Makalah Studi Hadits Tahammul wa ada al (1)

STUDI HADITS

TAHAMMUL WA ADA’ AL HADITS

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Hadits

DOSEN PEMBIMBING:
Dra. Khodijah Uchi, M.Psi

Oleh :
1. Muhammad Hidayat

E92213059

2. Muh. Kholid Ismatulloh

E92213058


3. Nur Lailatul Chasanah

E92213060

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013

STUDI HADITS

TAHAMMUL WA ADA’ AL HADITS
MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Studi Hadits
DOSEN PEMBIMBING:
Dra. Khodijah Uchi, M.Psi

Oleh :
1. Muhammad Hidayat

E92213059

2. Muh. Kholid Ismatulloh

E92213058

3. Nur Lailatul Chasanah

E92213060

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT, hanya berkat rahmat
dan ridlo-Nya makalah ini dapat diselesaikan. Makalah yang berjudul “Tahammul
wa Ada’ al Hadits” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial
Dasar.
Keberhasilan dalam penulisan makalah ini tentu saja tak lepas dari bantuan
banyak pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah menyumbangkan segenap pikiran, tenaga, dan waktunya demi
terselesaikannya karya tulis ini.
Ucapan terimakasih ini secara khusus penulis sampaikan kepada pihakpihak berikut ini:
1. Dra. Khodijah Uchi, M.Psi. Selaku dosen yang tidak pernah bosan
membimbing, mengingatkan, dan memotivasi penulis hingga makalah
ini selesai.
2. Anggota kelompok 5. Muh. Kholid Ismatulloh, Sisilia Mustafiana
Putri, Muryani, dan Evy Kartika. Yang berkenan meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk menyelesaikan makalah ini.
3. Beberapa pihak yang tidak disebutkan satu persatu yang telah
membantu suksesnya penyusunan makalah ini.
Meskipun telah dikerjakan secara maksimal, penulis menyadari bahwa
karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran sangat
diharapkan oleh penulis demi hasil yang lebih baik.

Akhirnya, penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat membawa
makna dan manfaat bagi pembaca, untuk mengubah pembelajaran menulis
menjadi lebih baik.
Surabaya, November
2013
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

iii

DAFTAR ISI

iv

BAB I

: PENDAHULUAN


1

A. LATAR BELAKANG

1

B. RUMUSAN MASALAH

4

C. TUJUAN

4

BAB II

: PEMBAHASAN

5


A. BIOGRAFI PHYTAGORAS

5

B. PEMIKIRAN PHYTAGORAS

7

C. KAUM PHYTAGOREAN

20

D. ANALISIS

24

BAB III

: PENUTUP


KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

25
25
26

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1

Phytagoras

5

Gambar 2.2

Phytagoras dan Pengikutnya


8

Gambar 2.3

Bilangan Phytagoras

11

Gambar 2.4

Teorema Phytagoras

13

Gambar 2.5

Ilustrasi Pemikiran Phytagoras

18


Gambar 2.6

Orfisisme

21

A.

PENDAHULUAN

Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para
pendahulu selalu menjaga Al-Quran dan Al-Hadis Nabi. Mereka adalah orangorang jujur, amanah, dan memegang janji sebagian diantara mereka mencurahkan
perhatiannya terhadap al-Quran dan ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia
dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Seseorang yang
telah mempelajari hadits dengan sungguh-sungguh dengan cara yang benar
memiliki beberapa kode etik yang harus dia jaga dan dia pelihara, baik ketika
masih menjadi pelajar itu sendiri atau ketika dia sudah mengajarkannya kepada
orang lain kelak. Di dalam ilmu hadits hal ini dikenal dengan istilah at tahammul
wal ada’. Di dalam makalah ini akan dibahas cara perimaaan dan periwayatan
hadis yang disebut dengan At-Tahammul wa Al-'Ada.

Para ulama hadis telah bersusah payah mengusahakan adanya ilmu hadis
ini, lalu mereka membikin beberapa kaidah (batasan-batasan) dan berbagai syarat
dengan berbagai bentuk yang cermat dan banyak sekali. Mereka telah
mengidentifikasin anatara 'tahammul hadis' selanjutnya mereka menjadikannya
beberapa tingkatan, dimana bagian satu dengan yang lain tidaklah sama artinya
ada yang lebih kuat, hal itu merupakan penguat dari mereka untuk memelihara
hadis Rasulullah Saw dan memindahkan dengan baik dari seseorang kepada orang
lain. Disamping itu mereka yakin bahwa cara yang seperi ini adalah cara yang
palingh selamat dan cara yang paling cermat. Untuk lebih jelasnya dibicarakan
dalam makalah ini
B.

RUMUSAN MASALAH.
1.

Pengertian tahammul al-hadits dan ada’ al-hadits menurut bahasa dan

istilah.
2.


Syarat-syarat perawi dalam tahammul hadits.

3.

Syarat-syarat perawi dalam ada’ al-hadits.

4.
C.

Sighat Tahammul wa Ada’al-hadits.

PEMBAHASAN.
1.

pengertian tahammul al-hadits dan ada’ al-hadits menurut bahasa dan istilah

Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala (-‫تَ َح َم َل‬
‫ت ََح ُمل‬-ُ‫ )يَت ََح َمل‬yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan
dengan menerima.

Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa

adalah

menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut
istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits
adalah:[1]
‫ معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ‬:‫التحمل‬
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau
guru.
Sedangkan pengertian ada’ al-hadits menurut bahasa, ada’ (‫ )الدأاء‬adalah
masdar dari
‫ أَدأَا ًء‬-‫ يَأأ ِدأى‬-‫أَدأَى‬
‫إيصال الشيئ إلى المرسل إليه‬
“menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim
kepadanya”.
‫ أوصله‬: ‫ تأدأية الشيئ‬-‫أدأى‬
“Menyampaikannya”.
Bararti ada’ al-hadits menurut bahasa adalah
menyampaikan hadits.
Sedangkan ada’ al-hadits menurut istilah adalah:
‫ واية الحديث وإعطااه الطلبا‬: ‫الدأاء‬
“meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para murid”.

[2]

Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada
murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang
guru.
Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam
hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan
dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
·

Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)

·

integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas
(Tsiqatur Rawi).

·

Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti
hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka
yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang
selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu
konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya
2.

Syarat-syarat Perowi dalam Tahammul al-Hadits
Tidak dapat dipungkiri bisa mendapatkan hadits atau menerimanya

merupakan anugrah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan
lurusnya niat, membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang
merupakan adab atau tatakrama seorang tholibul al-hadits, dalam menerima hadits
harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadits atau
dikenal dengan istilah ahliyatu at-tahammul sehingga hadits yang diterima
tersebut sah untuk diriwayatkan.
a. Tamyiz
Syarat yang pertama perawi dalam tahammul al-hadits adalah tamyiz.
Menurut al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hamal seorang anak bisa disebut tamyiz
jika sudah mampu untuk membedakan antara sapi dan khimar. Kalau menurut
penulis seumpama anak Indonesia itu bisa membedakan antara kambing dan
anjing. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan
menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan
bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan
menjawab pertanyaan dengan baik dan benar.
Seorang yang belum baligh boleh menerima hadits asalkan ia sudah tamyiz.
Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli imu setelahnya
yang menerima hadits walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain,
Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh
bertahammul hadits dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh
bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bisa

menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadits nabi. Abu Abdullah azZubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia
sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna.
Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.
Syarat perawi dalam tahammul hadits yang penulis temukan hanyalah
tamyiz, sedangkan beragama islam tidak disyaratkan dalam tahammul hadits.
Adapun syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalam bertahammul hadits
karena untuk menerima hadits yang merupakan salah satu sumber hukum islam
sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima
hadits tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya.[3]
3.

Syarat-syarat perawi dalam ada’ al-hadits
Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadits atau dikenal

dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadits adalah:
a.

Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadits seorang perowi harus muslim.

Menurut ijma’, periwayatan hadits oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena
terhadap riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadits yang
diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadits orang kafir
diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadits ia harus sudah masuk Islam.
b.

Baligh
Yang dimaksud baligh adalah perowi cukup usia ketika ia meriwayatkan

hadits. Baik baligh karena sudah berusia lima belas tahun atau baligh karena
sudah keluar mani. Batasan baligh ini bisa diketahui dalam ketab-kitah fiqih.
c.

‘Adalah (adil)
‘Adl merupakan suatu sifat yang melekat, yang berupa ketaqwaan dan

muru’ah (harga diri). Sifat ‘adalahnya seorang rowi berarti sifat ‘adlnya di dalam
riwayat. Dalam ilmu hadits sifat ‘adalah ini berarti orang islam yang sudah
mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan
dan jatuhnya harga diri.Jadi syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup

dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat ‘adalah ini
mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal (‫)مجهول‬
d.

Dlobit
Dlobit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadits harus ingat akan

hadits yang ia sampaikan tersebut. Ketika ia mendengar hadits dan memahami apa
yang

didengarnya,

serta

hafal

sejak

ia

menerima

hadits

hingga

ia

meriwayatkannya.
Dlobit oleh ulama ahli hadits dibagi menjadi dua yaitu:
1)

Dlobtu ash-shodri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar
didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut
kapanpun ia kehendaki.

2)

Dlobtul kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan yang catatan
hadits yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditashheh sampai ia meriwayatkan
hadits sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut.[4]

4. Sighat Tahammul wa Ada’al-hadits.[5]
Sighat Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya terhadap
Persambungan Sanad.
1.

Al-Sima'
Yakni medengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan cara

didektekan mauipun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya.
Sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikan tersebut.
Menurut jumhur ulama hadis bahwa cara ini merupakan penerimaan hadis yang
paling tinggi tingkatannya. Termasuk kategori sama' juga seorang yang
mendengar hadis dari Syeikh dari balik satar. Jumhur ulama membolehkannya
dengan berdasar pada para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian
ketika meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah melalui para istri Nabi.
Lafadh-lafadh yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadis atas dasar
sama',
‫ أخبرنا‬،‫( أخبرنى‬seseorang mengabarkan kepadaku/kami)

ialah:

‫ حدثنا‬،‫(حدثنى‬seseorang telah bercerita kepadaku/kami)
‫ سمعنا‬،‫( سمعت‬saya telah mendengar, kami telah mendengar)
2. Al-Qira'ah 'ala Al-Syaikh atau 'Aradh Al-Qira'ah
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan
hadis dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain,
sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimak, baik guru itu hafal maupun
tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya.
Lafadh-lafadh

yang

digunakan

untuk

menyampaikan

hadis-hadis

berdasarkan

yang
qiraah:

‫( قرآت عليه‬aku telah membacakan dihadapannya)
‫( قرئ على للا و أنا أسمع‬dibacakan seseorang dihadapannya sedang aku
mendengarkannya)
‫( حقققققدثنا أو أخبرنقققققا ققققققراءة عليه‬telah

mengabarkan/menceritkan

padaku

secara

pembacaandihadapannya)
3. Ijazah
yakni Seorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadis atau
riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh
mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk
meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah
a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu.
Misalnya dia berkata,”Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenisjenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya
b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang
diijazahkannya.

Seperti

mengatakan,”Aku

meriwayatkan semua riwayatku”.

ijazahkan

kepadamu

untuk

c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak
menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua
riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia
mengatakan,”Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”;
sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan
mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,”Aku ijazahkan
riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.
Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima
dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan – ‫( ألققاز لفلا‬beliau telah memberikan
ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan – ‫حققدثنا إلققازة‬, akhbarana ijaazatan
– ‫أخبرنققا إلققازة‬, dan anba-ana ijaazatan – ‫(أنبأنققا إلققازة‬beliau telah memberitahukan
kepada kami secara ijazah).

4. Al-Munaawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah
kitab hadis kepada muridnya untu diriwayatkan.
Al-Munawalah ada dua macam :
a.

Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di
antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh
memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini
riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut
dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka
diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah
daripada as-sama’ dan al-qira’ah.

b.

Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh
memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah
riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang
shahih.[6]

5. Al-Kitabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain
menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir
di situ. Kitabah ada 2 macam :
a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,”Aku ijazahkan
kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan
riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan
munaawalah yang disertai ijazah.
b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits
untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan
untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya.
Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya
jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
6. Al-I’lam (memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini
atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk
meriwayatkandaripadanya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si
perawi berkata : A’lamanii syaikhi – ‫(أعلمققني شققيخي‬guruku telah memberitahu
kepadaku).
7. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam
perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa
ilaya fulaanun bi kitaabin – ‫( أوصققى إلي للا بكتققابا‬si fulan telah mewasiatkan
kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan – ‫حققدثني للا‬
‫( وصية‬si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat). [7]
8. Al-Wijaadah (mendapat)

Yaitu : Seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang
syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadi-hadisnya tidak pernah
didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah
ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini
dengan tulisan si fulan), atau ”qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca
buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan
matannya. Sighat Tahammul

Wa Dari

beberapa

proses

penerimaan

dan

penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut.
Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus
menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut
dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits.
Sebagaimana berikut:
hadits

y1)

Jika

proses

tahamul

dengan

cara

mendengarkan,

maka

bentuk

periwayatannyaadalah:
‫حححححححححححححححححححححححححححححححححدثني‬,‫حححححححححححححححححححححححححححححححححدثنا‬,‫سححححححححححححححححححححححححححححححححمعنا‬,‫سححححححححححححححححححححححححححححححححمعت‬
Menurut

al-Qodhi

Iyyat

boleh

saja

perowi

menggunakan

kata:

‫حدثني‬,‫حدثنا‬,‫سمعنا‬,‫ سمعت‬,‫ ذكر لنا‬,‫قال لنا‬,‫أخبرنا‬
2) Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang
meriwayatkan harus menggunakan kata
‫ حدثنا لنا قرأة عليه‬,‫ أخبرني‬,‫ قرئ على لنا أ نا سمعت‬,‫قرأت على لنا‬
3) Ketika

proses

tahamul

menggunakan

ijazah

maka

bentuk redaksi

penyampaiannya adalah
‫ أنبأنى‬,‫أجازنى لنا‬
4) Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah

‫ أنبأنى لنا إلججزة المنا لة‬,‫ حدثنى لنا إاامنا لة لججازة‬,‫نا لنى لنا مع لججازة‬
5) Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang
digunakan adalah:
‫ أخبرني حدثني بالمكاتبة لججازة‬,‫ حدثني بالمكاتبة لججازة‬,‫ كاتبني‬,‫ككت للي‬
6) Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan
adalah:
‫ أخبرنى لنا بلجعنما‬,‫ حدثنى لنا إلجعنما‬,‫أعلمنى لنا‬
7) Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi
penyampaian menggunakan kata:
‫ حدثني لنا بالوصية‬,‫ أخبرنى لنا بالوصية‬,‫أ صى للي لنا‬

8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah ( penemuan sebuah manuskrip
atau

buku),

maka

redaksi

penyampaiannya

menggunakan

kata:[8]

‫ قال لنا‬,‫ جدت ببخ لنا‬a
ng dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab ya
D.

KESIMPULAN
Dalam menerim hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan
baligh. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh.
Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya
sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat
membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama
memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah

cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami
pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah
tamyiz

dan

mumayyiz.

Jika

tidak,

maka

haditsnya

ditolak.

Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh para ulama adalah:
1. As-Sima’, yaitu guru membaca hadis didepan para muridnya. Bentuknya bisa
membaca hafalan, membaca dari kitab, tanyajawab dan dikte.
2. Al-‘ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di depan guru. Dalam metode
ini seorang guru dapat mengoreksi hadis yang dbaca oleh muridnya. Istilah yang
dipakai adalah akhbarana.
3. Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan
buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu demi satu. Istilah yang dipakai
adalah an-ba-ana.
4. Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis tanpa
menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
5. Al-MKitabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk seseorang, hal ini mirip
dengan metode ijazah.
6. I’lam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadis
dalam kitab tertentu adalah hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa
menyebut namanya.
7. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya
sebelum meninggal.
8. Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadis seseorang tanpa
ada rekomendasi untuk meriwayatkannya

E.

PENUTUP.
Dari makalah yang kami bahas di atas mungkin banyak sekali terhadap
kesalahan dan kekurangan baik itu di segi tulisan, kalimat dan bahasa. Oleh sebab
itu mohon kritikan dan sarannya yang bersifat membangun agar pembuatan
makalah selanjutnya lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
·

-Mahmud Thohan, 1985,terjemah Tafsir Mushtholah Hadits, Songgopuro,
haramain,

·

Ibnu sholah, TT, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ashSholah,Tsaqofiyah,

·

-. H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999. Cet. I

·

-http//ulumul hadits//com

RINGKASAN
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahamul adalah
“mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara
tertentu.
Al-ada’ al-Hadist
Al-Ada‘

secara

etimologis

berarti

sampai/melaksanakan.secara

terminologis Al-Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits
dari seorang guru kepada muridnya.
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari
orang lain adalah:
a.

Dhobit.

b.

Berakal sempurna.

c.

Tamyiz.

Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat
syarat yaitu:a.Islam.
b.

Baliq.

c.

Adil.

d.

dhobit
Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh para ulama adalah:2
1.

As-Sima’, yaitu guru membaca hadis didepan para muridnya. Bentuknya

bisa membaca hafalan, membaca dari kitab, tanyajawab dan dikte.
2.

Al-‘ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di depan guru. Dalam

metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadis yang dbaca oleh muridnya.
Istilah yang dipakai adalah akhbarana.
3.

Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid untuk

meriwayatkan buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu demi satu. Istilah
yang dipakai adalah an-ba-ana.
4.

Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis

tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
5.

Al-Kitabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk seseorang, hal ini

mirip dengan metode ijazah.
6.

I’lam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa

hadis dalam kitab tertentu adalah hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang
tanpa menyebut namanya.
7.

Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya

sebelum meninggal.
8.

Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadis seseorang

tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkannya

[1] . Mahmud Thohan, 1985, terjemah Mushtholah Hadits, Songgopuro,
haramain, hlm. 156
[2] .ibid:hlm 156

[3]. Ibnu sholah, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ash-Sholah,
Tsaqofiyah, hlm. 137.
[4] .Ibid:137
[5] . H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999. Cet. I.hlm.85
[6] Ibid:156
[7] Ibid:156
[8] .htttp//ulumulhadits//com