BINAR KURNIA PRAHANI DAN ARIF SETIA BUDI

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dasar Tahun 2014
“Implementasi Kurikulum 2013 dan Problematikanya
Surabaya, 01 November 2014

KETERAMPILAN PENYELESAIAN MASALAH
KOLABORASI (COLLABORATIVE PROBLEM SOLVING)
SISWA SMA
Binar Kurnia Prahani, Arif Setia Budi
binarprahani@gmail.com
Pendidikan Sains, PPs Universitas Negeri Surabaya
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat keterampilan penyelesaian masalah
kolaborasi siswa SMA pada pembelajaran fisika. Keterampilan penyelesaian masalah
kolaborasi siswa menjadi fokus dalam penelitian pendidikan sains saat ini karena
keterampilan tersebut merupakan bagian dari tuntuan kurikulum 2013 dan persaingan
global yang mewajibkan setiap lulusan memiliki keterampilan untuk menyelesaikan
masalah secara kolaborasi. Keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi salah satu
dari keterampilan abad ke-21 yang tidak hanya mengutamakan pengetahuan tetapi juga
harus diimbangi sikap sosial yang akan menjadikan keberhasilan dalam sebuah
kelompok kerja. Penelitian ini dilakukan di salah satu SMA Negeri di Surabaya
semester genap tahun ajaran 2013/2014. Instrumen yang digunakan dalam

pengambilan data adalah observasi, tes, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara umum siswa SMA masih rendah dalam menggunakan keterampilan
penyelesaian masalah kolaborasi, yaitu membangun dan mengelola pemahaman
bersama, mengambil tindakan pendekatan atau strategi untuk menyelesaikan masalah,
dan membangun dan mengelola organisasi tim.
Kata Kunci: Keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi, pembelajaran fisika

Fisika merupakan cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Fisika adalah
jantung dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah
secara mendasar kehidupan manusia. Berdasarkan pandangan global dan historis,
ilmu fisika menyediakan metode lebih dinamis dalam membantu manusia
menyelesaikan masalah kehidupan yang kompleks. Pada kenyataannya ditemukan
banyak siswa belajar fisika tidak tertarik dan tidak memiliki pemahaman setelah
belajar fisika (Prahani, dkk., 2014; David, et al., 2013; Coletta, et al., 2012;
Nieminen, et al., 2010; Benckert & Pettersson, 2008). Tingkat kemampuan
berpikir siswa yang rendah berpengaruh terhadap hasil belajar fisika karena siswa
terbiasa bergantung pada guru selama proses pembelajaran (Ellyst, dkk., 2013;
Thohir, dkk., 2013; Rahmawati, dkk., 2013). Jika ditinjau dari pendapat siswa,
maka pendidik diwajibkan menyajikan pembelajaran fisika bermakna dan
generasi muda tertarik mempelajarinya.

Rendahnya hasil belajar fisika juga ditunjukkan oleh hasil studi Trend in
International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for
International Student Assessment (PISA). Berdasarkan hasil studi TIMSS, ratarata skor literasi sains siswa Indonesia berada di urutan ke-35 dari 49 negara tahun
2007 (Martin, et al., 2008) dan urutan ke-40 dari 40 negara tahun 2011 (Martin, et

Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
64

ISSN 2407-1293

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dasar Tahun 2014
“Implementasi Kurikulum 2013 dan Problematikanya
Surabaya, 01 November 2014
al., 2012). Rendahnya kemampuan siswa-siswa Indonesia di matematika, sains,
dan membaca juga tercermin dalam PISA yang mengukur kecakapan
mengimplementasikan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia
nyata. Indonesia telah ikut serta dalam siklus empat tahunan penilaian tersebut,
yaitu 2003, 2006, 2009, dan 2012 hasilnya Indonesia tergolong dalam level bawah
(OECD, 2013). Hasil studi PISA menggambarkan rendahnya kemampuan siswa

menggunakan pemahaman pengetahuan yang mereka miliki untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi (OECD, 2013). Hasil dari PISA pada umumnya
digunakan untuk menentukan sikap dan kebijakan negara dalam merumuskan
strategi pendidikan. Salah satu kebijakan Kemendikbud dengan mengubah
paradigma pembelajaran melalui model pembelajaran yang menekankan
pentingnya kolaborasi dalam menyelesaikan masalah (collaborative problem
solving) (Kemendikbud, 2013).
Kurikulum dan paradigma pembelajaran di Indonesia telah dikembangkan
dan diimplementasikan dengan mempertimbangkan keterampilan abad ke-21.
Secara global reformasi kurikulum dan pembelajaran telah difokuskan pada
penilaian dan pembelajaran keterampilan abad ke-21 (Griffin, et al., 2011;. NRC,
2011). Keterampilan abad ke-21 termasuk keterampilan berpikir kritis, pemecahan
masalah, manajemen diri, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
keterampilan, komunikasi dan kolaborasi (Binkley, et al., 2011;. OECD 2011).
Collaborative problem solving skills (CPSS) secara tersirat terdapat di
Permendikbud No. 69 Tahun 2013 tentang struktur kurikulum SMA/MA yang
menyebutkan bahwa kompetensi yang harus dicapai melalui pembelajaran fisika
diantaranya adalah keterampilan penyelesaian masalah secara kolaborasi.
Pembelajaran dan penilaian terhadap keterampilan pemecahan masalah
kolaboratif sangat diperlukan dan didorong oleh kebutuhan bagi siswa untuk

mempersiapkan karir yang mewajibkan kemampuan untuk bekerja dalam
kelompok dan menerapkan keterampilan pemecahan masalah yang mereka miliki
dalam situasi sosial sesungguhnya (Brannick & Prince, 1997; Griffin, et al.,
2011;. NRC, 2011; Rimor & Rosen, 2012). Keterampilan komunikasi penting
untuk memfasilitasi kolaborasi dan kinerja sosial mencapai tujuan yang
diharapkan dalam suatu tim (Klein, Derouin, & Salas, 2006; Salas, Cooke, &
Rosen, 2008). Hasil penelitian tersebut mengindikasikan keterampilan pemecahan
masalah kolaboratif sangat perlu dikembangkan dalam pembelajaran fisika secara
khusus sesuai dengan karakter dan kebutuhan siswa di Indonesia agar mereka bisa
bersaing dalam menghadapi persaingan global.
Hasil tinjauan kerangka Penilaian di PISA 2012 (OECD, 2012) sebagian
besar mengulangi definisi kompetensi pemecahan masalah 2003 tetapi
menambahkan elemen afektif, kemampuan seorang individu untuk terlibat dalam
proses kognitif dapat memahami dan mengatasi masalah yang mencakup
kesediaan untuk terlibat dengan situasi tersebut dan mencapai potensi seseorang
sebagai warga konstruktif dan reflektif. Collaborative Problem Solving Skills dari
PISA 2015 terindikasi dari penambahan dan penekanan aspek kolaborasi dari
domain pemecahan masalah. Pada rancangan kerangka PISA 2015, keterampilan
penyelesaian masalah kolaborasi adalah kapasitas individu untuk efektif terlibat
dalam proses di mana dua atau lebih siswa mencoba untuk memecahkan masalah


Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
65

ISSN 2407-1293

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dasar Tahun 2014
“Implementasi Kurikulum 2013 dan Problematikanya
Surabaya, 01 November 2014
dengan berbagi pemahaman dan upaya yang diperlukan untuk menghasilkan
solusi dan penyatuan pengetahuan mereka, keterampilan sosial untuk mencapai
pemecahan masalah yang mereka hadapi (OECD, 2013).
Sejalan dengan rancangan kerangka PISA 2015 (OECD, 2013) para ahli
seperti Griffin, McGaw, & Care, 2011; Morgan, Salas, & Glickman, 1993; O'Neil,
Chuang, & Chung, 2003, telah mengungkapkan bahwa kolaborasi dan pemecahan
masalah dapat diintegrasikan namun berbeda dimensi. Artinya, untuk pemecahan
masalah pada proses kognitif di PISA 2012 masih akan disertakan sedangkan
penilaian baru yaitu keterampilan sosial dan kolaboratif (Greiff, 2012), akan
ditambahkan di PISA 2015 (OECD, 2013). Pemahaman kolaborasi pemecahan

masalah dalam penilaian dan pembelajaran keterampilan abad ke-21 (Griffin et
al., 2011) merupakan titik awal yang wajar, karena hasil empiris dari keterampilan
tersebut pada prinsipnya dapat diakses pengukurannya (Griffin, 2012).
Kolaborasi merupakan proses partisipasi beberapa orang atau kelompok
yang berkoordinasi dan bekerja sama secara bersama merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi program-program untuk mencapai tujuan
bersama (Diellenbourg, 1999; Omari & Oliver, 2001; Burns, et al.; 2014; Jones &
Vall, 2014; Jowkar & Kamalifar; 2014). Interaksi sosial dalam keterampilan
kolaborasi merupakan komponen penting. Keterampilan kolaborasi dapat dinilai
pada individu, kelompok, atau tingkat organisasi (Campbell, 1968; Dillenbourg,
1999; Fiore et al., 2010; Stahl, 2006) dan kelebihan dari kegiatan kolaborasi
menunjukkan keterampilan pemecahan masalah lebih baik dibandingkan dengan
individu (Aronson & Patnoe, 1997; Dillenbourg, 1999; Schwartz, 1995).
Keterampilan pemecahan masalah kolaborasi memungkinkan mekanisme
kompleks dari kolaborasi yang menggabungkan komponen kognitif proses dan
keterampilan sosial dalam pemecahan masalah. Komponen kognitif pemecahan
masalah secara individu, yaitu 1) Ekplorasi dan pemahaman; 2) Representasi dan
merumuskan isi/masalah; 3) Merencanakan dan menerapkan strategi pemecahan
masalah; dan 4) menerapkan pengaturan diri dan proses metakognisi untuk
memonitor proses mencapai tujuan/penyelesaian masalah (Jakel & Schreiber,

2013; Funke, 2010; O'Neil, 1999; OECD, 2013). Pembelajaran pemecahan
masalah kolaborasi mengintegrasikan keterampilan kognitif dan sosial dalam
penyelesaian masalah. Siswa membutuhkan keterampilan sosial untuk
menciptakan pendekatan yang dapat memahami tim dan untuk melakukan
tindakan pemecahan masalah secara kolaborasi (Dillenbourg, 1999; Fiore et al.,
2010; OECD, 2013).
Hasil penelitian yang berkelanjutan oleh PISA (2003, 2009, 2012) mengenai
pemecahan masalah dan mendapatkan hasil-hasil baru kemudian dikembangkan
penilaian collaborative problem solving PISA 2015 yang secara khusus menilai
keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi. Keterampilan penyelesaian
masalah kolaborasi ini dihasilkan dari kombinasi proses kolaborasi dan
penyelesaian masalah secara individu, keterampilan ini memiki tiga kompetensi
inti, yaitu: 1) Membangun dan mempertahankan pemahaman bersama; 2)
Mengambil pendekatan tindakan untuk memecahkan masalah; dan 3) Membangun
dan mempertahankan organisasi tim (OECD, 2013).

Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
66


ISSN 2407-1293

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dasar Tahun 2014
“Implementasi Kurikulum 2013 dan Problematikanya
Surabaya, 01 November 2014
Pembelajaran fisika diperlukan keterampilan membangun dan
mempertahankan pemahaman bersama dalam mengembangkan collaborative
problem solving skills (CPSS). Siswa harus memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi identitas pengetahuan bersama, untuk mengidentifikasi
perspektif siswa lain pada proses kolaborasi, dan untuk membangun visi bersama
dari permasalahan dan kegiatan (Bowers&Salas, 2001; Dillenbourg, 1999;
Dillenbourg & Traum, 2006; Fiore & Schooler, 2004). Ini termasuk kemampuan
siswa untuk memantau bagaimana kemampuan mereka, pengetahuan, dan
perspektif berinteraksi dengan orang dengan lain dan dalam hubungannya dengan
tugas. Teori pengolahan wacana telah menunjukkan pentingnya membangun
landasan bersama agar komunikasi berhasil tercapai (Clark, 1996, Clark &
Brennan, 2001), jadi keterampilan ini sangat penting untuk mengembangkan
collaborative problem solving skills (CPSS).
Pada pembelajaran fisika di tingkat SMA menuntut keterampilan
mengambil pendekatan tindakan untuk memecahkan masalah siswa harus dapat

dikuasai untuk mengidentifikasi identitas jenis kegiatan collaborative problem
solving (CPS) diperlukan untuk memecahkan masalah dan mengikuti langkahlangkah yang direncanakan untuk memperoleh solusi. Hasil penelitian
menunjukan kendala dan aturan keterlibatan model mental untuk
merepresentasikan dengan berbagai mode (Multiple representation) untuk
berbagai kegiatan CPS, dimana individu memiliki pengetahuan yang berbeda
perlu dikumpulkan (Patnoe & Aronson, 1997), kerja kolaboratif (Rosen & Rimor,
2009), dan perdebatan argumen dalam pengambilan keputusan (Stewart, Setlock,
& Fussell, 2007). Keterampilan pada domain ketiga adalah membangun dan
mempertahankan organisasi tim sangat diperlukan karena sebuah tim tidak bisa
berfungsi tanpa pengorganisasian efektif, beradaptasi dalam kelompok dan
struktur untuk pemecahan masalah, memberikan umpan balik dan merefleksikan
keberhasilan organisasi kelompok dalam memecahkan masalah (OECD, 2013).
Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya upaya lanjutan untuk
pengembangan keterampilan pemecahan masalah kolaborasi siswa SMA.
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah melihat kemampuan awal siswa SMA
dalam keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi. Kemampuan awal diukur
dan diamati menggunakan instrumen yang telah dikembangkan oleh peneliti
dengan mengadopsi dari PISA. Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai langkah awal dalam menentukan strategi yang tepat untuk
mengembangkan keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi siswa SMA.

METODE
Sampel penelitian ini adalah 32 siswa SMA Negeri 19 Surabaya.
Pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling. Pengumpulan data
keterampilan pemecahan masalah kolaborasi menggunakan teknik tes dan
observasi. Instrumen pada Tabel 1 dan 2 ini dikembangkan hasil studi literatur
oleh PISA (OECD, 2013), model kerja sama CRESST (O’Neil, et al., 2003,
2010), Model kerja sama dari Salas dan Colleagues (Fiore et al., 2008, 2010;
Salas et al, 1992, 2008) and ATC21s (Griffin et al., 2011).

Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
67

ISSN 2407-1293

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dasar Tahun 2014
“Implementasi Kurikulum 2013 dan Problematikanya
Surabaya, 01 November 2014
Tabel 1 Kompetensi inti keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi.
(1) Establishing

maintaining
understanding

Core Competencies of Collaborative Problem Solving Skills
and (2) Taking
appropriate (3) Establishing
shared
action to solve the
maintaining
problem
organisation

(A1) Discovering perspectives
and abilities of team
members.
(B1) Building a shared
representation and
negotiating the meaning
of the problem (common
ground).
(C1) Communicating with
team members about the
actions to be/ being
performed.
(D1) Monitoring and
repairing the shared
understanding.

(A2) Discovering the type
of collaborative
interaction to solve
the problem, along
with goals.
(B2) Identifying and
describing tasks to
be completed .
(C2) Enacting plans.

(D2) Monitoring results of
actions and
evaluating success
in solving the
problem.

and
team

(A3) Understanding roles to
solve problem.

(B3) Describe roles and team
organisation
(communication
protocol/rules of
engagement).
(C3) Following rules of
engagement, (e.g.,
prompting other team
members to perform
their tasks).
(D3) Monitoring, providing
feedback and adapting
the team organisation
and roles.

Tabel 2 Rubrik kecakapan keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi.
Proficiency Collaborative Problem Solving Skills (Score)
Low (0)
Medium (1)
High (2)
x The student responds to or x The student responds to
x The student responds to
generates information that
most
requests
for
requests for information and
has little relevance to the
information
and
prompts for action, and
task.
prompts for action, and
selects actions that contribute
generally
selects
to achieving group goals.
x The student contributes when
actions that contribute
explicitly
or
repeatedly
x The student also proactively
to achieving group
prompted, yet the student’s
takes the initiative in
goals.
actions contribute minimally
requesting information from
to achieving group goals (e.g. x The student participates
others, initiates unprompted
they may pursue random or
in assigned roles and
actions,
and
effectively
irrelevant actions).
contributes
to
the
responds
to
conflicts,
overall strategies for
changes in the problem
x The student’s actions or
solving the problem,
situation, and new obstacles
communications seldom help
and
on
occasion
to goals.
the team to resolve potential
initiates actions.
obstacles.
x The student acts as a
x The student is a good
responsible team member
team member, but does
when the situation requires
not always proactively
and proactively takes the
take the initiative to
initiative to solve difficult
overcome
difficult
barriers in collaboration.
barriers
in
collaboration.

Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
68

ISSN 2407-1293

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dasar Tahun 2014
“Implementasi Kurikulum 2013 dan Problematikanya
Surabaya, 01 November 2014

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kemampuan awal keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi siswa
SMA pada topik kalor ditunjukkan pada Tabel 3, 4, dan 5. Pada Tabel 3
menyajikan komposisi kecakapan salah satu kompetensi inti dari keterampilan
penyelesaian masalah kolaborasi yaitu membangun dan mempertahankan
pemahaman bersama. Pada aktivitas discovering perspectives and abilities of team
members hanya 5 siswa (15,63 %) kategori tinggi dan sedang, sebanyak 22 siswa
(68,75 %) rendah. Pada aktivitas building a shared representation and negotiating
the meaning of the problem hanya 2 siswa (6,25 %) kategori tinggi dan 5 siswa
(15,63 %) sedang, sebanyak 25 siswa (78,13 %) rendah. Pada aktivitas
communicating with team members about the actions to be/ being performed
hanya 3 siswa (9,38 %) kategori tinggi dan 4 siswa (12,50 %) sedang, sebanyak
22 siswa (68,75 %) rendah. Pada aktivitas monitoring and repairing the shared
understanding hanya 2 siswa (6,25 %) kategori tinggi dan 4 siswa (12,50 %)
sedang, sebanyak 26 siswa (81,25 %) rendah. Berdasarkan data tersebut secara
umum kecapakan membangun dan mempertahankan pemahaman bersama masih
rendah yaitu 76,56 % siswa dalam kategori rendah, 14,06 % siswa kategori
sedang, dan hanya 9,38 % siswa berkategori tinggi.
Tabel 3 Komposisi kecapakan membangun dan mempertahankan pemahaman
bersama
Kecapakan (Skor)

Jumlah siswa (Persentase)
(A1)

(B1)

(C1)

(D1)

High (2)

5 (15,63 %)

2 (6,25 %)

3 (9,38 %)

2 (6,25 %)

Medium (1)

5 (15,63 %)

5 (15,63 %)

4 (12,50 %)

4 (12,50 %)

Low(0)

22 (68,75 %)

25 (78,13 %)

25 (78,13 %)

26 (81,25 %)

Keterangan:

(A1) Discovering perspectives and abilities of team members.
(B1) Building a shared representation and negotiating the meaning of the problem.
(C1) Communicating with team members about the actions to be/ being performed.
(D1) Monitoring and repairing the shared understanding.

Pada Tabel 4 menyajikan komposisi kecakapan salah satu kompetensi inti
dari keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi yaitu mengambil pendekatan
tindakan untuk memecahkan masalah. Pada aktivitas discovering the type of
collaborative interaction to solve the problem, along with goals hanya 4 (12,50
%) kategori tinggi dan 6 siswa (18,75 %) sedang, sebanyak 22 siswa (68,75 %)
rendah. Pada aktivitas identifying and describing tasks to be completed hanya 3
(9,38 %) kategori tinggi dan 5 siswa (15,63 %) sedang, sebanyak 23 siswa (71,88

Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
69

ISSN 2407-1293

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dasar Tahun 2014
“Implementasi Kurikulum 2013 dan Problematikanya
Surabaya, 01 November 2014
%) rendah, Pada aktivitas enacting plans hanya 4 siswa (12,50 %) kategori tinggi
dan sedang, sebanyak 24 siswa (75,00 %) rendah. Pada aktivitas monitoring
results of actions and evaluating success in solving the problem hanya 4 siswa
(12,50 %) kategori tinggi dan 5 siswa (15,63 %) sedang, sebanyak 23 siswa
(71,88 %) rendah. Berdasarkan data tersebut secara umum kecapakan mengambil
pendekatan tindakan untuk memecahkan masalah masih rendah yaitu 72,45 %
siswa dalam kategori rendah, 15,75 % siswa kategori sedang, dan hanya 11,79 %
siswa berkategori tinggi.
Tabel 4

Komposisi kecapakan mengambil pendekatan tindakan untuk
memecahkan masalah

Kecapakan (Skor)

Jumlah siswa (Persentase)
(A1)

(B1)

(C1)

(D1)

High (2)

4 (12,50 %)

3 (9,38 %)

4 (12,50 %)

4 (12,50 %)

Medium (1)

6 (18,75 %)

5 (15,63 %)

4 (12,50 %)

5 (15,63 %)

Low(0)

22 (68,75 %)

23 (71,88 %)

24 (75,00 %)

23 (71,88 %)

Keterangan:
(A2) Discovering the type of collaborative interaction to solve the problem, along with goals.
(B2) Identifying and describing tasks to be completed.
(C2) Enacting plans.
(D2) Monitoring results of actions and evaluating success in solving the problem.
Tabel 5

Komposisi kecapakan membangun dan mempertahankan organisasi tim

Kecapakan (Skor)

Jumlah siswa (Persentase)
(A1)

(B1)

(C1)

(D1)

High (2)

4 (12,50 %)

4 (12,50 %)

4 (12,50 %)

3 (9,38 %)

Medium (1)

7 (21,88 %)

5 (15,63 %)

5 (15,63 %)

4 (12,50 %)

Low(0)

21 (65,63 %)

23 (71,88 %)

23 (71,88 %)

25 (78,13 %)

Keterangan:
(A3) Understanding roles to solve problem.
(B3) Describe roles and team organisation (communication protocol/rules of engagement).
(C3) Following rules of engagement. (e.g.. prompting other team members to perform their tasks).
(D3) Monitoring. providing feedback and adapting the team organisation and roles.

Pada Tabel 5 menyajikan komposisi kecakapan salah satu kompetensi inti
dari keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi yaitu membangun dan
mempertahankan organisasi tim. Pada aktivitas understanding roles to solve

Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
70

ISSN 2407-1293

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dasar Tahun 2014
“Implementasi Kurikulum 2013 dan Problematikanya
Surabaya, 01 November 2014
problem hanya 4 siswa (12,50 %) kategori tinggi dan 7 siswa (21,88 %) sedang,
sebanyak 21 siswa (65,63 %) rendah. Pada aktivitas describe roles and team
organisation hanya 4 siswa (12,50 %) kategori tinggi dan 5 siswa (15,63 %)
sedang, sebanyak 23 siswa (71,88 %) rendah. Pada aktivitas following rules of
engagement hanya 4 siswa (12,50 %) kategori tinggi dan 5 siswa (15,63 %)
sedang, sebanyak 23 siswa (71,88 %) rendah. Pada aktivitas monitoring,
providing feedback and adapting the team organisation and roles hanya 3 siswa
(9,38 %) kategori tinggi dan 4 siswa (12,50 %) sedang, sebanyak 25 siswa (78,13
%) rendah. Berdasarkan data tersebut secara umum kecakapan membangun dan
mempertahankan organisasi tim masih rendah yaitu 71,88 % siswa dalam kategori
rendah, 16,41 % siswa kategori sedang, dan hanya 11,72 % siswa berkategori
tinggi.
Hasil wawancara dan observasi menunjukkan, bahwa 1) Keterbatasan
waktu guru mata pelajaran fisika mengembangkan model pembelajaran yang
menekankan kolaborasi dalam penyelesaian masalah; (2) Siswa kesulitan
menggunakan kemampuan multi representasi fisika dalam penyelesaian masalah;
dan (3) Siswa kesulitan menyelesaikan masalah secara individu. Hal tersebut
mengindikasikan diperlukan model pembelajaran yang menekankan kolaborasi
dalam penyelesaian masalah yang sesuai dengan siswa di Indonesia.
SIMPULAN
Keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi merupakan sesuatu yang
esensial dalam pembelajaran fisika dan lebih luas lagi akan bermanfaat ketika
siswa melanjutkan studi di perguruan tinggi atau langsung bekerja dan hidup di
masyarakat. Keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi ini dihasilkan dari
kombinasi proses kolaborasi dan penyelesaian masalah secara individu,
keterampilan ini memiki tiga kompetensi inti, yaitu: 1) Membangun dan
mempertahankan pemahaman bersama; 2) Mengambil pendekatan tindakan untuk
memecahkan masalah; dan 3) Membangun dan mempertahankan organisasi tim,
Studi awal keterampilan penyelesaian masalah kolaborasi siswa SMA pada topik
kalor menunjukkan hasil yang rendah. Melihat aspek penting dari keterampilan
penyelesaian masalah kolaborasi sebagai tuntutan dari kurikulum 2013 dan salah
satu modal untuk menghadapi persaingan dunia maka perlu adanya tindakan lebih
lanjut untuk mengembangkan keterampilan tersebut dalam proses pembelajaran.
Tindakan tersebut diantaranya melalui penerapan strategi, model, dan metode
pembelajaran yang tepat.

Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
71

ISSN 2407-1293

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dasar Tahun 2014
“Implementasi Kurikulum 2013 dan Problematikanya
Surabaya, 01 November 2014

DAFTAR PUSTAKA
Benckert dan Pettersson. (2008). “Learning physics in small-group discussionsthere examples”. Eurasia journal of matematics, science, and technology
education. Vol.2 No.1. pp. 121-134.
Binkley. M., Erstad. O, Herman. J. Raizen, S., Ripley. M, Rumble. M, (2011),
Defining 21st Century Skills, In P, Griffin, B. McGaw, & E. Care (Eds.),

Assessment and teaching 21st century skills. Heidelberg: Springer.
Clark. H. H. (1996). Using language. Cambridge: Cambridge University Press.
Clark. H. H., & Brennan. S. E. (1991). Grounding in communication. In L. B.
Resnick. J. M. Levine. & S. D. Teasley (Eds.). Perspectives on socially
shared cognition (pp. 127-149). Washington. DC: American Psychological
Association.
Coletta. V. P, Phillips. J. A, and Steinert. J. (2012). “FCI normalized gain,
scientific reasoning ability, thinking in physics, and gender effects” Present
at AIP Conf, Proc. LA. 2012.
David. M. J, Christophe. D. J, Norma. A. J. (2013). “The effect of representations
on difficulty perception and learning of the physical concept of pressure”.
Themes in science and technology education. Vol.6 No.2. pp. 91-108.
Dillenbourg. P. (1999). Collaborative learning: Cognitive and computational
approaches. Advances in Learning and Instruction Series. New York. NY:
Elsevier Science. Inc
Dillenbourg. P. (1999). What do you mean by ‘collaborative learning? In P.
Dillenbourg (Ed.). Collaborative-learning: Cognitive and Computational
Approaches (pp.1–19). Oxford: Elsevier.
Dillenbourg. P., & Traum. D. (2006). Sharing solutions: Persistence and
grounding in multi-modal collaborative problem solving. The Journal of the
Learning Sciences. 15. 121-151.
Ellyst. R., Raharjo, Prabowo. (2013). Pengaruh penerapan model pembelajaran
berdasarkan masalah terhadap penguasaan konsep fisika fluida statis dan
kemampuan berpikir kritis siswa. Jurnal Penelitan Pendidikan Sains
(JPPS). Vol.1 No.2. pp. 1-5.
Fiore. S. M., & Schooler. J. W. (2004). Process mapping and shared cognition:
Teamwork and the development of shared problem models. In E.Salas & S.
M. Fiore (Eds.). Team cognition: Understanding the factors that drive
process and performance (pp. 133–152). Washington. DC: American
Psychological Association.
Fiore. S., Rosen. M., Smith-Jentsch. K., Salas. E., Letsky. M, & Warner. N.
(2010). Toward an understanding of macrocognition in teams: Predicting
process in complex collaborative contexts. The Journal of the Human
Factors and Ergonomics Society. 53. 203-224.
Funke. J. (2010). Complex problem solving: A case for complex cognition?
Cognitive Processes. 11. 133-142.
Griffin. P., Care. E., & McGaw (2011). The changing role of education and
schools. In P. Griffin. B, McGaw. & E. Care (Eds.). Assessment and
teaching 21st century skills. Heidelberg: Springer.

Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
72

ISSN 2407-1293

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dasar Tahun 2014
“Implementasi Kurikulum 2013 dan Problematikanya
Surabaya, 01 November 2014
Griffin. P., McGaw. B, & Care. E. (2011). Assessment and teaching 21st century
skills. Heidelberg: Springer.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Modul Pelatihan
Implementaasi Kurikulum (2013). Jakarta: Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu
Pendidikan.
Klein. C., DeRouin. R. E., & Salas. E. (2006). Uncovering workplace
interpersonal skills: A review. Framework. and research agenda. In G. P.
Hodgkinson & J. K. Ford. International review of industrial and
organizorganisational psychology (Vol. 21. pp. 80-126).
National Research Council (2011). Assessing 21st century skills. Washington. DC:
National Academies Press.
National Research Council (2011). A Framework for K-12 science education:
Practices. crosscutting concepts. and core ideas. Washington. DC: The
National Academies Press.
Nieminen. P. Savinainen. A. and Viiri. J. (2010). “Force concept inventory based
multiple-choice test for investigating students' representational consistency”.
Physical review special topics-Physics education research. Vol.6 No.2.
OECD (2011) The OECD guide to measuring the information society.
OECD (2010) New Millennium Learners Project: Challenging our Views on ICT
and Learning.
OECD (2010) PISA 2012 Field Trial Problem Solving Framework.
OECD (2009) Problem Solving in Technology-Rich Environments: A conceptual
Framework. OECD Education Working Paper No. 36.
OECD (2003) The PISA 2003 Assessment Framework: Mathematics. Reading.
Science and Problem Solving Knowledge and Skills. Accessed 2012-09-30
O’Neil. H. F., Chuang. S., & Chung. G. K. W. K. (2003). Issues in the computerbased assessment of collaborative problem solving. Assessment in
Education. 10. 361-373.
Prahani. K. B.. Soegimin. W. W., Yuanita. L. (2014). Pengembangan perangkat
pembelajaran fisika model inkuiri terbimbing untuk melatihkan kemampuan
multi representasi siswa SMA. (Tesis Magister Pendidikan Tidak
dipublikasikan). Pasca Sarjana UNESA.
Rahmawati, Widodo, W., Prabowo. (2013). Pengaruh penerapan model
pembelajaran berdasarkan masalah terhadap penguasaan konsep fisika
fluida statis dan kemampuan berpikir kritis siswa. Jurnal Penelitan
Pendidikan Sains (JPPS). Vol.1 No.2. pp. 12-17.
Rosen. Y, & Rimor, R. (2009). Using collaborative database to enhance students’
knowledge construction.Interdisciplinary Journal of E-Learning and
Learning Objects. 5. 187-195.
Stewart. C. O., Setlock. L. D., and Fussell. S. R. (2007). Conversational
argumentation in decision-making: Chinese and U.S. participants in face-toface and instant-messaging interactions. Discourse Processes. 44. 113-139.
Salas. E.,Cooke. N.J., & Rosen, M. A.(2008). On teams. teamwork. and team
performance: discoveries and developments. Human Factors. 50. 540-548.

Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
73

ISSN 2407-1293

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dasar Tahun 2014
“Implementasi Kurikulum 2013 dan Problematikanya
Surabaya, 01 November 2014
Thohir. A. M., Wasis, Soegimin. W. W, (2013). Peningkatan keterampilan
berpikir kritis melalui pembelajaran metode penemuan terbimbing dalam
upaya remediasi miskonsepsi materi listrik dinamis. Jurnal Penelitan
Pendidikan Sains (JPPS). Vol.1 No.2. pp. 6-11.

Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
74

ISSN 2407-1293