EKSISTENSI PEREMPUAN TIONGHOA DALAM NOVEL SAMITA: BINTANG BERPIJAR DI LANGIT MAJAPAHIT KARYA TASARO

  

EKSISTENSI PEREM PUA N TIONGHOA DA LA M NOV EL

SAM ITA: BINTANG BERPIJAR DI LANGIT M AJAPAHIT KA RYA

TA SA RO

  

The Existence Chinese Woman in Samita Novel: “Bintang Berpijar di Langit Majapahit”

Written by Tasaro

Devyanti A smalasari

  Balai Bahasa Jawa Barat, Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung 40113 Telepon: 08121980639, Pos-el: dv_soenda@yahoo.com

  Naskah masuk: 23 Juli 2012—Revisi akhir: 31 Mei 2013

  

Abstrak: Novel yang berlatar belakang sejarah keruntuhan kejayaan Majapahit ini memperlihatkan

kekhasan dalam menggambarkan perjuangan tokoh Hui Sing yang mampu menghilangkan stereotip

perempuan Tionghoa yang selalu berada dalam kekuasaan laki-laki. Penelitian ini secara umum bertujuan

untuk memperoleh deskripsi tentang eksistensi perempuan Tionghoa dalam novel Samita: Bintang

Berpijar di Langit Majapahit . Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif

analisis. Pendekatan struktural dilakukan sebagai langkah awal untuk mengetahui keberadaan perempuan

Tionghoa dalam novel ini. Selanjutnya pendekatan feminisme dilakukan untuk mengetahui eksistensi tokoh

Hui Sing sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakatnya. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa keberadaan perempuan Tionghoa yang digambarkan melalui tokoh Hui Sing tampil sebagai sosok

pribadi yang berpikiran terbuka dan cerdas, mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Dengan

demikian, didapat persepsi baru bahwa sosok perempuan Tionghoa dalam novel ini tidak menduduki

posisi subordinat, ia adalah pelaku perbuatan.

  Kata kunci: Eksistensi, Perempuan Tionghoa, Novel

Abstract: The novel setting the historical background of the collapse of Majapahit Glory has its

own uniqueness in illustrating the struggle of Hui Sing who was able to eliminate the stereotype of

Chinese woman who used to be in man’s control. The aim of the research is to describe the exist-

ence of Chinese woman in the Samita Novel: Bintang Berpijar di Langit Majapahit. The applied

method in the research is descriptive analysis. The structure approach was conducted as the pre-

liminary step in understanding the Chinese Woman in this novel. Next, the feminism approach was

carried out to know the existence of Hui Sing character either as an individual or as society

member in Samita novel: Bintang Berpijar di Langit Majapahit illustrated in the Hui sing charac-

ter as open mind and smart person, independent and responsible on himself. Therefore, we can

obtain new perception that a Chinese woman character in the novel was not in the subordinated

position, she was the agent of conducting something.

  Key words: Existence, Chinese woman, Novel

1. Pendahuluan

  Telaah tentang m anusia d an refleksi keadaan sosial masyarakat, karya kem anusiaan selalu m enarik untuk sastra jug a m erup akan alat untuk d ihad irkan d alam karya sastra. Dengan mencermati gejala so sial yang muncul.

  Kebutuhan m anusia akan eksistensi karya sastra, manusia dap at lebih detail melihat kehidup an sosial. Selain sebagai merupakan sebuah fenomena yang menarik METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  , Juni 2013: 1—9 untuk dilihat dan diamati karena persoalan mengenai eksistensi akhir-akhir ini menjadi sebuah gejala sosial yang sedang marak di masyarakat.

  Manusia selalu berusaha untuk mencari eksistensi d irinya. Manusia selalu bebas dalam mencari makna dirinya dan eksistensi kesadaran dirinya. Beberapa orang bahkan melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan untuk m enunjukkan eksistensiny a. Kebutuhan untuk eksistensi ini merupakan sebuah feno m ena y ang tentu jug a m em eng aruhi kebud ay aan y ang berkembang dalam masyarakat itu sendiri.

  Perem p uan Tio ng ho a d alam no v el

  Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit

  ditampilkan melalui sosok Hui Sing, seorang pendekar muslimah Tionghoa yang terpisah ribuan m il d ari neg eri kelahiranny a. Terjebak dalam perseteruan berdarah antara M ajap ahit d an Blam bang an, Hui Sing akhirnya memilih untuk tidak turut serta dalam armada yang kembali pulang. Hui Sing berjuang seorang diri dalam meredam p eng khianatan, m em bela kebenaran, sekaligus menemukan cinta sejatinya.

  Sebagai perempuan Tionghoa, tokoh Hui Sing mengalami proses perkembangan p emikiran yang mengarah p ada bentuk kesadaran akan keberadaan dirinya. Dalam novel ini, Hui Sing yang sejak lahir diasuh o leh Laksam ana Cheng Ho m em iliki kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, m eng atur d iriny a, d an kem ud ian menentukan eksistensi dirinya dalam novel ini. Perjuangan Hui Sing yang seorang diri m em bela kebenaran d an kead ilan m eng hilang kan stereo tip p erem p uan Tio ng ho a y ang selalu m enjad i o by ek terutama d i d unia yang sifatnya sangat patriarki ini.

  Permasalahan yang akan diteliti d an dicari jaw abannya melalui penelitian ini dirumuskan dalam dua rumusan masalah, y akni (1) Bag aim anakah p eran d an p erjuang an to ko h Hui Sing d ibang un sebagai perempuan Tionghoa dalam novel ini? (2) Bagaimanakah semangat feminisme eksistensialis dihadirkan dalam diri tokoh perempuan Tionghoa tersebut?

  M eto d e y ang d ig unakan d alam penelitian ini yaitu metode deskriptif analisis. Pemikiran-pemikiran Simone du Beauvoir akan d ip ergunakan untuk d ap at lebih memahami kesadaran eksistensi perempuan Tionghoa dalam novel ini. Namun, sebelum d ilakukan analisis berd asarkan sud ut pandang feminisme, karya sastra haruslah tetap d ilihat sebagai karya sastra. Oleh karena itu, no vel ini juga akan terlebih d ahulu d icerm ati m elalui teo ri strukturalisme. Peneliti akan terlebih dahulu melihat unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel, antara lain: tokoh, alur (plot), d an latar (setting) serta hubung an antarunsur tersebut d alam memberikan sumbangan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin d icap ai dalam novel ini.

  Sumber data dalam penelitian ini adalah teks novel Samita: Bintang Berpijar di Langit

  Majapahit

  karya Tasaro. Data berupa unit- unit teks yang berisi unsur-unsur intrinsik novel dan deskripsi eksistensi tokoh Hui Sing sebag ai p erem p uan Tio ng ho a d alam m asy arakat setem p at (Jaw a). Peneliti melakukan id entifikasi, klasifikasi, d an kodifikasi data berdasarkan permasalahan yang d ikaji. Teknik p engump ulan d ata p enelitian ini m eng g unakan teknik d o kum entasi atau stud i kep ustakaan. A nalisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menyeleksi, menglasifikasi, menafsirkan, dan memaknai data kemudian mengambil simpulan.

  2. Kajian Teori

  Penelitian ini menggunakan dua teori untuk menganalisis novel Samita: Bintang

  Berpijar di Langit M ajapahit

  , yaitu teo ri struktural dan teori feminisme eksistensialis. Teori struktural dipakai untuk menganalisis unsur-unsur instrinsik no vel, sed angkan teori feminisme eksistensialis digunakan untuk menganalisis masalah kesadaran akan keberadaan diri tokoh Hui Sing sebagai p erem p uan Tio ng ho a d alam relasiny a dengan tokoh-tokoh lain dalam novel ini.

  

D EVYAN T I

: E KSI STENSI P EREMPUAN T I ONGHOA DLM N OVEL S AMI TA ...

  2.1 Strukturalisme

  Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu p end ekatan kesastraan yang m enekankan p ad a kajian hubung an antarunsur pembangun karya sastra yang bersang kutan. Pad a d asarny a analisis struktural bertujuan memaparkan secermat m ung kin fung si d an keterkaitan antarberbag ai unsur karya sastra yang secara bersam a m eng hasilkan sebuah kemenyeluruhan. A nalisis struktural tak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain. N am un, y ang lebih p enting ad alah m enunjukkan bag aim ana hubung an antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan y ang ing in d icap ai. (Nurgiyantoro, 2000:37)

  Novel sebagai salah satu bentuk cerita rekaan merupakan sebuah struktur yang ko m p leks. N urg iy anto ro (2000:22) m eny atakan bahw a sebuah no v el m erup akan sebuah to talitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat d an saling m eng g antung kan. Untuk memahami struktur sebuah novel, harus dianalisis unsur-unsur pembangun novel yang membentuk totalitas itu. Jadi, untuk memahami novel Samita: Bintang Berpijar di

  Langit Majapahit haruslah dianalisis terlebih

  d ahulu unsur-unsur intrinsiknya serta dicermati hubungan antarunsur itu dalam memberikan sumbangan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai.

  2.2 Feminisme Eksistensialis

  Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (w o man), berarti perempuan (tung g al) y ang bertujuan untuk m em p erjuang kan hak-hak p erem p uan (jam ak), sebag ai kelas so sial. D alam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai hakikat alamiah), masculine dan feminine

  (sebagai aspek perbedaan psikologis dan struktural). Dengan kata lain, masculine-femi-

  nine

  ditentukan secara kultural, sebagai hasil pengaturan kembali infrastruktur material d an sup erstruktur id eo lo gis. Fem initas adalah p engertian p siko logis struktural, seseo rang tid ak d ilahirkan ‘ sebag ai’ p erem p uan, m elainkan ‘ m enjad i’ perempuan. Oleh karena itu, yang ditolak oleh kelompok feminis adalah anggapan bahw a perempuan merupakan konstruksi negatif, perempuan sebagai makhluk takluk, perempuan yang terjerat ke dalam dikotomi sentral marginal, superior inferior (Ratna, 2007:184—185).

  D ari segi fem inism e d ilihat bahw a perempuan selalu menjadi obyek terutama di dunia yang sifatnya sangat patriarkal ini. Atas dasar kelemahan-kelemahannya secara bio lo g is, p erkem bang an p erad aban selanjutny a selalu m enem p atkan perempuan sebagai inferior. Maka dari itu, salah satu tokoh feminisme eksistensialis yaitu Simo ne d e Beauvo ir meng atakan bahw a d unia p erem p uan selalu akan dimasukkan ke dalam dunia laki-laki sebagai bukti p eng uasaan laki-laki terhad ap perempuan.

  Menurut Simone de Beauvoir melalui Wibowo (2008), laki-laki dinamai “ laki-laki” Sang Diri sedangkan “ peremp uan” Sang Liy an. Perem p uan y ang sad ar akan kebebasannya, mereka akan dapat dengan leluasa m enentukan jalan hid up ny a, sehingga menurut Beauvoir, perempuan dapat pergi bekerja dan mengkatualisasikan d iri secara maksimal, p erem p uan bisa menjadi intelektual dan tidak perlu khawatir akan kem am p uanny a jika d ilihat d ari keterbatasan bio lo g isny a. D an y ang terpenting perempuan harus dapat menolak d ijad ikan o byek, p erem p uan jug a bisa mengobyekkan laki-laki.

  D alam p ro ses m enuju transed ensi, menurut Beauvoir, terdapat empat strategi yang dapat dilakukan: 1) Perempuan dapat bekerja 2) Perem p uan d ap at m enjad i seo rang intelektual 3) Peremp uan dapat METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  , Juni 2013: 1—9 bekerja untuk mencapai transformasi sosialis masyarakat 4) Perempuan dapat menolak ke-Liyan-annya dengan mengidentifikasi diri melalui p and angan kelo mp o k d o minan dalam masyarakat.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 A nalisis Struktural N ovel Samita:

  Bintang Berpijar di Langit M ajapahit Karya Tasaro

  Bag ian ked ua (D a-Ta-Sa-W a-La), d ikisahkan p eristiw a terbo ng karny a p eng hianatan y ang d ilakukan tem an sep erg uruan Hui Sing . Bag ian ini m er u p ak an t ah ap rising action y ang merup akan tahap p eningkatan ko nflik. Ko nflik yang telah d im unculkan p ad a bag ian aw al sem akin berkem bang d an memberikan rangsangan p ad a p embaca karena pada bagian ini Hui Sing akhirnya berpisah dengan rombongan. Dalam bagian ketiga (Pa-D ha-Ja-Ya-Ny a), d iceritakan setelah dua tahun berpisah dengan guru dan ro m bo ngannya d an terkurung d i d asar jurang Medangkamulan, Hui Sing kemudian berganti nama menjadi Samita. Dia datang ke Majap ahit untuk membongkar ked ok Dewi A nindita. Bagian ini menjadi tahap klimaks. Konflik yang terjadi mencapai titik intensitas puncak dimana akhirnya Samita harus mengungkap kan bahw a A nindita bertang g ung jaw ab atas p em bunuhan Rakyan Rangga A byasa. Bagian keempat (Ma-Ga-Ba-Tha-Nga) masih merup akan tahap an denounment atau p eny elesaian. Setelah p etualang an p anjang akhirny a Samita menemukan cinta sejatinya. Akan tetap i, kebahagiaan yang d irasakannya hanya sekejap saja. Bag ian ini menjad i bag ian p aling akhir d ari no vel Samita:

  Majapahit yang pada awalnya hanya untuk menyampaikan pesan perdamaian Kaisar M ing akhirny a sekalig us untuk m erund ing kan trag ed i berd arah d i Simongan. Pada bagian ini juga dikisahkan p eristiw a p embunuhan Rakyan Rangga Abyasa yang membuat Hui Sing bersikerah ingin tinggal di Jawa untuk mengungkapkan pelaku pembunuhan itu. Hui Sing tid ak d ap at m em bay ang kan ap a y ang akan terjadi di Majapahit jika pembunuh itu tetap dibiarkan.

3.1.1 A lur

  Bintang Berpijar di Langit M ajapahit terdiri

  atas 4 (empat) bagian. Bagian awal (Ha-Na- Ca-Ra-Ka), merupakan tahap penyituasian, yang d id alamnya d iselip kan butir-butir informasi yang memancing rasa ingin tahu pembaca akan latar belakang kedatangan rombongan ekspedisi Ming ke Majapahit. Selain itu, dalam bagian ini terdapat pula

  yang padat meskipun terdapat beberapa digresi. Digresi ini secara langsung tidak berhubungan dengan jalannya cerita. Akan tetap i, digresi ini tetap berguna. Digresi m end ukung fakta cerita lainnya, yaitu mengenai tokoh dan latar peristiwa. Samita:

  konflik. Adanya peristiwa kesalahpahaman yang terjadi di Simongan mengakibatkan ratusan ping-se ‘ tentara’ terbunuh. Oleh karena itu, ked atang an Cheng Ho ke

  Majapahit termasuk novel yang memiliki alur

  Pengaluran dalam novel ini ini memakai m eto d e episodic plot, bagian-bag ianny a berhubungan, tetapi dapat dibaca secara terpisah. Samita: Bintang Berpijar di Langit

  Bintang Berpijar di Langit Majapahit .

  3.1.2 Tokoh

  To ko h d an p eno ko han m erup akan unsur yang penting dalam sebuah novel. Seorang tokoh tentu saja tidak dapat berdiri send iri atau berlako n send iri tanp a

  yang memakai alur maju atau dapat juga dinamakan progresif. Peristiw a-peristiw a yang dikisahkan bersifat kronologis. Cerita dimulai dengan munculnya tokoh utama d eng an beberap a to ko h laki-laki y ang merupakan tokoh baw ahan. Tokoh-tokoh ini diceritakan sedang berada dalam kapal berukuran paling besar dalam rombongan ratusan kapal kayu yang sed ang d alam perjalanannya menuju Majapahit.

  Samita: Bintang Berpijar di Langit M ajapahit diaw ali d engan cerita lanjutan

  generating cicumstances atau pemunculan

  

D EVYAN T I

: E KSI STENSI P EREMPUAN T I ONGHOA DLM N OVEL S AMI TA ...

  Kecerdasan yang dimiliki oleh Hui Sing dapat terlihat dari kelihaiannya dalam ilmu bela diri thifan pokhan (pecahan tee kumfu dan kungfu; bela diri berazaskan Islam), menghafal kitab Dao De Jing (Tao) dan Ku-

  “ Pendekar macam apa jika orang salah justru dibela, sedangkan si lemah malah ditindas!” (Tasaro, 2004: 331).

  Berbagai perso alan d an pertarungan dapat ia hadapi sehingga akhirnya kembali dipertemukan dengan Sad Respati, suami A nind ita y ang juga sahabatnya Sem ua kesulitan yang ia jalani untuk bisa kembali ke Majapahit hanya untuk menyadarkan Respati siapa sebenarnya Anindita. Ia tidak d ap at m em bay ang kan ap a jad iny a M ajap ahit jika o rang sep erti A nind ita dibiarkan begitu saja. Hui Sing adalah orang yang sangat menginginkan keadilan dapat ditegakkan di bumi ini, seperti dalam kutipan berikut.

  Berd asarkan cara menam p ilkannya, Hui Sing memiliki karakter yang kompleks. Setelah memutuskan untuk turun dari kapal p usaka d i Sim o ng an, Hui Sing harus menghadapi pertarungan dengan Kesusra y ang telah m em erko sa N i Ram y a, sahabatnya. Sayang, p ertarung an tid ak berimbang sehingga Hui Sing terjatuh ke dasar jurang Medangkamulan. Setelah dua tahun, dengan berbekal kitab Kutub Beku, Hui Sing berhasil p ulih d an kem ud ian berganti nama menjad i Samita. Berganti nama merup akan salah satu cara untuk menjalankan kembali rencananya dalam membongkar kedok Anindita.

  Masih belia, namun sudah memiliki kemampuan yang luar biasa.” Hui Sing mengangguk tanpa bersuara (Tasaro, 2004:85).

  “ Tuan Respati, ini ketiga muridku, Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing. Di antara mereka bertiga, baru Hui Sing yang mampu berbicara dalam bahasa Tuan dengan cukup fasih.” “ Oya? Sungguh pandai murid Tuan.

  (A l-Qur’an). Selain itu, Hui Sing jug a m em iliki kem am p uan m enguasai beberap a bahasa, salah satunya Bahasa Jaw a.

  lan-Ching

  Selain memperkenalkan ilmu I-se-lan yang dianutnya, Cheng Ho juga melatih Hui Sing ilmu bela diri aliran thifan. Pada usia belasan, selain telah menguasai ilmu agama dan hafal seluruh ayat Ku-lan- Ching , Hui Sing menguasai thifan dengan sangat baik (Tasaro, 2004:37)

  kehadiran tokoh lain. Oleh sebab itu, selain tokoh utama, di dalam novel Samita: Bintang

  ...Sembahyang bersama segera mereka dirikan. Usai itu, Cheng Ho memeriksa hafalan ayat Ku-Lan-Ching Hui Sing. Kegiatan ini sudah biasa mereka lakukan sejak Hui Sing masih kecil karena sejak bayi Hui Sing dirawat oleh Cheng Ho. Keduanya sudah sangat dekat, layaknya ayah dan anak. Sejak usia tujuh tahun, Cheng Ho mulai menggembleng Hui Sing dengan berbagai keterampilan.

  diceritakan. Semenjak lahir ia diasuh oleh Laksamana Cheng Ho, sehingga Hui Sing menganggap Cheng Ho adalah ayahnya sendiri. Hui Sing sangat mengagumi Cheng Ho, tidak hanya sebagai ayah, tetapi juga sebagai guru.

  di Langit Majapahit, orang tua Hui Sing tidak

  Dari segi penampilan tokoh-tokoh pada bagian awal novel Samita: Bintang Berpijar

  bagian ini ialah tokoh utama, yaitu Hui Sing d an to ko h-to ko h y ang berhubung an langsung dengan tokoh utama. Sedangkan to ko h-to ko h baw ahan lainny a akan diuraikan secara singkat, ketika diperlukan. Tokoh-tokoh akan diuraikan berdasarkan kemunculannya dalam cerita.

  To ko h y ang akan d iuraikan d alam

  ini p un d ihadirkan to koh-to ko h lain agar cerita terasa benar-benar hidup. Kehidupan itu akan dapat dirasakan jika terdapat interaksi antar tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.

  Berpijar di Langit M ajapahit

  Setelah Rukmi tiada dan tujuannya ke Majapahit telah tercapai, Samita akhirnya m enem ukan kebahag iaan bersam a Sad Respati. Dapat dikatakan bahw a Hui Sing METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  , Juni 2013: 1—9 adalah orang yang teguh pendiriannya dan berkomitmen. Hal ini terlihat dengan sangat jelas pada bagian akhir ketika Hui Sing (Sam ita) m enag ih janji kep ad a Prabu W ikram aw ard hana untuk m em inta p ertang g ung jaw aban atas kem atian suam iny a, belasan m urid Perg uruan Hanacaraka, d an p uluhan w arg a D esa Tumpak. Raut wajah Samita terlihat sangat d ingin. Segala kejadian beberapa w aktu terakhir telah membuat hatinya beku. Ia ingin sekali memberi pelajaran kepada Raja Majapahit yang ia anggap terlalu gegabah.

  “ Saya telah merobohkan seluruh penjaga Sang Prabu. Saatnya menagih janji.” W ikram aw ard hana berg em ing . Sebenarnya, dia masih kaget dengan kenyataan bahwa lima belas bhayangkari terbaik Majapahit, bahkan tidak bisa menghentikan perempuan pendekar itu. Di hatinya tentu ada rasa waswas. Tapi sabda terlanjur keluar, tak mungkin raja menjilat ludahnya sendiri. “ A p a yang kau ing inkan, p utri Laksamana Cheng Ho?” Tanpa bicara, tangan Samita bergerak cepat. Sabuk peraknya yang sangat lihai, m elunc ur ke arah kepala Wikramaw ardhana. Semua orang di ruangan itu sama sekali tak menyangka ini bakal terjadi............ Tapi sekejap saja. Karena samita kembali menyentakkan sabuknya sehingga sang raja terbebas dari maut (Tasaro, 2004:480).

  Samita ingin membalaskan dendam atas kematian suaminya, tetapi ia tidak merasa harus m em bunuh. Ia hany a ing in mengingatkan raja Majapahit agar tid ak g eg abah. Sam ita telah p uas d eng an kemenangan yang ia raih tanpa ad anya darah dan hilangnya nyawa.

  Jenis latar dalam novel Samita: Bintang

  Berpijar di Langit M ajapahit

  meliputi latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. Latar w aktu d ap at m em berikan p enjelasan m engenai masa atau z am an terjad iny a cerita. Latar tempat dan alat menunjukkan lokasi terjadinya cerita dan alat-alat yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Adapun latar sosial dapat mendeskripsikan kondisi masyarakat dalam novel. Meskipun d emikian, latar tidaklah berdiri send iri- sendiri, tetapi saling mendukung.

  Penggambaran latar waktu yang paling jelas dalam no vel ini, selain penyebutan tahun p ada aw al setiap episod e, seperti dalam kutipan berikut, “ Tahun Yong Le keempat. Pertengahan pertama abad kelima belas M asehi” (Tasaro , 2004:9). Selain p enyebutan tahun, p enggambaran latar waktu yang jelas adalah penyebutan pagi, siang atau m alam hari. Latar w aktu d iuraikan sebelumny a d eng an ring an, cukup untuk membantu p embaca dapat membayangkan suasana p ad a saat itu, seperti dalam kutipan berikut ini, “ siang yang meranggas…” , “ pagi yang cerah….” , d an “ teng ah m alam , d i p ing g ir hutan Demak…” .

  Info rmasi-info rm asi m eng enai latar w aktu ini cukup mew akili keseluruhan peristiwa dalam novel ini. Selain itu, dalam penggambaran latar w aktu pun disisipkan juga latar temp at. Hal ini menunjukkan bahwa selain menunjukkan jam, hari, atau pun tahun, sedap at mungkin juga harus d ap at menjelaskan suasana yang terjad i p ad a satu temp at, p ad a w aktu tertentu. Keterikatan ini juga menunjukkan bahw a latar w aktu, latar tempat, dan latar sosial ad alah tig a unsur latar y ang saling mendukung. Semakin baik hubungan ketiga unsur latarnya, semakin hiduplah karya fisiknya.

  Peristiw a-p eristiw a d alam Samita:

  Bintang Berpijar di Langit Majapahit

  terjadi tid ak hany a d i satu temp at saja. Latar tempat awal berada di laut Jawa, kemudian di Pantai Simongan, tempat terjadi tragedi berdarah. Setelah itu cerita berpindah ke Surabay a, p elabuhan y ang d ituju ro m bo ng an Cheng Ho untuk m enuju Mojokerto, kota raja Majapahit. Petualangan Hui Sing di tanah Jaw a juga tidak hanya terjadi di suatu tempat, tetapi di beberapa tem p at y ang berbed a. D iaw ali d engan

3.1.3 Latar

  

D EVYAN T I

: E KSI STENSI P EREMPUAN T I ONGHOA DLM N OVEL S AMI TA ...

  kembali ke Simongan, Hui Sing kemudian berjalan ke arah timur Demak, ke sebuah d aerah yang bernama Med angkamulan. Setelah dua tahun terjebak di dasar jurang Medangkamulan, Hui Sing yang kemudian berganti nama menjadi Samita kembali ke p usat ko ta D em ak untuk m eneruskan p erjalananny a ke ko ta raja M ajap ahit. Canggu, Tuban, Gresik, adalah nama-nama kota yang juga menjadi latar tempat dalam no v el ini, hing g a akhirny a setahun kemudian setelah kerajaan Majapahit mulai tenang , cerita berg ulir ke Perg uruan Hanacaraka y ang d id irikan d i p esisir Surabaya. Latar tempat kemudian berakhir kembali ke kota raja Majapahit.

  Susunan alur, latar, dan tempat yang secara eksplisit disebutkan dalam setiap bab memberikan kesan realistis bagi peristiwa- peristiwa karena didukung oleh situasi riil yang benar-benar terjadi pada masa dan tempat itu. Dari episode awal cerita sudah disusun dengan menarik. Cerita bergerak d eng an cep at, terutam a p ad a ep iso d e p etualang an Hui Sing yang kem ud ian berganti nama menjadi Samita yang secara terus-m enerus m eng had ap i m asalah menjadi poin utama alur. Alur cerita yang cukup rumit dan tak mudah ditebak tetapi tetap apik sangat mendukung suasana dan latar sejarah novel ini. Kisah petualangan to ko h Hui Sing (Samita) bergulat d alam kisah cinta, p encarian jati d iri d an p ertarung an saling m end ukung untuk memperkuat alur cerita yang terbungkus rapi dalam latar sejarah.

  Hal y ang sam a jug a terjad i p ad a d eskrip si to ko h. Setiap kali to ko h baru d im unculkan m aka setiap to ko h digambarkan secara detail oleh penulis, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara men- tal d an p siko lo gis. Info rmasi-info rmasi mengenai latar waktu, tempat, dan sosial dalam no vel ini saling mend ukung satu sama lain. Informasi mengenai latar waktu cukup mew akili keseluruhan p eristiw a d alam no v el ini. Selain itu, d alam penggambaran latar w aktu pun disisipkan juga latar temp at. Hal ini menunjukkan bahwa selain menunjukkan jam, hari, atau p un tahun, latar sed ap at mungkin juga harus dapat menggambarkan suasana yang terjad i p ad a satu tem p at p ad a w aktu tertentu. Keterikatan ini juga menunjukkan bahwa latar waktu, latar tempat, dan latar sosial adalah tiga unsur latar yang saling mendukung. Semakin baik hubungan ketiga unsur latarnya, semakin hiduplah karya fisiknya.

  3.2 Eksistensi Perempuan Tionghoa dalam N ovel Samita: Bint ang Berpijar di Langit M ajapahit

   Karya Tasaro

  Untuk melihat kesadaran d iri d alam sud ut p and ang fem inism e (fem inism e eksistensialis) dalam diri tokoh utama, tokoh utama akan dianalisis berkaitan d engan strateg i y ang d ilakukan p erem p uan Tionghoa untuk mengatasi ke-Liyan-annya. Hal ini kemudian akan dikaitkan dengan proses menuju transedensi yang menurut Beauvoir memiliki empat strategi yang dapat dilakukan perempuan berkesadaran untuk m eng atasi ke-Liy an-anny a, y aitu: 1) perempuan dapat bekerja, 2) perempuan d ap at m enjad i seo rang intelektual, 3) perempuan dapat bekerja untuk mencapai transformasi sosialis masyarakat, dan 4) perempuan dapat menolak ke-Liyan-annya d eng an m eng id entifikasi d iri m elalui p and ang an kelo m p o k d o m inan d alam masyarakat.

3.1.4 Hubungan A ntarunsur

  To ko h p erem p uan Tio ngho a d alam novel ini ditampilkan dalam tokoh Hui Sing. Dikisahkan Hui Sing tumbuh sebagai anak yatim piatu yang sejak lahir diraw at oleh Laksamana Cheng Ho. Secara biologis ia memang terlahir d engan jenis kelam in perempuan dengan kecantikan luar biasa. Nam un, d engan melihat ayahnya y ang seo rang p anglima besar, Hui Sing lebih banyak menghabiskan w aktunya untuk berlatih ilm u bela d iri d an m eng ikuti eksp ed isi M ing , sep erti terlihat d alam kutipan berikut.

  “ A ku sebatang kara yang sejak bayi diasuh oleh guruku, Laksamana Cheng METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  , Juni 2013: 1—9

  Ho. Hampir sepanjang hidupku habis untuk berkelana di dataran Tiongkok, mengikuti guru. Tapi, misi ke Samudra Barat ini adalah perjalanan pertamaku meninggalkan tanah Tiongkok” (Tasaro, 2004:39).

  Sejak usia tujuh tahun, Cheng Ho mulai menggembleng Hui Sing dengan berbagai keterampilan. Selain memperkenalkan ilmu

  i-se-lan

  (Islam) yang dianutnya, Cheng Ho juga melatih Hui Sing ilmu bela diri aliran

  thifan

  . Pad a usia belasan, selain telah menguasai ilmu agama dan hafal seluruh ayat Ku-lan-Ching (A l-Qur’ an), Hui Sing juga menguasai thifan dengan sangat baik.

  W alaup un sejak lahir d iasuh o leh Laksamana Cheng Ho, Hui Sing memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, m eng atur d iriny a, d an kem ud ian menentukan eksistensi dirinya dalam novel ini. Hal ini terlihat dalam peristiw a ketika Hui Sing memutuskan untuk menetap di Jaw a d an tid ak ikut ro m bo ng an y ang kembali pulang ke Tiongkok.

  “ Guru, izinkan saya kembali ke kota raja Majapahit. Saya harus menghentikan Anindita, Guru!” (Tasaro, 2004:165).

  Eksistensi perempuan Tionghoa yang menonjol dalam novel ini adalah prinsip hidup yang dimiliki oleh Hui Sing yang demi membela kebenaran, ia rela berpisah dengan ro m bo ng anny a. A d a beberap a alasan mengapa Hui Sing bersikeras untuk kembali ke Majapahit seorang diri. Hal itu terlihat dalam dialog antara Cheng Ho dan Hui Sing berikut.

  “ Hui Sing, berikan aku alasan yang kuat untuk m eng iz inkanm u kem bali ke Mojokerto.” “ Anindita sangat lihai, Guru. Sejauh ini, baru say a yang m elihat lang sung kejahatannya. Saya merasa berkewajiban untuk menghentikannya.” “ Hanya itu?” “ Satu lagi alasannya. A nindita akan menjadi orang penting di Majapahit. Sebab, dia anak seorang patih dan calon istri seorang rakyan rangga. Bukankah ini ancaman bagi Majapahit?” (Tasaro , 2004:166).

  Dari alasan yang dikemukakan Hui Sing d ap at terlihat bag aim ana d ia m emp erlihatkan eksistensiny a sebag ai perempuan. Dia sendiri yang memilih jalan hidupnya dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Akan tetapi, sebagai anak, Hui Sing tetap menanti persetujuan dari Cheng Ho yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Beruntung, Cheng Ho mengizinkan Hui Sing untuk kembali ke Majapahit. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.

  Cheng Ho bangkit dari pembaringan dan menuju jendela kamar. “ Kau sudah dewasa sekarang. Aku tidak bisa mengekangmu. Hanya sebagai ayah, mana boleh aku kehilangan rasa khawatir ketika anak g ad isku hend ak meninggalkan aku” (Tasaro, 2004:166).

  Perjuangan Hui Sing yang seorang diri membela kebenaran dan keadilan mampu m eng hilang kan stereo tip p erem p uan Tio ng ho a y ang selalu m enjad i o by ek terutama d i d unia yang sifatnya sangat patriarki ini. Hui Sing dengan kebebasannya ingin menunjukkan eksistensinya. Selain m em berikan alasan y ang rasio nal bag i ayahnya untuk mengizinkannya tinggal di tanah Jaw a, keing inan ini jug a membawanya kepada Sad Respati. Di sisi yang lain, melalui situasi ini pula Hui Sing m eny ad ari kead aan d iriny a y ang sebenarny a. Ting g al d i p ulau Jaw a memberinya kesempatan mengenal dunia baru. Tidak hanya mengenal dunia baru, Hui Sing jug a akhirny a benar-benar m eng enal Sad Resp ati y ang akhirny a menjadi suaminya.

  M elalui p eng alam anny a, Hui Sing sam p ai p ad a satu titik kesad aran akan bahwa laki-laki yang menguasai dunia ini. Ia jug a seakan d iing atkan tid ak bo leh gegabah dalam bertindak. Untuk itu dirinya had ir sebagai perempuan yang memiliki kuasa atas dirinya sendiri, akan eksistensi dirinya sendiri. Hui Sing juga menunjukkan eksistensiny a m elalui kecerd asan intelektualnya, dengan menguasai beberapa

  

D EVYAN T I

: E KSI STENSI P EREMPUAN T I ONGHOA DLM N OVEL S AMI TA ...

  kitab dan ilmu belad iri, Hui Sing d apat m encap ai keing inanny a. Pilihan y ang diambilnya adalah pilihannya sendiri.

  Hui Sing secara total melepaskan dirinya d an menjadikan d irinya sang Diri yang m and iri d an bebas d ari seg ala bentuk keterikatan, menerima eksistensinya sebagai kesendirian yang mutlak. Hui Sing berusaha m em bebaskan d iriny a d ari keliy anan. Menjadi Samita yang berhasil mengalahkan bhay ang kara p eng aw al raja bukanlah tujuan akhir yang ingin diperoleh Samita. Hui Sing tetap berjalan meraih tujuannya. Dengan menjad i istri Sad Resp ati yang m em balaskan d end am , Hui Sing memperoleh kebebasan yang tidak terbatas. Ia menciptakan sendiri situasi yang hampir sama dengan laki-laki—yang berkuasa.

  Dari struktur no vel d ap at d iketahui susunan alur, latar, dan tempat yang secara eksp lisit d isebutkan d alam setiap bab. Semuanya memberikan kesan realistis bagi berbagai peristiw a karena didukung oleh situasi riil yang benar-benar terjadi pada masa dan tempat itu. Hal yang sama juga terjad i pad a deskripsi tokoh. Setiap kali tokoh baru d imunculkan, to koh tersebut digambarkan secara detail oleh penulis tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara men- tal dan psikologis.

  Pand angan feminisme eksistensialis yang diterapkan dalam melihat eksistensi perempuan Tionghoa dalam novel Samita:

  Bintang Berpijar di Langit M ajapahit

  menghasilkan simpulan bahw a tokoh Hui Sing (Samita) lebih menyadari keberadaan dirinya sebagai ‘ A d a’ yang bertanggung jawab atas setiap keputusannya. Hui Sing melakukan atau bahkan m eng ing inkan sesuatu bukan karena pengaruh dari luar dirinya. Hui Sing menyadari bahwa ia perlu menjad i subjek d an menyad ari d eng an sungguh keadaannya dan cara yang dapat dilakukannya untuk mengatasi keadaannya tersebut.

  Hasil p enelitian ini m enunjukkan bahw a keberadaan perempuan Tionghoa dalam novel Samita: Bintang Berpijar di Langit

  Majapahit yang digambarkan melalui tokoh

  Hui Sing (Samita) tamp il sebagai so so k pribadi yang berpikiran terbuka dan cerdas, mandiri dan bertanggung jawab terhadap d iriny a. la m am p u m eng atasi sem ua masalah dengan berani w alaup un harus terp isah d ari guru d an ro mbo ngannya. Sebagai p erempuan Tio nghoa, Hui Sing merefleksikan pribadi perempuan Tinghoa yang tangguh dan selalu berusaha untuk keluar d ari ceng kraman ketid akad ilan. Dengan demikian, didapat persepsi baru bahw a sosok perempuan Tionghoa dalam novel ini tidak menduduki posisi subordinat, ia adalah pelaku perbuatan. Dengan kata lain, ia ad alah subjek yang m elakukan segala sesuatu berd asarkan kep utusan- keputusannya sendiri.

4. Simpulan

  Daftar Pustaka

Lathief, Supaat I. 2008. Sastra: Eksistensialisme – Mistisisme Religius. Lamongan: Pustaka Ilalang.

  Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop.

  Yogyakarta: Jalasutra.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sing Meij, Lim. 2009. Ruang Sosial baru Perempuan Tionghoa: Sebuah Kajian Pascakolonial.

  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tasaro. 2004. Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit. Bandung: DAR! Mizan.

Wibowo, Arif. 2008. “Simon De Beauvior: Feminisme Eksistensialis”. http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/

07/28/simon-de-beauvoir-feminisme-eksistensialis/. diunduh pada tanggal 12 Mei 2011.