kuat pengaruhnya terhadap lingkungan dan perilaku manusia.
(Ndraha, 2003:123).
Kotter dan Heskett (1997) dalam penelitiannya menyimpulkan betapapun
kuatnya budaya dan cocok untuk situasi atau lingkungan (context), tetapi tidak untuk
situasi lainnya maka diperlukan dimensi lain yaitu ketepatan dan kecocokan. Budaya
yang kuat namun pelaksanaannya tidak sesuai dengan situasi sesungguhnya dapat
mengakibatkan orang berperilaku menghancurkan. Oleh karena itu Kotter dan
Heskett memandang hanya budaya kerja yang mendukung satuan kerja atau
organisasi untuk mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkunganlah yang dapat menunjukkan kinerja yang tinggi (Ndraha, 2003:124).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan dalam budaya kerja
itu sangat penting, karena masalah budaya kerja terletak pada diri kita masing-masing
dan musuh budaya kerja pun adalah diri kita sendiri. (Triguno, 2004:29).

22 
 

2.6

Pengertian Kemampuan
Sumber daya manusia yang memiliki kemampuan tinggi sangat menunjang

tercapainya visi dan misi organisasi untuk segera maju dan berkembang pesat, guna
mengantisipasi kompetisi global. Kemampuan yang dimiliki seseorang akan
membuatnya berbeda dengan yang mempunyai kemampuan rata-rata atau biasa saja.
Menurut Sofo (2003:150) istilah kemampuan didefinisikan dalam arti apa
yang diharapkan di tempat kerja, dan merujuk pada pengetahuan, keahlian, dan sikap
yang dalam penerapannya harus konsisten dan sesuai standar kinerja yang
dipersyaratkan dalam pekerjaan. Ada tiga komponen penting yang tidak tampak
dalam kemampuan diri manusia yaitu; keterampilannya, kemampuannya dan etos
kerjanya. Tanpa ketiganya, semua sumber daya tetap terpendam, tidak dapat
dimanfaatkan, dan tetap merupakan potensi belaka.
Lowler dan Porter (2000) mendefinisikan kemampuan (ability) sebagai
karakterisik individual seperti intelegensia, manual skill, traits yang merupakan
kekuatan potensial seseorang untuk berbuat dan sifatnya stabil (As’ad, 2000:61).
Selain itu kemampuan dinyatakan sebagai seperangkat tindakan cerdas penuh
tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh
masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.
Kemampuan pada individu tersebut paling tidak ditentukan oleh tiga aspek kondisi
dasar yaitu; kondisi sensoris dan kognitif, pengetahuan tentang cara respon yang
benar, dan kemampuan melaksanakan respon tersebut. Jadi kemampuan (ability)
merupakan suatu potensi untuk melakukan sesuatu. Atau dengan kata lain

23 
 

kemampuan (ability) adalah what one can do dan bukanlah what he does do (As’ad,
2000:60).
Kemampuan sejati adalah kekuatan yang dapat mendorong terwujudnya
sinergi kemampuan konstruktif seluruh potensi yang ada dalam diri manusia berupa
kekuatan fisik, akal pikiran, jiwa, hati nurani (spiritualitas) dan etika sosial di
lingkungannya untuk mewujudkan hasil karya terbaik dan bermanfaat (Kepmenpan
Nomor: 25/KEP/M.PAN/04/2002:72).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan merupakan potensi
yang dimiliki oleh seorang pegawai dalam menyelesaiakan tugasnya secara cepat dan
tepat, efektif dan efisien sesuai dengan metode atau standar kerja yang diwujudkan
dalam pelaksanaan tugasnya.

2.7

Hubungan Budaya Kerja Dengan Kemampuan
Budaya kerja yang telah diterima dan tertanam dengan baik pada setiap

pegawai akan menunjukkan sejauhmana pegawai dapat menyelesaikan tugasnya
dengan cepat, tepat dan benar sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Deal dan
Kennedy (1982) dalam Narayanan dan Nath (1993:464) menggambarkan bagaimana
budaya yang kuat mampu membantu pegawai mengerjakan tugasnya dengan lebih
baik. Pegawai yang terlatih dalam budaya kerja akan mampu memecahkan
permasalahan secara mandiri dengan bantuan keahliannya berdasarkan metode ilmu
pengetahuan, dibangkitkan oleh pemikiran yang kritis kreatif, tidak menghargai
penyimpangan dan akal bulus serta pertentangan (Wolseley dan Campbell, dalam

24 
 

Triguno, 2004:9). Lebih lanjut dikatakan bahwa sifat khas budaya kerja adalah
kemampuan mengelola proses perubahan, karena berdasar pada nilai-nilai
kebersamaan/integritas, sehingga sedikit demi sedikit sikap perilaku yang negatif
akan terkikis dan munculnya nilai-nilai baru yang lebih baik untuk mendorong
menjadi lebih optimal (Triguno, 2004:64). Dengan kata lain, budaya kerja menjadi
pengarah perilaku pegawai untuk mencapai tujuan organisasi. (Stoner, Freman dan
Gilbert, 1996:186).
Dalam Kepmenpan RI No. 25/2002 dinyatakan bahwa budaya kerja dapat
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, lebih memahami makna hidup dan
pengabdian sebagai aparatur negara dengan cara bekerja sebaik-baiknya dan
berprestasi dalam lingkungan tugas kerja/intansinya. Kemampuan tanpa akhlak mulia
akan membuahkan sosok manusia yang cerdas secara intelektual tetapi bodoh secara
moral, sehingga kecerdasan dan keahliannya dapat digunakan untuk mengembangkan
pikiran dan praktek negatif yang merugikan masyarakat dan negara. Budaya kerja
juga dapat membangkitkan kesanggupan aparatur negara untuk mencari daya suai
(adaptability) dengan keadaan-keadaan yang berbeda. Oleh karena itu penghayatan
nilai-nilai budaya kerja harus diarahkan untuk menciptakan sikap kerja profesional,
sedangkan apresiasi nilai-nilai yang aplikatif akan membuahkan akhlak mulia.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan yang meningkat
menunjukkan kekuatan budaya dalam mempengaruhi perilaku pegawai untuk
mencapai tujuan, sebaliknya kemampuan yang rendah menunjukkan lemahnya
budaya mempengaruhi perilaku pegawai untuk mencapai tujuan.

25 
 

2.8

Pengertian Komitmen
Komitmen adalah keteguhan hati, tekad yang mantap dan janji untuk

melakukan atau mewujudkan sesuatu yang diyakini (Kepmenpan No. 25 tahun 2002).
Adanya rasa keterikatan pada suatu falsafah dan satuan kerja kemungkinan untuk
bertahan dalam satuan kerja akan lebih tinggi ketimbang pegawai yang tidak
mempunyai rasa keterikatan pada satuan kerja. Pegawai yang mempunyai komitmen
terhadap satuan kerja menunjukkan kuatnya pengenalan dan keterlibatan pegawai
dalam satuan kerja.
Pegawai yang memiliki komitmen terhadap satuan kerja kemungkinan untuk
tetap bertahan lebih tinggi dari pada pegawai yang tidak mempunyai komitmen.
Komitmen pegawai dapat mengurangi keinginan untuk melepaskan diri dari
organisasi atau unit kerja. Mereka cenderung menunjukkan keterlibatan yang tinggi
diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Selain itu pegawai yang menunjukkan
sikap komitmennya akan merasa lebih senang dengan pekerjaan mereka,
berkurangnya

membuang-buang

waktu

dalam

bekerja

dan

berkurangnya

kemungkinan meninggalkan lingkungan kerja.
Komitmen merupakan fungsi karakteristik personal dan fungsi -fungsi
situasional yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Karakteristik personal ini
berupa usia, masa kerja, dan pendidikan sedangkan faktor situasional meliputi konflik
peran dan iklim organisasi.
Komitmen

akan

timbul

apabila

ada

pemahaman

nilai

kerja,

mengkomunikasikan standar prestasi kerja dan menghubungkannya dengan reward

26 
 

dan memberikan dukungan kepada pimpinan atau atasan. Untuk meningkatkan
komitmen dapat dilakukan dengan meningkatkan atmosfer sosial satuan kerja dan
pemahaman akan tujuan.
Pengertian mengenai komitmen pada dasarnya menekankan bagaimana
hubungan pegawai dan satuan kerja menimbulkan sikap yang dapat dipandang
sebagai rasa keterikatan pada falsafah dan satuan kerja. Di mana pegawai akan
memegang teguh sepenuh hati dan berjanji melaksanakan tugas yang harus diemban
secara taat asas, yang telah ditetapkan oleh sekelompok orang atau badan yang terikat
dalam satu wadah kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu.

2.9

Hubungan Budaya Kerja Dengan Komitmen
Budaya yang dibangun dari nilai-nilai yang dianut dianggap sebagai pemicu

tumbuhnya komitmen pegawai sehingga pegawai dengan mudah akan memahami
nilai-nilai dan norma yang dianut dalam satuan kerja dan menerapkannya dalam
lingkungan kerja sebagai pedoman dalam berperilaku. Dalam Kepmenpan Nomor:
25/KEP/M.PAN/04/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur
Negara disebutkan bahwa untuk melaksanakan pengembangan nilai-nilai dasar
Budaya Kerja Aparatur Negara di lingkungan instansi/lembaga penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan diperlukan komitmen secara konsisten dalam
kerangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan kewenangan pada
bidang masing-masing instansi. Pegawai yang mempunyai komitmen terhadap satuan
kerja akan menunjukkan sikap dan perilaku positif serta cenderung mempertahankan

27 
 

keanggotaannya sebagai wujud kebanggaan pada satuan kerja yang dianggap mampu
memenuhi harapannya.
Setiap pegawai harus mempunyai pandangan bahwa bekerja adalah suatu hal
yang penting dalam tujuan hidupnya ,jika mereka sudah menyukai pekerjaanya maka
akan memperoleh kepuasan tersendiri dari hasil kerjanya (Sentono, 1999:82-83).
Pegawai yang memperoleh kepuasan dari hasil kerjanya akan memiliki komitmen
yang lebih terhadap satuan kerja (organisasinya). Hal inilah yang ditegaskan oleh
West (1997:130) bahwa hubungan satuan kerja (organisasi) dengan budaya kerja
akan melahirkan budaya kuat yang berorientasi pada hubungan manusia yang
diwarnai kepedulian pada komitmen.
Komitmen pegawai tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Ada hubungan
yang signifikan antara budaya kerja dengan komitmen pegawai. Budaya kerja
dianggap sebagai pemicu tumbuhnya komitmen pegawai, karena budaya kerja yang
dibangun sejalan dengan nilai-nilai yang dianut pegawai, akan memotivasi untuk
bersedia memberikan diri mereka dengan suka rela guna memajukan satuan kerjanya.
Budaya kerja juga mempunyai peran dalam mengikat pegawai untuk selalu bekerja
sama mencapai keberhasilan.