BAB II LANDASAN TEORI MENGENAI PENGARUH
BAB II
LANDASAN TEORI MENGENAI PENGARUH PEMBINAAN ROHANI TERHADAP
PEMBAHARUAN PERILAKU SISWA KRISTEN
A. DASAR DAN PEMAHAMAN SECARA TEOLOGIS
1. Egseges Roma 12: 1-2 tentang pembaharuan perilaku
a. tubuhmu sebagai persembahan yang hidup.(Roma 12:1)
Orang
percaya
seharusnya
mempunyai
keinginan
tulus-ikhlas
untuk
menyenangkan hati Allah dalam kasih, pengabdian, pujian dan kekudusan, serta
mempersembahkan tubuh untuk pelayanan.
Pertama (1)Keinginan terbesar kita seharusnya hidup kudus dan berkenan
kepada Allah. Ini menuntut memisahkan diri dari dunia dan makin mendekati Allah
(ayat Rom 12:2). Kita harus hidup bagi Allah, menyembah Dia, menaati Dia, bersama
dengan Dia menentang dosa dan membela kebenaran, menolak dan membenci
kejahatan, melakukan pekerjaan baik untuk orang lain, meniru Kristus, mengikut Dia,
melayani Dia, hidup sesuai dengan Roh dan dipenuhi oleh Roh.
Kedua (2)Kita harus mempersembahkan tubuh kita kepada Allah sebagai
sudah mati kepada dosa dan sebagai rumah Roh Kudus. 1Kor 6:15,19).
b. Janganlah kamu menjadi serupa tetapi berubahlah (Roma 12:1-2)
Beberapa hal tersirat di sini oleh paulus:
Pertama(1) kita harus sabadar bahwa sistem dunia ini jahat adanya (kis
2:40; Gal 1:4) dan di bawah pemerintahan iblis (Yoh 12:31; 1Yoh 5:19).
Kedua(2) kita harus bersikap tegas terhadap segala cara yang berlaku dan
popular dari roh dunia sambil membritakan kebenaran kekal dan standar
kebenaran Firman Allah demi Kristus(1Kor 1:17-24).
Ketiga(3) kita harus membenci kejahatan, mengasihi yang benar(Ibr 1:19)
dan menolak untuk berserah pada aneka macam keduniawian di sekitar
gereja,seperti keserakahan,mementingkan diri, pemikirian humanistic, siasatsiasat politik, iri hati, kebencian, dendam,kecemaran, bahasa yang tidak senonoh,
hiburan duniawi, pakian yang tidak sopan, kedursilaan,narkotika,minuman keras
dan persekutuan dengan orang duniawi.
Keempat(4) pikiran kita harus diselaraskan dengan cara Allah(1Kor 2:16;
Filipi 2:5)dengan membaca serta merenungkan Firmannya(Maz 119:11, 148; Yoh
8:31-32) rencana dan cita-citakita kita harus ditentukan oleh kebenaran
sorgawidan abadi, bukan oleh zaman yang jahat, secular, dan sementara.1
2. Pembinaan rohani di perjanjian lama
Pembinaan rohani yang terdapat dalam perjanjian lama disebut Pemuritan,
dimana, Pemuritan merupakan konsep tologis dan praktek Kristiani yang didasarkan
pada metode dan praktek pelayanan Kristus di dunia ini yang dicatat dalam Perjanjian
Baru, khususnya kitab-kitab Injil. Lalu bagaimana dengan kehidupanumat Allah
1
Alkitab. Sabda.0rg
sebelum pelayanan Kristus di dunia ini, khususnya Perjanjian Lama. Adakah konsep
teologis dan metode yang mirip dengan pemuritan? Artikel ini bertujuan untuk
menyelusuri dan menemukan konsep teologis dan metode pendidikan dan pembinaan
rohani bagi umat Allah, khusunya dalam Perjanjian Lama.2
Gary J. Bekker menyatakan bahwa Perjanjian Lama banyak mengungkapkan
tentang hal mengetahui, mengajar dan mempelajari, namun hampir tidak pernah
membahas perihal murid, kecuali referensi tidak langsung dalam 1Tawarikh 25:8 dan
Yesaya 8:16.3 Walaupun istilah itu memang tidak terdapat dalam Perjanjian Lama,
namun konsep pembelajaran seperti “murid” ada dalam Perjanjian Lama. Wilkins
mengungkapkan adanya konsep pembelajaran dalam konteks music (1Tawarikh
25:8), konteks kenabian, konteks para ahli dan orang Lewi, dan tradisi orang bijak.4.
Dalam Perjanjian Lama, dapat ditemukan berbagai pembinaan, seperti
pembinaan atau pendidikan rohani di rumah, pengajaran oleh iman dan orang Lewi,
pendidikan dalam tradisi hikmat dan kenabian. Pembinaan rohani dalam dunia
Perjanjian Lama biasanya terjadi di rumah, dalam konteks ibadah dan di istana. Tentu
belum ada pendidikan yang tersedia bagi semua orang seperti pada era masa kini.
Perjanjian Lama menegaskan bahwa pendidikan rohani anak merupakan tanggung
jawab utama orang tua dan guru.5
2
Marcel V. Macelaru membahas topic “pemuridan dalam Perjanjian Lama” Context: A Phenomenological
Approach” pleroma anul, XIII nr. 2 (2011), pp. 11-12
3
Gary J. Bekker, “Discipli,” Evangelical of Christian Education(Grand Rapids:Baker Academic, 2001), p, 207
4
Ibid. pp.45-91
5
Philiph J. King dan Lawrence E. Stager, “kehidupan orang Israel Alkitabiah” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
h. 51
Dalam kehidupan bangsa Israel para imam dan orang Lewi juga mempunyai
tugas dan tanggung jawab untuk mengajar umat (Ulangan 33:10; Imamat 10:11). 6
Para imam mempunyai tanggung jawab untuk mengajar umat perihal haram atau
tidak haram dan tahir atau tidak tahir. 7 Dalam konteks internal imam dan orang Lewi,
Wilkins mengungkapkan bahwa orang tua melatih anak-anaknya untuk dapat
menjalankan peran dan tugasnya sebagai imam dan orang Lewi.8
Ada beberapa bagian Perjanjian Lama yang memberikan informasi bahwa
seorang nabi biasanya dikelilingi oleh sekelompok orang yang disebut sebagai “anakanak” nabi atau murid yang belajar tentang kehidupan dan pengajaran sang nabi.
2 Raja-raja 3:3; 5; 38 menyebut sebagai “sons of prophets” (“rombongan nabi”).84
Para murid nabi ini harus mendengarkan dan mengingat pengajaran sang nabi
(Yesaya 50:4).9 Măcelaru juga mengungkapkan adanya seperti suatu bimbingan
kelompok dalam konteks kenabian khususnya pada zaman Samuel, Elia, dan Elisha.10
Hal lain yang membedakan antara pembinaan rohani orang tua kepada anak-anak
dalam Perjanjian Lama tidaklah menekankan aspek multiplikasi seperti metode
pemuridan masa kini. Pemuridan masa kini sangatlah bertujuan agar murid yang telah
menjalani proses pemuridan, dapat memuridkan orang lain. Sedangkan pembinaan
rohani orang tua kepada anak-anak dalam Perjanjian Lama lebih menekankan bahwa
melalui kepercayaan dan kehidupan mereka yang “berbeda” dengan bangsa-bangsa
6
Culpepper, “education,” p. 24
R.K. Duke, “Priests, Priesthood,” Dictionary of the Old Testament: Pentateuch (Downers Grove:Grove:
InterVersity press, 2003), p. 652
8
Ibid.
9
Ibid.
10
Macelaru, “Discipleship in the Old Testament,” p. 16
7
lain, bangsa-bangsa lain ini tertarik kepada Allah yang mereka percayai. George W.
Peters menyimpulkan kedua pendekatan ini sebagai sentripetalisme Perjanjian Lama
dan sentrifugalisme Perjanjian Baru. Sentripetalisme Perjanjian Lama ini terwujud
melalui kehidupan Israel sebagai saksi Allah yang menyebabkan bangsa-bangsa lain
untuk mencari Allah, sedangkan sentrifugalisme Perjanjian Baru ini terwujud melalui
gereja yang pergi ke luar sebagai saksi Allah untuk menjangkau bangsa-bangsa lain,
sehingga mereka dapat mengenal Allah.11
3. Pembinaan rohani Perjanjian Baru
Perjanjian Baru merupakan pelajaran akan apa yang telah diwahyukan Allah
tentang DiriNya di dalam Perjanjian Baru.12 Yesus melakukan pembinaan rohani atau
pemuritan terhadap murid-muridnya 12 Rasul. Di samping menjalin hubungan akrab
dengan murid-muridNya dalam pelayanan sehari-hari, Yesus juga meluangkan waktu
yang khusus untuk membina mereka. Mereka tahu bahwa hal itu akan seringan berpiknik.
Yesus mempersiapkan mereka untuk menghadapi perlawanan, bahkan penolakan (Matius
10:16-18; Markus 6:11). Yesus memberitahu murid-muridNya, Bukan kamu yang
memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan aku telah menetapkan kamu
supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu
minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu (Yohanes 15:16). Ia melatih
langsung di medan pertempuran. Sewaktu-waktu Ia membawa orang-orangNya menyepi
untuk waktu yang khusus bersama-sama, tetapi kebanyakan latihanNya diberikan
langsung di lapangan. Mereka melayani bersama-sama dengan Dia.
11
12
George W. Peters, “Teologi penumbuhan gereja” (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2002), pp. 258-61
https//www.gotquestions.org
Yesus selalu dapat dicari oleh murid-muridNya. Firman kekal itu menjelma
supaya dapat didengar, dilihat, dan disentuh. Mereka dekat kepadaNya. Mereka dipilih
untuk bersama-sama dengan Dia, tetapi bagi tujuan yang agung yaitu mempersiapkan
mereka bagi pelayanan. Ia merancanglkan latihanNya sedemikian sehingga hidup mereka
harus menghasilkan buah kekal. Ia tidak menyiapkan mereka untuk kehidupan
persekutuan yang tertutup, maka Ia tidak mempersiapkan mereka dalam persekutuan
yang menyendiri.
Sebagai kesimpulan, ada tiga hal yang harus dilakukan bagi orang yang ingin
menolong orang lain menjadi kuat imannya, setia dan berhasil di dalam pelayanan Yesus
Kristus. (a).Ia harus mempunyai tujuan jelas tentang apa yang ia kehendaki agar mereka
mengetahui dan mengerti mengenai Allah dan kebenaranNya. Ia harus tahu unsur-unsur
dasar dalam kehidupan seorang murid Kristus. (b).Ia harus memiliki suatu gambar yang
jelas tentang apa yang seharusnya murid-murid ini menjadi nantinya. Ia harus mengetahui
unsur dasar watak Kristen yang harus mereka miliki dan orang macam bagaimana yang
mereka harus menjadi. (c).Ia harus memiliki visi yang baik akan apa yang harus mereka
pelajari
supaya
tercapai
tujuannya
dan
rencana
untuk
menolong
mereka
menjalankannya.13
4. Pemahaman teologis tentang perilku
Teologi terdiri dari kata berbahasa Yunani, yaitu theos, yang artinya Tuhan,
dan logos, yang artinya perkataan, ucapan, firman, pengetahuan, dll. Dengan demikian
teologi berarti pengetahuan tentang Tuhan.14
13
Misi.sabda.org
Francis Wahono Nitiprawiro. “ Teologi Pembebasan” cet I: September 2000,II: 2008,
penerbit LKIS Yogyakarta, h.8
14
Hal itu tidak salah, tetapi terlampau menyederhanakan teologi sebagai sebuah
ilmu. Penyederhanaan itu telah menyebabkan kesalahan laten, di mana teologi
diperangkapkan dalam suatu lingkungan abstrak dan transenden. Kiblatnya diarahkan ke
realitas Tuhan yang transenden, bukan meresponi Tuhan yang historis dan imanen.
Bahkan seluruh aktifitas manusia pun akhirnya mengarah ke transendensi itu.
Keberakaran teologi dalam konteks kehidupan manusia semakin menjadi lemah, sehingga
aksentuasi kehidupannya merupakan semacam “credit point” untuk masuk surga.
Tanpa disadari, pemahaman teologi seperti itu telah membentuk perilaku kristiani
yang sangat normatif.15 Apapun yang dilakukan harus berdasarkan pada “hukum-hukum
Tuhan” sebagaimana tertuang di dalam Alkitab. Sehingga perilaku Kristisani sangat
biblisentris. Tentu tidak salah juga, jika dimaknakkan sebagai pola beragama masyarakat,
atau kekhasan suatu kelompok agama. Namun fatalnya, ialah kecenderungan itu telah
memunculkan sistem identifikasi diri yang patronis.16
B. TEORI PEMBINAAN ROHANI
1. Kolerasi pendidikan agama Kristen dengan pembinaan rohani
Pada bagian ini penulis membagi Pendidikan Agama Kristen kedalam dua
bagian yaitu Pendidikan Agama Kristen secara umum menurut Thomas Groome, dan
Pendidikan Agama Kristen kategorial pemuda menurut E.G Homrigausen dan I.H
Enklaar.
Secara etimologis istilah pendidikan dalam bahasa Indonesia merupakan
terjemahan dari “education” dalam bahasa inggris. Kata “education” berasal dari
15
16
www.pengertianmenurutparaahli.net
Ibid.
bahasa latin “ducere” yang berarti membimbing (to lead), di tambah awalan “e” yang
berarti keluar (out). Jadi arti dasar pendidikan adalah suatu tindakan untuk
membimbing keluar.17 Thomas Groome, dalam bukunya Christian religious education
(1980) seperti yang dikutip oleh Daniel Nuhamara, mengungkapkan bahwa dalam
konsep pendidikan terkandung beberapa dimensi penekanan, asumsi, dan perhatian
yang terkandung dalam konsep pendidikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh arti
etimologisnya.
Menurutnya ada tiga penekanan dimensi waktu, yakni dimensi waktu masa
lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Dimensi waktu masa lampau adalah
dari mana aktivitas (membimbing) itu dibawa, serta apa yang telah dimiiki (misalnya
pengetahuan) baik oleh pendidik maupun peserta didik untuk mengambil sesuatu bagi
dirinya sendiri secara sadar. Dimensi waktu masa kini adalah, proses atau aktivitas
yang sedang berlangsung untuk menemukan sesuatu. Dimensi masa yang akan datang
adalah tujuan kearah mana usaha tersebut dibawa atau dapat juga disebut masa depan
yang hendak dituju karena ketiga dimensi ini harus dipahami dengan baik karena
merupakan pedoman bagi pendidik maupun peserta didik.18
Lebih lanjut Thomas Groome mendefenisikan bahwa pendidikan itu dilakukan
secara sengaja, sistematis, terus–menerus untuk menyampaikan, menimbulkan, atau
memperoleh pengetahuan, sikap–sikap, nilai-nilai, keahlian–keahlian, atau kepekaan–
kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu.19 Maka hakikat pendidikan yang
17
Daniel Nuhamara,”Pembimbing Pendidikan Agama Kristen”,(Direktorat Jendral bimbingan
MasyarakatKristen) Protestan dan Universitas Terbuka, 1994). h.4
18
Nuhamara, “Pembimbingan Pendidikan Agama Kristen” h.9
19
Thomas H. Groome, “Chritian Religious Education Berbagai Cerita dan Visi
Kita,”(Jakarta;BPK Gunung Mulia,2011), h. 29
diungkapkan oleh Thomas Groome adalah sebagai kegiatan yang politis bersama para
peziarah dalam waktu, pendidikan harus memberdayakan mereka untuk kritis
memanfaatkan masa lampau mereka agar mereka dapat bekerja secara kreatif
melewati masa kini dan menuju masa depan mereka.20
Jadi Pendidikan Agama Kristen sangat dibutuhkan dalam hal ibadah,
pendalaman alkitab, pembuatan tema – tema dalam setiap ibadah, dan kegiatan –
kegiatan pemuda. Tujuannya untuk menjawab kebutuhan iman spritualnya.
Pendidikan Agama Kristen adalah kegiatan politis bersama para peziarah dalam
waktu yang secara sengaja bersama dengan mereka memberi perhatian pada kegiatan
Allah di masa kini terutama dalam cerita komunitas iman Kristen, yang membawa
visi kerajaan Allah, benih–benih yang telah hadir diantara kita. Dengan demikian
dikatakan bahwa pendidikan agama kristen berasal dari cerita komunitas–komunitas
kristen, dengan ekspresinya yang paling awal dalam Yesus Kristus dan Visi kerajaan
Allah paling sempurna yang ditimbulkan oleh cerita. Akan tetapi pengakuan paling
penting adalah Pendidikan Agama Kristen turut ikut ambil bagian dalam hakikat
pendidikan yang bersifat politis.21 Sebagai proses seumur hidup dalam menghayati
proses iman Kristen.
Setelah mengetahui bagaimana dan apa Pendidikan Agama Kristen tersebut
maka dapat ditentukan juga apa tujuan yang berada dalam Pendidikan Agama Kristen
tersebut. Tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah untuk memampukan pemuda
Kristen, supaya hidup sesuai dengan iman Kristen. Hal ini merupakan tujuan
Pendidikan Agama Kristen sejak komunitas Kristen mulai mendidik. Iman kristen
20
21
Ibid. 30-31
Ibid. 36-37
yang hidup semacam ini menjadi tujuan pendidikan agama kristen sejak orang–orang
kristen merespon perintah Yesus.22
22
Thomas H. Groome,Christian Religious Education Berbagi Cerita dan Visi Kita, h. 447-48
LANDASAN TEORI MENGENAI PENGARUH PEMBINAAN ROHANI TERHADAP
PEMBAHARUAN PERILAKU SISWA KRISTEN
A. DASAR DAN PEMAHAMAN SECARA TEOLOGIS
1. Egseges Roma 12: 1-2 tentang pembaharuan perilaku
a. tubuhmu sebagai persembahan yang hidup.(Roma 12:1)
Orang
percaya
seharusnya
mempunyai
keinginan
tulus-ikhlas
untuk
menyenangkan hati Allah dalam kasih, pengabdian, pujian dan kekudusan, serta
mempersembahkan tubuh untuk pelayanan.
Pertama (1)Keinginan terbesar kita seharusnya hidup kudus dan berkenan
kepada Allah. Ini menuntut memisahkan diri dari dunia dan makin mendekati Allah
(ayat Rom 12:2). Kita harus hidup bagi Allah, menyembah Dia, menaati Dia, bersama
dengan Dia menentang dosa dan membela kebenaran, menolak dan membenci
kejahatan, melakukan pekerjaan baik untuk orang lain, meniru Kristus, mengikut Dia,
melayani Dia, hidup sesuai dengan Roh dan dipenuhi oleh Roh.
Kedua (2)Kita harus mempersembahkan tubuh kita kepada Allah sebagai
sudah mati kepada dosa dan sebagai rumah Roh Kudus. 1Kor 6:15,19).
b. Janganlah kamu menjadi serupa tetapi berubahlah (Roma 12:1-2)
Beberapa hal tersirat di sini oleh paulus:
Pertama(1) kita harus sabadar bahwa sistem dunia ini jahat adanya (kis
2:40; Gal 1:4) dan di bawah pemerintahan iblis (Yoh 12:31; 1Yoh 5:19).
Kedua(2) kita harus bersikap tegas terhadap segala cara yang berlaku dan
popular dari roh dunia sambil membritakan kebenaran kekal dan standar
kebenaran Firman Allah demi Kristus(1Kor 1:17-24).
Ketiga(3) kita harus membenci kejahatan, mengasihi yang benar(Ibr 1:19)
dan menolak untuk berserah pada aneka macam keduniawian di sekitar
gereja,seperti keserakahan,mementingkan diri, pemikirian humanistic, siasatsiasat politik, iri hati, kebencian, dendam,kecemaran, bahasa yang tidak senonoh,
hiburan duniawi, pakian yang tidak sopan, kedursilaan,narkotika,minuman keras
dan persekutuan dengan orang duniawi.
Keempat(4) pikiran kita harus diselaraskan dengan cara Allah(1Kor 2:16;
Filipi 2:5)dengan membaca serta merenungkan Firmannya(Maz 119:11, 148; Yoh
8:31-32) rencana dan cita-citakita kita harus ditentukan oleh kebenaran
sorgawidan abadi, bukan oleh zaman yang jahat, secular, dan sementara.1
2. Pembinaan rohani di perjanjian lama
Pembinaan rohani yang terdapat dalam perjanjian lama disebut Pemuritan,
dimana, Pemuritan merupakan konsep tologis dan praktek Kristiani yang didasarkan
pada metode dan praktek pelayanan Kristus di dunia ini yang dicatat dalam Perjanjian
Baru, khususnya kitab-kitab Injil. Lalu bagaimana dengan kehidupanumat Allah
1
Alkitab. Sabda.0rg
sebelum pelayanan Kristus di dunia ini, khususnya Perjanjian Lama. Adakah konsep
teologis dan metode yang mirip dengan pemuritan? Artikel ini bertujuan untuk
menyelusuri dan menemukan konsep teologis dan metode pendidikan dan pembinaan
rohani bagi umat Allah, khusunya dalam Perjanjian Lama.2
Gary J. Bekker menyatakan bahwa Perjanjian Lama banyak mengungkapkan
tentang hal mengetahui, mengajar dan mempelajari, namun hampir tidak pernah
membahas perihal murid, kecuali referensi tidak langsung dalam 1Tawarikh 25:8 dan
Yesaya 8:16.3 Walaupun istilah itu memang tidak terdapat dalam Perjanjian Lama,
namun konsep pembelajaran seperti “murid” ada dalam Perjanjian Lama. Wilkins
mengungkapkan adanya konsep pembelajaran dalam konteks music (1Tawarikh
25:8), konteks kenabian, konteks para ahli dan orang Lewi, dan tradisi orang bijak.4.
Dalam Perjanjian Lama, dapat ditemukan berbagai pembinaan, seperti
pembinaan atau pendidikan rohani di rumah, pengajaran oleh iman dan orang Lewi,
pendidikan dalam tradisi hikmat dan kenabian. Pembinaan rohani dalam dunia
Perjanjian Lama biasanya terjadi di rumah, dalam konteks ibadah dan di istana. Tentu
belum ada pendidikan yang tersedia bagi semua orang seperti pada era masa kini.
Perjanjian Lama menegaskan bahwa pendidikan rohani anak merupakan tanggung
jawab utama orang tua dan guru.5
2
Marcel V. Macelaru membahas topic “pemuridan dalam Perjanjian Lama” Context: A Phenomenological
Approach” pleroma anul, XIII nr. 2 (2011), pp. 11-12
3
Gary J. Bekker, “Discipli,” Evangelical of Christian Education(Grand Rapids:Baker Academic, 2001), p, 207
4
Ibid. pp.45-91
5
Philiph J. King dan Lawrence E. Stager, “kehidupan orang Israel Alkitabiah” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
h. 51
Dalam kehidupan bangsa Israel para imam dan orang Lewi juga mempunyai
tugas dan tanggung jawab untuk mengajar umat (Ulangan 33:10; Imamat 10:11). 6
Para imam mempunyai tanggung jawab untuk mengajar umat perihal haram atau
tidak haram dan tahir atau tidak tahir. 7 Dalam konteks internal imam dan orang Lewi,
Wilkins mengungkapkan bahwa orang tua melatih anak-anaknya untuk dapat
menjalankan peran dan tugasnya sebagai imam dan orang Lewi.8
Ada beberapa bagian Perjanjian Lama yang memberikan informasi bahwa
seorang nabi biasanya dikelilingi oleh sekelompok orang yang disebut sebagai “anakanak” nabi atau murid yang belajar tentang kehidupan dan pengajaran sang nabi.
2 Raja-raja 3:3; 5; 38 menyebut sebagai “sons of prophets” (“rombongan nabi”).84
Para murid nabi ini harus mendengarkan dan mengingat pengajaran sang nabi
(Yesaya 50:4).9 Măcelaru juga mengungkapkan adanya seperti suatu bimbingan
kelompok dalam konteks kenabian khususnya pada zaman Samuel, Elia, dan Elisha.10
Hal lain yang membedakan antara pembinaan rohani orang tua kepada anak-anak
dalam Perjanjian Lama tidaklah menekankan aspek multiplikasi seperti metode
pemuridan masa kini. Pemuridan masa kini sangatlah bertujuan agar murid yang telah
menjalani proses pemuridan, dapat memuridkan orang lain. Sedangkan pembinaan
rohani orang tua kepada anak-anak dalam Perjanjian Lama lebih menekankan bahwa
melalui kepercayaan dan kehidupan mereka yang “berbeda” dengan bangsa-bangsa
6
Culpepper, “education,” p. 24
R.K. Duke, “Priests, Priesthood,” Dictionary of the Old Testament: Pentateuch (Downers Grove:Grove:
InterVersity press, 2003), p. 652
8
Ibid.
9
Ibid.
10
Macelaru, “Discipleship in the Old Testament,” p. 16
7
lain, bangsa-bangsa lain ini tertarik kepada Allah yang mereka percayai. George W.
Peters menyimpulkan kedua pendekatan ini sebagai sentripetalisme Perjanjian Lama
dan sentrifugalisme Perjanjian Baru. Sentripetalisme Perjanjian Lama ini terwujud
melalui kehidupan Israel sebagai saksi Allah yang menyebabkan bangsa-bangsa lain
untuk mencari Allah, sedangkan sentrifugalisme Perjanjian Baru ini terwujud melalui
gereja yang pergi ke luar sebagai saksi Allah untuk menjangkau bangsa-bangsa lain,
sehingga mereka dapat mengenal Allah.11
3. Pembinaan rohani Perjanjian Baru
Perjanjian Baru merupakan pelajaran akan apa yang telah diwahyukan Allah
tentang DiriNya di dalam Perjanjian Baru.12 Yesus melakukan pembinaan rohani atau
pemuritan terhadap murid-muridnya 12 Rasul. Di samping menjalin hubungan akrab
dengan murid-muridNya dalam pelayanan sehari-hari, Yesus juga meluangkan waktu
yang khusus untuk membina mereka. Mereka tahu bahwa hal itu akan seringan berpiknik.
Yesus mempersiapkan mereka untuk menghadapi perlawanan, bahkan penolakan (Matius
10:16-18; Markus 6:11). Yesus memberitahu murid-muridNya, Bukan kamu yang
memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan aku telah menetapkan kamu
supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu
minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu (Yohanes 15:16). Ia melatih
langsung di medan pertempuran. Sewaktu-waktu Ia membawa orang-orangNya menyepi
untuk waktu yang khusus bersama-sama, tetapi kebanyakan latihanNya diberikan
langsung di lapangan. Mereka melayani bersama-sama dengan Dia.
11
12
George W. Peters, “Teologi penumbuhan gereja” (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2002), pp. 258-61
https//www.gotquestions.org
Yesus selalu dapat dicari oleh murid-muridNya. Firman kekal itu menjelma
supaya dapat didengar, dilihat, dan disentuh. Mereka dekat kepadaNya. Mereka dipilih
untuk bersama-sama dengan Dia, tetapi bagi tujuan yang agung yaitu mempersiapkan
mereka bagi pelayanan. Ia merancanglkan latihanNya sedemikian sehingga hidup mereka
harus menghasilkan buah kekal. Ia tidak menyiapkan mereka untuk kehidupan
persekutuan yang tertutup, maka Ia tidak mempersiapkan mereka dalam persekutuan
yang menyendiri.
Sebagai kesimpulan, ada tiga hal yang harus dilakukan bagi orang yang ingin
menolong orang lain menjadi kuat imannya, setia dan berhasil di dalam pelayanan Yesus
Kristus. (a).Ia harus mempunyai tujuan jelas tentang apa yang ia kehendaki agar mereka
mengetahui dan mengerti mengenai Allah dan kebenaranNya. Ia harus tahu unsur-unsur
dasar dalam kehidupan seorang murid Kristus. (b).Ia harus memiliki suatu gambar yang
jelas tentang apa yang seharusnya murid-murid ini menjadi nantinya. Ia harus mengetahui
unsur dasar watak Kristen yang harus mereka miliki dan orang macam bagaimana yang
mereka harus menjadi. (c).Ia harus memiliki visi yang baik akan apa yang harus mereka
pelajari
supaya
tercapai
tujuannya
dan
rencana
untuk
menolong
mereka
menjalankannya.13
4. Pemahaman teologis tentang perilku
Teologi terdiri dari kata berbahasa Yunani, yaitu theos, yang artinya Tuhan,
dan logos, yang artinya perkataan, ucapan, firman, pengetahuan, dll. Dengan demikian
teologi berarti pengetahuan tentang Tuhan.14
13
Misi.sabda.org
Francis Wahono Nitiprawiro. “ Teologi Pembebasan” cet I: September 2000,II: 2008,
penerbit LKIS Yogyakarta, h.8
14
Hal itu tidak salah, tetapi terlampau menyederhanakan teologi sebagai sebuah
ilmu. Penyederhanaan itu telah menyebabkan kesalahan laten, di mana teologi
diperangkapkan dalam suatu lingkungan abstrak dan transenden. Kiblatnya diarahkan ke
realitas Tuhan yang transenden, bukan meresponi Tuhan yang historis dan imanen.
Bahkan seluruh aktifitas manusia pun akhirnya mengarah ke transendensi itu.
Keberakaran teologi dalam konteks kehidupan manusia semakin menjadi lemah, sehingga
aksentuasi kehidupannya merupakan semacam “credit point” untuk masuk surga.
Tanpa disadari, pemahaman teologi seperti itu telah membentuk perilaku kristiani
yang sangat normatif.15 Apapun yang dilakukan harus berdasarkan pada “hukum-hukum
Tuhan” sebagaimana tertuang di dalam Alkitab. Sehingga perilaku Kristisani sangat
biblisentris. Tentu tidak salah juga, jika dimaknakkan sebagai pola beragama masyarakat,
atau kekhasan suatu kelompok agama. Namun fatalnya, ialah kecenderungan itu telah
memunculkan sistem identifikasi diri yang patronis.16
B. TEORI PEMBINAAN ROHANI
1. Kolerasi pendidikan agama Kristen dengan pembinaan rohani
Pada bagian ini penulis membagi Pendidikan Agama Kristen kedalam dua
bagian yaitu Pendidikan Agama Kristen secara umum menurut Thomas Groome, dan
Pendidikan Agama Kristen kategorial pemuda menurut E.G Homrigausen dan I.H
Enklaar.
Secara etimologis istilah pendidikan dalam bahasa Indonesia merupakan
terjemahan dari “education” dalam bahasa inggris. Kata “education” berasal dari
15
16
www.pengertianmenurutparaahli.net
Ibid.
bahasa latin “ducere” yang berarti membimbing (to lead), di tambah awalan “e” yang
berarti keluar (out). Jadi arti dasar pendidikan adalah suatu tindakan untuk
membimbing keluar.17 Thomas Groome, dalam bukunya Christian religious education
(1980) seperti yang dikutip oleh Daniel Nuhamara, mengungkapkan bahwa dalam
konsep pendidikan terkandung beberapa dimensi penekanan, asumsi, dan perhatian
yang terkandung dalam konsep pendidikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh arti
etimologisnya.
Menurutnya ada tiga penekanan dimensi waktu, yakni dimensi waktu masa
lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Dimensi waktu masa lampau adalah
dari mana aktivitas (membimbing) itu dibawa, serta apa yang telah dimiiki (misalnya
pengetahuan) baik oleh pendidik maupun peserta didik untuk mengambil sesuatu bagi
dirinya sendiri secara sadar. Dimensi waktu masa kini adalah, proses atau aktivitas
yang sedang berlangsung untuk menemukan sesuatu. Dimensi masa yang akan datang
adalah tujuan kearah mana usaha tersebut dibawa atau dapat juga disebut masa depan
yang hendak dituju karena ketiga dimensi ini harus dipahami dengan baik karena
merupakan pedoman bagi pendidik maupun peserta didik.18
Lebih lanjut Thomas Groome mendefenisikan bahwa pendidikan itu dilakukan
secara sengaja, sistematis, terus–menerus untuk menyampaikan, menimbulkan, atau
memperoleh pengetahuan, sikap–sikap, nilai-nilai, keahlian–keahlian, atau kepekaan–
kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu.19 Maka hakikat pendidikan yang
17
Daniel Nuhamara,”Pembimbing Pendidikan Agama Kristen”,(Direktorat Jendral bimbingan
MasyarakatKristen) Protestan dan Universitas Terbuka, 1994). h.4
18
Nuhamara, “Pembimbingan Pendidikan Agama Kristen” h.9
19
Thomas H. Groome, “Chritian Religious Education Berbagai Cerita dan Visi
Kita,”(Jakarta;BPK Gunung Mulia,2011), h. 29
diungkapkan oleh Thomas Groome adalah sebagai kegiatan yang politis bersama para
peziarah dalam waktu, pendidikan harus memberdayakan mereka untuk kritis
memanfaatkan masa lampau mereka agar mereka dapat bekerja secara kreatif
melewati masa kini dan menuju masa depan mereka.20
Jadi Pendidikan Agama Kristen sangat dibutuhkan dalam hal ibadah,
pendalaman alkitab, pembuatan tema – tema dalam setiap ibadah, dan kegiatan –
kegiatan pemuda. Tujuannya untuk menjawab kebutuhan iman spritualnya.
Pendidikan Agama Kristen adalah kegiatan politis bersama para peziarah dalam
waktu yang secara sengaja bersama dengan mereka memberi perhatian pada kegiatan
Allah di masa kini terutama dalam cerita komunitas iman Kristen, yang membawa
visi kerajaan Allah, benih–benih yang telah hadir diantara kita. Dengan demikian
dikatakan bahwa pendidikan agama kristen berasal dari cerita komunitas–komunitas
kristen, dengan ekspresinya yang paling awal dalam Yesus Kristus dan Visi kerajaan
Allah paling sempurna yang ditimbulkan oleh cerita. Akan tetapi pengakuan paling
penting adalah Pendidikan Agama Kristen turut ikut ambil bagian dalam hakikat
pendidikan yang bersifat politis.21 Sebagai proses seumur hidup dalam menghayati
proses iman Kristen.
Setelah mengetahui bagaimana dan apa Pendidikan Agama Kristen tersebut
maka dapat ditentukan juga apa tujuan yang berada dalam Pendidikan Agama Kristen
tersebut. Tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah untuk memampukan pemuda
Kristen, supaya hidup sesuai dengan iman Kristen. Hal ini merupakan tujuan
Pendidikan Agama Kristen sejak komunitas Kristen mulai mendidik. Iman kristen
20
21
Ibid. 30-31
Ibid. 36-37
yang hidup semacam ini menjadi tujuan pendidikan agama kristen sejak orang–orang
kristen merespon perintah Yesus.22
22
Thomas H. Groome,Christian Religious Education Berbagi Cerita dan Visi Kita, h. 447-48