PERMASALAHAN PEMERINTAH TERHADAP PERTANI INDONESIA

PERMASALAHAN PEMERINTAH TERHADAP PERTANIAN RAKYAT
1. Komoditas Beras
Latar Belakang
Indonesia adalah Negara agraris dengan kekayaan dalam bidang pertanian yang
melimpah. Komoditas utama pertanianyang sangat potensialdi Indonesia adalah beras karena
memiliki pangsa pengeluaran pangan kedua terbesar setelah makanan jadi pada tahun 2011,
yaitu sebesar 17,28%, sedangkan pangsa pengeluaran pangan untuk komoditas umbi-umbian,
pangan asal ternak, ikan, sayuran, dan buah-buahan secara berturut-turut hanya sebesar
0,98%; 5,11%; 8,51%; 7,68%; dan 4,25% (Rusono, 2014). Selain alasan tersebut, komoditas
beras juga menjadi sangat potensial di Indonesia karena beras merupakan bahan makanan
pokok masyarakat indonesia.
Walaupun demikian, ironisnyaproduksi beras nasional hingga saat ini masih belum
mengalami kemajuan yang signifikan. Petani sebagai titik tumpu penghasil beras nasional
masih belum merasakan kebijakan pemerintah yang dapat membantu mereka secara
konsisten. Kebijakan-kebijakan yang diaplikasikan untuk sektor pertanian seperti subsidi
benih, kredit istimewa, subsidi pupuk, dan lain-lain tidak berjalan dengan semestinya dan
kerap mengalami kerugian (OECD, 2012).
Merujuk kepada fakta-fakta diatas, maka dalam tulisan ini penulis akan membahas
mengenai permasalahan komoditas beras serta persawahan nasional. Selain membahas
tentang permasalahannya, penulis juga akan memberikan solusi guna meningkatkan kuantitas
dan kualitas beras nasional berdasarkan analisis dan pemahaman penulis. Diharapkan dengan

adanya tulisan ini dapat memberikan dampak positif terhadap kemajuan komoditas beras
nasional.
Permasalahan
Akar permasalahan komoditas beras nasional sangat kompleks. Permasalahan ini
bermulai dari kebijakan Lembaga pemerintahan, Swasta bahkan petani beras itu sendiri.
Beberapa permasalahan tersebut antara lain: minimnya anggaran sektor pertanian,
pembagunan berbagai sektor pembangunan yang hanya terpusat di pulau jawa, alih fungsi
lahan sawah, pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, dan penggunaan pupuk
anorganik secara .

Anggaran untuk sektor pertanian dari tahun ke tahun hanya dibawah 1% dari total anggaran
nasional. Anggaran yang diberikan untuk sektor pertanian pada tahun 2011, 2012 dan 2013
secara berturut-turut adalah sebanyak 16,7 triliun, 18 triliun, dan 17,8 triliun (Anonim, 2013).
Anggaran yang diberikan untuk sektor pertanian dari tahun ke tahun ini tidak pernah dapat
meningkatkan angka produksi beras nasional secara signifikan dan cenderung stagnan.
Menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2012 hingga tahun 2013, produksi beras di
Indonesia hanya meningkat sebesar dua juta ton dari 69 juta ton menjadi 71 juta ton dan
mengalami penurunan produksi sebesar 1 juta ton pada tahun 2014. Alasan lain mengapa
anggaran sektor pertanian masih belum mencukupi yaitu ditandai dengan tidak adanya
koreksi dalam rangka mengatasi kebocoran subsidi, seperti pupuk bagi petani. Hal itu

menunjukkan minimnya anggaran negara guna meningkatkan kapasitas adaptasi petani
terhadap perubahan iklim. Selain kebocoran subsidi pupuk, permasalahan yang paling terlihat
adalah semakin meluasnya gagal tanam dan panen yang dialami petani.
Sentra produksi beras di Indonesia dinilai tidak merata. Berdasarkan data yang
disajikan pada buku rencana pendahuluan jangka menengah nasional (RPJMN) bidang
pangan dan pertanian 2015-2019, pada tahun 2012 sekitar 53% produksi beras di Indonesia
berada di pulau Jawa, 23% di pulau sumatera, 11% di pulau Sulawesi, 7% di pulau
Kalimantan, 5% di pulau Nusa Tenggara, dan hanya 1% di Maluku dan Papua. Selain sektor
pertanian, pulau Jawa juga mengalami kemajuan di sektor lain setiap tahunnya. Sentralisasi
berbagai sektor pembangunan di pulau jawa ini menyebabkan banyaknya lahan sawah yang
dialih fungsikan menjadi sektor lain di pulau tersebut, seperti perumahan, industri, jalan, dan
sektor-sektor lainnya (Rusono, 2014).
Alih fungsi lahan sawah di tanah air sulit dibendung. Luas lahan yang terkonversi
tidak mampu diimbangi dengan ekstensifikasi melalui pembukaan sawah baru. Intensitas alih
fungsi lahan sangat sulit dikendalikan dan sebagian besar lahan sawah yang beralih fungsi
tersebut justru yang produktivitasnya termasuk katagori tinggi. Bermulai dari tahun 2012,
setiap tahun tak kurang dari 110.000 hektar lahan sawah beralih fungsi. Nilai alih fungsi
lahan ini dinilai sangat membahayakan bagi produksi beras nasional (Anonim, 2014).
Permasalahan pangan beras Indonesia tidak pernah terlepas dari pertumbuhan
penduduk Indonesia yang terus meningkat. Merujuk kepada data yang dikemukakan oleh

FAO dan IRRI (International Rice Research Institute), Indonesia tercatat merupakan Negara
dengan angka konsumsi beras tertinggi, yaitu sebesar 139 kilogram per tahun pada tahun
2008. Setelah tahun demi tahun angka ini tidak mengalami penurunan yang signifikan,
sedangkan Malaysia telah menurunkan konsumsi ini menjadi 80 kilogram per kapita per
tahun dan jepang hanya sebesar 60 kilogram per kapita per tahun.

Penggunaan pupuk anorganik untuk pertanian saat ini semakin meningkat dan melebihi
batasan pemakaian seiring dengan mahalnya harga jual pupuk organik. Menurut fertilizer
hand bookpada tahun 2003 dikutip oleh wirjodirdjo, et al, Penggunaan pupuk anorganik yang
dilakukan oleh petani beras di Indonesia melebihi batas semestinya, yaitu sekitar 5000 juta
ton yang seharusnya hanya 2000 juta ton. Penggunaan pupuk anorganik secara berlebihan ini
bukan hanya menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas beras nasional, tetapi juga
menyebabkan lebih tingginya harga jual beras nasional daripada harga beras impor, sehingga
minat masyarakat terhadap produksi beras nasional berkurang dan beras nasional tidak dapat
bersaing dengan beras impor.
Solusi peningkatan kuantitas dan kualitas beras di Indonesia
Solusi yang sebaiknya diterapkan pertama kali oleh pemerintah adalah menaikkan
anggaran pada sektor pertanian. Sebagian anggaran untuk sektor pertanian yang telah
ditingkatkan ini digunakan untuk melaksanakan system Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
padi sawah. Penulis berpendapat bahwa PTT padi sawah dapat meningkatkan kuantitas dan

kualitas produksi beras di Indonesia. Sistem PTT padi sawah tersebut terdiri dari pengolahan
tanah sesuai musim dan pola tanam, pemilihan varietas unggul, penanaman benih bermutu,
sistem tanam berdasarkan Pengelolaan Tanaman Terpadu, pengairan lahan sawah yang
dilakukan berselang, pemupukan berimbang, pengendalian gulma, pengendalian hama dan
penyakit terpadu, serta pengontrolan masa panen dan masa pasca panen.
Apabila PTT padi sawah ini diterapkan secara berkelanjutan, maka bukan hanya dapat
bersaing dengan harga maupun kualitas beras luar negeri, tetapi diharapkan dapat
menghentikan laju impor beras, sehingga Indonesia menjadi Negara yang swasembada beras.
Salah satu sistem PTT padi sawah yang sangat diharapkan berpengaruh positif terhadap
kemajuan pertanian Indonesia adalah sistem pemupukan berimbang.
Renggang hasil (yield gap) antara produktivitas beras dan luas areal sawah yang ada di
indonesia sudah sangat kecil. Sebagai buktinya, produktivitas tanaman pangan padi Indonesia
lebih tinggi 20 persen dibandingkan produktivitas Negara-negara Asean lain. Menurut Badan
Pusat Statistik tahun 2014, jumlah produksi beras di Indonesia adalah 70.607.231 ton dengan
nilai produktivitas 51,28 kwintal per hektar. Nilai produktivitas ini sudah sangat tinggi
dibandingkan produktivitas beras dari Negara lain. Dengan kecilnyayield gap ini, maka dapat
diartikan bahwa visi untuk memajukan sektor pertanian tanpa memperluas areal lahan
pertanian mustahiluntuk dilakukan.
Ekstensifikasi (perluasan lahan) pertanian terutama sawah memang sangat sulit untuk
dilakukan, mengingat laju alih fungsi lahan sawah yang terus meningkat. Solusi yang dapat

diterapkan untuk ekstensifikasi pertanian ini adalah dengan melakukan kegiatan agroforestry.
Agroforestry adalah penanaman pepohonan secara bersamaan atau berurutan dengan tanaman

pertanian dan atau peternakan, baik dalam lingkup keluarga kecil ataupun perusahaan besar.
Kebun-kebun agroforest asli Indonesia harus memperoleh perhatian dengan tujuan untuk
pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya untuk daerah-daerah rawan secara
ekologis. Angka luas areal hutan Indonesia sangat tinggi, maka diharapkan dengan tingginya
nilai ini dapat dimanfaatkan untuk pembukaan lahan sawah baru di wilayah hutan tersebut.
Menurut pengamatan penulis, system Ekstensifikasi lahan pertanian berupa
agroforestry juga sangat baik apabila diterapkan di pulau lain selain pulau Jawa.
Ekstensifikasi ini juga akan berdampak kepada keinginan masyarakat untuk melakukan
imigrasi ke pulau lain, sehingga penyebaran sektor pertanian bukan hanya tertumpu di pulau
Jawa. Pemerataan ini juga diharapkan dapat mengurangi alih fungsi lahan sawah di
Indonesia, terutama pulau Jawa.
Pembuatan sistem irigasi untuk lahan sawah di areal hutan akan menghabiskan
banyak dana dan menurangi luas areal hutan itu sendiri. Salah satu cara untuk menangani
masalah ini adalah dengan penanaman varietas padi gogo. Padi gogo merupakan varietas padi
yang diciptakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) agar dapat menjadi
varietas unggul serta menjadi teknologi paling murah dan efisien untuk meningkatkan
produksi padi lahan kering. Padi gogo memiliki potensi untuk mendukung peningkatan

produksi padi nasional. Keberadaannya dapat menjadi solusi optimalisasi lahan kering
sebagai pengganti lahan sawah yang terkonversi.
2. Komoditas Cabai
Faktor‐faktor yang memengaruhi melonjaknya harga cabai di beberapa wilayah di indonesia
adalah sebagai berikut :
a) Anomali iklim: Hasil panen cabai sangat terpengaruh oleh iklim/cuaca karena
tanaman cabai membutuhkan sinar matahari yang memadai. Cuaca yang ekstrem pada
tahun 2010 (musim hujan yang berkepanjangan) membuat produksi cabai di beberapa
wilayah indonesia mengalami penurunan drastis sehingga memicu kenaikan harga.
b) Hama/penyakit: Selain cuaca ekstrem, gagalnya panen cabai juga disebabkan oleh
serangan hama dan penyakit (hama patek, virus kuning, virus mozaik, jamur, dan ulat
buah).
c) Bencana alam di wilayah lain: Secara nasional pasokan cabai di pasar berkurang
karena turunnya produksi dari sentra cabai yang terkena dampak letusan Gunung
Merapi (seperti Magelang, Yogyakarta, Temanggung) dan Gunung Bromo (sekitar
Probolinggo, Pasuruan, Malang). Ini menyebabkan produksi cabai di empat kabupaten
penelitian menjadi sumber utama penyediaan cabai di Jawa.
d) Minat menurun: Jatuhnya harga cabai pada tahun 2009 yang turun sampai Rp3.000‐
Rp4.000 per kg mengurangi minat petani untuk menanam cabai walaupun lahannya


tersedia. Penerimaan hasil penjualan cabai yang menurun drastis membuat petani
kekurangan modal untuk menanam cabai di musim tanam berikutnya.
Dari berbagai faktor tersebut, Faktor utama yang mengakibatkan harga cabai melonjak yaitu
akibat cuaca yang sangat extrim dan tidak dapat di prediksi, akibatnya sangat berpengaruh
kepada perkembangan pertanian, dan akibat itu para petani mengakibatkan gagal panen terus
menerus dan para petani pun mengalami kerugian yang sangat besar. Sedangkan para petani
membutuhkan pemasukan atau modal untuk menjaga tanaman mereka.
Kepala Badan Pusat Statistik ( BPS ), Rusman Heriawan pun mengemukakan
pendapatnya tentang kenaikkan harga cabai di Indonesia. Beliau mengemukakan
bahwakenaikkan harga cabai dikarenakan anomali musim, yang menyebabkan produktifitas
cabai menurun, seperti kurangnya sinar matahari, busuk, ada penyakit jamur, kuning, dan
patek.
Jadi menurut beberapa sumber yang ada, dapat di simpulkan bahwa yg paling
mempengaruhi
kenaikan
harga cabai adalah
perubahan
cuaca
yang
extrim

dan unpredictable.Akan tetapi, selain faktor-faktor yang telah disebutkan, kenaikan harga
cabai juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti :
1) Terjadinya ekspektasi kenaikan harga kebutuhan pokok
2) Biaya transportasi ikut mengalami kenaikan
3) Bunga bank relatif tinggi untuk pedagang yang meminjam uang di bank,
4) Danya pungutan-pungutan yang terjadi di lapangan.
5) Modal yang dimiliki oleh petani tidak mencukupi untuk sekedar melindungi tanaman
pangan yang telah ditanam
6) Kurangnya perhatian pemerintah terhadap petani kecil di indonesia
7) Banyaknya tanaman cabai yang di serang hama dan akibatnya banyak petani yang
mengalami gagal panen.
8) Ketidakmampuan pemerintah mengimbangi harga pasar
9) Buruknya pengelolaan stok pangan nasional
10) Spekulasi para tengkulak
11) Hasil panen buruk
12) Lemahnya regulasi pengaturan harga oleh pemerintah.
Dampak Kenaikan Harga Cabai
Bagi ekonomi Indonesia, dampak yang terjadi adalah kenaikan harga cabai ini mendorong
timbulnya inflasi. Sebagai gambaran, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) , ternyata
cabai merah memiliki persentase terhadap kelompok bahan makanan 0,28 persen dan cabai

rawit 0,12 persen. Kenaikan inflasi ini pada dasarnya merupakan sesuatu yang cukup besar
dan cukup mempengaruhi kondisi ekonomi di Indonesia. Dengan kenaikan inflansi ini
membuat pertumbuhan ekonomi di Indonesia menjadi terhambat. Terhambatnya pertumbuhan
ekonomi ini juga berakibat pada penurunan daya beli masyarakat yang turut
berkontribusiterhadap menurunnya tingkat permintaan produk industri. Selain itu, dampak
lainnya adalah mendorong penurunan tingkat penyerapan tenaga kerja yang berarti semakin
meningkatnya pengangguran.

Solusi Mengatasi Kenaikan Harga Cabai di Indonesia
Solusi terbaik untuk mengatasi masalah kenaikan harga cabai di indonesia agar tidak
memperparah perekonomian dan tidak menambah beban rakyat kecil adalah sebagai berikut :
a) Pemerintah perlu melakukan kajian mengenai rantai pemasaran cabai dan bahan
panganlainnya sehingga dapat diketahui pada titik mana terjadi inefisiensi pemasaran
untukselanjutnya dapat diambil langkah-langkah penanggulangannya.
b) Dilakukan Pengembangan teknologi dan inovasi bidang pertanian
c) Mengembangkan industri baru pengolahan cabai
d) Membuat badan logistik pangan
e) Membuat regulasi pengaturan harga
f) Memotong mata rantai tengkulak
g) Substitusi bahan baku cabai

h) Penyuluhan yang dilakukan rutin terhadap kelompok tani di Indonesia
i) Menggunakan alat penopang curah hujan semacam kelambu
j) Pemerintah harus menyiapkan benih cabai bagi petani
k) Menghimbau masyarakat untuk menanam cabai di rumahnya masing-masing.
l) Mengurangi proporsi cabai pada proses produksi
m) Memprioritaskan permintaan lokal dari pada ekspor
n) Mengelola bahan baku sendiri
o) Menambah nilai tambah produk
p) Mengurangi impor bibit cabai
q) Mengendalikan stok pangan nasional. Untuk pelaksanaannya perlu dibentuk suatu badan
pengawasan pangan yang dapat mengawasi kondisi pangan di dalam negeri.
r) Melakukan stabilisasi harga pangan nasional. Untuk itu diperlukan adanya regulasi
pengaturan harga agar pemerintah dapat berperan penting dan berperan langsung dalam
mengendalikan harga pangan khususnya cabai.
s) Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi faktor produksi dan distribusi adalah
peningkatan produksi pangan dan pertanian yang diikuti dengan perbaikan sarana dan
prasarana infrastruktur vital, terutama jalan negara sampai jalan desa. Peningkatan
produktivitas pangan (per satuan lahan dan per satuan tenaga kerja) wajib menjadi acuan
strategi kebijakan, karena Indonesia tidak dapat mengandalkan cara-cara konvensional
dan sistem budidaya yang telah diadopsi selama 40 dekade terakhir.

t) Solusi yang dapat ditawarkan untuk menanggulangi faktor perubahan iklim memang
tidak ada yang berdimensi jangka pendek, karena proses adaptasi dan mitigasi
memerlukan waktu dan proses penyesuaian yang relatif lama. Namun demikian, strategi
penguatan cadangan pangan di tingkat pusat melalui Perum Bulog, serta di daerah
melalui divisi regional dan sub-regional di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat
dijadikan langkah penting dalam jangka menengah. Paling tidak, untuk menjaga tingkat
aman dan stabilitas harga pangan yang lebih berkelanjutan, cadangan beras yang
dikuasai Bulog harus di atas 1,5 juta ton atau lebih. Cadangan beras pemerintah (CBP) di
bawah 1 juta ton bukan angka yang aman dalam mengantisipasi eskalasi harga pangan
pokok. Artinya, penanggulangan lonjakan harga pangan ini memerlukan kombinasi
solusi jitu pada tingkat keputusan politik dengan presisi tinggi pada tingkat teknis
ekonomis. Persoalan pangan dan kebutuhan pokok lain bukan ajang eksperimen

pencitraan para pemimpin, tetapi merupakan uji kepatutan dan hati nurani kaum elit di
negeri ini yang pantas disebut negarawan dan hamba Allah yang beriman.
Sebenarnya petani adalah kunci dari penyelesaian melonjaknya harga pangan ini.
Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan perhatian kepada para
petani miskin yang ada di Negara ini. Hal ini dikarenakan kegagalan-kegagalan yang dialami
oleh para petani di Negara ini adalah dikarenakan modal yang dimiliki oleh mereka tidak
mencukupi untuk sekedar melindungi tanaman pangan yang telah ditanam. Hal ini berarti
pemerintah seharusnya menyediakan kemudahan bagi para petani miskin untuk melakukan
pinjam meminjam modal untuk mengelola pertanian di Indonesia.
3. Komoditas Kedelai
Problem kelangkaan pasokan dan mahalnya harga kedelai di Indonesia untuk kesekian
kalinya terulang kembali. Dari beberapa media masa memberitakan adanya ketarbatasan
produksi kedelai dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan kedelai dan mengatasi
problem tersebut pemerintah memilih opsi pembebasan bea import kedelai hingga 0% yang
semula dikenakan beamasuk 5%. Kondisi ini dalam jangka pendek diharapkan mampu
memacu kuota import kedelai guna mencukupi kelengkaan kebutuhan kedelai di dalam
negeri.
Menteri Pertanian bahkan menegaskan bahwa problem kedelai di Indonesia saat ini masih
mengandalkan kedelai impor dari Amerika terutama untuk produksi tahu tempe dan karena
terbatasnya ketersediaan lahan untuk menanam kedelai. Bahkan diberitakan bahwa kondisi
import kedelai mengalami permasalahan terkait dengan penurunan produksi kedelai Amerika
karena mengalami kegagalan panen akibat iklim/cuaca buruk.
Pernyataan ini dikuatkan dengan fakta empiris bahwa komoditas pertanian termasuk
didalamnya kedelai sangat rentan dengan perubahan iklim/cuaca karena perubahan jumlah
bulan basah/lembab berpengaruh positif terhadap produksi kedelai. Korelasi antara perubahan
iklim (jumlah bulan basah/lembab) dengan produksi kedelai menunjukkan bahwa kenaikan
satu satuan bulan basah/lembab mengakibatkan penurunan produksi kedelai sebesar 0,030
satuan. Sedangkan terhadap produktivitas menyebabkan penuruna sebesar 0,386 satuan.
Selain itu, perubahan jumlah bulan basah juga berpengaruh terhadap penurunan luas tanam
sebesar 0,094 dan luas panen sebesar 0,109 satuan.(http://litbang.patikab.go.id).
Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan menilai, pembebasan bea masuk impor kedelai
tidak akan memberi dampak signifikan bagi penurunan harga komoditas tersebut dalam
waktu singkat. Menurutnya, yang menjadi permasalahan di Indonesia bukan hanya lahan
tanam kedelai yang minim. Namun pola konsumsi yang mempengaruhi besarnya impor
kedelai. Saat ini konsumsi kedelai per tahun mencapai 26 juta ton, dan produksi nasional
hanya mencapai 600-800 ton.
Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krishnamurti menegaskan adanya
kebijakan pembebasan bea masuk kedelai maka harga impor kedelai akan turun sekitar Rp

350-Rp 400 per kilogram. Keadaan ini diharapkan dapat menyelesaikan kelangkaan dan
mahalnya harga kedelai import di dalam negeri untuk memenuhi pasokan industri tempe tahu
yang selama ini sudah sangat merakyat menjadi menu pemenuhan kebutuhan protein nabati
rakyat Indonesia.
Kondisi yang dialami ini pernah juga terjadi pada tahun 2008 dimana Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) mulai memonitor indikasi kartel harga yang dilakukan empat
importir kedelai. Monitoring ini merupakan inisiatif KPPU sendiri setelah mendeteksi adanya
permainan harga kedelai. Kondisi tahun 2008 ini hampir sama dimana pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Menkeu No 1 Tahun 2008 yang membeaskan bea masuk import
kedelai dari yang sebelumnya kedelai impor dikenakan bea masuk 10%.
Dari sisi tata niaga bahwa sebelum reformasi tata niaga kedelai ada yang mengurus dan
setelah reformasi tata niaga kedelai tidak ada yang mengurus. Menyikapi hal ini direncanakan
pemerintah akan memberdayakan BULOG untuk ikut mengatur tata niaga kedelai.
Berbagai gambaran mengurai permasalahan ketersediaan, produk, produktivitas dan harga
kedelai sebagai salah satu entitas dalam komoditas pertanian kiranya dapat dianalisis sesuai
dengan hasil penelitian yang sudah cukup lama dilaksanakan oleh Tim Survei Pusat Palawija
(CGPRT Centre) dan dipublikasikan oleh The Centre for Alleviation of Poverty through
Sustainable Agriculture (CAPSA). CAPSA adalah suatu badan pendukung dari Komisi
Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik (ESCAP) sebagai Pusat Penanggulangan
Kemiskinan melalui Pertanian Berkelanjutan yang didirikan pada tahun 1981, dan berbasis di
Bogor Indonesia.
Hasil studi terhadap Sistem Komoditas Kedelai di Indonesia ini direncakan oleh The
Regional Co-ordination Centre for Research and Development of Coarse Grains, Pulses,
Roots and Tuber Crops in the Humid Tropics of Asia and the Pacific (ESCAP CGPRT
Centre) atas permintaan Pemerintah Indonesia pada akhir tahun 1983 terkait dengan makin
meningkatnya permintaan produk olahan berbahan kedelai dan semakin bergantungnya
Indonesia pada import kedelai selama tahun-tahun terakhir. Studi dilaksanakan pada tahun
1984 dengan bekerjasama dengan para peneliti Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor.
Hasil studi menunjukkan bahwa kendala-kendala pokok dalam sistem komoditas kedelai
di Indonesia (Soybean commodity system in Indonesia) berkaitan dengan produksi dalam
negeri.Dengan cara budidaya kedelai yang masih belum sempurna pada waktu penelitian
dilakukan tidak dapat diharapkan terjadinya peningkatan hasil yang besar. Rekomendasi studi
menunjukkan perlunya memperhitungkan keragaman budidaya kedelai di berbagai daerah
dan perlunya perbaikan cara budidaya kedelai yang diterapkan petani.
Terdapat pula temuan secara teknis perlunya penanggulangan dan pengendalian serangan
hama dan penyakit karena terdapat interaksi antara serangan hama dan penyerapan hara,
respon tanaman terhadap pemupukan dan keadaaan hara mikro yang membutuhkan penelitian
dengan bekerjasama melalui lembaga penelitian nasional dan regional. Permasalahan lain

yang ditemukan dalam studi yaitu perlu penelitian khusus mengapa kedelai tidak diadopsi
dalam pola tanama sebagian petani di daerah yang sesungguhnya cocok dan sesuai untuk
produksi kedelai.
Dari sisi pemasaran, untuk sistem pemasaran tradisional hanya menyerap produksi dalam
negeri yang terdiri dari pedagang dan pabrik pengolahan relatif kecil, dan melayani
kebutuhan rumah tangga yang dipasarkan melalui toko-toko dan pasar tradisional/pasar kecilpasar kecil. Sistem kedua, adalah import kedelai untuk pabrik-pabrik besar yang membuat
pakan ternak dan barang-barang konsumsi, dan menurut penelitian peran BULOG sangat
penting sekali untuk mengatur tata niaga impor karena sejak tahun 1974 harga kedelai impor
lebih rendah dari harga riil kedelai dalam negeri.
Kendala dan masalah pemasaran kedelai menurut hasil studi ditunjukkan bahwa :
1) Produksi kedelai terpusat dalam kantong-kantong kecil yang letaknya saling
berjauhan.
2) Pengendalian mutu sulit diterapkan.
3) Musim
dan
kombinasi
usaha
menyulitkan
penilaian
ekonomi.
Sistem pemasaran memiliki saling keterkaitan dan ketergantungan dengan sistem
produksi. Distribusi produksi yang berada di kantong-kantong kecil menyulitkan
efesiensi angkutan dan pemasarannya. Pengembangan sistem pemasaran seharusnya
sejalan dengan sistem produksi. Hal ini dikarenakan sistem pemasaran akan dapat
diperbaiki apabila produski meningkat. Meski demikian bahwa peningkatan produksi
pun tergantung pada ketersediaan layanan yang diperlukan, termasuk didalamnya
sistem pemasaran yang handal.
Dalam hal pemanfaatan kedelai, ditemukan fakta menarik bahwa karena meningkatnya
jumlah industri dan investasi peternakan yang menarik minat penanam modal asing telah
membawa konsekuensi peningkatan industri pakan dan peternakan. Keadaan ini sangat
berlawanan dengan industri kecap, tahu, tempe, oncom, karena industri pakan tampaknya
merupakan lingkup cakupan perusahaan besar yang tidak dapat disaingi oleh perusahaan –
perusahaankecil.
Kedelai mempunyai peran penting dalam penyediaan protein dan asam amino esensial
keseimbangan gizi pangan di desa dan kota. Tingginya elastisitas pendapatan yang
mendukung permintaan untuk konsumsi manusia serta berkembangnya industri pakan ternak
menguatkan pendapat kecil kemungkinan terjadi kelebihan produski mengingatnya besarnya
potensi, permintaan pasar dan tingkat konsumsi yang tinggi.
Terdapat dua alasan pokok yang mendasari makin meningkatnya kapasitas dan tingginya
import kedelai dari tahun ke tahun yaitu makin meningkatnya konsumsi kedelai sebagai
pangan serta makin bertambahnya permintaan bungkil kedelai (bersama dengan jagung)
sebagai pakan ternak.

Pada dasarnya sejak tahun 1982 produksi nasional kedelai telah mengalami
peningkatan dua kali lipat hingga menjadi 1.227.000 ton pada tahun 1986. Peningkatan
ini merupakan hasil perluasan areal tanam (ekstensifikasi) di luar jawa, sementara hasil di
Jawa naik menjadi hampir 1 ton/ha. Peningkatan hasil ini ternyata produktivitasnya masih
tetap harus ditingkatkan untuk mencukupi kebutuhan kedelai yang juga naik secara
signifikan melalui usaha peningkatan produktivitas, menurunkan biaya produksi dengan
cara perbaikan teknik budidaya, pengelolaan hama dan penyakit, pengelolaan air, serta
ketersediaan benih bermutu.
Persediaan benih bermutu sejak tahun 1919 hingga penelitian dilakukan tahun 1983,
telah dikenalkan 14 varietas unggul kedelai. Varietas pertama dikembangkan dari suatu
galur introduksi dari Cina. Dari galur ini kemudian dikembangkan varietas No.27 dan
No.29 yang mampu masak dalam 100-110 hari. Galur kedelai lainnya yang dikenalkan
pada petani seperti Ringgit, Sumbing, Merapi, Shakti, Davros, Orba, Galunggung, Lokon,
Guntur, Wilis, Dempo, Kerinci, Merbabu dan Raring.
Secara teknis meningkatkan produksi kedelai akan terkait dengan pemanfaatan lahan
kering (intensifikasi palawija) dimana masalah prasarana dan teknologi menjadi hal nyata
yang harus dihadapi karena pertanian lahan kering di semua segi belum berkembang jika
dibandingkan dengan pertanian di sawah. Hal lain yang menjadi kendala adalah peralihan
dari teknologi tanaman tunggal ke sistem pola tanam dan usaha tani yang lebih rumit
karena harus mengadopsi teknologi lahan kering.
Setelah mencermati hasil studi sejak tahun 1984 tersebut , kiranya masih tetap relevan
untuk dijadikan pijakan dalam memetakan kendala dan permasalahan sistem komoditi
kedelai dan mampu menghantarkan pemahaman terhadap realita problematika kedelai
yang terjadi saat ini. Ada kesamaan alur pemikiran bahwa problem kelangkaan kedelai
dan mahalnya harga kedelai tidak cukup diatasi secara sporadis dan temporer karena
kompleksitas permasalahannya membutuhkan pula penyelesaian secara sistemik dan
saling terkait dari semua aspek permasalahan yang telah diuraikan diatas. Jadi problem
komoditas kedelai tidak sekedar produksi, produktivitas, ketersediaan lahan, tata niaga
import, pemasaran dan sejenisnya namun secara lebih realistis perlu lebih dalam
menyentuh pula pola perilaku industri besar importir kedelai, industri besar olahan
pangan maupun pakan ternak dari bahan kedelai, pola perilaku petani, dan peran
kelembagaan (pemerintah, BUMN, libang, penyuluh), agar saling memikirkan solusi
terbaik dan solusi jangka panjang guna mewujudkan swasembada kedelai di tahun 2014.