PENGARUH CERITA DETEKTIF TRADISIONAL BARAT TERHADAP NOVEL INDONESIA MENCARI SARANG ANGIN DAN KREMIL KARYA SUPARTO BRATA

  

PENGARUH CERITA DETEKTIF TRADISIONAL BARAT

TERHADAP NOVEL INDONESIA MENCARI SARANG ANGIN

DAN KREMIL KARYA SUPARTO BRATA

The Influence of West Traditional Detective Stories on Indonesian Novel: Suparto Brata’s

  

“Mencari Sarang Angin” and “Kremil”

Yulitin Sungkowati

  Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo 61252, Telepon: 031-8051752, Pos-el: yulitins@yahoo.com

  Naskah masuk: 3 Januari 2014, disetujui: 24 Mei 2014, revisi akhir: 30 Mei 2014

  

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan hubungan Suparto Brata dengan cerita detektif tradisional

  Barat dan mendeskripsikan pengaruh cerita detektif tradisional Barat terhadap novelnya yang berjudul

  

Kremil dan Mencari Sarang Angin. Kajian ini termasuk ke dalam studi sastra bandingan. Penelitian ini

menghasilkan temuan bahwa Suparto Brata merupakan pembaca cerita-cerita detektif tradisional Barat.

  Pengaruh bacaan tersebut terhadap novel Kremil dan Mencari Sarang Angin yang ditulisnya teridentifikasi dari fakta cerita berupa alur (yang terdiri atas tiga bagian: kejahatan, pelacakan, dan pembongkaran misteri), penokohan (penjahat, korban, pelacak, dan tokoh lainnya), dan latar terisolasi. Akan tetapi, dalam beberapa hal, novel Kremil dan Mencari Sarang Angin menunjukkan penyimpangan atau modifikasi dari cerita detektif tradisional Barat.

  Kata kunci: cerita detektif tradisional Barat, pengaruh, sastra bandingan, novel

Abstract: This study focuses on describing the relationship between Suparto Brata as a writer and

western traditional detective stories. It also examines their influence on his works: “Kremil” and

  “Mencari Sarang Angin”. The research is under comparative literary study. The result of the re-

  

search shows that Suparto Brata is the western detective stories reader. Their influence on his

works, “Kremil” and “Mencari Sarang Angin”, can be identified from their plot, character, and

isolated setting. Firstly, the plot is divided into three parts: criminality, tracing the story, and un-

covering the mystery. Secondly, the characters consist of criminal, victim, and other characters. In

some cases, however, “Kremil” and “Mencari Sarang Angin” indicate the deviation or modification

of the western traditional detective stories.

  

Key words: western traditional detective story, influence, comparative literary, Indonesian novel

1. Pendahuluan

  Saling memberikan pangaruh dalam Hal ini diakui sendiri oleh Suparto Brata, ia dunia sastra merupakan hal biasa dan terdorong mengarang cerita detektif setelah menjadi sebuah keniscayaan karena membaca cerita detektif Barat (1991:98). pengarang sebagai pencipta karya sastra

  Dilihat dari asal katanya, kata detektif pada dasarnya juga seorang pembaca. Tidak berasal dari bahasa Inggris detective yang tertutup kemungkinan seorang pengarang berarti reserse, mata-mata polisi (Echol, membaca karya-karya sastra ciptaan 1975:157). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengarang lain dan terpengaruh olehnya. METASASTRA , Vol. 7 No.

  1 , Juni 2014: 109—122

  Indriani (1991:106—117) mengakui bahwa Suparto Brata adalah pengarang sastra Jawa modern yang paling produktif menghasilkan cerita detektif dan mampu mengadaptasi genre cerita detektif Barat serta mengalihkannya dengan baik ke dalam sastra Jawa.

  Mencari Sarang Angin ? Tujuan penelitian ini

  Penelitian ini juga perlu dilakukan karena penelitian Haryono (1989) belum menjawab pertanyaan bagaimanakah Suparto Brata dapat terpengaruh oleh cerita detektif tradisional Barat? Oleh karena itu, masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah Suparto Brata mengenal dan dipengaruhi oleh cerita detektif Barat? (2) Bagaimanakah pengaruh cerita detektif tradisional Barat ditunjukkan dalam novel Kremil? (3) Bagaimanakah pengaruh cerita detektif tradisional Barat ditunjukkan dalam novel

  (2005). Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian terhadap kedua novel tersebut untuk melihat apakah cerita detektif tradisional Barat yang sudah diadaptasi dalam sastra Jawa modern juga memengaruhi karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia?

  Kremil (2002) dan Mencari Sarang Angin

  dan artikel Indriani berjudul “Cerita Detektif karya Suparto Brata” (1991) baru membicarakan novel-novel Suparto Brata yang ditulis dalam bahasa Jawa. Padahal, Suparto Brata merupakan pengarang dwibahasa. Ia juga menulis beberapa novel dalam bahasa Indonesia, antara lain novel

  Cerita Detektif dalam Susastra Jawa Modern

  Penelitian Haryono (1989) dalam buku

  Congklakan (1929). Meskipun demikian,

  detektif diartikan sebagai polisi rahasia atau reserse, sedangkan Ensiklopedi Indonesia (1991:797) mengartikan cerita detektif sebagai cerita yang menokohkan agen polisi yang terampil menyingkap rahasia pembunuhan dan liku-liku kejahatan. Rahasia yang meliputi peristiwa pembunuhan atau kejahatan itu menjadi hal yang utama dalam cerita detektif. Misteri yang dihadirkan dalam cerita detektif biasanya bukan hanya menjadi misteri bagi tokoh, tetapi juga bagi pembacanya.

  Bahkan, sebelum Soekandar mengarang cerita detektif itu, dalam sastra Jawa juga sudah ditemui karya-karya yang mengandung episode tindak kejahatan yang di dalamnya memunculkan pelacakan oleh salah seorang tokohnya atau polisi, misalnya novel Sukaca (1923) dan Mungsuh Mungging

  “Warisan Macan Kumbang” karangan Soekandar S.G. yang terbit di majalah Jayabaya tanggal 7 April—9 Juni 1957.

  Pengakuan Suparto Brata sebagai pelopor penulisan cerita detektif dalam sastra Jawa modern menurut Indriani (1991:102) tidak sepenuhnya benar. Sebelum Suparto Brata menulis cerita detektif “Pethite Nyai Blorong” tahun1965 sudah ada cerita bersambung berjudul

  Cerita detektif Barat itu kemudian tersebar ke berbagai negara termasuk Indo- nesia yang kala itu berada di bawah penjajahan Belanda. Genre cerita detektif Barat itu dibawa oleh orang-orang Belanda sehingga memengaruhi sebagian orang In- donesia yang mendapat kesempatan untuk ikut membacanya. Pengaruh genre cerita tersebut terhadap pengarang-pengarang sastra Jawa terlihat dari cerita detektif Jawa yang meniru pola-pola cerita detektif Edgar Allan Poe, Arthur Conan Doyle, George Simenon, dan Agatha Christie. Menurut Indriani pula, motif cerita detektif dalam sastra Jawa modern telah mulai dirintis pada pertengahan tahun 1920-an, pada masa cerita detektif di Barat sedang memasuki masa keemasannya.

  Barat makin berkembang dengan hadirnya Sir Arthur Conan Doyle hingga mencapai puncak keemasannya pada era Agatha Christie pada tahun 1920—1930.

  der of the Roe Morgue, The Mistery of Marie Roget, dan The Purloined Letter. Cerita detektif

  Haryono (1989) yang meneliti cerita detektif dalam sastra Jawa mengemukakan bahwa cerita detektif dalam sastra Jawa, termasuk karya-karya Suparto Brata, dipengaruhi oleh cerita detektif Barat. Pelopor cerita detektif Barat adalah Edgar Allan Poe melalui karyanya seperti The Mur-

  adalah untuk (1) mendeskripsikan perkenalan atau persentuhan Suparto Brata

  1 1 1 Y ULI TI N S UN GKOW ATI : P ENGARUH C ERI TA D ETEKTI F T RADI SI ONAL B ARAT T ERHADAP N OVEL I NDONESI A ...

  pola cerita detektif yang ada dalam konvensi cerita detektif tradisional Barat untuk melihat pengaruh dan penyimpangannya. Dalam proses analisis melalui cara membandingkan itu juga dilakukan interpretasi atau penafsiran untuk memaknainya dan hasilnya disajikan dalam bentuk deskripsi.

  Kajian pengaruh lebih luas dan rumit daripada kajian kesamaan (afinity) karena kajian pengaruh harus menjawab persoalan bagaimana unsur sastra atau buah pikiran diserap oleh pengarang yang punya latar belakang berbeda dan mengapa ada

  bersifat tekstual karena cukup dengan melihat persamaan-persamaan, tidak perlu sampai pada menjawab persoalan mengapa ada persamaan-persamaan di antara karya sastra nasional yang berbeda, apakah ada latar belakang pikiran filsafat, dan sebagainya?

  false influence ’pengaruh palsu’. Kajian ini

  (2) Kajian bersifat historis (bukan membandingkan, tetapi melihat nilai-nilai historis yang melatarbelakangi kaitan antara satu sastra dan sastra lainnya; (3) Kajian bersifat teoretis (kajian bersifat teoretis menggambarkan tentang kriteria, konsep, dan batasan, misalnya tentang genre/ bentuk, aliran, tema, kritik sastra tidak terbatas pada sastra nasional mana pun); (4) Kajian bersifat antardisipliner (kajian utama tetap pada karya sastra, sedangkan pengetahuan-pengetahuan ilmu lain digunakan untuk memahami karya sastra). Kajian kesamaan (afinity study) disebut juga

  matic study ), dan kajian genre (generic study);

  Damono (2005) mengemukakan sembilan wilayah kajian sastra bandingan, salah satunya adalah kajian pengaruh atau karya sastra yang terpengaruh. Kasim (1996:36—38) membagi wilayah kajian sastra bandingan menjadi 4 kelompok: (1) Kajian bersifat komparatif yang terdiri atas kajian pengaruh (influence study), kajian kesamaan (afinity study), kajian tema (the-

  Penelitian ini termasuk dalam lingkup wilayah kajian sastra bandingan. Kasim (1996:15—16) mengemukakan bahwa perhatian utama sastra bandingan adalah melihat kaitan antara karya sastra dan karya sastra atau antara karya sastra dan bidang ilmu lain. Hubungan itu ada yang bersifat tekstual dan ada yang bersifat historis faktual. Hubungan akan dikatakan bersifat tekstual jika ada persamaan-persamaan dari dua karya sastra dan akan dikatakan bersifat historis faktual jika memang ada bukti bahwa seorang penulis memiliki hubungan dengan membaca, kontak langsung, surat menyurat, dan sebagainya.

  Mencari Sarang Angin dan Kremil dengan

  dengan cerita detektif tradisional Barat, (2) mendeskripsikan pengaruh cerita detektif tradisional Barat dalam novel Kremil, dan (3) mendeskripsikan pengaruh cerita detektif tradisional Barat dalam novel Mencari Sarang

  Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena data yang digunakan merupakan data kualitatif berupa paparan kebahasaan. Sumber data diperoleh melalui kegiatan penelusuran dokumen kepustakaan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca dan catat, baik terhadap novel yang dikaji maupun terhadap catatan tentang (1) perkembangan karier sang pengarang, (2) proses penciptaan karya sastranya, dan (3) tradisi sastra dan nilai budaya pengarang. Analisis data dilakukan dengan metode perbandingan dengan langkah utamanya membandingkan (Damono, 2005) pola cerita detektif novel

  memaparkan proses kreatif Suparto Brata dalam menulis cerita detekftif Jawa.

  Modern (Prawoto [Ed.], 1991:93—101) yang

  dengan Sastra Jawa) yang berisi tulisan- tulisan Suparto Brata tentang proses kreatifnya sebagai pengarang dan artikel berjudul “Roman Detektif Berbahasa Jawa” dalam buku Keterlibatan Sosial Sastra Jawa

  “Srawungku karo Sastra Jawa” (Pergaulanku

  Sumber data utama penelitian ini adalah novel Mencari Sarang Angin dan novel Kremil karya Suparto Brata. Sumber data lainnya adalah dokumen berjudul

  memperluas kajian yang telah ada dan dapat memberi informasi tentang hubungan antarsastra di dunia.

  Angin . Penelitian ini diharapkan dapat

2. Kajian Teori

  METASASTRA , Vol. 7 No.

  1 , Juni 2014: 109—122

  penyimpangan-penyimpangan dari bentuk asalnya? Untuk membantu menjawab persoalan itu, perlu dilakukan upaya (1) menjejaki perkembangan karier sang pengarang, (2) menjejaki proses penciptaan karya sastranya, dan (3) mengetahui tradisi sastra dan nilai budaya pengarang tersebut (Kasim, 1996:40—46). Pengaruh dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Langsung berarti pengarang langsung mendapat pengaruh dari sumber asalnya, sedangkan tidak langsung berarti ada perantara, yaitu mengambil dari pengarang lain yang sudah lebih dulu terpengaruh.

  Dalam lingkup kajian sastra bandingan, teori apa pun dapat digunakan yang penting sesuai dengan persoalan yang dikaji. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan teori resepsi-intertekstual. Pemilihan teori ini didasarkan pada persoalan yang menjadi fokus kajian, yaitu melihat bagaimana pengarang terpengaruh oleh karya sastra lain dalam menciptakan karyanya. Pengaruh itu menunjukkan adanya resepsi atau penerimaan seorang pengarang terhadap karya orang lain yang dibacanya. Resepsi dapat diartikan sebagai tanggapan, penerimaan, atau respons. Resepsi sastra berarti tanggapan pembaca terhadap karya sastra (Jauss, 1983:19), sedangkan prinsip dasar intertekstual menganggap bahwa tidak ada teks sastra yang sungguh-sungguh otonom sehingga setiap teks sastra harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain (Teeuw, 1988: 145).

  Menurut Riffatere (Teeuw, 1983:69— 70), prinsip intertekstual memerlukan pendekatan struktur dan pendekatan struktur itu harus dilakukan lebih dahulu untuk melihat esensi karya sehingga perbandingan secara intertekstual menjadi mungkin dilakukan. Cerita detektif merupakan jenis sastra yang berbentuk prosa sehingga di dalamnya terdiri atas unsur-unsur yang lazimnya terkandung dalam sebuah prosa. Konsep struktur cerita menurut Stanton (1965:12) terdiri atas tema, fakta-fakta cerita, dan sarana penceritaan.

  Dalam penelitian ini, pembicaraan atas struktur dibatasi pada tiga unsur yang menunjukkan ciri khas cerita detektif, yaitu alur, tokoh, dan latar.

  Grela (Haryono, 1989:2) mengatakan bahwa kerangka dasar alur detektif Barat memiliki formula adanya tindak kejahatan yang melibatkan seorang penjahat, ada pelacakan yang dilakukan oleh seorang tokoh detektif atau pelacak, dan ada pembongkaran misteri. Pada akhir cerita biasanya semua tokoh dikumpulkan dan sang detektif akan memaparkan bukti-bukti, dugaan-dugaan, keraguan-keraguan, dan membongkar pelaku kejahatan dengan analisis yang cerdas. Penokohan cerita detektif Barat biasanya terdiri atas korban, pelaku kejahatan, pelacak, dan tokoh lain. Tokoh utamanya adalah sang detektif. Ia biasanya berwatak dua dimensi dalam arti tipologis, datar, dan tidak manusiawi. Ia juga orang yang sempurna kepandaiannya (Meter dalam Haryono, 1991:109—111). Latar kejadiannya berada dalam suatu tempat yang terpencil dan dalam lingkaran kecil sehingga jumlah tokohnya terbatas dan menduduki suatu kelas sosial tertentu, misalnya, rumah seorang aristokrat dengan tokoh-tokohnya kaum bangsawan.

  3. Hasil dan Pembahasan

  Penelitian ini menghasilkan temuan sebagai berikut: (1) Suparto Brata ialah pembaca cerita-cerita detektif tradisional Barat. Hubungan cerita detektif karangan Suparto Brata dengan cerita detektif tradisional Barat bersifat historis faktual karena didukung oleh fakta pengakuan Suparto Brata dalam proses kreatifnya. (2) Pengaruh cerita detektif tradisional Barat dalam novel Kremil sangat jelas dilihat dari persamaan-persamaan pola alur, tokoh, dan latarnya. Hubungan yang terjadi bersifat tekstual. (3) Pengaruh cerita detektif tradisional Barat dalam novel Mencari Sarang

  Angin juga dapat dilihat dari persamaan

  pola dalam alur, tokoh, dan latar, meskipun tidak sekuat pada novel Kremil. Hubungan ini juga bersifat tekstual. Jadi, pengaruh cerita detektif tradisional Barat terhadap novel Kremil dan Mencari Sarang Angin

  1 1 3 Y ULI TI N S UN GKOW ATI : P ENGARUH C ERI TA D ETEKTI F T RADI SI ONAL B ARAT T ERHADAP N OVEL I NDONESI A ...

  terbukti dari adanya hubungan yang bersifat tekstual dan hubungan yang bersifat historis faktual. Meskipun demikian, novel Kremil dan Mencari Sarang Angin juga menunjukkan penyimpangan-penyimpangan karena disesuaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang berbeda dengan masyarakat Barat. Berikut adalah uraian pembahasannya.

3.1 Hubungan Suparto Brata dengan Cerita Detektif Tradisional Barat

  Dalam tulisannya “Srawungku karo

  Sastra Jawa ” Suparto Brata menceritakan

  bahwa perkenalannya dengan dunia sastra sudah dimulai sebelum masuk bangku sekolah melalui dongeng dan tembang- tembang pengantar tidur yang dibawakan oleh ibunya. Dalam tulisan “Roman Detektif Berbahasa Jawa” (Prawoto [Ed.], 1991), Suparto Brata menceritakan proses kreatifnya dalam mengarang cerita-cerita detektif. Dikemukakannya bahwa ketika duduk di bangku kelas IV Sekolah Rakyat tahun 1942, ia mulai membaca karya-karya sastra yang dipinjam dari perpustakaan sekolah atau perpustakaan keliling. Genre cerita yang digemarinya adalah cerita kejahatan berbahasa Jawa, seperti “Kiai X”,

  Ni Wungkuk ing Bedhagrowong , Topeng Mas,

  dan Kepala Kecu karena waktu itu ia hanya menguasai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu.

  Sebelum kemerdekaan, ia sudah membaca roman-roman kejahatan berbahasa Jawa lainnya, seperti Tri Jaka

  Mulya, Kembang Kapas, Kepala Kecu, Gambar Mbabar Wewadi, Gerombolan Gagak Mataram,

  dan Gerombolan Mliwis Putih. Ketika penerbit Balai Pustaka mengeluarkan buku-buku terjemahan dari Barat sebagai bahan bacaan kaum pribumi, Suparto Brata pun mulai membaca buku-buku cerita detektif terjemahan berbahasa Melayu (Indonesia) karya-karya Arthur Conan Doyle dengan tokoh detektifnya yang terkenal Sherlock Holmes dan cerita detektif karya-karya pengarang pribumi seperti Syuman Hasibuan.

  Tahun 1954, Suparto Brata menambah daftar bacaannya dengan membaca buku- buku cerita berbahasa Belanda hingga muncul gerakan anti-Belanda tahun 1956 yang membuat buku-buku berbahasa Belanda menghilang dari perpustakaan- perpustakaan. Buku-buku berbahasa Belanda dibakar atau dibawa kembali ke Belanda oleh orang-orang Belanda yang terusir dari Indonesia. Rupanya hal itu menjadi berkah tersendiri bagi Suparto Brata karena seiring menghilangnya buku-buku berbahasa Belanda, buku-buku berbahasa Inggris justru membanjiri pasar loak di Surabaya dengan harga yang sangat murah.

  Meskipun kemampuan bahasa Inggrisnya terbatas, Suparto Brata rajin membeli dan membaca buku-buku berbahasa Inggris terbitan Penguin yang berlabel mystery & crime. Buku-buku itu kemungkinan awalanya milik orang-orang Belanda yang meninggalkan Indonesia. Dari kebiasaan membaca buku-buku cerita detektif dari pasar loak itu, ia mengenal karangan Dorothy L. Sayers, Hilda Lawrence, Margery Allingham, Ngaio Marsh, Katharine Farrar, Agatha Christie, John Dickson Carr, dan Freeman Wills Crofts. Ia juga membaca karya-karya Perry Mason (pengarang detektif Inggris) dan terkesan oleh karya-karya Georges Simenon (pengarang detektif dari Perancis).

  Secara jujur, Suparto Brata mengakui bahwa cerita-cerita detektifnya ditulis berdasarkan kesannya pada pengarang- pengarang detektif Barat tersebut. Ia menciptakan tokoh detektif bernama Handaka dalam 9 seri detektif Handaka: tokoh pelacak yang belum pernah muncul dalam cerita-cerita kejahatan berbahasa Jawa yang pernah dibaca sebelumnya. Karena George Simenon dalam karyanya terkadang menggunakan tokoh detektif Inspektur Maigret, kadang-kadang M. Labbe, dan kadang-kadang tanpa tokoh detektif, ia pun kemudian menulis cerita detektif yang kadang-kadang memasang tokoh detektif Handaka dan kadang-kadang tanpa seorang detektif pun.

  Suparto Brata mengakui bahwa cerita detektif Barat itulah yang lebih kental mempengaruhinya daripada cerita-cerita METASASTRA , Vol. 7 No.

  1 , Juni 2014: 109—122

  kejahatan Jawa (Brata, 1991:98). Oleh karena itu, Suparto Brata mengklaim bahwa cerita-cerita detektifnya berbeda dengan cerita detektif yang dikarang pengarang Jawa lainnya. Yang dimaksud oleh Suparto Brata dengan cerita detektif adalah cerita detektif yang ada dalam sastra Barat, bukan cerita kejahatan seperti dalam sastra Jawa meskipun cerita detektif itu merupakan bagian dari cerita kejahatan. Suparto Brata mengatakan bahwa cerita-cerita detektif kini sudah berubah, tidak seperti pada zaman Agatha Christie, Georges Simenon, atau Ellerly Quinn (Brata, 1991:100). Indriani (1989:2) menyebut cerita detektif Barat yang polanya dianut oleh pengarang- pengarang sastra Jawa, termasuk Suparto Brata, adalah cerita detektif tradisional.

  Adanya pengaruh cerita detektif tradisional Barat dalam cerita detektif Jawa karangan Suparto Brata telah terbukti dalam penelitian Indriani (1991:106—117). Ia mengemukakan bahwa dilihat dari polanya, cerita-cerita detektif berbahasa Jawa yang ditulis oleh Suparto Brata menunjukkan pengaruh cerita detektif tradisional Barat. Akan tetapi, Suparto Brata tidak menirunya secara mentah-mentah. Ia telah melakukan beberapa penyimpangan agar lebih sesuai dengan alam, situasi, dan pola berpikir orang Indonesia (Jawa) yang tidak sejajar dengan orang Barat. Adaptasi dengan penyimpangan yang dilakukan oleh Suparto Brata tersebut ternyata memberi nafas Jawa dalam karyanya dan mampu memperkaya khazanah sastra Jawa karena percampuran Barat-Jawa itu menghasilkan karya yang unik.

  Beberapa ciri cerita detektif Suparto Brata dalam sastra Jawa yang menunjukkan pengaruh dan penyimpangan cerita detektif Barat adalah sebagai berikut. (1) Dalam hal alur, beberapa karyanya baru menghadirkan alur detektif pada bagian-bagian akhir cerita, tetapi tetap mempertahankan kerangka alur detektif Barat dengan adanya unsur k e j a h a t a n - p e l a c a k a n - p e m b o n g k a r a n misteri. Suparto Brata juga sadar betul pada makna dan fungsi petunjuk serta mampu memanfaatkannya dengan baik untuk m e m b a n g u n m i s t e r i s e p a n j a n g a l u r .

  (2) Dalam hal penokohan, tokoh utama cerita detektif Barat adalah sang detektif. Ia biasanya berwatak dua dimensi dalam arti tipologis, datar, dan tidak manusiawi. Ia juga orang yang sempurna kepandaiannya. Suparto Brata juga menciptakan tokoh detektif bernama Handaka yang menunjukkan pengaruh tokoh detektif Barat. Di samping itu, ia juga menampilkan pelacak seorang polisi, bahkan ada pelacak amatir. Tokoh cerita detektif Suparto Brata sudah lebih manusiawi dibandingkan dengan tokoh detektif Barat. Akan tetapi, ciri detektif lebih pandai daripada polisi tetap dipertahankan. Ada pula cerita detektif Suparto Brata yang tetap mempertahankan detektif sebagai orang yang tidak manusiawi, tidak mengizinkan emosi dan perasaan terlibat di dalamya, yang lebih penting adalah logika. (3) Dalam hal latar, latar sosial dalam cerita detektif Suparto Brata membuktikan bahwa ia memang menggunakan pola tradisional cerita detektif Barat, yaitu berlatar tempat terpencil sehingga jumlah tokoh terbatas dan tokoh yang terlibat menduduki suatu kelas sosial tertentu.

  Sebagai pengarang dwibahasa, Suparto Brata tidak hanya menulis cerita-ceritanya dengan bahasa Jawa, tetapi juga dalam bahasa Indonesia. Dalam karya sastra berbahasa Indonesianya, Suparto Brata memang tidak menghasilkan serial detektif sebagaimana detektif Handaka yang ditulis dalam bahasa Jawa. Meskipun demikian, pengaruh cerita detektif Barat itu terlihat pula jejaknya dalam karangan-karangannya yang menggunakan bahasa Indonesia, seperti pada novel Kremil dan Mencari Sarang Angin (selanjutnya disingkat MSA).

  3.2 Pengaruh Cerita Detektif Tradisional Barat terhadap Novel Kremil

  3.2.1 Pengaruh terhadap Aspek Alur Cerita

  Alur merupakan rangkaian peristiwa yang bersebab akibat (Stanton, 1965:14). Meskipun Suparto Brata tidak menyebutnya

  1 1 5 Y ULI TI N S UN GKOW ATI : P ENGARUH C ERI TA D ETEKTI F T RADI SI ONAL B ARAT T ERHADAP N OVEL I NDONESI A ...

  sebagai cerita detektif, novel Kremil menunjukkan pengaruh pola cerita detektif tradisional Barat yang cukup kuat dengan modifikasi dan penyimpangan sebagaimana cerita-cerita detektif Jawanya. Unsur alur cerita detektif yang terdiri atas kejahatan, pelacakan, dan pembongkaran misteri tampak jelas dalam novel ini meskipun penyajiannya tidak linear, tetapi secara flash-

  back ’sorot balik’ dan tidak tunggal. Susunan

  alur yang tidak berurut seperti dalam cerita detektif tradisional Barat membuat pembaca yang tidak membaca novel Kremil hingga selesai tidak akan menyadari bahwa novel yang dibacanya itu beralur cerita detektif dari awal hingga akhir. Alur detektif seperti ini merupakan penyimpangan dari kerangka dasar alur cerita detektif tradisional Barat, bahkan belum pernah ditunjukkan dalam karya sastra Jawa Suparto Brata sebagaimana diteliti Indriani (1989, 1991).

  Novel yang terdiri atas enam bab, yaitu

  bab 1 “Kremil, Juli 1967”, bab 2 “Delopo, Agustus 1965”, bab 3 “Kremil, Agustus 1967”, bab 4 “Silir, Maret 1966”, bab 5 “Kremil, September 1967”, dan bab 6 “Jebreng, September Akhir 1967” ini disusun secara backtracking ’terbalik’. Hal itu, secara kasat mata dapat dilihat dari susunan bab dengan judul yang disertai tempat, bulan, dan tahun. Jika bab itu disusun secara kronologis berdasarkan urutan waktu, harusnya susunannya sebagai berikut: bab 2 “Delopo, Agustus 1965”, bab 4 “Silir, Maret 1966”, bab 1 “Kremil, Juli 1967”, bab 3 “Kremil, Agustus 1967”, bab 5 “Kremil, September 1967”, bab 6 “Jebreng, Septem- ber Akhir 1967”.

  Alur novel ini dimulai dari bagian pelacakan (bab 1 “Kremil, Juli 1967”) kemudian baru ditampilkan bagian kejahatan (bab 2 “Delopo, Agustus 1965”), kembali pada bagian pelacakan (bab 3 “Kremil, Agustus 1967”), bagian kejahatan (bab 4 “Silir, Maret 1966”), bagian pelacakan (bab 5 “Kremil, September 1967”), dan bagian pembongkaran misteri (bab 6 “Jebreng, September Akhir 1967”).

  Bagian pelacakan (bab 1, bab 3, bab 5) menceritakan kehidupan lokalisasi Kremil dengan segala permasalahan yang dialami para pelacur korban politik/kekuasaan dalam mempertahankan hidup di tengah berbagai tekanan (Sungkowati, 2009a). Bab- bab tersebut tampaknya tidak berkaitan dengan bagian kejahatan (bab 2 dan bab 4), bahkan tidak akan disadari oleh pembaca sebagai bagian pelacakan. Apalagi pada bab 5 juga ada alur detektif sendiri yang alurnya berurut dari bagian kejahatan (terbunuhnya Ninik dan Yu Nik dengan luka tusukan pisau), bagian pelacakan (melibatkan polisi yang menginterogasi orang-orang di sekitar kejadian yang dinilai memiliki motif), hingga pembongkaran misteri (ditemukannya pembunuh berdasarkan petunjuk dan barang bukti berupa pisau).

  Secara keseluruhan, alur detektif pada

  bab 5 itu merupakan sebuah “pengalihan” dari misteri sebenarnya sehingga fokus pembaca terarah pada kasus itu dan “melupakan” misteri yang lebih besar: Apa hubungan Kremil dengan peristiwa di Delopo (bab 2) dan Silir (bab 4)? Bagian pelacakan dan bagian kejahatan itu baru terhubung dan terlihat kaitan logikanya pada bab 6 yang merupakan bagian pembongkaran misteri. Pembongkaran misteri ini mampu memberi efek kejutan yang tak terduga kepada pembaca yang semula perhatiannya terarah pada alur detektif di bab 5.

  Novel Kremil dibuka dengan peristiwa kedatangan Sueb dan Suyati di lokalisasi Kremil, Surabaya. Sueb menitipkan Suyati yang diakuinya sebagai keponakannya kepada Tante Tinny, sedangkan Sueb mengenalkan Tante Tinny kepada Suyati sebagai tantenya. Sueb menitipkan Suyati untuk membantu di rumah bordil Tante Tinny yang punya empat perempuan pekerja seks, yaitu Ningsih, Kartimah, Tumiyah, dan Suliyem. Cerita tentang lokalisasi Kremil dengan segala persoalan sosialnya kemudian lebih ditonjolkan, misalnya tentang asal usul para pekerja seks yang menghuni lokalisasi, para pejabat yang menjadi pelanggan pekerja seks, kehidupan germo, dan percintaan anak germo-pelacur yang mengalihkan perhatian pembaca METASASTRA , Vol. 7 No.

  1 , Juni 2014: 109—122

  kepada tokoh Suyati dan Sueb. Suyati terkesan disembunyikan, sedangkan Sueb yang sekali-kali datang untuk menengok Suyati digambarkan lebih sering menemui Ningsih sehingga fokus pembaca tidak terarah pada sosok Suyati dan Sueb. Cerita tentang Suyati di lokalisasi Kremil pada bab 1 “Kremil, Juli 1967”, bab 3 “Kremil, Agustus 1967”, dan bab 5 “Kremil, Septem- ber 1967” dalam keseluruhan alur sesungguhnya merupakan bagian pelacakan.

  Bagian kejahatan terdapat pada bab 2 dan bab 4. Bab 2 yang berjudul “Delopo, Agustus 1965” dibuka dengan peristiwa kepulangan Marini dari sekolahnya di Madiun. Ia menemui rumahnya dalam keadaan berantakan dan kosong. Tetangganya memberi tahu bahwa Sugeng telah membawa ayahnya dengan truk. Sugeng datang mengambil surat-surat tanah dan mengajak Marini menemui ayahnya. Ayah Marini ternyata disekap di markas Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi pada organisasi komunis. Ibunya telah meninggal di samping ayahnya yang luka parah. Sebelum meninggal, ayahnya berkata bahwa adik-adiknya telah dibunuh dan dimasukkan ke dalam sumur di belakang rumah oleh Sugeng. Marini dibawa pergi oleh Sugeng untuk dijadikan Gerwani hingga akhirnya bersembunyi di lokalisasi Silir, Solo, setelah pemberontakan komunis gagal.

  Bagian kejahatan di bab 2 ini berkaitan dengan kejahatan di bab 4. Bab 4 menceritakan seorang polisi bernama Darji yang menemukan istri dan anaknya tewas mengenaskan di rumahnya ketika pulang berdinas pagi hari. Kejahatan ini terhubung dengan kejahatan yang menimpa keluarga Marini berkat tas yang digunakan Marini saat berobat ke rumah sakit dan dikenali oleh Raden Ayu Dermaya, ibu Siwi dan mertua Darji. Darji mencari Marini di Silir dan mendapat cerita bahwa tas yang diapakai memang tas Siwi, istri Darji, yang dibunuh oleh Sugeng atau Herman dan Busro. Sugeng dan Busro telah melarikan diri dua bulan setelah membunuh istri dan anak

  Darji. Motif Sugeng dan Busro membunuh keluarga Marini di Delopo dan keluarga Darji di Solo adalah motif politik karena perbedaan ideologi.

  Dari pertemuan Marini dan Darji itu tercetus tekad mereka untuk bekerja sama melacak dan memburu keberadaan Sugeng dan Busro agar dapat dimintai pertanggungjawabannya. Marini meminta tolong Darji untuk melacak keberadaan Sugeng di Delopo hingga diperoleh informasi bahwa Sugeng sempat pulang untuk mengurus surat-surat tanah ayah Marini. Rencana Marini dan Darji ini disembunyikan kepada pembaca dan tidak pernah disebut-sebut pada bab yang berjudul “Kremil”.

  Logika keterjalinan berbagai peristiwa baru terungkap pada bab 6 “Jebreng, Sep- tember Akhir 1967” yang berisi bagian pembongkaran misteri. Akan tetapi, pembongkaran misterinya berbeda dari cerita detektif tradisional Barat yang biasanya dilakukan oleh detektif dengan cara mengumpulkan semua tokoh kemudian menjelaskan bukti-bukti, motif, dan dugaan- dugaan hingga ditemukan/ditunjukkan penjahatnya. Pembongkaran misteri di sini bukan pembongkaran misteri pembunuh dan motif pembunuhan sebagaimana dalam cerita detektif tradisional Barat. Oleh karena pembunuh dan motifnya sudah diketahui, bagian terbesar alur novel ini adalah bagian pelacakan untuk menangkap penjahat.

  Bagian pembongkaran misteri ditandai oleh pembicaraan Darji dan Marini yang saling bercerita tentang pengalamannya selama menyamar di lokalisasi Kremil hingga berhasil menangkap Sugeng dan Busro. Disinilah kaitan antara bagian pelacakan dan bagian kejahatan terungkap karena ternyata Suyati tidak lain adalah Marini (keluarga korban pada bab 4, “Silir”), sedangkan Sueb merupakan nama samaran Darji (keluarga korban dalam bab 2, “Delopo”). Demi memburu dan menangkap Sugeng dan Busro, Marini dan Darji bekerja sama melacaknya dengan terlebih dahulu mengganti identitas menjadi Suyati dan Sueb. Lokalisasi Kremil dipilih sebagai

  1 1 7 Y ULI TI N S UN GKOW ATI : P ENGARUH C ERI TA D ETEKTI F T RADI SI ONAL B ARAT T ERHADAP N OVEL I NDONESI A ...

  tempat pelacakan karena Sugeng dan Busro biasanya memilih lokalisasi sebagai tempat persembunyian yang aman dari kejaran polisi. Pelacakan Marini alias Suyati dilokalisasi Kremil tidak ditonjolkan karena ia dalam posisi menyamar.

3.2.2 Pengaruh terhadap Aspek Tokoh Cerita

  Tokoh menempati posisi strategis sebagai penyampai pesan, amanat/moral, atau gagasan yang (mungkin) ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca (Wellek dan Warren, 1990:47). Novel Kremil menokohkan tokoh-tokoh yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh penjahat, korban, pelacak, dan tokoh lainnya sebagaimana dalam cerita detektif tradisional Barat. Penjahat dalam novel

  Kremil ini adalah Sugeng dan Busro yang

  merupakan anggota Barisan Tani Indonesia (BTI). Perbuatan jahat yang dilakukannya adalah membunuh adik-adik Marini dan ibu Marini, menculik dan menganiaya ayahnya hingga meninggal mencuri surat-surat tanah ayah Marini di Delopo, membunuh keluarga pamannya, serta membantai istri dan anak Darji di Solo. Sugeng merupakan orang yang sangat kejam dan sadis, hanya karena berbeda paham dan ideologi ia tega membantai saudara-saudaranya sendiri.

  Ayah Marini adalah adik Pakde Diro, ayah Sugeng alias Herman.

  Tokoh pelacak dalam novel ini adalah Marini dan Darji. Keduanya merupakan korban selamat dalam pembantaian yang dilakukan oleh Sugeng sehingga ingin menangkap pelaku kejahatan yang telah merenggut nyawa keluarganya. Demi melakukan pelacakan secara bebas, Darji keluar dari dinasnya di kepolisian, sedangkan Marini adalah siswa sekolah SMA. Keduanya kemudian ke Surabaya dan memulai pelacakannya di lokalisasi Kremil dengan mengubah identitas namanya menjadi Suyati dan Sueb. Mereka terus menyamar hingga Sugeng dan Busro datang sebagai teman Wahab untuk mengambil granat yang disembunyikan di kamar Kartimah. Tokoh pelacak di novel ini menunjukkan sisi manusiawinya, tetapi kesan pelacak lebih pintar dari polisi tetap dipertahankan. Bahkan, Darji harus ke luar dari kepolisian dulu karena jika tetap berdinas ia tidak akan mampu melacak keberadaan Sugeng dan Busro dengan “baju polisinya”.

  Tokoh yang menempati posisi sebagai korban adalah Suwito Reksodrono dan istrinya (ayah dan ibu Marini), Mardi dan Marinah (adik Marini), Siwi dan Sarwendah (istri dan anak Darji), serta keluarga Soma (Pakde Sugeng). Keluarga Marini dibantai oleh Sugeng hanya beberapa saat sebelum Marini sampai di rumah dari tempat sekolahnya di Madiun. Ayah Marini seorang petani maju, anggota Partai Nasional Indo- nesia, dan pengikut Soekarno. Ia menolak bergabung dengan Sugeng menjadi anggota Barisan Tani Indonesia yang berafiliasi pada komunis. Istri dan anak Darji juga dibantai oleh Sugeng hanya beberapa saat sebelum Darji tiba di rumah setelah berdinas jaga malam di kepolisian. Alasan pembantaian itu juga karena perbedaan paham. Meskipun tidak saling mengenal, Sugeng membenci kaum bangsawan yang dianggap sebagai kaum borjuis, musuh komunis. Istri Darji adalah putri bangsawan kraton Surakarta dan mereka tinggal di rumah besar nan megah.

  Di samping alur utama itu, pada bab 5 “Kremil, September 1967” juga ada alur detektif sebagai pengalih perhatian.

  Penjahatnya adalah Mariyun, seorang remaja putra Maryunani dan Markasan pemilik wisma Arumdalu. Pelacaknya adalah seorang polisi bernama Leo, sedangkan korbannya adalah Ninik dan Yu Ni. Mariyun salah membunuh Yu Ni karena Yu Ni tidur di kamar Kartimah. Ia sesungguhnya ingin membunuh Kartimah yang sudah menolak cintanya. Motif sakit hati yang menggerakan Mariyun melakukan pembunuhan.

  3.2.3 Pengaruh terhadap Aspek Latar

  Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berhubungan dan berinteraksi

  1 1 8 Y ULI TI N S UN GKOW ATI : P ENGARUH C ERI TA D ETEKTI F T RADI SI ONAL B ARAT T ERHADAP N OVEL I NDONESI A ...

  dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berupa tempat, waktu-waktu tertentu (hari, bulan, tahun), cuaca, periode sejarah, atau dapat pula menyangkut perilaku orang-orang atau masyarakat (Stanton, 1965).

  Latar novel Kremil terjadi di beberapa tempat dan dapat digolongkan sebagai latar terisolasi atau terpencil meskipun tidak sama persis dengan latar terpencil dalam cerita detektif Barat yang membuat jumlah tokohnya terbatas. Pada latar ini juga tampak penyimpangan dengan adanya latar tempat yang berpindah-pindah, tidak pada satu tempat terpencil sebagaimana dalam latar cerita detektif Barat. Latar novel Kremil yang terpencil hanya Delopo, latar rumah keluarga bangsawan Raden Ayu Dermaya, sedangkan latar lokalisasi Kremil dan Silir merupakan latar yang tidak terisolasi. Meskipun demikian, pemilihan latar tempat lokalisasi masih menyisakan upaya melokalisir latar tempat sebagai tempat yang tidak mungkin dimasuki oleh semua orang, artinya tetap ada unsur terpencilnya. Hanya orang-orang tertentu yang akan mengunjungi daerah lokalisasi karena citranya sebagai tempat maksiat akan dijauhi oleh orang “baik-baik”.

  Barat terhadap Novel Mencari Sarang Angin

  Novel MSA terdiri atas tujuh bab yang masing-masing diberi judul “Dagblad Expres”, “Keluarga Jayajais”, “Van Daal”, “Rumah Ketandan”, “Bencana”, “Yayi”, dan “Revolusi”. Novel ini pada dasarnya bukan novel detektif, tetapi novel tentang sejarah perkembangan pers dan perubahan masyarakat Jawa dengan rentang latar masa kolonialisme Belanda hingga masa pemberontakan komunis di era revolusi kemerdekaan (Sungkowati, 2010). Dalam alur cerita itulah dicantolkan alur detektif yang tampak pada dua bab terakhir novel, tepatnya pada bagian yang diberi judul “Yayi” dan “Revolusi”.

  Kejahatan yang berujung pada terbunuhnya seseorang muncul di bab yang berjudul “Yayi”. Kejahatan berupa penggeledahan-penangkapan Yayi (seorang putri bupati) di tempat pameran lukisan di Surabaya. Kejahatan dilakukan oleh Kenpeihok bernama Torunadei. Kenpeihok adalah pembantu Kenpeitai (polisi militer Nippon/Jepang) yang berasal dari kaum pribumi/Jawa. Pada saat penggeledahan, Torunadei menemukan emblem bergambar bendera Belanda bertuliskan “Jubileum 1913-1938, van Kolff & Co. Drukkerij” di dalam tas anyaman Yayi. Yayi dilaporkan kepada Kenpeihok dengan tuduhan sebagai mata-mata Belanda (2005:540—541, 648).

  Meskipun Yayi tidak mengakui emblem itu sebagai miliknya dan Darwan mengatakan bahwa bros itu hanyalah simbol peringatan 25 tahun percetakan Kolff & Co. Drukkerij, Kenpeitai tetap menyuruh Kenpeihok Torunadei memasukannya ke penjara Kenpeitai yang terkenal kejam. Yayi merasa dijebak karena bros itu bukan miliknya. Darwan juga menduga ada orang yang ingin mencelakakan Yayi, tetapi ia tidak tahu siapa dan apa motifnya. Yayi akhirnya dapat dikeluarkan dari penjara berkat bantuan Darwan yang memohon kepada pimpinan tentara Jepang di Solo. Kondisi Yayi sangat mengenaskan karena siksaan yang dialaminya selama di penjara. Sebelum meninggal, Yayi menyebut nama Tirtonadi.

3.3 Pengaruh Cerita Detektif Tradisional

3.3.1 Pengaruh terhadap Aspek Alur Cerita

  Terbunuhnya Yayi karena penyiksaan di penjara Kenpetai itu memunculkan misteri yang menjadi faktor penting dalam alur detektif. Misteri inilah yang mendorong seseorang melakukan pelacakan untuk membongkar misteri itu. Dalam hal alur, Grela (Haryono, 1991:113—114) mengatakan bahwa alur cerita detektif digerakan dan diikat oleh adanya misteri sehingga alurnya penuh dengan tipu muslihat dan keraguan. Misteri di seputar penangkapan-penyiksaan hingga meninggalnya Yayi adalah siapa yang memasukkan emblem ke dalam tas Yayi, apa motifnya, dan apa arti kata “Tirtonadi” yang diucapkan Yayi? Pertanyaan-

  1 1 9 Y ULI TI N S UN GKOW ATI : P ENGARUH C ERI TA D ETEKTI F T RADI SI ONAL B ARAT T ERHADAP N OVEL I NDONESI A ...

  pertanyaan pun mulai muncul hingga Darwan dan Sajiwa bertekad untuk melacaknya.

  Pelacakan dilakukan oleh Darwan dan Sajiwa, tetapi secara tidak langsung. Misteri kata “Tirtonadi” membuat Darwan menghubungkannya dengan Kota Surakarta karena nama itu merupakan nama sebuah taman yang terkenal di Surakarta. Apalagi selama menjadi buronan Belanda, Darwan sempat menyembunyikan Yayi di istana orang tuanya di Prawirakusuman, Surakarta.

  Darwan menyuruh Bawon untuk menanyakannya kepada Kanjeng Rama di Prawirakusuman, tetapi hasilnya nihil. Padahal, Darwan menduga Yayi sudah melakukan sesuatu yang membahayakannya selama di Surakarta.

  Unsur pelacakan di dalam novel ini yang menjadi ciri khas cerita detektif memang tidak begitu terlihat karena novel ini memang bukan novel bergenre detektif. Pelacakan dilakukan oleh Darwan sambil menjalankan tugas pokoknya sebagai wartawan. Petunjuk (clue) ke arah pemecahan misteri emblem di dalam tas Yayi diperoleh Darwan secara tidak sengaja ketika membongkar sebuah percetakan di Surabaya untuk dibawa ke pengungsian. Darwan menemukan setumpuk emblem yang sama dengan emblem yang ditemukan di dalam tas Yayi. Petunjuk (clue) berupa emblem itu mengarahkan pelacakan Darwan pada Rokhim karena Rokhim pernah bekerja di percetakan itu setelah berhenti dari Dagblad Ekspress, tempat Yayi dan Slamet bekerja. Akan tetapi, dugaan pada Rokhim belum dapat menjawab misteri tentang bagaimana emblem itu bisa berada di dalam tas Yayi, apa arti kata “Tirtonadi”, dan apa motif mencelakai Yayi belum mendapat titik terang. Oleh karena itu, Darwan dan Sajiwa berusaha menemukan Rokhim karena Rokhim dinilai mengetahui kejahatan itu.

  Petunjuk kedua yang menguatkan posisi Rokhim sebagai tertuduh diperoleh Darwan saat bertemu dengan Murdanu di jalan antara Yogya—Solo. Pada pertemuan yang tidak disengaja ini, Darwan mendapat kepastian tentang penjahat yang telah membunuh Yayi. Murdanu menceritakan bahwa ia bisa diterima menjadi tentara karena berhasil membunuh Kenpeihok bernama Turnadi yang masih tetangganya. Murdanu mengatakan bahwa pada masa Belanda, Turnadi menjadi reserse Belanda dan menangkap Slamet atas laporan Rokhim. Rokhim juga meminta agar Turnadi mengawasi Yayi.

  Murdanu mengetahui cerita itu dari mulut Turnadi sebelum meninggal karena tusukan samurainya. Dari cerita Murdanu itulah, Darwan dapat menghubungkan kata Tirtonadi yang diucapkan Yayi. Rupanya Yayi berusaha memberi tahu nama orang yang telah menyiksanya, Turnadi/ Torunadei, tetapi dalam keadaan sekarat Yayi mengucapkannya Tirtonadi. Turnadi ternyata adalah Kenpeihok dengan nama Jepang Torunadei yang telah menangkap Yayi di tempat pameran lukisan dengan petunjuk ciri fisik luka di pelipisnya (Brata, 2005:681).

  Karena Turnadi sudah dibunuh oleh Murdanu, Darwan tinggal melacak Rokhim untuk mengetahui motifnya menjebak Yayi dan bagaimana ia memasukkan emblem ke dalam tasnya. Darwan menemukan Rokhim di tempat persembunyian di tengah hutan Jati Sonde, daerah Ngawi. Rokhim mengaku sakit hati melihat hubungan Darwan dan Yayi. Yayi dianggap sebagai penghalang Rokhayah, adik Rokhim, untuk menjadi istri Darwan. Sebelum Rokhim menceritakan bagaimana ia memasukkan emblem itu ke dalam tas Yayi, Sajiwa menembaknya hingga tewas. Misteri itu terbongkar secara tidak sengaja oleh pengakuan Rokhayah yang disuruh Rokhim memasukan emblem (yang dikatakan kepada Rokhayah sebagai jimat yang akan membuat Darwan kembali menjadi miliknya dan Yayi pergi untuk selamanya) ke dalam tas Yayi.

  Cara pembongkaran misteri dengan pola seperti itu merupakan satu bentuk penyimpangan. Menurut Grela (Haryono, 1991:113—114), dalam cerita detektif

  1 2 0 Y ULI TI N S UN GKOW ATI : P ENGARUH C ERI TA D ETEKTI F T RADI SI ONAL B ARAT T ERHADAP N OVEL I NDONESI A ...

  trdisional Barat, alur ditutup dengan dikumpulkannya semua tokoh dan dijelaskannya berbagai keraguan serta diulasnya setiap kejadian hingga terbongkarnya misteri oleh sang detektif. Dalam pemecahan misteri dan akhir alur, novel MSA menghadirkan pemecahan misteri secara kebetulan dan atas pengakuan pelaku, bukan atas kecerdasan pelacak menghubung-hubungkan petunjuk, motif, dan dugaan-dugaan. Kemungkinan penyebabnya adalah karena novel MSA memang tidak dimaksudkan sebagai novel detektif, tetapi menggambarkan kisah perjalanan seorang pangeran Jawa dalam mencari makna hidup dengan bekerja sebagai wartawan surat kabar dalam rentang sejarah yang cukup panjang (Sungkowati, 2009).

3.3.2 Pengaruh terhadap Aspek Tokoh Cerita

  Unsur-unsur penokohan dalam MSA juga memperlihatkan pengaruh cerita detektif Barat. Tokoh yang menjadi korban adalah Yayi, seorang puteri bupati yang memilih menjadi wartawan dan ikut pergerakan politik bawah tanah di era Belanda untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Yayi adalah orang yang dicintai Darwan dan hendak diperistrinya sehingga menimbulkan kecemburuan Rokhayah, adik Rokhim, yang berharap diperistri oleh Darwan.

  Tokoh penjahat dalam novel ini adalah Turnadi atau Kenpeihok Torunadei yang telah menangkap Slamet (wartawan

  Dagblad Ekpress , teman Yayi dalam

  pergerakan bawah tanah) dan menggunakan nama Jepang Torunadei. Ia yang menggeledah, menangkap, memenjarakan, dan menyiksa Yayi dengan tuduhan sebagai mata-mata Belanda. Penjahat kedua adalah Rokhim karena ia yang telah melapor dan menyuruh Turnadi untuk mengawasi dan menangkap Slamet dan Yayi. Motif Rokhim dalam kejahatan pembunuhan Yayi adalah sakit hati pada Yayi.

  Tokoh pelacak dalam novel ini bukanlah detektif, tetapi seorang wartawan bernama Darwan. Profesi Darwan sebagai wartawan membuatnya dapat bergerak bebas melakukan pencarian informasi sebaimana seorang pelacak. Pelacak dalam novel ini tidak menunjukkan kecerdasan yang sempurna sebagaimana dalam novel detektif Barat karena misteri cerita terbongkar dengan cara kebetulan-kebetulan. Watak tokoh pelacak tampak lebih manusiawi dibandingkan dengan tokoh dalam cerita detektif Barat. Penyimpangan ini dapat ditelusuri dari latar belakang Suparto Brata sebagai seorang priyayi Jawa yang menempatkan “rasa” pada posisi penting dalam hidup. Pola pikir masyarakat Indo- nesia pada umumnya juga tidak semata- mata bertumpu pada logika, tetapi melibatkan unsur rasa pula.

  3.3.3 Pengaruh terhadap Aspek Latar