DIKTAT FILSAFAT UMUM SMA PB

IKTAT FILSAFAT UMUM
Oleh : As’ad Afifi
http://makalah-asfida.blogspot.co.id/2011/11/filsafat-umum.html

DASAR-DASAR FILSAFAT

1.

Pengertian Filsafat

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan
dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen
dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu,
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan
logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu
membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas
filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan
menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan
sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

Secara harfiyah atau etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan kebenaran. Istilah ini berasal dari
bahasa Yunani, yang merupakan katan majemuk dari Philia dan Sophia. Menurut Poedjawijatna filsafat
berasal dari kata Arab yang erat hubungannya dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata
Yunani, yaitu philosophia, yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia. Philo berarti
cinta atau keinginan dan karenanya berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia
berarti kebijakan (hikmah) atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk
mendapatkan kepandaian atau cinta pada kebijakan.[1] Harun Nasution juga mengatakan bahwa filsafat
berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafa dengan wazan atau timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Kalimat
isim atau kata benda dari kata falsafa ini adalah falsafah dan filsaf. Dalam bahasa Indonesia, lanjut Harun
banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan dari kata falsafah (Arab) dan bukan pula dari philosophy
(Inggris), bahkan juga bukan merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam
bahasa Inggris dengan safah (jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab sehingga membentuk istilah
filsafat.[2] Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Secara terminologi pengertian filsafat memang sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik
tekannya. Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang
sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Sementara Hasbullah Bakry,

mengatakan bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan
mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia. Plato mendefinisikan filsafat adalah
pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli (hakiki), dan kata Aristoteles filsafat adalah

peengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi,
politik dan estetika. Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat adalah pengetahuan yang menjadi
pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan, yaitu : (a) apa yang dapat
diketahui, jawabannya adalah metafisika, (b) apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah etika, (c)
sampai di mana harapan kita, jawabannya adalah agama dan (d) apa itu manusia, jawabannya adalah
antropologi.[3]

Barangkali karena rumitnya mendefinisikan filsafat dan ternyata hasilnya juga relatif sangat beragam,
maka Muhammad Hatta tidak mau terlalu gegabah memberikan definisi filsafat. Menurut dia sebaiknya
filsafat tidak diberikan defenisi terlebih dahulu, biarkan saja orang mempelajarinya secara serius, nanti
dia akan faham dengan sendirinya. Pendapat Hatta ini mendapat dukungan dari Langeveld. Pendapat ini
memang ada benarnya, sebab inti sari filsafat sesungguhnya terdapat pada pembahasannya. Akan tetapi –
khususnya bagi pemula – sekedar untuk dijadikan patokan awal maka defenisi itu masih sangat
diperlukan.

2.

Mengapa Manusia Berfilsafat

Apabila seseorang bertanya tentang sesuatu, maka sebenarnya dia sudah berfilsafat, karena bertanya

berarti ingin tahu dan keingintahuan itu merupakan esensi dari filsafat. Akan tetapi pertanyaan
kefilsafatan yang sesungguhnya adalah pertanyaan yang sangat mendalam dan serius. Pertanyaan
kefilsatan memerlukan jawaban yang hakiki, dan setelah mendapatkan jawaban, apabila meragukan maka
jawaban itu akan dipertanyakan kembali untuk mendapatkan jawaban yang lebih mendalam (hakiki). Jadi
filsafat adalah upaya pemikiran dan penyelidikan secara mendalam atau radikal (sampai ke akar
persoalan). Dengan demikian pertanyaan filsuf tidaklah sembarangan. Oleh karena itu pertanyaan seperti
apa rasa gula tidak akan melahirkan filsafat, sebab hal itu bisa dijawab dengan mudah oleh lidah atau
berapa tahun durian dapat berbuah juga tidak melahirkan filsafat, karena dapat dijawab oleh sains dengan
melalui riset (penelitian).

Contoh pertanyaan kefilsafatan adalah seperti diutarakan oleh Thales, “apakah bahan alam semesta ini?”.
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan sembarangan, karena yang dipertanyakan adalah masalah
esensi atau hakikat alam semesta. Jadi perlu pemikiran dan penyelidikan yang mendalam (radikal).
ü Pancaindera jelas tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut, sebab pancaindera hanya sekedar
menyaksikan benda alam yang ada secara lahiriyah.
ü Sains juga tidak sanggup menjawab, karena hanya menyelidiki secara empiris benda yang ada.

ü Tetapi filsafat mampu mengungkapkan jawaban yang lumayan dapat memuaskan. Seperti jawaban dari
Thales sendiri bahwa bahan alam semesta adalah air, dengan alasan bahwa air itu dapat berubah menjadi
berbagai wujud. Jika air dimasukkan ke dalam ember maka dia akan membentuk seperti ember, dst.

Selain itu air amat dibutuhkan dalam kehidupan, bahkan bumi ini menurutnya terapung di atas air.

Pertanyaan tersebut pertamakali muncul pada zaman permulaan (Yunani Kuno), yang dilatarbelakangi
oleh keta’juban (keheranan) terhadap alam semesta. Ketakjuban ini menurut Jan Hendrik Rapar (2001 :
16) menunjuk kepada dua hal penting, yaitu subyek dan obyek. Jika ada ketakjuban pasti ada yang takjub
(subyek) dan yang menakjubkan (obyek). Subyek ketakjuban adalah manusia, sebab manusia satusatunya makhluk yang memiliki perasaan dan akal budi. Hal ini karena ketakjuban hanya dapat dirasakan
dan dialami oleh makhluk yang berperasaan dan berakal budi. Adapun obyek ketakjuban adalah segala
sesuatu yang ada, baik di alam nyata maupun di alam metafisik (abstrak)

Selain ketakjuban, yang mendorong manusia berfilsafat adalah karena adanya aporia (kesangsian,
keraguan, ketidakpastian atau kebingungan). Pertanyaan yang timbul akibat aporia ini menurut Ahmad
Tafsir muncul di zaman modern. Aporia ini berada di antara percaya dan tidak percaya. Ketika manusia
bersikap percaya atau mengambil tidak percaya, maka pikiran tidak lagi bekerja atas hal itu, akan tetapi
jika dia berada antara percaya dan tidak percaya maka pikiran mulai bergerak dan berjalan untuk mencari
kepastian. Sangsi atau keraguan akan menimbulkan pertanyaan, pertanyaan membuat pikiran bekerja, dan
pikiran bekerja akan melahirkan filsafat. Jadi sikap keingintahuan atau ingin kepastian terhadap sesuatu
dapat melahirkan filsafat.

Ada juga yang mengatakan bahwa filsafat dilahirkan atas dasar adanya ketidakpuasan. Sebelum filsafat
lahir, berbagai mitos memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Mitos tersebut beupaya

memberikan penjelasan terhadap manusia tentang asal mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam
semesta, akan tetapi penjelasan dan keterangan tersebut makin lama semakin tidak memuaskan manusia.
Mitos tersebut antara lain membawa ajaran bahwa alam semesta beserta fenomina yang ada tidak
mungkin dapat dipikirkan secara ratio, akan tetapi harus diterima secara intuisi (perasaan dan keimanan).
Mereka ketika itu sangat meyakini ajaran agama (Dewa). Jawaban yang diberikan oleh Thales (mendapat
gelar bapak filsafat, karena dianggap orang yang pertama kali berfilsafat) bahwa bahan baku alam
semesta alam air, jelas tidak diterima oleh dogmatis atau mitos ketika itu. Dalam hal ini Henri Bergson
(penganut intuitisme) mengatakan bahwa akal sangat terbatas. Akal hanya memapu menjangkau atau
memahami suatu obyek apabila mengkonsentrasi-kan kepada obyek tersebut. Ketika itu maka manusia
harus tunduk kepada intuisi.

3.

Obyek Kajian Filsafat

Pada dasarnya setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek
material adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, baik sesuatu yang bersifat konkret
seperti kerbau, sapi, manusia, pohon, batu, tanah, air dan tanah maupun abstrak seperti nilai-nilai, ide-ide,
paham atau aliran dan sebagainya. Contoh, misalnya tubuh manusia menjadi obyek material bagi ilmu
kedokteran. Sedangkan obyek formal adalah cara pandang tertentu tentang obyek material tersebut,

misalnya pendekatan empiris dan eksperimen dalam ilmu kedokteran.

Filsafat, sebagai sebuah proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki obyek material dan
obyek formal. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik yang nampak (dunia empiris) maupun
yang tidak nampak (abstrak, metafisika). Menurut sebagian filosof obyek material filsafat itu menyangkut
tiga hal, yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam fikiran dan yang ada dalam kemungkinan.[4]
Obyek material filsafat pada umumnya sama dengan obyek penelitian sains, bedanya terletak pada dua
pokok, yaitu : Pertama sains menyelidiki obyek material yang empiris, sedangkan filsafat lebih mengarah
kepada yang abstraks. Kedua, ada obyek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains,
seperti Tuhan, hari akhir (obyek materi yang selamanya tidak empiris). Jadi obyek material filsafat lebih
luas ketimbang obyek material sains.[5]

Adapun obyek formal filsafat adalah sifat penyeledikan yang radikal, yakni keingintahuan tentang hakikat
kebenaran sesuatu, dengan cara melakukan penyelidikan secara mendalam sampai ke akar-akarnya.
Dengak kata lain bahwa obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan
obyektif tentang sesuatu yang ada untuk dapat mengetahui hakikat yang sesungguhnya.

4.

Metode Kajian Filsafat


Metode berasal dari bahasa Yunani, methodeuo yang diambil dari kata methodos, artinya mengikuti jejak,
mengusut, menyelidiki dan meneliti, akar katanya adalah meta (dengan) dan hodos (jalan). Dalam
hubungan dengan kegiatan yang bersifat ilmiah, metode berarti cara kerja teratur dan sistematis yang
digunakan untuk memahami suatu obyek yang dipermasalahkan, yang merupakan sasaran dari bidang
ilmu tertentu. Metode tidak sekedar menyusun dan menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang
terpisah-pisah, melainkan juga merupakan alat paling utama dalam proses dan perkembangan ilmu
pengetahuan sejak dari awal penelitian hingga mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah yang
dapat dipertanggung jawabkan.[6]

Metode kefilsafatan sangat beraneka ragam, hampir sama dengan banyaknya jumlah ragam filsafat itu
sendiri. Ini berarti bahwa filsafat tidak mempunyai metode tunggal yang digunakan oleh semua filsuf
sejak zaman purba hingga sekarang. Dengan demikian sangat wajar apabila secara umum setiap metode
dalam filsafat melahirkan teori atau faham tersendiri, seperti emperisme, rasionalisme, relativisme,

idealisme dan lain sebagainya. Sebagai contoh misalnya, dalam Dictionary of Philosophy yang dikutip
oleh Dr. Anton Bakker disebutkan ada sepuluh metode filsafat konkret, yaitu 1) metode kritis : Socrates
dan Plato, 2) metode intuisi : Platinos dan Bergson, 3) metode skolastik : Aristoteles, Thomas Aquinas
dan filsafar abad pertengahan, 4) metode matematis : Descartes, 5) metode empiris : Hobbes, Locke,
Barkeley dan Hume, 6) metode transendental : Imanuel Kant, Neo-Skolastik, 7) metode dialektis : Hegel

dan Karl Marx, 8) metode fenomenologis : Husserl dan eksistensialisme, 9) metode neo-positivisme dan
10) metode analitika bahasa: Wittgenstein (Sudarsono, 2001: 86-87).

Dalam makalah sederhana ini hanya akan dijelaskan secara singkat dua metode sebagai berikut

1.1.

Metode Dialektika (Kritis)

Metode dialektika (bahasa Yunani dari kata kerja dialegesthai = bercakap-cakap atau dialog) atau dikenal
juga dengan metode kritis ini pertama kali dimunculkan oleh Socrates. Metode ini bersifat analisis
terhadap suatu istilah dan pendapat melalui pertanyaan atau dialog kesana kemari untuk membandingbandingkan, kamudian ditemukan suatu kesimpulan yang hakiki. Dengan metode ini Socrates
menemukan logika induksi dan definisi. Logika induksi adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan
khusus (contoh kongkret) lalu memberikan kesimpulan yang umum.

Ketika Thales mengatakan bahwa dasar alam semesta adalah air, kemudian Anaximenes mengatakan
udara dan yang lain menyebutkan terdiri dari empat unsur : tanah, air, udara dan api, lama kelamaan
akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran yang membingungkan – terutama di kalangan orang
awam. Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh sofisme terbesar bernama Protagoras melalui konsep
atau rumus relativisme. Menurut dia bahwa ukuran kebenaran adalah manusia dan kebenaran itu bersifat

relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak (obyektif atau hakiki). Ukuran kebenaran adalah menurut
pandangan masing-masing manusia, “benar itu menurutku dan menurutmu”. Pemikiran relativisme ini
juga berpengruh pada keyakinan agama orang Athena waktu itu, sehingga berkembanglah faham bahwa
tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika atau moral, metafisika, baik dan buruk,
termasuk juga kebenaran agama, yang ada hanyalah kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai
akibat selanjutnya adalah bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang tidak punya
pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara dasar-dasar pengetahuanpun ikut terguncang.
Cara berfikir seperti itu pada umumnya jatuh kepada kaum sofis[7], yaitu kelompok orang yang kurang
terpelajar, baik di bidang sains maupun filsafat, namun mereka cukup populer. Mereka adalah orangorang yang menjual kebijakan untuk memperoleh materi, mereka siap menolong para pencari keadilan
asalkan mendapat bayaran. Apabila seorang sofis datang ke Athena, ia disambut dengan hangat oleh
murid-murid atau pengikutnya untuk mendengarkan ceramhnya yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak
mungkin salah bahkan dianggap sebagai wahyu. Mereka sudah terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil
pemikiran tentang relativisme ini.

Dalam kondisi seperti itu, muncullah seorang filsuf baru – yang juga orang Yunani – bernama Socrates
yang hidup pada kira-kira tahun 470 – 399 SM. Dia termasuk orang yang taat beragama dan memahami
dasar-dasar pengetahuan. Dengan menggunakan metode dialektika, Socrates menemukan dan
membuktikan adanya kebenaran yang obyektif yang merupakan esensi di dalam defenisi. Menurut dia
kebenaran relatif memang ada dan perlu dipegang, akan tetapi kebanaran yang obyektif juga ada dan
harus diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan metode tertentu yang bersifat praktis

dan dijalankan melalui percakapan-percakapan (dialog, dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete
(keutamaan) kepada tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain sebagainya. Tentu saja mereka
memberikan jawaban yang berbeda tentang ciri keutamaan itu, namun juga ada ciri yang mereka sepakati.
Ciri yang disepakati itulah definisi atau kebenaran obyektif, sedangkan ciri yang tidak disepakati adalah
kebenaran suyektif.

Sebagai contoh misalnya, orang bertanya “apakah kursi itu ?”. Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus
mengumpulkan semua kursi yang ada. Pertama kita menemukan kursi hakim dengan ciri ada tempat
duduk dan ada sandaran, kakinya empat dan terbuat dari kayu jati. Selanjutnya kita menemukan kursi
malas dengan ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua dan terbuat dari besi antikarat, kemudian
kita periksa lagi kursi makan yang memiliki ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga dan terbuat
dari rotan, begitu seterusnya. Dari hasil pengamatan atau penyelidikan tersebut kita mendapatkan ciri-ciri
umum dari kursi itu sendiri, yaitu bahwa setiap kursi memiliki tempat duduk dan sandaran, sedangkan ciri
lain tidak terdapat pada semua kursi. Dengan ciri umum tersebut orang akan sepakat bahwa kursi adalah
tempat duduk yang memiliki sandaran. Nah, inilah kebenaran yang obyektif. Tentang jumlah kaki, bahan
kursi dan lainnya merupakan ciri khusus dari kursi tertentu yang merupakan kebenaran subyektif atau
relatif. Dari ciri umum ini orang akan sepakat dan mengerti tentang apa itu kursi, sehingga ketika kita
memesan kursi kepada tukang kursi cukup menyebutkan ciri-ciri yang khusus saja, misalnya kursi dengan
kaki empat yang terbuat dari kayu jati, sedangkan sandaran dan tempat duduknya tidak perlu disebutkan.


Demikian pendapat Socrates bahwa kebenaran itu ada yang relatif (subyektif) dan ada pula yang obyektif
(mutlak). Teori atau ajaran Socrates ini diperkuat dan dikembangkan oleh salah sorang teman yang
sekaligus muridnya bernama Plato. Hanya saja menurut Plato kebenaran umum (definisi, obyektif) itu
bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif sebagaimana dihasilkan oleh Socrates. Menurut Plato
bahwa kebenaran obyektif itu sudah ada di alam ide.

1.2.

Metode Intuisi

Metode intuisi (suara hati atau keimanan atau tenaga rohani yang berbeda dengan akal) ini pertama kali
dilontarkan oleh Plotinus. Dengan metode ini plotinus melahirkan teori emanasi,[8] yang juga bepengaruh
pada filsafat Islam. Emanasi merupakan sebuah teori yang cukup berani, karena para filsuf sebelumnya

tidak mampu dan takut untuk melontarkan teori ini. Kosmologi Palotinus memang cukup tinggi terutama
dalam hal spekulasi dan imajinasinya, semenatara itu pandangan mistis merupakan ciri filsafatnya.
Tujuan filsafat Plotinus adalah tercapainya kebersatuan dengan Tuhan yang ditempuh melalui cara :
pertama-tama mengenal alam lewat indera yang kemudian bisa ke tingkat mengenal Tuhan, lalu menuju
jiwa dunia dan terakhir baru menuju jiwa illahi.

Jawaban Thales bahwa bahan alam semesta adalah air – termasuk jawaban lain yang katanya berasal dari
udara, tanah dan api – dianggap belum memuaskan manusia, karena pertanyaan lebih berbobot daripada
jawabannya. Pada kira-kira 800 tahun kemudina, muncullah Ptlotinus menyusun jawaban yang lumayan,
yaitu yang dikenal dengan teori emanasi. Menurut Plaotinus alam semesta ini tercipta dari pancaran dan
berasal dari Tuhan. Tuhan dalam pandangannya tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung arti banyak.
Yang banyak (makhluk) ini mengalir lewat proses emanasi, yakni hanya satu yang bisa keluar dari yang
satu (The One). Plotinus kemudian menegaskan bahwa hanya ada Satu yang wajib ada, sederhana dan
absolut.

The One atau Yang Esa tersebut menurut Plotinus adalah seuatu realitas yang tidak mungkin dpat
dipahami melalui metode sains dan logika, karena ia berada di luar eksistensi dan di luar segala nilai,
sehingga apabila seseorang mencoba untuk mendefinisikanya niscaya akan gagal. The One atau Yang Esa
merupakan puncak segala yang ada, cahaya di atas cahaya yang tidak mungkin diketahui esensinya,
sekalipun oleh orang yang merasa memiliki pengetahuan ketuhanan cukup tinggi. Seseorang hanya dapat
mengetahui bahwa Ia adalah pokok atau prinsip yang berada di belakang akal dan jiwa. Dia tidak dapat
dideteksi melalui penginderaan dan tidak dapat dipahami lewat pemikiran logis, tapi hanya dapat dihayati
melalui intuisi (hati nurani atau keimanan). Dari teori emansi itu, Plotinus juga melontarkan ajaran
tentang reinkarnasi yaitu keyakinan akan penyatuan kembali jiwa manusia dengan Tuhan (The One).
Reinkarnasi ini ditentukan oleh perilaku dan tindakan manusia selama hidup di dunia. Jiwa yang bersih
tidak ada lagi kaitannya dengan dunia, dia akan kembali menyatu dengan Tuhan. Sedangkan jiwa yang
kotor harus hidup kembali ke dalam kehidupan yang lebih rendah seperti kepada orang jahat, hewan atau
tumbuhan, sesuai dengan tindakan kejahatan jiwa itu sendiri.

5.
5.1.

Karasteristik atau Sifat Dasar Filsafat
Berfikir Radikal

Berfilsafat berarti berfikir secara radikal. Para filosuf adalah para pemikir radikal, sehingga mereka tidak
akan pernah terpaku hanya kepada fenomena suatu identitas atau realitas tertentu saja. Keradikalan
berfikir mereka akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan. Radik
atau akar sebuah realitas memang selalu dianggap penting oleh mereka karena menemukan akar atau
radik tersebut membuat mereka paham akan sebuah realitas tersebut. Berpikir radikal akan memperjelas
realitas lewat penemuan dan pemahaman akan realitas itu sendiri. Kegiatan berfikir untuk menemukan

hakikat atau akar seluruh sesuatu itu dilakukan secara mendalam (radikal). Lois O. Kattsoff (1996 : 6)
mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi bukanlah melamun dan bukan pula
berfikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal,
sistematis dan universal.

5.2.

Mencari asas

Dalam memandang seluruh realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas (dasar) yang peling hakiki
dari keseluruhan realitas tersebut. Para filsuf Yunani, yang terkenal dengan filsuf alam menagamati
keanekaragaman realitas di alam semesta ini, lalu bertanya “apakah di balik realitas alam yang beraneka
ragam ini ada suatu asas atau dasar ?”. Mereka mulai mencari jawaban yang hakiki tentang itu semua.
Thales menemukan asas alam semesta ini adalah air, Aneximenes menemukan bahwa asasnya adalah
udara, dan Empedokles mengatakan ada empat unsur yang membentuk realitas alam ini, yaitu api, udara,
tanah dan air.

5.3.

Memburu Kebenaran

Berfilsafat berarti memburu kebenaran hakiki tentang sesuatu. Filsuf adalah pemburu kebenaran.
Kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki dan tidak meragukan. Untuk memperoleh kebenaran
yang sungguh-sungguh atau hakiki dan dapat dipertanggung jawabkan, maka setiap kebenaran yang telah
diraih harus senantiasa terbuka. Kebenaran tentang sesuatu yang sudah ditemukan oleh seorang filsuf
akan selalu diteliti ulang oleh yang lain demi mencari kebenaran yang lebi hakiki dan dapat
dipertanggungjawabkan.

CABANG ATAU PEMBAGIAN FILSAFAT

Pada tahap awal kelahiran filsafat sesungguhnya mencakup seluruh ilmu pengetahuan, kamudian
berkembang sedemikian rupa menjadi semakin rasional dan sistematis. Seiring dengan perkembangan itu,
wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah banyak, tetapi juga semakin mengkhusus atau
spesifik. Lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang satu persatu mulai memisahkan diri dari
filsafat. Namun kendati pun demikian, tidak berarti filsafat telah menjadi begitu miskin sehingga tinggal
terarah hanya kepada satu permasalahan pokok, dengan wilayah pengetahuan yang semakin sempit dan
pada suatu saat akan lenyap sama sekali. Kenyataannya, masalah-masalah pokok yang dihadapi filsafat

tak pernah berkurang. Karena banyaknya masalah pokok yang harus dibahas dan dipecahkan, filsafat pun
dibagi ke dalam bidang-bidang studi atau beberapa cabang. (Jan Hendrik Rapar, 2001 : 34)

Aristoteles membagi filsafat kepada tiga bidang studi, yaitu :
1) Filsafat spekulatif atau teoretis, yakni suatu cabang filsafat yang bersifat obyektif. Termasuk di
dalamnya adalah fisika metafisika, biopsikologi dan sebagainya. Tujuan utama filsafat ini adalah
pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
2) Filsafat Praktis, yakni filsafat yang memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang
baik dan sebagaimana mestinya, termasuk di dalamnya adalah etika dan politik. Sasaran terpenting bagi
filsafat praktis ini adalah membentuk sikap dan perilaku yang akan memampukan manusia untuk
bertindak dalam terang pengetahuan itu
3) Filsafat Produktif, yaitu pengetahuan atau filsafat yang membimbing dan menuntun manusia menjadi
produktif lewat suatu keterampilan khusus, termasuk di dalamnya adalah kritik sastra, retorika dan
estetika. Adapun sasaran utama yang hendak dicapai lewat filsafat ini adalah agar manusia sanggup
menghasilkan sesuatu, baik secara teknis maupun secara puitis dalam terang pengetahuan yang benar.

Sementara Will Durant membagi studi filsafat kepada 5 cabang, yaitu :
1) Logika, yakni studi tentang metode berfikir dan metode penelitian ideal, yang terdiri dari observasi,
introspeksi, deduksi dn induksi, hipotesis dan eksperimen serta analisis dan sintesis.
2) Estetika atau disebut juga filsafat seni (philosophy of art), yakni filsafat yang membahas tentang
bentuk ideal dan keindahan.
3) Etika, yaitu filsafat tentang studi perilaku ideal.
4) Politika, yaitu studi tentang organisasi sosial yang ideal, yakni tentang monarki, aristokrasi,
demokrasi sosialisme, anarkisme dan sebagainya.
5) Metafisika. Metafisika ini terdiri dari ontologi, filsafat psikologi dan epitemologi.

Para penulis ENSIE (Earste Nederlandse Systematich Ingerichete Ensyclopaedie) membagi filsafat
kepada sepuluh cabang, yaitu : metafisika, logika, epistemologi, filsafat ilmu, filsafat naturalis, filsafat
kultural, filsafat sejarah, estetika, etika dan filsafat manusia. Sedangkan The World University
Ensyclopedia membagi filsafat kepada: filsafat sejarah, metafisika, epistemologi, logika, etika dan
estetika. Sementara Christian Wolff (1679-1754) membaginya kepada cabang-cabang : logika, ontologi,
kosmologi, psikologi, teologi naturalis dan etika.

Masih banyak lagi pembagian filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf, namun pada umumnya
sekarang dibagi kepada enam cabang utama, yaitu : epistemologi, metafisika (meliputi ontologi,
kosmologi, teologi metafisik dan antropologi), logika, etika, estetika dan filsafat tentang berbagai disiplin
ilmu.

1. Epistemologi

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Istilah
epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme bisa diartikan sebagai
pengetahuan atau kebenaran dan logos = kata, pikiran, teori atau ilmu. Dengan demikian epistemologi
berarti teori atau filsafat tentang pengetahuan. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan
“theory of knowledge” (teori pengetahaun). Epistemologi adalah bidang studi filsafat yang
mempersoalkan hal-ihwal pengetahuan yang meliputi antara lain bagaimana memperoleh pengetahuan,
sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh
epistemologi itu terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke arah tercapainya
pengetahuan yang benar[9]. Dengan kata lain bahwa secara umum, epistemologi adalah cabang filsafat
yang membicarakan mengenai hakikat ilmu. Ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik
dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek. Dalam rumusan yang
lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara
mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validasi pengetahuan. Jadi,
pernyataan mengenai apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa
dicapainya serta kebenaran obyektif, subyektif absolut dan relatif merupakan lingkup dan medan kajian
epistemologi.

Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan epistemologi adalah : sumber, asal mula dan sifat dasar
pengetahuan; bidang, batas dan jangkauan pengetahuan; serta validasi dan rehabilitas dari berbagai klaim
terhadap pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami
permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi adalah : apakah pengetahuan itu?, apakah yang
menjadi sumber dan dasar pengetahuan?, apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman
atau akal budi?, dan apakah pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau hanya merupakan dugaan?

1.1.

Tentang Pengetahaun

Jika dikatakan seseorang mengetahui sesuatu, berarti dia telah memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu.
Dengan demikian pengatahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang
diketahui oleh seseorang. Pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yakni yang mengetahui dan obyek,
yakni sesuatu yang diketahui. Dan pengetahuan juga bertautan erat dengan kebenaran, karena demi

mencapai kebenaranlah maka pengetahuan itu eksis. Kebenaran adalah kesesuaian antara pengetahuan
dengan obyeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan dengan obyeknya disebut kekeliruan. Suatu obyek yang
ingin diketahui senantiasa memiliki begitu banyak aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak.
Kenyataannya, manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari suatu obyek itu, sedangkan yang lainnya
tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas bahwa amat sulit untuk mencpai kebenaran yang
lengkap dari obyek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan
obyek pengetahuan.

Menurut Jan Hendrik Rapar (1996:38) bahwa pengetahuan itu dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu : 1)
Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Ini terdiri dari “nir-ilmiah” dan “pra-ilmiah”. Pengetahuan nirilmiah adalah hasil penyerapan dengan indera terhadap obyek tertentu yang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari dan termasuk pula pengetahuan intuituf. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasil penyerapan
inderawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut
kebenarannya dengan menggunakan metode-metode ilmiah. 2) pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge), pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin
kepastian kebenaran yang dicapai. Inilah pengetahuan yang sering disebut sains (science). 3. pengetahuan
filsafat (philosophical knowledge), yang diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada
pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis serta pemikiran-pemikiran yang logis, analitis dan
sistematis. Pengetahuan filsafat ini berkaitan dengan hakikat, prinsip dan asas seluruh realitas yang
dipersoalkan selaku obyek yang hendak dicapai atau diketahui.

1.2.

Perbedaan Pengetahaun dengan Ilmu

Dari seperangkat pengertian yang ada, pengetahaun dengan ilmu sering dikacaubalaukan. Keduanya
sering dianggap mempunyai persamaan makna, bahkan telah dirangkum menjadi sebuah kata majemuk
yang mengandung arti tersendiri. Padahal apabila kedua kata itu berdiri sendiri, maka perbedaannya akan
nampak dengan jelas. Kata pengetahuan diambil dari bahasa Inggris knowledge, sedangkan ilmu berasal
dari bahasa Arab ilm (‫ )عـلـم‬atau kata Inggis science. Makna semacam ini nampak lebih baik daripada
mencampuradukkan dua kata tersebut. Dengan memisahkan kedua kata ini, maka akan diperoleh
pengertian dan perbedaannya masing-masing.

Pengetahaun dapat diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan manusia
untuk memahami suatu obyek yang dihadapi atau obyek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud bendabenda fisik, pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal. Dapat
pula obyek yang dipahami itu berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan yang
cara memahaminya dengan komprehensi, bahkan dapat berwujud subsistensi yang dipahami lewat
persepsi. Apabila obyeknya berupa nilai (value), pemahamannya lewat persepsi pula. Franz Rosenthal
mengemukakan bahwa ada lebih dari seratus definis pengetahaun, antara lain : (a) pengetahaun yang
menyangkut proses mengetahui, (b) pengetahuan yang menyangkut tentang pengamatan, (c) pengetahaun

yang menyangkut proses yang diperoleh melalui persepsi mental dan (d) pengetahuan yang menyangkut
kepercayaan.[10]

Pengertian ilmu sebagaimana dikemukakan oleh The Liang Gie adalah suatu bentuk aktivitas manusia
yang dengan melakukannya manusia memperoleh suatu pengetahuan dan pemahaman yang senantiasa
lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu
kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungan serta
mengubah sifat-sifatnya sendiri. Sementara Charles Singer mengatakan “Ilmu adalah proses yang
membuat pengetahuan”. Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu Dalam Perspektif menulis “ilmu
lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan”.

Perbedaan antara ilmu dan pengetahuan dapat ditelusuri dengan melihat perbedaan ciri-cirinya. Menurut
Herbert L. Searles ciri-ciri tersebut sebagai berikut : “Kalau ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan ciri
empiris, maka ilmu berbeda dari pengetahuan biasa karena ciri sistematisnya”. Mohammad Hatta (mantan
Wakil Presiden RI pertama) membedakan ilmu dengan pengetahuan sebagai berikut : “Pengetahuan yang
didapat dari pengalaman disebut pengetahuan pengalaman, atau ringkasnya pengetahuan. Pengetahuan
yang didapat dengan jalan keterangan disebut ilmu. Bahwasanya pengetahuan saja bukanlah ilmu, dapat
kita persaksikan pada binatang yang juga mempunyai pengetahuan, misalnya anjing. Dari gerak tangan
tuannya atau dari keras atau lembutnya suara tuannya itu, ia tahu apa yang dimaksud tuannya terhadap
dia. Tiap-tiap ilmu mesti bersendi kepada pengetahuan. Pengetahuan adalah tangga yang pertama bagi
ilmu untuk mencari keterangan lebih lanjut”.

Jadi pada dasarnya perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan adalah terletak pada sifat sistematik dan
cara memperolehnya. Perbedaan tersebut menyangkut pengetahuan yang pra-ilmiah atau pengetahuan
biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang berarti. Dalam
perkembangan selanjutnya di Indonesia, pengetahuan disamakan artinya dengan ilmu, karena kata ilmu
yang berasal dari bahasa Arab berarti pengetahuan. Nawawi Dusky menulis dalam Buletin Dakwah :
“ilmu yang berasal dari bahasa Arab ini artinya adalah pengetahaun”. Dengan demikian bahwa secara
bahasa pengetahuan dengan ilmu bersinomin arti, sedangkan dalam arti material keduanya mempunyai
perbedaan. Sementara itu menurut disiplinya, ilmu pengetahuan dapat digolongakan menjadi tiga, yaitu :
ilmu deduktif (ilmu-ilmu formal), ilmu induktif (ilmu-ilmu empiris) dan ilmu reduktif (sejarah dan lainlain) [11]

1.3.

Sumber Pengetahuan

Proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar dalam epistemologi, sebab hal ini akan
mewarnai pemikiran kefilsafatan. Pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya

pengetahuan, yaitu dalam sifatnya baik yang apriori maupun aporteriori. Pengetahuan apriori adalah
pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun
pengalaman bathin. Sedangkan pengetahuan aporteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya
pengalaman. Dalam mengetahui sesuatu diperlukan alat-alat, seperti pengalaman indera (sense
experience), nalar (reason), otoritas (othority), intuisi (intuition), wahyu (revelation) dan keyakinan
(faith). [12]

Apakah sebenarnya yang menjadi sumber pengetahuan ?. Dalam hal ini para filsuf memberi jawaban
yang berbeda. Plato, Descartes, Baruch Spinoza dan Leibniz mengatakan bahwa sumber pengetahuan
adalah akal budi (ratio), bahkan ada yang secara ekstrim mengemukakan bahwa akal budi adalah satusatunya sumber dari pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal budi itu berpendapat bahwa setiap
keyakinan atau pandangan yang bertentangan dengan akal budi tidak mungkin benar. Bagi mereka pikiran
memiliki fungsi sangat penting dalam proses mengetahui.

Pengetahuan didapat dari pengamatan. Dalam pengamatan inderawi tidak dapat ditetapkan apa yang
subyektif dan apa yang obyektif. Jika kesan-kesan subyektif dianggap sebagai kebenaran maka hal itu
mengakibatkan adanya gambaran-gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan dimulai
dengan gambaran-gambaran inderawi, kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada yang lebih tinggi,
yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Dalam pengetahun rasional orang hanya mengambil
kesimpulan-kesimpulan, sedang dalam intuisi orang memandang kepada ide-ide yang berkaitan dengan
Tuhan. Demikian pendapat Baruch Spinoza. Hal ini berbeda dengan pendapat Thomas Hobbes (15881679), salah seorang tokoh emperisme, yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh karena
pengalaman. Menurutnya pengalaman adalah awal segala pengetahuan, segala ilmu pengetahuan
diturunkan dari pengalaman dan hanya pengalamanlah yang memberi jaminan akan kepastian. Yang
disebut pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan dalam ingatan
dan digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada
masa lampau. Pengalaman inderawi terjadi karena gerak benda-benda diluar kita menyebabkan adanya
suatu gerak di dalam indera kita. Gerak itu diteruskan kepada otak, dari otak dilanjutkan ke jantung. Di
dalam jantung timbul suatu reaksi, suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang
sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.

Beberapa filsuf yang lain seperti Bacon, Thomas Hobbes dan John Locke mengatakan bahwa sumber
pengetahaun adalah pengalaman inderawi, bukan akal budi atau ratio. Pada dasarnya menurut mereka,
pengetahuan bergantung pada pancaindera manusia dan pengalaman-pengalaman inderanya, bukan pada
rasio. Mereka juga mengklaim bahwa seluruh ide dan konsep manusia sesungguhnya berasal dari
pengalaman. Tidak ada ide atau konsep yang di dalam dirinya sendiri bersifat apriori, tetapi
sesungguhnya aposteriori.

John Locke, misalnya, mengatakan bahwa seluruh ide manusia berasal secara langsung dari sensasi dan
lewat refleksi terhdap ide-ide sensitif itu sendiri. Tidak ada suatu apapun juga dalam akal budi manusia
yang tidak berasal dari pengalaman inderawi. Dengan kata lain bahwa segala pengetahuan datang dari
pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (ratio) menurutnya bersifat pasif pada waktu pengetahuan
didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Semua akal serupa dengan secarik
kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Dia tidak
membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali, satu-satunya sasaran obyek
pengetahuan adalah gagasan atau ide-ide, yang timbulnya karena pengalaman lahiriyah (sensation) dan
bathiniyah (reflection).

1.4.

Adakah Pengetahuan yang Benar dan Pasti

Louis O. Kattsoff dalam teori korespondensinya menyatakan bentuk kebenaran sebagai berikut “bahwa
sutu pendapat itu benar jika arti yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan
teori koresponden. Kebenaran atau keadaan dasar itu berupa kesesuaian (koresponden) antara arti yang
dimaksudkan oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh-sungguh halnya atau apa yang merupakan
fakta-faktanya”. Teori kebenaran yang lain dikemukakan oleh Harold H. Titus sebagaimana dikutip oleh
H. Endang Saifuddin Anshari sebagai berikut : “Kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan fakta atau
sesuatu yang selaras dengan situasi aktual. Kebenaran ialah kesesuaian (agreement) antara pernyataan
(statement) mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (judgement) dengan situasi seputar
yang diberikan interpretasi”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebenaran dalam pengetahaun adalah kesesuaian antara
subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahuinya. Contoh : Amir dibangunkan oleh Ali sambil
berteriak bahwa ada kebakaran, Amir pun segera bangun dan percaya bahwa ada kebakaran. Ini dikatakan
benar jika betul terjadi kebakaran, tapi dikatakan salah jika (kenyataannya) tidak terjadi kebakaran (Miska
Muhammad Amien, 1983 : 7-8)

Para penganut skeptisisme pada umumnya sependapat bahwa segala sesuatu, termasuk yang sudah pasti,
dapat saja disangsikan kebenarannya. Untuk membenarkan diri, secara ekstrim mereka berpegang pada
ungkapan Socrates yang mengatakan “apa yang saya ketahui adalah bahwa saya tidak mengetahui apaapa”. Dengan demikian, mereka hendak menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada pengetahuan yang
pasti dan mutlak. Pyrrho (365-275 SM), yang dikenal sebagai pencipta skeptisisme sistematis pertama,
mengatakan bahwa kita harus senantiasa menyangsikan segala sesuatu yang dianggap benar karena
sesungguhnya tidak ada yang benar-benar dapat diketahui dengan pasti. Ada banyak pandangan yang
sering kali saling bertentangan, tetapi tidak pernah dapat ditentukan yang mana benar dan yang mana
salah karena tidak ada kriteria yang dapat digunakan untuk itu (Jan Hendrik Rapar, 1996 : 40-42).

John Wilkins (1614-1672) dan Joseph Glanvill (1626-1680) membedakan antara pengetahuan tertentu
yang sempurna dan pengetahuan tertentu yang sudah pasti. Mereka berpendapat bahwa tidak seorang pun
manusia dapat meraih pengetahuan yang sempurna karena kemampuan manusia telah cacat dan rusak.
Adapun pengetahuan tertentu yang telah pasti, misalnya matahari terbit dari timur setiap hari, api
menghanguskan, terkena air basah dan sebagainya merupakan pengetahuan yang pasti dan tidak perlu
diragukan lagi.

David Hume (1711-1776) menyerang dasar-dasar pengetahuan empiris. Menurutnya tidak ada suatu
generalisasi pengalaman yang dapat dibenarkan secara rasional. Demikian pula proposisi mengenai
pengalaman tidak perlu, karena seseorang dengan mudah akan dapat membayangkan suatu dunia di mana
proposisi itu keliru. Sebagai contoh, “matahari akan terbit besok pagi” adalah sebuah generalisasi dari
pengalaman atau realitas. Akan tetapi hal itu sebenarnya tidak perlu karena kita dapat membayangkan
suatu dunia yang mirip dunia kita yang mataharinya tidak terbit besok pagi. Baginya generalisasi induktif
sama sekali bukan suatu proses berfikir, tetapi sekedar mengharap bahwa hal yang sama akan berulang
kembali dalam kondisi dan situasi yang sama.

Pandangan para filsuf yang menyangsikan segala sesuatu, termasuk yang sudah dianggap pasti
kebenaranya, sejak semula telah disanggah oleh pemikir lainnya. Misalnya Augustinus (354-430)
mengatakan bahwa ungkapan “manusia tidak dapat mengetahui apa-apa” menunjukkan bahwa hal itu
sebenarnya sudah merupakan pengetahuan. Oleh sebab itu, bagi Augustinus, pendapat filsuf yang
demikian, secara rasional tidak konsisten, ungkapan tersebut adalah keliru dan salah, berarti tidak ada
masalah. Jika memang benar, berarti ungkapan itu mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri,
karena bagaimanapun juga kita telah mengetahui dengan pasti tentang satu hal, yakni kita tahu bahwa
kita tidak dapat mengetahui apa-apa.

Sedangkan Thomas Reid (1710-1796) menyanggah presuposisi sentral David Hume yang mengatakan
bahwa kepercayaan kita yang sangat mendasar haruslah dibenarkan oleh argument-argument rasionalfilsafat. Thomas Reid mengatakan bahwa bukti-bukti rasional-filsafat yang dikehendaki Hume itu
sesungguhnya tidak pantas dan tidak tepat. Menurutnya kepercayaan yang sangat mendasar itu tidaklah
dilandaskan pada pra anggapan yang membuta begitu saja, melainkan justru mencerminkan konstitusi
rasional kita yang sanggup pula mengenal lewat intuisi.

2.

Metafisika

Istilah metafisika juga berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata meta dan physika. Meta berarti
sesudah, selain atau sebaliknya dan physika berarti nyata atau alam. Jadi metafisika dapat diartikan
dibalik alam semesta atau selain yang nyata. Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh, metafika

adalah ilmu yang memikirkan atau membahas hakikat sesuatu di balik alam nyata. Metafisika biasanya
dibagi kepada : metafisika umum atau ontologi dan metafisika khusus yang terdiri dari kosmologi, teologi
metafisik dan filsafat antroplogi (Jan Hendrik Rapar, 1996:44)

2.1.

Metafisika Umum atau Ontologi

Metafisika umum atau ontologi ini membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus.
Pembahasan itu dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi yang sesungguhnya dari
penampakkan atau penampilan eksistensi itu. Pertanyaan-pertanyaan ontologis yang utama dan sering
diajukan adalah “apakah realitas atau ada yang begitu beraneka ragam dan berbeda-beda itu pada
hakikatnya satu atau tidak ?”, kalau memang satu, “apakah gerangan yang satu itu ?” dan “apakah
eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang nampak atau tidak
?”. Dalam hal ini ada tiga teori ontologi yang terkenal, yaitu :
a). Idealisme. Teori ini mengajarkan bahwa eksistensi atau ada yang sesungguhnya berada di dunia ide.
Segala sesuatu yang nampak dan mewujud dalam alam inderawi hanya merupakan gambaran atau
bayangan dari yang sesungguhnya yang berada di alam ide. Dengan kata lain bahwa realitas yang
sesungguhnya bukanlah yang kelihatan, melainkan yang tidak nampak. Tokoh idealisme subyektif,
George Berkeley (1685-1753) mengatakan bahwa satu-satunya realitas yang sesungguhnya adalah aku
subyektif yang spritual. Baginya tidak ada substansi material dan sebagainya, seperti kursi dan meja,
karena semua itu hanya merupakan koleksi ide yang ada dalam alam pikiran sejauh yang dapat diserap.
G. Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada adalah satu bentuk
dari satu pikiran.
b). Materialisme. Bagi materialisme ada atau esksitensi yang sesungguhnya adalah sesuatu yang bersifat
material. Artinya realitas yang sesungguhnya adalah kebendaan. Karena itu seluruh realitas hanya
mungkin dijelaskan secara materialistis. Leukippos dan Demokritos mengatakan bahwa seluruh realitas
bukan hanya satu, tetapi terdiri dari banyak unsur, dan unsur-unsur itu tidak terbagi lagi atau disebut atom
(tidak dapat dibagi). Atom itu merupakan bagian materi sangat kecil yang tidak berkualitas dan senantiasa
bergerak karena adanya ruang kosong. Jiwa manusia pun terdiri dari atom-atom. Sementara Thomas
Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa seluruh realitas adalah materi yang tidak bergantung pada
gagasan dan pikiran. Setiap kejadian adalah gerak yang terjadi oleh keharusan, maka seluruh realitas yang
tidak lain dari materi itu senantiasa berada di dalam gerak. Sedangkan Ludwig Andreas Feuerbach (18041872) mengemukakan bahwa materi haruslah menjadi titik pangkal dari segala sesuatu. Baginya, alam
materi adalah realitas yang sesungguhnya. Adapun karena manusia adalah bagian dari alam material itu,
maka manusia adalah satu realitas yang konkret. Agama dan Tuhan, lanjut dia, hanyalah impian manusia
yang begitu egoistis demi meraih kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
c). Dualime. Ini mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua tipe fundamental yang berbeda
dan tak dapat direksusikan kepada yang lainnya, yaitu material dan mental. Dengan demikian, dualisme
mengakui bahwa realitas terdiri dari materi (yang ada secara fisik dan mental (yang ada tidak kelihatan
secara fisik). Dualisme harus dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan pluralisme adalah

teori tentang jumlah substansi dan bukan mempersoalkan tipe fundamental dan substansi itu. Memang
ada filsafat pluralistis yang bersifat dualisme, misalnya Cartesianisme, tetapi ada pula yang tidak.

Ontologi adalah filsafat umum yang juga sering disebut metafisika umum. Ontologi dapat dipahami
sebagai “pohon” filsafat atau filsafat itu sendiri. Sebagai pohon filsafat, maka ontologi atau metafisika
umum ini mempersoalkan apa yang ada di balik “yang ada” (hakikat yang ada), yaitu meliputi pertanyaan
tantang hakikat Tuhan sebagai Sang Pencipta alam beserta isinya.

Cakupan ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah ilmu tentang manusia dan masyarakat, ilmu alam dan
ilmu ketuhanan. Oleh karena itu, filsafat dan ilmu pengetahuan mempunyai obyek yang sama yaitu samasama menyelidiki manusia, alam dan Tuhan, hanya saja perbedaannya terletak pada kualitas sasaran yang
dituju. Kualitas sasaran filsafat bersifat metafisik (hakikat) secara utuh dan menyeluruh, sedangkan
kualitas ilmu pengetahuan hanya menyelidiki jenis, bentuk, sifat dan susunan fisik menurut bagian-bagian
tertentu secara terpisah.

Tokoh yang membuat istilah ontologi populer adalah Christian Wolff (1679-1714). Istilah ontologi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang ada” dan logi berarti “ilmu pengetahua atau ajran”.
Dengan demikian ontologi adalah ilmu pengetahaun atau ajaran tentang yang ada. Dalam ontologi ini
terdapat beberapa aliran yang penting, yaitu antara lain : 1) dualisme, yang memandang alam ini terdiri
dari dua macam hakikat sebagai sumbernya, 2) monisme (materialisme) yang memandang bahwa sumber
yang asal itu hanya tunggal, 3) idealisme yang memandang segala sesuatu serba-cita atau serba roh, dan
4) aguosticisme yang mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat seperti yang
dikehendaki oleh ilmu metafisik. (Sudarsono, 2001 : 118)

2.2.

Metafisika Khusus

2.2.1 Kosmologi

Kosmologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata kosmos dan logos. Kosmos berarti dunia, alam
atau ketertiban (lawan dari chaos = kacau balau) dan logos berarti kata atau ilmu. Jadi kosmologi berarti
pembicaraan atau ilmu tentang alam semesta dan ketertiban yang paling fundamental dari seluruh realitas.
Kosmologi memandang alam semesta sebagai suatu totalitas dari fenomena dan berupaya untuk
memadukan spekulasi metafisika dengan evidensi ilmiah di dalam suatu kerangka yang koheran. Hal-hal
yang biasa disoroti dan dipersoalkan adalah mengenai ruang dan waktu, perubahan, kebutuhan,
kemungkinan-kemungkinan dan keabadian. Metode yang digunakan bersifat rasional dan justru hal itulah
yang membedakannya dari berbagai kisah asal mula struktur alam.

2.2.2 Teologi Metafisik

Teologi metafisik mempersoalkan eksistensi Tuhan, yang dibahas secara terlepas dari keprcayaan agama.
Eksistensi Tuhan hendak dipahami secara rasional. Konsekwensinya, Tuhan menjadi sistem filsafat yang
perlu dianalisis dan dipecahkan lewat metode ilmiah. Apabila Tuhan dilepaskan dari kepercayaan agama,
maka hasil analisis dan pembahasan yang diperoleh bisa berupa satu dari beberapa kemungkinan sebagai
beriku