KEK ARUN DALAM KONTEK SYARIAT ISLAM DI A

KEK ARUN DALAM KONTEK SYARIAT ISLAM DI ACEH
Oleh: Dr. Munadi Usman, MA1

A. PENDAHULUAN
Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang diberi wewenang penuh
untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, tidak
terkecuali dibidang ekonomi. Wewenang ini diberikan atas dasar desakan masyarakat Aceh
kepada pemerintah pusat melalui berbagai upaya massif seperti diplomasi, demontrasi bahkan
perang mengangkat senjata. Lalu secara bertahap pemerintah pusat menyetujui permintaan
tersebut dengan memberikan wewenang terbatas pelaksanaan syariat Islam dalam bidang
tertentu, dan terakhir disetujui pelaksanaan secara total (kaffah).
Sebagai payung hukum pelaksanaan syariat Islam di Aceh, pemerintah telah
menerbitkan beberapa regulasi seperti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1991 Tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pada Pasal 4 ayat 1 undangundang ini disebutkan: “Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan
dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.” Kemudian
pada Pasal 6 disebutkan: “Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya
pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang
dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam.”
Pada tahun 2001, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada pasal 25 ayat 1-3 undang-undang ini

disebutkan;

1

Penulis adalah Dosen Hukum Islam pada IAIN Lhokseumawe. Email: munadiusman83@gmail.com.

Contact person: 0852 60 186143.

1

(1) Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari
sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar‟iyah yang bebas dari
pengaruh pihak mana pun.
(2) Kewenangan Mahkamah Syar‟iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan
atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama
Islam.
Terakhir pada tahun 2006 pasca penandatanganan MOU Helsinki, pemerintah
menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Pada Bab

XII undang-undang ini secara khusus di atur tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Pada
Pasal 125 ayat 1-2 disebutkan:
(1) Syari‟at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar‟iyah dan akhlak.
(2) Syari‟at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana),
qadha‟ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
Melalui tiga undang-undang tersebut, pelaksanaan syariat Islam di Aceh secara sah
berlaku dalam berbagai bidang, termasuk bidang muamalah (hukum perdata). Dengan
sendirinya provinsi Aceh menjadi wilayah dengan basis hukum Islam, sebagai hukum positif
yang berlaku bagi masyarakat dan para pihak yang melakukan aktivitasnya di Aceh.
Pemberlakuan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe dalam wilayah
hukum Provinsi Aceh perlu mempertimbangkan aspek syariat Islam. KEK dan syariat Islam
sebenarnya tidak saling bertentangan, bahkan keduanya memiliki kolerasi yang erat satu
sama lain. Perekonomian merupakan salah satu subtansi hukum Islam yang harus dipahami
dan diamalkan oleh umat Islam untuk mewujudkan kesejahteraan hidup. Namun hukum
Islam memandang kegiatan perekonomian bukanlah suatu yang bebas nilai, melainkan ada
etika dan moral yang harus diterapkan supaya setiap usaha yang dilakukan dapat
dipertanggungjawabkan secara duniawi dan ukhrawi.

2


B. Asas Hukum Islam Tentang Ekonomi
Islam sebagai agama rahmatan lil‟alamin (rahmat bagi alam semesta) merupakan
seperangkat aturan yang mengatur setiap aspek kehidupan manusia. Secara umum hukum
Islam mengatur dua hal, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan („ubudiyyah) dan hubungan
manusia dengan manusia lain serta lingkungan (muamalah). Islam mengatur kedua persoalan
tersebut supaya dapat berjalan dengan semestinya dan tidak menimbulkan ketimpangan
sehingga merugikan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Hukum Islam memiliki dua sumber utama yaitu Alquran dan Hadist yang memuat
nilai-nilai universal yang menjadi pedoman dalam berinteraksi sesama manusia, termasuk
dalam bidang muamalah (perekonomian). Daya jangkau teks Alquran dan Hadis yang luas
selalu tepat untuk diimplikasikan dalam kehidupan nyata. Dalam bidang perekonomian, sejak
awal umat Islam diwajibkan mencari harta yang halal melalui usaha-usaha yang sah. Allah
berfirman:

             
)۸۱۱ :‫(البقرة‬

  

Artinya: dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara

kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian dari pada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui. (QS. AlBaqarah (2) : 188)
Ayat di atas menegaskan bahwa umat Islam harus mengusahakan harta secara sah,
bukan secara bathil dan menghalalkan segala macam cara untuk memperoleh harta. Wahbah
Zuhaili menjelaskan bahwa usaha harta secara bathil adalah tindakan menyimpang seperti
mencuri, menipu, merampas dan lain sebagainya. Ayat tersebut juga melarang tindakan
menyogok hakim agar memenang dirinya atas kasus harta (perdata) yang diperselisihkan
dengan orang lain. (Wahbah Zuhaili, 2010: 529).

3

Senada dengan itu, pada QS. Al-Baqarah ayat 168 Allah juga berfirman berkaitan
dengan usaha yang halal, yaitu:

               

 

Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di

bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah (2) :
168)
Melalui ayat ini Allah Swt memerintahkan kepada manusia supaya mencari harta
yang halal dan baik (untuk dikonsumsi atau digunakan), tidak semua harta yang halal itu
berarti baik dikonsumsi, akan tetapi harta yang paling baik adalah yang halal sekaligus tidak
menimbulkan dampak negatif jika mengkonsumsinya, seperti muncul penyakit, merusak
fisik, gangguan akal, dan lain sebagainya.
Melalui ayat tersebut, Allah juga memerintahkan kepada manusia mencari karunia
Allah di muka bumi ini dengan berbagai bentuk usaha, seperti bertani, nelayan, berdagang,
membuka industri, ekplorasi sumber daya alam dan lain sebagainya. Setiap usaha tersebut
harus dilakukan secara halal dan sah. Manusia jangan terpedaya dengan ajakan dan bisikan
setan untuk mencari harta dengan jalan yang haram.
Dalam beberapa hadis juga ditemukan tentang ketentuan untuk mencari harta yang
halal. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah bersabda:

ُ ‫ ِح ْف‬:‫علَيْلَ َما فَاتَلَ ِمنَ الدُّ ْنيَا‬
َ ِ‫ َو ِعفَّةٌ ف‬،ٍ‫ َو ُحس ُْن َخ ِل ْيقَة‬،ٍ‫صد ُْق َح ِد ْيث‬
‫َ ْْ ََ ٍة‬

ِ ‫ َو‬،ٍ‫ظ أ َ َمانَة‬
َ َ‫أ َ ْربَ ٌع إِذَا ُم َّن فِيْلَ فَال‬
Artinya: “Empat perkara bila keempatnya ada padamu maka tidak mengapa yang
terlewatkanmu dari perkara duniawi: menjaga amanah, ucapan yang jujur, akhlak
yang baik, dan menjaga (kehalalan) makanan.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani)
Hadis di atas menjelaskan bahwa ada empat hal yang sangat berharga dalam
kehidupan seorang mukmin, dibandingkan perkara duniawi, yaitu sanggup menjaga amanah,
4

selalu berkata jujur, mempunyai akhlak yang baik dan memiliki harta dan makanan yang
halal. Jadi harta yang halal merupakan barang berharga bagi setiap mukmin, yaitu harta yang
diperoleh lewat usaha yang halal dan sah. Harta yang halal tersebut jauh lebih berharga
dibandingkan perhiasan dunia yang lain.
Dalam mengusahakan harta yang halal, motivasi dan dorongan dari isteri sangat
penting dilakukan. Isteri sebagai konco winking bagi suami dalam keluarga harus mampu
mencegah suaminya berusaha yang haram. Hal ini sebagaimana dilakoni oleh para isteri dari
para salafusshalih. Bila suami mereka keluar dari rumah untuk bekerja, merekapun berpesan:

‫ار‬
ْ َ‫علَى ْال ُج ْوعِ َوالَ ن‬

ْ َ‫ فَإِنَّا ن‬،‫ْب ْال َح َر ِام‬
َ ‫صبِ ُر‬
َ ‫صبِ ُر‬
َ ‫إِيَّاكَ َو َمس‬
ِ َّ‫لى الن‬
َ ‫ع‬
Artinya: Jauhi olehmu penghasilan yang haram, karena kami mampu bersabar atas rasa
lapar tapi kami tak mampu bersabar atas neraka.”
Pelajaran seperti ini penting dan patut dipedomani oleh umat Islam zaman sekarang,
khususnya para isteri. Mereka harus senantiasa mendorong suaminya supaya berusaha secara
halal, bukan sebaliknya mendorong dan mendesak suami untuk mengumpulkan harta
sebanyak-banyaknya tanpa peduli sumbernya halal atau haram. Perilaku isteri yang seperti ini
akan menjerumuskan suami dan keluarganya ke dalam api neraka.
Berdasarkan ketentuan yang terkandung dalam dalil di atas dapat dipahami bahwa
mencari harta yang halal merupakan kewajiban untuk setiap muslim, tentu melalui usahausaha yang halal dan sah. Mereka akan disiksa oleh Allah jika mengabaikan masalah ini,
karena memakan harta yang haram mengakibatkan tubuhnya dibakar api neraka.
Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw bahwa setiap daging yang tumbuh dari harta
haram, maka neraka yang lebih patut baginya. (HR. Ahmad).
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mukhtashar Minhajul Qashidin menjelaskan tentang
ketentuan mencari harta, bahwasanya mencari yang halal adalah fardhu ain atas setiap

muslim (Ibnu Qudamah, 2001: 34). Maka setiap muslim wajib berusaha memperoleh harta

5

yang halal setiap waktu, dan tidak boleh hanya berpangku tangan menunggu datangnya tanpa
usaha. Para nabi merupakan orang paling dekat dengan Allah, namun mereka juga bekerja
untuk memperoleh harta yang halal.
Diriwayatkan bahwa Nabi Daud As bekerja sebagai tukang besi untuk bisa menafkahi
keluarganya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadis; Tidak
ada seorangpun memakan makanan yang lebih bagus dari memakan dari hasil kerja
tangannya sendiri dan Nabiyyullah Dawud dahulu memakan dari hasil kerja tangannya
sendiri.” (HR. Al-Bukhari). Dalam hadis yang lain beliau juga mengisahkan tentang
pekerjaan Nabi Zakariyya sebagai tukang kayu. Beliau bersabda:

‫ارا‬
ً ‫َمانَ زَ َم ِريَّا ُء نَ َّج‬
Artinya: Zakariyya adalah seorang tukang kayu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Menurut Imam Nawawi, hadis tersebut menjelaskan tentang keutamaan Nabi Zakaria
yang memakan hasil kerjanya sendiri. Keadaannya sebagai nabi tidak menghalangi untuk
berprofesi sebagai tukang kayu. Bahkan dengan itu, beliau memberi contoh kepada umat

tentang kewajiban berusaha mencari harta. Dalam hadis yang lain, Rasulullah Saw
menegaskan bahwa salah seorang di antara manusia yang mencari seikat kayu bakar dan
mengangkat ke atas punggungnya lebih baik dari pada meminta-minta kepada orang lain, lalu
orang memberi atau (mungkin) tidak memberinya. (HR. Malik, Al-Bukhari, Muslim, AtTirmidzi, dan An-Nasa’i dari Abu Hurairah).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bekerja dalam Islam merupakan suatu
hal yang mulia. Manusia dapat mengusahakan harta lewat berbagai bentuk usaha baik micro
maupun makro, tergantung kemampuan seseorang dari segi skill dan modal. Agama Islam
membuka peluang seluas-luasnya untuk memilih suatu pekerjaan atau profesi asalkan tidak
bertentangan dengan hukum Islam.

6

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun, Lhokseumawe sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2017 yang terdiri dari 5 zona yaitu pengolahan ekspor,
logistik, industri, energi dan pariwisata, merupakan suatu peluang pekerjaan dan
pengembangan ekonomi umat. Semua zona tersebut secara lahiriah tidak bertentangan
dengan ketentuan Islam, sejauh sistem pengelolaan dan produk yang dihasilkan berstatus
halal dan sah. Hukum Islam hanya membatasi usaha-usaha yang mengandung unsur
manipulasi, produksi barang haram yang membahayakan bagi lingkungan dan masyarakat.
Pemanfaatan lokasi strategis untuk perekonomian dalam pandangan Islam justeru perlu

dilakukan supaya memperoleh hasil yang maksimal dan signifikan.

C. Etika Investasi Dalam Islam
Setelah membahas asas hukum Islam tentang ekonomi, maka pada bagian ini penulis
akan menjelaskan tentang etika investasi dalam Islam. Permasalahan ini urgen disinggung
dan dibahas dalam kontek pemberlakuan KEK Arun Lhokseumawe, karena program tersebut
secara geofrafis berada di wilayah hukum Propinsi Aceh yang telah mendeklarasikan diri
sebagai negeri Syariat Islam. Maka setiap investasi di Aceh, apapun bentuknya tidak boleh
mengabaikan aspek etika dan moral agama yang dianut masyarakat setempat.
Pertimbangan terhadap kondisi masyarakat merupakan wujud dari penghormatan
terhadap kearifan lokal yang harus dilakukan oleh pihak manapun, demi menjaga dan
menghindari gejolak dari masyarakat yang sewaktu-waktu bisa bergerak secara massif bila
aspirasi mereka diabaikan. Di samping itu, perubahan paradigma dan motivasi investasi
dewasa ini juga telah terjadi. Investasi tidak saja dipandang sebagai kegiatan yang
memberikan kepuasan finansial atau tingkat pengembalian yang tinggi, namun juga kepuasan
spiritual. Kecenderungan investasi semacam ini disebut sebagai ethical investment, yakni

7

investasi


yang dapat

dipertanggungjawabkan

secara

sosial,

karena

menggunakan

pertimbangan etika (ethical screening). (Nafis Irkami: 3).
Terjadinya beberapa kali krisis ekonomi dunia, oleh banyak pihak menyakini adanya
pengaruh oleh unsur spekulasi dalam perilaku investasi konvensional. Sebagai contoh, great
depression pada tahun 1930-an diawali dengan spekulasi besar-besaran di wall street. Selain
itu, devaluasi poundsterling pada tahun 1967dan krisis mata uang Frank pada tahun 1969, dan
terakhir devaluasi Bath Thailand menyebabkan penarikan investasi besar-besaran di pasar
modal yang kemudian menimbulkan krisis ekonomi. Hal-hal tersebut, menurut Esta,
membawa kesadaran bagi investor akan pentingnya investasi yang lebih etis. (Esta Lestari,
2008: 171).
Filosofi perilaku investasi ekonomi konvesional yang pada mulanya lebih dituntun
oleh kekuatan pasar memiliki perbedaan mendasar dengan filosofi ethical investment yang
lebih mengedepankan etika. Pilihan-pilihan serta bentuk-bentuk penilaian investasi
seharusnya tidak hanya didasarkan kepada dua pertimbangan pokok, yaitu risiko dan
pengembalian (return), namun juga karakteristik dari perusahaan yang diinvestasikan. Hal
ini meliputi bentuk barang dan jasa yang diproduksi, lokasi bisnis, dan cara bagaimana
kegiatan perusahaan dioperasikan.
Kriteria ethical investment secara umum dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu
positif dan negatif. Kriteria positif dimaksudkan sebagai kegiatan investasi yang ramah atau
peduli lingkungan. Sedangkan investasi etis yang negatif dimaksudkan bahwa perusahaan
tidak bergerak dalam industri atau sektor yang tidak diperbolehkan secara moral, seperti
minuman keras, tembakau, perjudian, atau pornografi.
Sekalipun sama-sama memiliki konsep ethical investment dalam versi Barat
dan Islam, namun keduanya memiliki epistemologi yang berbeda. Secara normatif doktrinal, Islam telah lebih dahulu mengembangkan konsep muamalah yang tidak hanya

8

berbasis keuntungan materi, namun juga immateriil. Di samping itu, fiqh tentang lingkungan
(ekologi) dan fiqh ekonomi-sosial (ekososial) juga telah menjadi pembahasan sejak lama.
Hanya saja, harus diakui bahwa dunia Islam masih tertinggal jauh dalam tataran praktis.
Atas dasar itu, maka konsep Islamic ethical investment yang berkaitan dengan
konstruksi analisis ethical investment perlu dipertimbangkan sebagai instrumen dalam proses
screening investasi, serta mengenai konsep analisis investasi Islami terhadap risiko dan
pengembalian. Pola investasi semacam ini sudah marak pada pasar modal syariah semenjak
tahun 1970-an. (Rodney Wison, tt: 1325). Konsep ini awalnya datang dari negara-negara
Barat yang mengembangkan investasi khusus bagi konsumen atau investor yang sangat
spesifik,

di

mana

mereka

sangat

peduli

pada

bentuk

investasi

yang

dapat

dipertanggungjawabkan secara sosial.
Islamic ethical investment merupakan bagian dari kegiatan investasi yang
mempertimbangkan nilai-nilai etika dan agama. Sebagaimana ethical investment, investasi ini
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kelompok investor yang menginginkan memperoleh
pendapatan investasi dari sumber dan cara yang bersih yang dapat dipertanggungjawabkan
secara religius. Dengan demikian, pemenuhan nilai-nilai syari’ah menjadi tujuan utama.
Perbedaan pokok Islamic ethical investment dengan investasi konvensional adalah
dalam operasionalnya, dan yang paling mendasar adalah pada proses screening dalam
menyusun portofolio. Filterisasi berdasarkan syari’ah ini mencakup aspek kualitatif dan
kuantitatif. Screening pada aspek kualitatif meliputi penilaian terhadap content assets; 1)
apakah perusahaan bergerak dalam sektor yang dilarang atau tidak; 2) apakah dalam
prakteknya menggunakan unsur-unsur riba; 3) apakah prakteknya mengandung maysir dan
gharar. Proses ini akan menyingkirkan berbagai saham yang memiliki aktifitas haram seperti
riba, gharar, minuman keras, judi, daging babi, rokok dan seterusnya.

9

Sedangkan screening pada aspek kuantitatif mempertimbangkan hal-hal seperti debt
and equity ratio dan valuasi atas hasil appraisal bisnis yang bersangkutan. (Esta Lestari,
2008: 175). Selain kedua proses screening tersebut, proses filterisasi dengan Islamic ethical
investment masih dilanjutkan dengan pemenuhan kewajiban moralitas lainnya seperti charity
(derma). Karena itu konsep islamic ethical investment seringkali disejajarkan dengan Social
Responsible Investment (SRI). Penyejajaran tersebut setelah mempertimbangkan tujuan
utama dari kedua kegiatan yang sama-sama menggabungkan antara orientasi keuntungan dan
moralitas. Umumnya SRI berkaitan dengan saham di perusahaan. Secara tradisional, fund
manager akan memilih saham-saham murni berdasarkan atas kinerja keuangan perusahaan.
Namun akhir-akhir ini, mereka mulai memasukkan pertimbangan lingkungan dan sosial
dalam putusan-putusan investasinya. (Nafis Irkhami, tt: 6)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa investasi syari’ah memiliki
pertimbangan etika yang kuat dalam menjalankan investasi terkait produk yang dihasilkan
maupun prosesnya. Sistem investasi syari’ah harus melalui screening dan filterisasi terhadap
kegiatan investasi supaya tidak mengabaikan aspek moralitas. Maka model investasi seperti
ini yang relevan dilakukan dalam program KEK Arun Lhokseumawe dalam kontek
pemberlakuan syari’at Islam di Aceh.

D. Kesimpulan
Dalam perspektif Islam, kegiatan investasi merupakan suatu perintah untuk
mewujudkan kesejahteraan umat. Namun dalam prakteknya setiap bentuk investasi harus
melalui proses screening dan filterisasi terkait content asset dan proses produksi yang
dilakukan supaya tidak bertentangan dengan nilai etika atau moral Islam. Dalam pandangan
Islam investasi bukan semata-mata untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dari setiap

10

usahakan yang dilakukan, namun yang lebih penting adalah usaha tersebut berstatus halal dan
sah.
Terkait status KEK Arun Lhokseumawe yang telah disetujui oleh pemerintah
merupakan suatu peluang investasi yang cukup besar bagi pengembangan ekonomi umat.
Sektor yang ingin dikembangkan berupa industri minyak dan gas, pelabuhan, petrokimia, dan
pariwisata merupakan bentuk-bentuk investasi yang secara lahiriah tidak bertentangan
dengan syariat Islam, namun demikian terkait sistem operasional dan produksi harus
diperhatikan supaya tidak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Dengan
demikian keberadaan KEK Arun, Lhokseumawe akan mendapat apresiasi dan dukungan dari
masyarakat Aceh.

DAFTAR BACAAN

Esta Lestari, Perbandingan Kinerja Pasar Modal Syari‟ah dan Konvensional di Indonesia:
Pendekatan Volatilitas,” dalam Jusmaliani (ed.), Investasi Syari‟ah, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2008.
Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, Beirut: Dar al Kutub, 2001.
Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
Mustafa Kamal, Wawasan Islam dan Ekonomi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 1997.
Nafis Irkhami, Investasi dalam Perspektif Etika Islam, tt
Nashiruddin al-Albani, Shahih At-Targhib, Jakarta: Pustaka Sahifa, tt.
Qadri, Azizy A. Membangun Pondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004.
Rodney Wison, Islamic Finance and Ethical Investment, dalam International Journal of
Social Economics, 24 (11)
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid 2, 2010, Damsyiq: Dar Al-Fikr

11

12