Dinamika Pengakuan Hak Masyarakat Adat d

Dinamika Pengakuan Hak Masyarakat Adat dalam Jeratan Warisan

Hukum Kolonial dan Perubahan Sosial 1

Oleh:

R. Yando Zakaria 2

1. Latar Belakang

Meski konstitusi RI mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak asal- asulnya, kecuali yang tercantum pada UU Pokok Agraria 1960, yang terjadi pada masa-masa berikutnya adalah justru pengingkaran dan/atau pelanggaran

terhadap hak masyarakat adat (hukum) itu. 3 Pelanggaran itu semakin masif pada masa Orde Baru. Bahkan sebuah Peraturan Pemerintah (tentang hak pengusahaan hutan) pun pernah mampu membatalkan pengakuan hak

masyarakat adat yang dijamin oleh konstitusi itu! (Zakaria, 2000). 4 Reformasi 1998 membawa angin perubahan bagi pengakuan hak masyarakat

adat. Sebagaimana telah disinggung, pada tahun 2000, lahir Pasal 18B ayat (2) dan dua pasal lain yang memperkuat pengakuan hak masyarakat adat pada tingkat konstitusi. Selepas itu, ada pula 5 Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pengakuan itu. Termasuk penegasan pengakuan hak masyarakat adat atas tanah (termasuk hutan), sebagaimana yang terkandung dalam

1 Tulisan ini disusun berdasarkan laporan kajian lapangan yang dilakukan oleh Riche Dewinta (KKI WARSI) dan Auviar R. Wicaksanti untuk studi kasus di Solok Selatan, Sumatera Barat;

Delima Silalahi (KSPPM) dan Muki Wicaksono untuk studi kasus di Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara; dan kajian lapangan yang dilakukan oleh penulis sendiri untuk kasus di Maluku Tenggara Barat, Maluku. Dua kegiatan studi kasus pertama dikoordinasikan oleh Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial atas dukungan dana dari UKCCU. Sedangkan studi kasus ketiga dimungkinkan oleh keterlibatan penulis dalam inisiatif percepatan capaian program perhutanan sosial yang dilakukan oleh Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Meski begitu, padangan yang ada dalam tulisan ini menjadi tanggungjawab penulisan pribadi. Pertama kali disampaikan di hadapan publik saat diskusi yang diselenggarakan Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, Jakarta, 17 Mei 2018.

2 Antropolog, Pendiri dan Peneliti Pusat Kajian Etnografi Hak Komunitas Adat (PUSTAKA). 3 Lihat UUD 1945 Pasal 18 (sebelum amandemen) dan Pasal 18B ayat (2) (setelah amandemen).

Di dalam dua pasal ini kita menemukan terma ‘masyarakat hukum adat’. Selain itu, pada Pasal 28i ayat (3) kita akan menemukan terma ‘masyarakat tradisional’. Dengan alasan yang akan dijelaskan dalam bagian lain, tulisan ini untuk seterusnya akan menggunakan terma masyarakat adat sebagaimana yang dimaksudkan oleh RUU dimaksud.

4 Bagaimana wujud dampak pengikaran hak masyarakat itu, antara lain, dapat dilihat dalam R. Yando Zakaria, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru.

Jakarta:Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Putusan MK 35/2012, yang tentu saja membawa perubahan yang positif bagi kemajuan pengakuan hak masyarakat adat ke depan (Zakaria, 2012 & 2014). 5

Melanjutkan kecenderungan positif itu, pasca-reformasi, setidaknya ada sekitar

33 (tigapuluh tiga) peraturan perundangan-undangan setingkat undang-undang yang terkait dengan soal pengaturan lebih lanjut tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat ini, meski hampir seluruhnya tidak memiliki pengaturan lebih lanjut bagaimana pengakuan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan ini akan direalisasikan di tingkat lapangan (lihat Lampiran).

Di samping itu, s aat ini setidaknya tersedia pula lima perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk memperoleh pengakuan

hak-hak masyarakat (hukum) adat secara hukum. 6

Di tingkat daerah, sebagaimana yang dilaporkan Arizona (2015b), 7 hingga tengah tahun 2015 lalu, ada sekitar 90 produk hukum daerah dan/atau kegiatan advokasi hukum daerah dalam jumlah yang hampir sama. 8 Produk-produk hukum

daerah

dimaksud

dengan upaya (1) pengembangan/penguatan lembaga adat; 9 (2) pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat; 10 (3) pengakuan terhadap keberadaan suatu

berkaitan

5 Lihat R. Yando Zakaria, 2012. “Makna Amandemen Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 bagi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia". Paper for National Conference and

Dialog in Commemorating A Decade of 1945 Constitution Amandment on “Negara Hukum ke Mana Akan Melangkah?”. Jakarta, Oktober 9-10, 2012; dan 2014. “Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan Potensi Implikasinya Terhadap Perebutan Sumber Daya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor 35/PUU-X/@101: Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur”, dalam Jurnal WACANA Nomor 33, Tahun XVI, 2014. Yogyakarta; INSIST Press.

6 Masing-masing adalah, (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat; dan (3) Perturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; (4) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak; dan (3) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

7 Yance Arizona, 2015b. Sebagaimana dapat diakses pada https://www.facebook.com/yance.arizona/posts/10207450108040211?comment_id=1020745

6706605171¬if_t=mentions_comment 8 Lihat juga http://kabar24.bisnis.com/read/20150826/16/465904/masyarakat-adat-produk-

hukum-banyak.-hak-tradisional-belum-terjamin 9 Seperti Perda Kabupaten Nunukan Nomor 34 tahun 2003 tentang Pemberdayaan, Pelestarian,

Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat dalam wilayah Kabupaten Nunukan, misalnya.

10 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Baduy. Sebenarnya, tanpa perda ini tanah/ulayat Baduy tidak terancam/tetap

dikuasi secara efektif. Saat ini Orang Baduy sdh menguasai tanah di luar wilayah adatnya dua kali lipat dari luas ulayatnya (5000 ha). Komunikasi pribadi dengan peneliti LIPI yang sedang melakukan penelitian tentang masalah/topik dimaksud (2015).

masyarakat hukum adat; 11 dan (4) pengakuan sebagai unit pemerintahan. 12 Menurut catatan terakhir, sebagaimana yang ditunjukkan grafik berikut, jumlah regulasi di tingkat daerah itu hampir mencapai angka 200 kasus. 13

Graphs 1. Trend of Indonesia's regional legisla5on products on recogni5on of adat peoples in the period of 1979-2016

40 number of regional legislaAon products

0 6 1979-1998 A,er the Law No.

AdministraAon (Suharto 5/1979 on Village

1999-2013 a,er the Law No.

Autonomy and the Law No. 22/1999 on Regional

2013-2016 A,er the Ruling of

MK35

regime)

32/ 2004 on Local Government

Source: Arizona et al, Epistema InsAtute, 2015 (updated in 2016).

Meski begitu, sebagaimana dapat dilihat dalam diagram berikut, jumlah luas hutan adat yang sudah resmi diakui belum lagi mencapai 25.000 ha. 14 Padahal, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengklaim bahwa sekurang- kurangnya ada 40 juta ha dari sekitar 140 juta ha luas total kawasan hutan di

Indonesia sejatinya adalah hutan adat. 15

11 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 2 Tahun 2006 tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih; dan (Rencana) Peraturan Daerah Propinsi Sulawes Selatan

tentang Amatoa Kajang.

12 Secara teoritik, pada kebijakan untuk kelompok yang pertama, penguatan lembaga adat, ada di seluruh kabupaten. Tanpa peraturan daerah tentang kelembagaan adat ini pemerintah

daerah yang bersangkutan tidak bisa melakukan pembinaan kepada lembaga-lembaga ada yang memang diwajibkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Penulis menemukan ada 4 perda sejenis di Kutai Barat (lihat Zakaria, 2014). Oleh sebab itu, pada dasarnya perda ini tidak terkait pada advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat karena menjadi bagian dari mandat kebijakan terkait ‘pemerintahan desa’ sebelum dan sesudah reformasi. Kebijakan tentang kelembagaan adat ini sudah ada sejak zaman Orde Baru cq. UU 5 Tahun 1979. Sebagaimana pernah diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan- Kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat Daerah. Kebijakan ini efektif meredam dan/atau menaklukan kekuatan adat. Lebaga-lembaga adat senang karena merasa mulai diperhatikan. Namun juga terjadi kerancuan kelembagaan di tingkat komunitas: ada kelembagaan adat yang dibentuk pemerintah yang bertingkat dari desa hingga nasional da nada lebaga-lembaga adat yang asli seperti KAN (Sumbar) dan Desa Pekraman (Bali). Saat ini juga terjadi persaingan antara Dewan Adat Papua (yang terbentuk atas dasat UU Otonomi Khusus Papua) dan Lembaga Masyarakat Adat yang berdasarkan kebijakan kemendagri yang lama, meski kedua-duanya adalah bentukan (atas dasar kebijakan) negara.

13 Malik, Arizona dan Muhajir, 2015. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah mengenai Masyarakat Adat”. Policy Brief Epistema Institute Vol. 1.

14 Dicuplik dari bahan presentasi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2018. ……… 15 Yang dimaksud hutan adat adalah adalah ‘hutan yang ditetapkan Pemerintah berdasarkan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berada di dalam tanah

Mengapa daya ubah pembaruan hukum yang terkait pengakuan hak masyarakat adat itu, utamanya yang berkaitan dengan pengakuan hutan adat, masih begitu rendah? Bahkan, menurut Zakaria (2015), keberadaan berbagai kebijakan itu

justru punya potensi ‘membunuh masyarakat adat’? 16

Dalam tulisan yang lain, Zakaria (2016) menyatakan bahwa lemahnya daya ubah dari kebijakan-kebijakan dimaksud terjadi karena gagalnya para perumus kebijakan memahami fakta-fakta empiris di tingkat lapangan tentang apa yang

disebut sebagai masyarakat adat itu sendiri. 17 Para pihak, baik para perumus kebijakan, para ahli, dan bahkan juga kalangan pegiat masyarakat sipil yang membela kepentingan masyarakat adat, terjebak pada perdebatan soal pendefenisian – dan juga kondisionalitas yang digunakan dalam pengakuan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat itu – yang berkepanjangan dan nyaris kontra produktif. Demikian pula, para pihak itu juga terseret pada arus pandangan yang melihat fenomena keberadaan masyarakat adat itu sebagai entitas politik semata, sebagaimana yang telah terjadi pada masa kolonial tempo hari. Sehingga abai terhadap dimensi-dimensi keperdataan yang juga melekat pada beberapa susunan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat yang memang tidak tunggal itu. Akibatnya muncul logika hukum yang keliru, dalam arti tidak sesuai dengan realitas sosio-antropologi dari apa yang disebut adat itu. Dengan kata lain, ke depan, muncul suatu kebutuhan akan

ulayat/wilayah adat suatu masyarakat adat’. Dalam konteks sistem tata ruang menurut adat dari masyarakat adat yang bersangkutan wilayah yang ditetapkan sebagai ‘hutan adat’ itu bisa saja terwujud ke dalam penggunaan lain.

16 R. Yando Zakaria, 2015. “Too Much Law Will Kill You! Dinamika Pembaruan Hukum Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat Pasca-Reformasi”. Makalah yang dipersiapkan untuk

Konferensi ke 5 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Surakarta, 14 – 15 November 2015. 17 Lihat R. Yando Zakaria, 2016. “Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat

(Hukum) Adat: Sebuah pendekatan sosiologi-antropologis”, in Jurnal Bhumi, Volume 2 No. 2, November 2016.

suatu pendekatan alternatif yang lebih sesuai dengan realitas sosio- antropologis itu. 18

2. Dinamika sosial pasca-pengakuan hutan adat

Dalam rangka mempercepat pengakuan hak masyarakat adat di kawasan hutan, dan pemerataan akses masyarakat pada umumnya kepada sumberdaya hutan, pemerintah telah mencanangkan program reforma agraria dan perhutanan

sosial. 19 Mengiringi kebijakan itu, pada tanggal 25 Oktober 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menandatangani Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan

Sosial. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, perhutanan sosial didifenisikan sebagai “sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan” .20

Terkait dengan kebijakan ini, pada akhir tahun 2016 lalu, Presiden Jokowi telah menyerahkan 9 (sembilan) Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan tentang Penetapan Hutan Adat. 21 Salah satunya adalah tombak haminjon (hutan kemenyan) di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, seluas 5.172 hektar, yang disebut sebagai bagian dari ‘hutan adat

masyarakat adat Pandumaan – Sipituhuta’. 22

Meski begitu, menurut informasi dari berbagai pihak, penyelesaian sengketa atas tombak haminjon itu masih menyisakan sejumlah permasalahan yang perlu diselesaikan dahulu, sebelum peraturan daerah tentang penetapan ‘Masyarakat

18 Zakaria, ibid. 19 Lihat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. 20 Dalam pegaturan lebih lanjut disebutkan pula bahwa pelaksanaan pengakuan hutan adat ini

merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Hutan Hak. Dalam pengaturannya lebih lanjut, sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan P.1/PSKL/SET/KUM.1/2/2016 tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak, penetapan keberadaan masyarakat adat itu harus ditetapkan melalui Peraturan Daerah (untuk kasus masyarakat adat yang berada di kawasan hutan) atau Surat Keputusan Bupati (untuk kasus masyarakat adat yang berada di kawasan hutan yang sudah dilepas untuk ‘alokasi penggunaan lain’).

21 http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/01/09/Tonggak-BaruHak-Masyarakat- Adat

22 Lihat Saurlin Siagian dan Trisna Harahap, 2016. “Pandumaan dan Sipiuhuta versus TPL di Sumatera Utara. Tangis Kemenyan dan Amarah Perempuan”; serta Suryati Simanjuntak, 2016.

“Merampas Hamijon, Merampas Hidup. Pandumaan – Sipituhuta melawan Toba Pulp Lestari, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2016. Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan.

Hukum Adat Pandumaan – Sipituhuta’ sebagai subjek hukum penerima hak dapat dilakukan. Selama permasalahan itu belum selesai, keputusan pemerintah untuk melepas kawasan itu, baik dari lahan konsesi PT. Toba Pulp Lestari maupun dari kawasan hutan Negara, belum dapat terlaksana di tingkat lapangan.

Yang menjadi masalah adalah bahwa ada dua versi Surat Keputusan Menteri Lingkungan

Nomor SK. 923/Menlhk/Sekjen/HPL.0/12/2016 tentang Perubahan kelima atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTS-II/1992 tanggal 1 Juni 1992 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. (PT. TPL), tertanggal 21 Desember 2016 yang beredar dan sampai ke tangan berbagai kalangan. Di dalam salah satu versi disebutkan bahwa subjek penerima tombak haminjon adalah bius tertentu; padahal, menurut beberapa pihak, tombak haminjon bukanlah milik eksklusif sebuah bius, melainkan juga menjadi hak dari bius-bius lain yang ada di sekitar obyek yang disengketakan. Versi lain Surat Keputusan itu tidak menyebutkan siapa subjek hak yang akan menerima penyerahan hutan adat itu.

Kekisruhan tersebut memunculkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 179/Menlhk/Stjen/HPL.0/4/2017 tentang Perubahan keenam atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTS- II/1992 Tanggal 1 Juni 1992 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT. Inti Indorayon Utama tertanggal 4 April 2017. Di dalam salah satu amar putusannya disebutkan bahwa “Areal seluas +/- 5.172 (lima ribu seratus tujuh puluh dua) hektar sebagaimana dimaksud pada huruf a., dialokasikan untuk Hutan Adat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, sebagai Hutan Kemenyan Tombak Haminjon Adat Masyarakat Pandumaan-

Sipituhuta silsilah Marga Marbun Lumban Gaol sebagai Marga Bius Huta”. 23 Setidaknya, hingga pertengahan Maret 2018, saat rencana kajian ini disusun, artinya sudah lebih dari setahun sejak surut keputusan pencadangan hutan adat yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Peraturan Daerah tentang Penetapan Masyarakat Hukum Adat Pandumaan – Sipituhuta” yang disyaratkan belum juga terwujud.

Dalam gelombangnya yang sama, dalam rangka mempercepat pengakuan hak masyarakat adat di Sumatera Barat, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI memohonkan skema hutan desa atas kawasan hutan yang berada di

23 Di tingkat lapangan penyebutan “Marga Marbun Lumban Gaol sebagai Marga Bius Huta” ini, jika dikaitkan dengan hubungan antar marga dalam konteks penguasaan dan pemanfaatan

tanah secara adat, sebagaimana yang akan menjadi salah satu pokok perhatian kajian ini, telah pula menimbulkan berbagai pertanyaan dari berbagai kalangan (baca: marga-marga) terkait.

wilayah kerjanya. 24 Dalam prosesnya para inisiator mengetahui bahwa kawasan hutan yang dimohonkan menjadi hutan desa itu sejatinya adalah tanah adat yang dimiliki secara komunal oleh kaum dan/atau suku tertentu. 25

Mengapa peraturan daerah yang disyaratkan dalam kasus Pandumaan – Sipituhuta belum juga terwujud? Bahkan hingga laporan ini disusun (Mei 2018). Apakah dinamika yang terjadi pada kasus ini adalah ekpresi dari logika hukum yang keliru dalam kontek pengakuan hak masyarakat adat ini, yang gagal menemukan tapaknya pada sistem pengorganisasian hidup bersama yang ril hidup dan dikenal dalam kehidupan komuntas yang bersangkutan.

Sebaliknya, apa implikasi pilihan taktis yang menghasilkan “hutan desa dengan rasa hutan adat’ dalam kasus ‘hutan nagari’ di Solok Selatan dan ‘hutan desa di pertuanan kampung’ di Maluku Tenggara Barat itu? Apakah pilihan ini memang cocok mempercepat proses pengakuan tanah adat; dan apakah penggunaan skema hutan desa itu tidak menimbulkan implikasi-implikasi tertentu terhadap pihak pemilik tanah yang sesungguhnya di belakang hari?

Pelajaran apa yang dapat diperoleh dari 4 (tempat) kasus yang diamati ini, agar percepatan pengakuan hak-hak masyarakat adat bisa lebih maju secara lebih bermakna?

3. Logika hukum pengakuan hak masyarakat adat: Warisan hukum kolonial

Terma masyarakat hukum adat dalam wacana politik -- dan kemudian juga akademik di Indonesia – tentulah hadir bukan tanpa argumen yang melatar- belakanginya. Dalam konteks ini dua nama sarjana berkebangsaan Belanda memiliki peran penting, yakni Snouck Hurgronje dan Cornellis van Vollenhoven. Tokoh yang pertama, melalui dua karyanya yang disebutkan sebagai karya penting dari yang bersangkutan, yakni De Atjehers dan Het Gajoland, untuk pertama kalinya terma ‘hukum adat’ (adatrecht) digunakan untuk mengonsepkan ‘adat-adat yang berakibat hukum’. Pada waktu berikutnya, konsep tersebut mendapatkan perhatian dan karenanya terus dikembangkan van Vollenhoven. Van Vollenhoven memiliki keyakinan bahwa “rakyat pribumi hidup dalam hukumnya sendiri, dan karena itu tidak boleh ada unifikasi hukum, … pemberlakukan hukum Barat kepada rakyat pribumi tidak akan memperkaya

peradaban pribumi.” 26

24 Menurut … hutan adat adalah 25 Perlu dicatat, di tingkat lapangan, terma yang digunakan atas ‘hutan desa’ yang diberikan

kepada beberapa inisitif masyarakat yang didampingi KKI WARSI adalah ‘hutan nagari’ meskipun lahan yang digunakan bukanlah ‘ulayat nagari’.

26 Cornelis van Vollenhoven, 1987. Penemuan Hukum Adat. Jakarta: Penerbit Djambatan dan KITLV, hal. 141 – 142.

Van Vollenhoven pun kemudian menentang segala upaya administrasi kolonial untuk mengabaikan eksistensi hukum-hukum adat. Misalnya, pada tahun 1914 van Vollenhoven menentang pemberlakuan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk seluruh golongan penduduk Hindia Belanda tanpa terkecuali, dan menjegal usulan amandemen Pasal 62 Regeringsreglement 1984 yang berakibat pada hapusnya perlindungan atas hak-hak pribumi), dan sekaligus mengembangkan konsep dan eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak penguasaan atas wilayah adat yang disebutnya sebagai

beschikkingsrecht. 27

Apresiasi yang demikian itu – untuk tidak mengatakannya sebagai kesimpulan – tentu berbeda sama sekali dengan kesimpulan Joehana (1989), yang mengatakan bahwa “… hukum adat lebih efektif digunakan daripada penggunaan kekerasan oleh tentara kolonial Belanda dalam menegakkan kepatuhan, tidak hanya dalam mengatur bagaiamana hukum adat itu diciptakan tetapi juga untuk kepentingan kolonialis. Dengan demikian, studi tentang hukum adat lebih memperkuat penguatan penjajah Belanda: ia membenarkan

kolonialisme Belanda …”. 28

Masyarakat hukum adat atau yang disebut van Vollenhoven sebagai rechtsgemeenschap, sebagaimana dinyatakan oleh Wignjosoebroto (2011), 29 adalah sebuah masyarakat hukum yang terbentuk oleh adanya kesatuan adat tertentu. Menurut Holleman (1981), 30 masyarakat hukum (adat) itu bisa berbentuk sebuah kelompok kekerabatan, sebuah kelompok territorial atau campuran dari keduanya. Anggota sebuah masyarakat hukum mematuhi kaidah-kaidah yang ada dalam hukum adat yang melingkari mereka sebagai sebuah cara hidup yang khas dan sebagai sistem yang memenuhi sebagian besar dari fungsi-fungsi yang ada dalam kelompok masyarakat itu.

Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu hidup dalam satuan wilayah di bawah pengaturan hukum adat yang disebut beschikkingsrecht. Konsep ini merujuk pada beberapa prinsip yang menjadi ciri-ciri dasar konsesi beschikkingsrecht, masing-masing adalah :

27 Lihat Upik Djalins dan Noer Fauzi Rahman, 2013. “Pengantar untuk Membaca Karya Cornelis van Vollenhoven (1919) Orang Indonesia dan tanahnya”, dalam Cornelis vn Vollenhoven, 2013.

Orang Indonesia dan Tanahnya. Yogyakarta: STPN Press, Sajoyo Institute, Tanah Air Beta, dan HuMa. Lihat juga Soetandyo Wignnjosoebroto, 1984. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Suatu Kajian tentang Dinamika Sosil-Politik Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia, 1840 – 1990. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

28 Tjunggozali Joehana, 1989. Adat Law School Tradition in Indonesia: an Anthropological Review. Master of Art tesis submitted to the Graduate Faculty of the Deparpement of Anthropology,

University of Pittsburgh. Bandingkan juga dengan Daniel Lev (1990).

29 Sebagaimana yang disampikan dalam suatu diskusi yang diselenggarakan oleh Perkumpulan HuMa pada tahun 2011 yang lalu.

30 J.F. Holleman, 1981. Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law: Selection from het Adatrecht van Netherlandsch-Indie (Volume 1, 1918; Volume II, 1931), The Hugue: Martinus Nijhoff.

1. Kewenangan komunitas atas tanah yang belum dikerjakan;

2. Pemanfaatan tanah komunitas oleh pihak luar;

3. Pembayaran atas penggunaan tanah komunitas;

4. Kewenangan komunitas atas tanah yang sedang dibudidayakan;

5. Tanggungjawab territorial kolektif terhadap pihak luar;

6. Keabadian hak-hak komunitas. 31

Adapun konsep masyarakat adat muncul seiring dengan makin derasnya upaya- upaya pembelaan hak-hak ‘masyarakat hukum adat’ di era akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an. Berbeda dengan terma masyarakat hukum adat, yang kemudian diserap ke dalam wacana politik dan hukum Indonesia, terma masyarakat adat muncul tidak disertai dengan argumentasi yang utuh tentang alasan mengapa terma masyarakat hukum adat tidak memadai dalam memperjuangkan hak-hak komuntas yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat itu. Beberapa gejala yang sering dikaitkan dengan perlunya sebutan yang baru adalah karena terma ‘masyarakat hukum adat’ berbau warisan kaum kolonial; cendrung menyempitkan makna masyarakat adat yang holistik itu kepada sekedar ‘urusan hukum dari komunitas-komunitas’; dan terlalu panjang sehingga kurang praktis digunakan dalam kegiatan-kegiatan advokasi yang digulirkan.

Namun begitu, tidak bisa dipungkiri, pilihan pada terma masyarakat adat itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh penggunaan terma indigenouse people pada ranah global. Meski terma itu secara semantik seharusnya diterjemahkan ke dalam terma ‘rakyat asli’ atau ‘masyarakat asli’, hal ini tidak dilakukan karena disadari penggunaan terjemahan yang demikian itu akan menimbulkan persoalan (diskriminasi) yang baru lagi, sebagaimana yang dicerminkan oleh sikap Pemerintah dalam menolak ratifikasi Konvensi ILO 1969 misalnya dengan mangatakan “Semua penduduk Indonesia adalah asli, kecuali mereka yang keturunan non-pribumi.”

Oleh sebab itu, karena belum tersedianya definisi kerja yang ketat, karena definisi masyarakat adat yang ada demikian longgarnya, maka terma masyarakat adat bisa saja digunakan sebagai ‘terma payung’ yang dapat ‘membawahi’ terma-terma ‘masyarakat hukum adat’, ‘masyarakat tradisional’, ataupun ‘kebudayaan daerah’ yang memang disebutkan dalam konstitusi Indonesia. Dan penggunaan yang demikian itu, sebagaimana telah dijelaskan, sah secara konstitusi.

Dengan demikian, membicarakan masyarakat adat tentulah menbicarakan persoalan ‘masyarakat hukum adat’, ‘masyarakat tradisional’, dan sampai batas tertentu juga ‘masyarakat daerah’. Begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu, dalam

31 Ibid.

upaya mewujudkan pengakuan hak-hak masyarakat adat itu, beberapa pengertian-pengertian teknis yang sudah ada pada terma masyarakat hukum adat, sampai batas-batas tertentu, akan sangat membantu dalam pencapain tujuan gerakan masyarakat adat.

Belakangan, amandemen UUD 1945 pun menghadirkan asal 28i ayat (3). Dalam pasal itu diperkenalkan pula suatu terma baru, yakni masyarakat tradisional. Secara sosio-antropologis, kedua terma ini dapat dikatakan ‘serupa tapi tidak sama’. Secara teoritis tiap ‘masyarakat hukum adat’ pastilah merupakan ‘masyarakat tradisional’ namun tidak setiap ‘masyarakat tradisional’ mewujudkan diri ke dalam ‘masyarakat ‘hukum adat’. Menurut ‘bahasa peraturan perundang-undangan’, kedua terma ini ditulis dalam huruf kecil, oleh karenanya terma ini merujuk pada apa yang disebut sebagai ‘nama fungsi’, sebagaimana penyebutan ‘bank sentral’ dalam Pasal 23D UUD 1945 yang kemudian menjadi Bank Indonesia sebagaiman diatur dalam Undang-Undang

23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Maka, dalam upaya pengaturan lebih lanjut amanat Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3) ini, sekaligus untuk mengakomodasi pandangan publik yang peduli dengan masalah ‘masyarakat adat’, penggunaan terma Masyarakat Adat (M dan A dengan huruf besar) dapat digunakan sebagai nomenklatur sebagaimana yang dilakukan dalam RUU

Perlindungan Hak Masyarakat Adat versi DPD RI tahun 2018. 32 Sebagaimana telah disinggung, keberadaan masyarakat adat berikut hak yang

melekat kepadanya telah diakui dalam konstitusi. Pengaturan lebih lanjut pengakuan itu untuk pertama kali muncul dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA 5/1960). Meski begitu, UUPA 5/1960 memperkenalkan logika hukum pengakuan bersyarat. Di dalam Pasal 3 antara lain disebutkan bahwa ‘... hak masyarakat hukum adat atas tanah

ulayatnya diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada ... ”. 33 Belum lagi politik pengakuan bersyarat yang diperkenalkan UUPA 5/1960 itu

dilaksanakan di tingkat lapangan, krisis ekonomi dan politik pada tahun-tahun awal 1960-an telah mengubah politik hukum pengakuan hak-hak masyarakat

32 Dalam RUU dimaksud Masyarakat Adat didefinisikan sebagai “Masyarakat Adat adalah sekelompok orang perseorangan yang hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu

dan diikat oleh identitas budaya, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum, baik yang diatur melalui suatu lembaga adat yang memiliki otoritas untuk mengatur warganya maupun tidak, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.

33 Selengkapnya Pasal 3 UUPA 5/1960 itu berbunyi “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-

masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Dengan kata lain, pemberlakuan PP 21/1971 telah membawa politik hukum baru terkait pengakuan hak amsyarakat adat ini. Yakni, hak masyarakat adat baru akan diakui jika keberadaan masyarakat adat telah dikaui keberadaannya melalui Surat Keputusan Bupati. Dan di dalam proses menentukan ada-tidaknya masyarakat adat itu, pengakuan bersyarat yang dipekenalkan oleh UUPA 5/1960 pun diakomodasi.

Pada perkembangan selanjutnya, dua logika hukum pengakuan hak masyarakat adat itu kemudian ‘ditinggikan derajatnya’ menjadi norma hukum di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang sejatinya merupakan kebijakan pengganti UU 5/1967 yang dianggap, salah satunya, merugikan masyarakat adat. Dengan perkembangan itu, alih-alih terjadinya percepatan pengakuan hak masyarakat adat, yang terjadi adalah berlanjutnya pengingkaran atas hak masyarakat adat itu.

Situasi yang demikian telah mendorong Alinasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua komunitas adat anggotanya melakukan judicial review atas beberapa pasal yang dianggap merugikan masyarakat ada itu. Aksi itu telah melahirkan Putusan No. 35 Tahun 2012 tentang Kehutanan cq. Pasal 1

Angka 3, dst. 34 Keputusan MK 35/2012 itu pada dasarnya menganut logika hukum “ (1) tanah/hutan adat bukan tanah/hutan negara; (2) tanah/hutan adat berada di wilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat; dan (3) hak masyarakat hukum adat diakui jika keberadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah”.

34 Keistimewaan Putusan yang terakhir ini, jika dapat dikatakan begitu, adalah bahwa Mahkamah Konstitusi tidak lagi sekedar merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang

diperlukan, melainkan sekaligus menggunakannya dalam menilai legal standing dua komunitas masyarakat adat yang mengajukan judicial review bersama AMAN. Setidaknya Zakaria (2014) mencatat ada 5 (lima) nilai positif yang dibawa oleh Putusan MK 35 Tahun 2012. Lebih lanjut lihat R. Yando Zakaria, 2014. “Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan Potensi Implikasinya Terhadap Perebutan Sumber Daya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor 35/PUU-X/@101: Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur”, dalam Jurnal WACANA Nomor 33, Tahun XVI, 2014. Yogyakarta; INSIST Press.

Betapapun Putusan MK 35/2012 membawa kebaruan. Melalui putusan ini menjadi jelas bahwa apa yang kemudian disebut sebagai hutan adat, yakni hutan yang berada di tanah adat, bukanlah hutan negara sebagaimana yang dikonsepsikan oleh UU 41/1999.

Namun demikian, di tengah kebaruan itu, putusan ini juga melanggengkan logika hukum yang dapat memberatkan masyarakat adat, yakni ditolaknya permohonan AMAN dkk. agar Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 67 (1) UU 41/1999. Dengan kata lain, Putusan MK 35/2012 melanggengkan logika pengakuan bersyarat dan pengakuan hak yang harus didahului oleh pengakuan keberdaan subyek, walau ketetapan ini dinyatakan berlaku sementara hingga diatur lebih lanjut dalam undang-undang yang mengatur tentang pengakuan

hak masyarakat adat. 35

Adapun logika hukum yang terkandung dalam pasal 67 ayat (1) itu adalah sebagai berikut:

(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

c. mendapatkan

pemberdayaan

(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sampai hari ini Peraturan Pemerintah yang diamanatkan untuk mengatur pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat itu belum lagi ada. DI awal tahun 2000 memang pernah muncul draf yang didorkna oleh pihak Pemerntah, Namun daraf itu mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan, terumata dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang concern dengan masalah masyarakat adat ini. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya

35 Lebih lanjut lihat https://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2013/05/putusan_sidang_35%20PUU%2

02012-Kehutanan-telah%20ucap%2016%20Mei%202013.pdf . Diakses pada tanggal 26 Maret 2018.

inisiatif untuk melahirkan peratran pemerintah itu layu sebelum berkembang. Hingga muncul Putusan MK 35/2012, yang memuat amanat pengaturan yang

berbeda dari Pasal 67 UUK 1999 itu, meski di pihak lain juga mengukuhkan keberadaan Pasal 67 UUK 1999 itu sendiri. Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang terkandung dalam Putusan MK 35/2012, yang kedua (menolak permohonan pembatalan Pasal 67) mementahkan putusan pertama (yang mengabulkan permohonan untuk pembatalan pasal yang mengatur tentang hal hutan adat adalah hutan negara). “Dalam kajian hukum doktrinal, putusan itu itu mengandung inkoherensi atau putusan yang tidak harmonis”, kata Dr. Rikardo Simarmata, pengajar pada

Fakultas Hukum UGM (2018). 36

Pasal 67 UUK 41/1999 itu sendiri tidak mengatur tentang kriteria maupun konisionalitas yang perlu dipenuhi dalam menilai apakah keberadaan suatu masyarakat adat memang ada atau tidak. Kriteria ini kemudian ditegaskan oleh beberapa Putusan MK. Termasuk Putusan MK 35/2012.

Putusan MK 35/2012 telah mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyusun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak. Pada intinya kebijakan ini mengatur bahwa hak masyarakat adat atas hutan akan diakui jika masyarakat (hukum) adat itu telah ditetapkan dalam produk hukum daerah (Pasal 6, ayat 1, butir. a).

Adapun tata cara (baca: verifikasi dan validasi) permohonan dan menguji keabsahan keberadaan masyarakat adat yang bersangkutan di atur dalam peraturan direktur jenderal. Dalam prakteknya, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perhutan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Nomor P.1/PSKL/SET/KUM.1/2/2016 tentang Prosedur dan Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak, pemohon yang berhak memohonkan hak atas hutan adat adalah (a) bagi MHA yang memohonkan hutan adat di dalam kawasan hutan, masyarakat adat yang bersangkutan harus telah ditetapkan melalui peraturan daerah atau; (b) Surat Keputusan Bupati/Walikota bagi permohonan hutan Adat atas hutan yang berada di luar kawasan hutan (sebagaimana yang diatur pada Pasal 5, ayat 3, butir d).

4. Susunan masyarakat adat dan sistem tenur tanah adat Dalam bagian ini akan diuraikan gambaran umum tentang hubungan susunan

masyrakat dan sistem tenur tanah ada pada dua kasus. Masing-masing adalah sistem tenur tanah adat pada masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat), Batak Toba (Sumatera Barat), sistem tenur yang ada dalam masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah.

36 , komunikasi pribadi, tanggal 18 Agustus 2018.

Merujuk pada Franz von Benda-Beckmann (2000); 37 dan Keebet von Benda- Beckmann (2000); 38 Franz and Keebet von Benda-Beckman (2012); 39 dan Warman, (2010), 40 susunan masyarakat hukum adat sangatlah beragam. Ada yang disebut kaum/buah gadang (keluarga luas berdasarkan nenek/perempuan tertentu); suku (keluarga luas berdasarkan garis keturanan nenek moyang tertentu), dan juga nagari (suatu kesatuan pemukiman/desa teritorial sekaligus bersifat genealogis, yang terdiri dari beberapa kaum yang berasal dari 4 suku yang ada (urang ampek jinih). Saptomo (2017) susunan masyarakat dimaksud malah bertumpu pada urang saanduang (sekelompok orang yang terdiri seorang perempuan berikut seluruh anak-anak dan cucu-cucunya dari anak- anak perempuannya) dan urang saparuik (seorang ibu dan anak-anak-

anaknya). 41 Masing-masing susunan itu memiliki tanah ulayat yang disebut sako/pusako

tersediri. Tanah-tanah ulayat itu diurus panghulu andiko yang berbeda pula satu sama lainnya. Masing-masing susunan itu memiliki kewenangan yang penuh atas sako/pusako, dan tidak dapat mencampuri urusan kaum, suku, atau nagari yang lain. Meski ada variasi, hal yang sama relatif sama juga terjadi di ‘daerah rantau’ budaya Minangkabu yang saat ini menjadi bagian wilayah adminitrasi

Kabupaten Solok Selatan, misalnya. 42

Dalam pada itu, berdasarkan kajian etnografi yang dilakukan, baik berdasarkan kajian atas sumber-sumber sekunder maupun primer, pada dasarnya entitas sosial yang dikenal dalam masyarakat Batak Toba yang dapat disebut sebagai wujud susunan dan/atau kesatuan masyarakat hukum adat itu adalah apa yang disebut sebagai bius, partolian, golat, dan huta, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Marga raja berikut marga boru, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan marga raja itu sendiri, adalah pemangku hak utamanya. Dengan demikian, kesatuan wilayah di mana bius, partolian, golat,

37 Benda-Beckmann, Franz. 2000. Properti dan Kesinambungan Sosial. Jakarta: GRASINDO & Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal -, Land-en Volkenkunde.

38 Benda-Beckmann, Keebet von. 2000. Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau. Jakarta: GRASINDO & Perwakilan Koninklijk Instituut voor

Taal -, Land-en Volkenkunde.

39 Franz and Kebeet von Benda-Beckmann, 2012. 2012. Political and Legal Transformations of an Indonesia Polity. The Nagari, from Colonisation to Decentralisation. Cambridge: Cambridge

University Press.

40 Kurnia Warman, (2010). Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk. Dinamika Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara di Sumatera barat. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute,

KITLV – Jakarta.

41 Bahan presentasi saat peresmian berdirinya Asosiasi Pengajar Hukum Adat, Jakarta, 13 Juli 2017.

42 Lihat Tresno & Rizka Fitri Ana, Implementasi Perhutanan Sosial di Sumatera Barat. Studi Kasus Kabupaten Solok Selatan. Laporan Penelitian untuk WARSI, 2018. Tidak/belum

diterbitkan.

dan huta itu berada dapat pula disebut sebagai wilayah adat dan/atau (tanah) ulayat dari masing-masing marga raja berikut sejumlah marga boru-nya.

Adapun obyek hak dari masing-masing hak-hak pertuanan/ulayat dari masing- masing subyek hak itu (baca: bius, partolian, golat, dan huta, baik dalam arti berkelompok ataupun perorangan di dalam kelompok-kelompok marga raja dan/atau marga boru dimaksud) adalah (1) kawasan hutan: hutan tua disebut tano rimba dan harangan, hutan muda disebut tombak atau rabi. Jika tanah yang belum pernah dibersihkan itu disebut tano na jadi hea niula atau tano tarulang. Jika sebidang tanah pernah dibersihkan dan sekarang ditinggalkan, itu disebut gasgas atau tano na niulang, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (2) Area perumahan: Areal perumahan atau parhutaan terletak pada sebidang tanah berbatasan dengan dua dinding, parik bulu suraton dan parik bulu dun. Keempat sudutnya ditandai dengan pagopago, biasanya batu besar atau pohon besar, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (3) Areal pertanian: Sawah sawah disebut saoa atau hauma. Ladang untuk menanam padi disebut hauma tur. Sebidang tanah yang telah ditinggalkan bera untuk waktu singkat, misalnya dua tahun, yang ditujukan untuk rotasi tanaman, disebut tano dipaombal. Jika tanah untuk tujuan yang sama dibiarkan bera untuk waktu yang lebih lama, maka itu disebut talun. Porlak adalah ladang untuk menanam tumbuhan selain padi, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (4) Area penggembalaan: Jalangan adalah padang rumput untuk merumput ternak tanpa pengawasan, sementara jampalan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah untuk penggembalaan sapi, kambing, atau kuda yang ditambatkan; (5) Area pencadangan: Area pencadangan disebut berdasarkan tujuan yang berbeda- beda. Hauma harajaon, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah area cadangan untuk mendirikan sawah hasil panen yang digunakan untuk menutupi biaya upacara penawaran di tingkat bius atau bona. Hutan yang dicadangkan untuk kayu bakar disebut tombak riperipe. Tanah yang layak untuk penggembalaan disebut jalangan. Saluran tanah yang diperuntukkan bagi perluasan huta disebut pangeahan atau tambatamba ni huta. Jika dicadangkan untuk pendatang baru atau yang baru menikah itu disebut punsu tali. Cadangan air disebut mata mual; dan (6) Daerah suci: Saluran ini diyakini berada di sekitar roh dan jiwa nenek moyang yang mati yang disebut parsombaonan, solobean, parbeguan dan saba parhombanan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Kuburan disebut partangisan, parbanadi, atau udean, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Jika kuburan itu dimiliki oleh orang biasa maka disebut partangisan hatopan, sedangkan kuburan individu disebut partangisan pangumpolan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Saluran tanah dimana orang melakukan sholat khusus untuk menyembuhkan orang sakit dengan meditasi disebut tano Adapun obyek hak dari masing-masing hak-hak pertuanan/ulayat dari masing- masing subyek hak itu (baca: bius, partolian, golat, dan huta, baik dalam arti berkelompok ataupun perorangan di dalam kelompok-kelompok marga raja dan/atau marga boru dimaksud) adalah (1) kawasan hutan: hutan tua disebut tano rimba dan harangan, hutan muda disebut tombak atau rabi. Jika tanah yang belum pernah dibersihkan itu disebut tano na jadi hea niula atau tano tarulang. Jika sebidang tanah pernah dibersihkan dan sekarang ditinggalkan, itu disebut gasgas atau tano na niulang, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (2) Area perumahan: Areal perumahan atau parhutaan terletak pada sebidang tanah berbatasan dengan dua dinding, parik bulu suraton dan parik bulu dun. Keempat sudutnya ditandai dengan pagopago, biasanya batu besar atau pohon besar, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (3) Areal pertanian: Sawah sawah disebut saoa atau hauma. Ladang untuk menanam padi disebut hauma tur. Sebidang tanah yang telah ditinggalkan bera untuk waktu singkat, misalnya dua tahun, yang ditujukan untuk rotasi tanaman, disebut tano dipaombal. Jika tanah untuk tujuan yang sama dibiarkan bera untuk waktu yang lebih lama, maka itu disebut talun. Porlak adalah ladang untuk menanam tumbuhan selain padi, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (4) Area penggembalaan: Jalangan adalah padang rumput untuk merumput ternak tanpa pengawasan, sementara jampalan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah untuk penggembalaan sapi, kambing, atau kuda yang ditambatkan; (5) Area pencadangan: Area pencadangan disebut berdasarkan tujuan yang berbeda- beda. Hauma harajaon, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah area cadangan untuk mendirikan sawah hasil panen yang digunakan untuk menutupi biaya upacara penawaran di tingkat bius atau bona. Hutan yang dicadangkan untuk kayu bakar disebut tombak riperipe. Tanah yang layak untuk penggembalaan disebut jalangan. Saluran tanah yang diperuntukkan bagi perluasan huta disebut pangeahan atau tambatamba ni huta. Jika dicadangkan untuk pendatang baru atau yang baru menikah itu disebut punsu tali. Cadangan air disebut mata mual; dan (6) Daerah suci: Saluran ini diyakini berada di sekitar roh dan jiwa nenek moyang yang mati yang disebut parsombaonan, solobean, parbeguan dan saba parhombanan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Kuburan disebut partangisan, parbanadi, atau udean, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Jika kuburan itu dimiliki oleh orang biasa maka disebut partangisan hatopan, sedangkan kuburan individu disebut partangisan pangumpolan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Saluran tanah dimana orang melakukan sholat khusus untuk menyembuhkan orang sakit dengan meditasi disebut tano

Agar tidak terpaku dengan contoh dari Sumatera saja, mari kita lihat contoh lain dari Kalimantan Tengah, sebagaimana tersaji pada Tabel berikut.

Sistem Tenurial MHA di Kalimantan Tengah (Draf Pergub Pedoman Pemetaan

Wilayah Adat, 2014)

Subyek Hak

Obyek Hak

Jenis Hak

Individu/keluarga

Hak individu: personal atau keluarga (baKh) Individu/keluarga

Lewu

sungai di sekitar lewu) Petak eka malan-manana saKar (daerah bantara

Milik perorangan? Keluarga?

Hak komunal lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku Kecil? Individu

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

RinKs (tempat pemanenan hasil hutan non-kayu)

Tangiran (pohon madu)

Hak individu (oleh penemu). Bagaimana dgn tanah di sekitarnya?

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Hak komunal lewu? Antar lewu? Suku besar? Suku kecil? Individu

Sepan (mata air)

Petak bahu (bekas ladang)

Hak individu

Individu atau ‘warga llewu’?

Kaleka (bekas pemukiman)

Hak individu atau hak komunal?

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

pemakaman) Pasahan raung dan pambak (komplek

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Petak rutas (hutan larangan)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Tajahan (tempat keramat)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Pahewan (hutan angker)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Tawun elai (hutan tempat pembuang sial)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Sungei, anak sungei, saka (anak sungai yg lbh kecil lagi)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Tatas (kanal buatan)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil?

Baruh atau talaga (danau alam kecil) & Tasik (danau alam lbh besar)

Hak komunal

Individu pembuka

Handel (parit, kiri-kanannya jadi tempat usaha)

Hak individu

Sebagaimana yang dapat kita lihat pada tabel di atas, , ada begitu banyak jenis obyek hak – lengkap dengan sebutan lokalnya sendiri-sendiri -- yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat setempat atas tanah. Begitu juga dengan (kemungkinan) subyek dan jenis haknya. Lagi-lagi kita akan menemukan subyek, obyek, dan jenis hak (atas tanah) yang begitu beragam. Demkian pula,

nyantanya, susunan masyarakat adat itu tidaklah tunggal. 44