BAB III - BAB III ETIKA, HUKUM DAN NORMA.pptx

BAB III
ETIKA, HUKUM DAN
NORMA

A. PENDAHULUAN


Membicarakan tentang makna, tujuan dan fungsi
kehidupan manusia, maka sulit hal itu untuk
dilepaskan dari masalah moral (etika) dan dengan
peraturan perundang – undangan (hukum) yang
berlaku dalam suatu Negara yang dikenal dengan
“hukum positif”. Dalam etika, kita membedakan
tindakan manusia (act of human) dari tindakan
yang manusiawi (human act).



Kita diajak melacak, merenung dan mendialogkan
sebuah mobilitas yang cukup heterogen. Di samping itu
memiliki


orientasi

yang

berbeda,

karakter

yang

beragam, tuntutan yang tidak selalu sama, asal – usul
kultur

yang

tidak

homogen.


Juga

cara



cara

menterjemahkan serta menyikapi kejadian – kejadian,
perubahan – perubahan, kemandekan – kemandekan
dan berbagai kebijakan pembangunan yang berdampak
pada kehidupan dan masa depan umat manusia.



Ada di antara anggota masyarakat yang berlaku egois,
mementingkan
pribadi

dan


dan

memperioritaskan

keluarganya.

kebutuhan

Pertimbangan



pertimbangan rasionalitasnya lebih difokuskan pada
tuntutan peroleh status quo dan pola kerjanya
(profesinya) diarahkan pada sebuah model pekerjaan
yang mengharuskan mutlak ada pendapatan, kendati
syarat – syarat profesionalitas ditinggalkan.




Sementara itu, ada sekelompok masyarakat intelektual
yang masih konsisten dengan idealitas profesinya.
Mereka menganggap bahwa pekerjaan itu bersubstansi
pengabdian kepada masyarakat yang tidak selalu
dikalkulasikan atau dimatematiskan dengan beberapa
komponen ekonomi politik yang diperolehnya. Tetapi
berorientasi pada bagaimana masyarakat yang begitu
tergantung

dengan

jasa

profesinya

mendapatkan

kepuasan batin. Seperti dapat dimenangkannya nilai –
nilai kebenaran dan keadilan, kendati kehidupan

sehari – harinya dihadapkan pada kesulitan ekonomi.

B. PENGERTIAN ETIKA


Hidup kita seolah – olah terentang dalam suatu
jaringan norma – norma yang berupa larangan –
larangan, pantangan – pantangan dan kewajiban
– kewajiban. Norma – norma itulah yang
menjadi

kekuatan

normatif

untuk

diperhitungkan dan dipijaki dalam kehidupan
dan pencarian pemenuhan kebutuhan hidup
antar manusia.


 Berbagai

rumusan yang dapat ditarik dari

sebuah definisi inti “moral”. Seseorang yang
melanggar hukum diberi julukan sebagai
penjahat
Seseorang
(adultery),

atau
yang

peleceh

moral

melakukan


dijuluki

hukum.

perzinahan

pelanggar

moral

keagamaan. Seseorang yang melakukan
satu jenis pelanggaran dijuluki sebagai
pelanggar sekian macam kaedah moral.

 Jika

seseorang berbicara tentang hal – hal

yang baik, hidup teratur, bekerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang –

undangan, tidak melanggar aturan main,
maka hal itu sudah masuk dalam studi
mengenai

“bagaimana

hidup

yang

berlandaskan etika (moral) dan bagaimana
hidup yang disebut melanggar moral”.



Istilah “moral”, moralitas berasal dari bahasa Latin
“mos”

(tunggal),


“mores”(jamak)

dan

kata

sifat

“moralis” bentuk jamak “mores” berarti “kebiasaan,
kelakuan, dan kesusilaan”. Kata sifat “moralis” berarti
susila. Filsafat moral merupakan filsafat praktis, yang
mempelajari perbuatan manusia sebagai manusia dari
segi baik buruknya ditinjau dari hubungannya dengan
tujuan hidup manusia yang terakhir. Istilah moral
adalah keseluruhan kaidah dan nilai berkenaan
dengan ikhwal “baik” atau perbuatan manusia yang
baik.




Dari istilah moralitas tersebut menunjukkan, bahwa
unsur – unsur moral, terletak pada modus perilaku
manusia, apa itu baik ataukah buruk.
Menurut Prof. Dr. Herman Soewardi, etika adalah
pembahasaan mengenai baik (good), buruk (bad),
seyogyanya (ought), benar (right) dan salah (wrong).
Yang paling menonjol adalah tentang baik dan teori
tentang kewajiban (obligation). Selanjutnya beliau
mengatakan bahwa hukum berlandaskan moral. Moral
harus dijadikan hukum dengan mengundangkannya.
Dalam Islam terjadi jalinan yang erat sekali antara
etika atau moral, agama dan hukum. Hukum
berlandaskan pada moral, namun bersifat memaksa.
Demi berjalan secara efektif, Negara melaksanakan law
enforcement (penegakan hukum).

 Manusia

jadi penentu dan subjek yang bisa


melahirkan stigma dan sekaligus posisi
sosialnya. Soal baik atau buruk ini, tidak
terlepas dari tujuan yang hendak diraih
manusia dalam hidupnya. Harapan cita –
cita dapat menjadi pendorong munculnya
ragam moral di tengah masyarakat. Karena
itu, tepatlah jika disebut bahwa “intisari
kehidupan ini diletakkan pada kontribusi
moralnya”.



Kata “etika” berasal dari kata Yunani “ethos”
yang berarti “sifat” atau “adat”. Kata jadian,
Plato
menggunakan
kata
ethos
untuk
menerangkan studi mereka tentang “nilai – nilai”
dan cita – cita Yunani”. Jadi pertama – tama
“etika” adalah sifat pribadi yang meliputi apa
yang disebut “menjadi orang baik”. Sedangkan
“ethos” merupakan sifat keseluruhan masyarakat
yang baik. Menurut Arief Sidharta, bahwa etika
adalah keseluruhan kaidah dan nilai. Dengan
demikian etika merupakan bagian dari ethos,
yang berarti usaha untuk mengerti tata aturan
sosial yang menentukan dan membatasi tingkah
laku kita, khususnya tata aturan yang
fundamental, seperti larangan membunuh dan
mencuri.

 K.

Bertens membedakan tiga arti dari etika,

yaitu :
1. Nilai – nilai dan norma – norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya.
2. Kumpulan asas atau nilai moral
3. Ilmu tentang yang baik dan buruk

 Cita

– cita hidup masyarakat yang

berlandaskan etika merupakan sifat –
sifat untuk membentuk tata kehidupan
yang baik, pola hidup dan berbudaya
yang berarah. Dalam etika terdapat
kumpulan

dan

unifikasi

aturan

mengenai keharusan manusia untuk
mentaatinya.

 Etika

sama artinya dengan “kesusilaan” yang

terdiri dari kata “isu” yang berarti “baik” dan
“sila” yang berarti “norma kehidupan”. Etika
menyangkut kelakuan yang menuruti norma


norma

yang

baik.

Pengertian

itu

menempatkan etika sebagai seperangkat
norma dalam kehidupan manusia yang tidak
berbeda dengan norma – norma kesusilaan.

 W.J.S.

bahwa

Poerwadarminta
pengertian

mengemukakan,

etika

adalah

pengetahuan tentang asas – asas

“ilmu
akhlak

(moral). Dalam hal ini beliau mengidentikkan
etika dengan moral dan akhlak. Dalam etika
islam dikategorikan pada dua akhlak, yaitu
“akhlak



akhlak

mahmudah)

dan

berkaitan

dengan

yang

akhlak

(akhlakulmadzmumah).

baik”


(akhlakul

kahlak

perilaku

yang
buruk

 Mencermati

etika

dari berbagai pengertian

tersebut,

maka

dapat

disimpulkan, bahwa etika merupakan
suatu

studi

dan

panduan

tentang

perilaku yang harus dikerjakan atau
sebaliknya
manusia.

tidak

dilakukan

oleh

C. URGENSI DALAM BERETIKA


Mengapa seluruh sektor kehidupan, aktivitas, pola hidup,
berbudaya,

berpolitik

dan

berperadaban

harus

berlandaskan etika atau moral ?
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa etika itu
memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku
manusia dalam mengambil keputusan moral. Etika
mengarahkan atau menghubungkan penggunaan akal
budi individu dengan objektivitas untuk menentukan
“kebenaran”

atau

“kesalahan”

seseorang terhadap orang lain.

dan

tingkah

laku



Menurut

Magnis

Suseno

fungsi

etika

adalah

membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam
menghadapi moral yang membingungkan. Dalam hal
ini terlihat bahwa etika merupakan pemikiran
sistematika tentang moralitas dan yang dihasilkan
secara langsung bukan kebaikan melainkan suatu
pengertian yang mendasar dan kritis. Selanjutnya
beliau

mengatakan

memberikan

bahwa

keterampilan

tugas

etika

adalah

intelektual,

yaitu

keterampilan untuk berargumentasi secara rasional
dan kritis.

 Kehadiran

seseorang dalam pergaulan atau

interaksi sosial “dikawal” dan “dipimpin” oleh
kaidah etika sehingga apa yang dilakukannya
itu tidak keluar dari “lingkaran kebenaran”.
Substansi dalam etika ,menunjukkan pada
orientasi control atau pengawasan perilaku,
supaya tidak terjadi dan terhindar dari
praktek



praktek

perikehidupan.

yang

mengacaukan



Sejak zaman Yunani, Aristoteles menempatkan urgensi
etika

dalam

bukunya

“Ethica

Nicomachea”.

Dia

berpendapat, bahwa tata pergaulan dan penghargaan
manusia

tidak

didasarkan

pada

egoisme

atau

kepentingan individu, melainkan didasarkan pada hal –
hal yang altruistic, yaitu memperhatikan orang lain.


Menurut Paul Scholten, bahwa moral (etika) mengatur
perbuatan manusia sebagai manusia, ditinjau dari segi
baik – buruknya, dipandang dari hubungan dengan
tujuan akhir hidup manusia bardasarkan kodrati.

 Tuhan

menciptakan dua alat pada manusia,

dengan mana manusia mengetahui. Kedua alat
itu adalah “rasio” (akal) dan “rasa” (kalbu).
Kedua alat itu harus dipakai secara seimbang,
karena kemampuan akali menghasilkan ilmu
nomotetikal

atau

hukum

sebab

akibat,

sedangkan rasa menimbulkan ilmu normative.
Ilmu nomotetikal dan ilmu normative sangat
diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup manusia.



URGENSI ETIKA

1. Urgensi beretika adalah sebagai berikut :
2. Terjadinya

kendali,

pengawasan

dan penyesuaian

perilaku manusia sesuai dengan panduan etika yang
wajib dipijakinya.
3. Terjadinya tertib kehidupan bermasyarakat
4. Dapat

ditegakkannya

nilai – nilai

kemanusiaan,

kejujuran, keterbukaan dan keadilan
5. Ditegakkannya tujuan hidup manusia
6. Dihindarkannya Free Fight competition dan abus

competition.

C. PERTAUTAN
HUKUM

ETIKA DENGAN

Urgensi etika memberikan gambaran umum, bahwa :
 Ada titik temu (pertautan) antara etika dengan
hukum
 Keduanya memiliki kesamaan substansial dan
orientasi terhadap kepentingan dan tata kehidupan
manusia.
 Etika menekankan pada rumusan baik buruknya
perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat disebut
baik, arif dan bijaksana bila ada ketentuan secara
legal moral yang merumuskan, bahwa hal itu tidak
bertentangan dengan pesan – pesan etika.


Demikian juga seseorang disebut melanggar etika,
bilamana sebelumnya kaedah – kaedah etika
memang ada menyebutkan demikian itu.
 Mengenai kaitan etika dengan hukum, Paul Scholten
mengatakan, bahwa:
Baik hukum maupun etika (moral), kedua – duanya
mengatur perbuatan – perbuatan manusia sebagai
manusia
 Pendapat tersebut menunjukkan, bahwa titik temu
antara etika dengan hukum terletak pada :
Muatan substansialnya yang mengatur tentang
perilaku – perilaku manusia
 Jadi apa yang dilakukan oleh manusia selalu
mendapatkan koreksi dari ketentuan – ketentuan
hukum dan etika yang menentukannya.


Fuller menekankan, bahwa :
Di dalam moral dan hukum, nilai dan kewajiban itu
saling terkait
 Theo Huijbers, menekankan bahwa :
Norma – norma moral dan norma – norma hukum
memang berbeda, akan tetapi adanya satu
hubungan yang erat antara kedua jenis norma itu di
mana – mana diakui juga
 Tentang hal ini, Immanuel Kant menjelaskan,
bahwa :
Pembentukan hukum sebenarnya merupakan
bagian tuntutan moral (Imperative Kategoris) yang
dialami manusia dan hidupnya. Oleh sebab itu
kreteria
bagi
pembentukan
hukum
adalah
kebebasan moral.


 Von

Savigny dari madzhab sejarah secara tidak

langsung menunjukkan keterkaitan antara
hukum dengan etika. Ia mengatakan bahwa :
1. Hukum itu harus dipandang sebagai suatu
penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa
2. Hukum tidak hanya tumbuh dari norma –
norma pra hukum saja melainkan mengikuti
pertumbuhan dari etika social



Jadi selalu ada hubungan erat antara hukum dengan
kepribadian suatu Bangsa
Apa yang dikemukakan kedua pakar tersebut di atas
mengisyaratkan mengenai produk hukum yang harus
memasukkan jiwa suatu bangsa sebagai pandangan,
pegangan, tata aturan atau kaedah – kaedah hidup,
maka hal itu dapat disebut sebagai “Jiwa Bangsa”.
Dengan demikian isyarat yang dikehendaki, bahwa
kaedah – kaedah moral (etika) yang diakui oleh suatu
bangsa, wajib memperoleh tempat secara substansial
dalam peraturan perundang – undangan.

 Selanjutnya





Roscoe Pound dan Eugen
Ehrlich yang menjadi pelopor berdirinya
Mazdhab
Sociological
Jurisprudence
mengungkapkan bahwa :
Hukum yang baik adalah hukum yang
hidup dalam masyarakat
Nilai kemamfaatan yang dicita – citakan
antara hukum dengan etika, juga ada
kesamaannya, yaitu sama – sama mencita –
citakan tertib kehidupan bermasyarakat
(social order), dapat menjawab kebutuhan
keadilan
masyarakat
dan
dapat
ditegakkannya nilai – nilai kebenaran.

 Jadi

dapatlah dikatakan bahwa :

 Hukum

melalui

terkait dengan etika, sebab
norma



norma

hukum

ditetapkan suatu tatanan sosial yang
adil
 Hukum

mewajibkan

secara

etis-

yuridis, sebab hukum menciptakan
keadilan

* ALUR BERJALANYA NORMA

HUKUM

ATURAN

NORMA

 ADA EMPAT MACAM NORMA YANG
BERLAKU DI MASYARAKAT
Norma Agama : Ialah peraturan hidup yang harus
diterima
manusia
sebagai
perintah-perintah,
laranganlarangan
dan
ajaran-ajaran
yang
bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran
terhadap norma ini akan mendapat hukuman dari
Tuhan Yang Maha Esa berupa “siksa” kelak di
akhirat. Contoh : membunuh, menipu , mencuri, dll
2.
Norma Kesusilaan : Ialah peraturan hidup yang
berasal dari suara hati sanubari manusia.
Pelanggaran norma kesusilaan ialah pelanggaran
perasaan yang berakibat penyesalan. Norma
kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat
diterima oleh seluruh umat manusia. Contoh berlaku
jujur
1.

3. Norma Kesopanan : Ialah norma yang timbul dan diadakan oleh
masyarakat itu sendiri untuk mengatur pergaulan sehingga
masing-masing anggota masyarakat saling hormat menghormati.
Akibat dari pelanggaran terhadap norma ini ialah dicela
sesamanya, karena sumber norma ini adalah keyakinan
masyarakat
yang
bersangkutan
itu
sendiri.
Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan
sering disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat.
Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia,
melainkan bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya
berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang
dianggap sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi
masyarakat lain tidak demikian. Contoh norma ini diantaranya
ialah :
“Berilah  tempat  terlebih  dahulu   kepada   wanita   di dalam  
kereta  api,  bus   dan  lain-lain, terutama wanita yang tua, hamil

4.Norma Hukum : Ialah peraturan-peraturan yang timbul
dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara. Isinya
mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat
dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat
negara,
sumbernya
bisa
berupa
peraturan
perundangundangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin,
dan agama. Keistimewaan norma hukum terletak pada
sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman
hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran
peraturan-peraturan hukum bersifat heteronom, artinya
dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu
kekuasaan negara. Contoh norma ini diantaranya ialah :
“Barang
siapa
dengan
sengaja
menghilangkan
jiwa/nyawa orang lain, dihukum karena membunuh
dengan hukuman setingi-tingginya 15 tahun”.