ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENYEBARAN GAMBAR PORNOGRAFI POLWAN POLDA LAMPUNG MELALUI MEDIA ELEKTRONIK (Studi Kasus: Putusan No.09/Pid.Sus/2014/PN.TK)

  

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU

PENYEBARAN GAMBAR PORNOGRAFI POLWAN POLDA LAMPUNG

MELALUI MEDIA ELEKTRONIK

(Studi Kasus: Putusan No.09/Pid.sus/2014/PN.TK)

(Jurnal)

  

Oleh

RIZKI OKTAVIA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

  2014

  

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU

PENYEBARAN GAMBAR PORNOGRAFI POLWAN POLDA LAMPUNG

MELALUI MEDIA ELEKTRONIK

(Studi Kasus: Putusan No.09/Pid.Sus/2014/PN.TK)

Rizki Oktavia, Firganefi, A.Irzal Fardiansyah

   ( Email : o.rizki@yahoo.co.id ) ABSTRAK

  Perkembangan teknologi infromasi yang semakin pesat menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positif dari perkembangan teknologi informasi adalah masyarakat semakin mudah dan cepat mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia. Dampak negatifnya adalah munculnya tindak pidana mayantara (cyber crime). Salah satu tindak pidana yang sering terjadi di dunia maya (cyber

  

crime) adalah penyebaran gambar pornografi melalui media elektronik. Seperti

  kasus penyebaran gambar porno polwan polda Lampung melalui media elektronik. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan mengenai penegakan hukum pidana terhadap pelaku penyebaran gambar pornografi polwan polda Lampung melalui media elektronik. Upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku penyebaran gambar pornografi melalui media elektronik dilaksanakan secara preventif, pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dengan lebih diarahkan kepada proses sosialisasi peraturan perundang-undangan dan secara represif yaitu pemberantasan setelah terjadinya kejahatan dengan dilakukannya penyidikan oleh kepolisian yang selanjutnya dapat diproses melalui pengadilan dan diberikan sanksi yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku penyebaran gambar pornografi polwan polda Lampung melalui media elektronik yaitu faktor undang-undang, faktor penegak hukum, fakor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kulture atau budaya. Saran dalam penelitian ini adalah perlu adanya sikap dan tindakan yang pro-aktif dari aparat penegak hukum, khususnya dari aparat kepolisian dan lembaga pendidikan serta keagamaan baik, disamping penerapan sanksi hukum dalam penanggulangan kejahatan diperlukan juga penyuluhan-penyuluhan serta pengawasan intensif dari lembaga diluar lembaga penegak hukum, karena dalam upaya penanggulangan kejahatan tidak selamanya upaya penal memberikan efek jera pada pelaku, tetapi perlu juga upaya non penal.

  

Kata Kunci : Penegakan hukum pidana, Penyebaran gambar pornografi,

Media elektronik

  

ANALYSIS OF CRIMINAL LAW ENFORCEMENT AGAINST

PERPETRATORS TRANSMISSION PORN PICTURES POLICEWOMAN

POLDA LAMPUNG THROUGH ELECTRONIC MEDIA

(Case Study : Decision No.09/Pid.Sus/2014/PN.TK)

Rizki Oktavia, Firganefi, A.Irzal Fardiansyah

   ( Email : o.rizki@yahoo.co.id ) ABSTRACT

  The development of rapid information technology has both positive and negative impacts on people's lives. The positive impact of technological development is public information more easily and quickly find out the events that occur in other parts of the world. The negative impact of the development of information technology is the emergence of a criminal offense mayantara (cyber crime). One of the criminal acts that often occur in cyberspace (cyber crime) is transmission pornography through electronic media. Like the case of transmission pornographic images of Lampung regional police policewoman through electronic media. Based on the results of research and discussion that has been done, the conclusion regarding the enforcement of the criminal law against the perpetrators of transmission regional police policewoman Lampung pornographic images via electronic media. Criminal law enforcement efforts against the perpetrators of transmission pornography through electronic media implemented preventive, prior to the occurrence of crime prevention to be directed to the socialization process of legislation and repressive which is to eradicate the aftermath of the crime with an investigation by the police which can then be processed through the courts and given sanctions in accordance with applicable regulations. Factors that constrain the enforcement of the criminal law against the perpetrators of transmission regional police policewoman Lampung pornographic images through electronic media are factors legislation, law enforcement apparatus, fakor means and facilities, community factors, and factors kulture or culture. Suggestions are presented in this study is the need for attitude and pro-active actions of law enforcement officials, especially from the police and religious institutions as well as better education, in addition to sanctioning the necessary crime prevention also counseling and intensive supervision of outside agencies law enforcement agencies, as in the fight against crime does not always attempt penal deterrent effect on offenders, but should also attempt a non-penal.

  

Keywords: criminal law enforcement, spread of pornography, electronic

I. PENDAHULUAN

  Perkembangan dunia teknologi informasi dewasa ini telah membawa manusia kepada era globalisasi yang memberikan kebebasan kepada setiap orang di dunia untuk saling bersosialisasi dengan siapapun dan dimanapun mereka berada. Internet merupakan media utama yang dapat digunakan, karena melalui media internet seseorang dapat terhubung dengan teman atau bahkan dengan orang asing yang sama sekali tidak dikenal dan berdomisili di luar negeri.

  Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, karena di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan melanggar hukum. Teknologi informasi dan komunikasi juga telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global, dan menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless), serta menimbulkan perubahan di berbagai bidang kehidupan.

  teknologi informasi telah melahirkan beragam jasa di bidang teknologi informasi dan komunikasi dengan berbagai fasilitasnya, dalam hal ini internet merupakan bagian dari kemajuan teknologi informasi tersebut, yang memberi kemudahan dalam berinteraksi tanpa harus 1 Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman

  dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung ,Citra Aditya Bakti, 2002,hlm 34.

  berhadapan secara langsung satu sama lain. Bangsa Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang menuju masyarakat industri yang berbasis teknologi informasi, dalam beberapa hal masih tertinggal. Kondisi ini disebabkan karena masih relatif rendahnya sumber daya manusia di Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini, termasuk kemampuan dalam menghadapi masalah hukum yang timbul. Salah satu dampak negatif yang timbul adalah tingginya tingkat kejahatan di berbagai bidang dengan beragam modus operandinya.

  2 Perkembangan teknologi informasi

  berdampak pada revolusi bentuk kejahatan yang konvensional menjadi lebih modern. Jenis kegiatannya mungkin sama, namun dengan media yang berbeda yaitu dalam hal ini internet, suatu kejahatan akan lebih sulit diusut, diproses, dan diadili. Kejahatan yang sering kali berhubungan dengan internet salah satunya adalah penyebaran gambar-gambar pornografi melalui media elektronik. Penyebaran gambar-gambar pornografi melalui media elektronik sering kali terjadi dan rasanya sudah tidak menjadi sesuatu yang tabu lagi.

1 Perkembangan

  Hal ini sangat disayangkan mengingat zaman sekarang ini kecanggihan internet seperti candu bagi anak-anak, kaum remaja, sampai orang dewasa dan dengan adanya gambar-gambar pornografi yang disebarkan melalui media elektronik, maka dapat merusak 2 Ibid., hlm. 35. moral, dan pikiran anak yang melihat gambar tersebut. Kasus yang menimpa polwan polda Lampung bermula dari perkenalan melalui jejaring sosial facebook pada Januari tahun 2010, polwan polda Lampung berkenalan dengan tersangka Bayu Perdana yang merupakan mahasiswa alumni fakultas hukum di salah satu universitas swasta di Bandar Lampung. Hubungan mereka pun berlanjut menjadi hubungan asmara yaitu pacaran, kedua insan ini berpacaran jarak jauh atau sering disebut LDR (long distance

  relationship) dikarenakan Bayu yang

  mengaku sebagai polisi berpangkat iptu lulusan Akpol bekerja di Jakarta. Hubungan asmara keduanya berlangsung sampai dengan tahun 2013.

  sampai dengan 2012 terdakwa menerima kiriman foto saksi Reka Satri sebanyak 3 (tiga) kali melalui

  Handphone Blackberry miliknya

  dengan pose tanpa busana dengan posisi masing-masing sedang berkaca, sedang tidur, dan berdiri yang dikirim langsung oleh saksi Reka. Selanjutnya foto tersebut disimpan oleh terdakwa di memory card BB Qurve 9360. Pada hari Sabtu tanggal 26 Oktober 2013 terdakwa mengirimkan sms melalui handphone miliknya kepada saksi Reka yang isinya ancaman akan menyebarkan foto tanpa busana milik saksi Reka Satri, dikarenakan saksi Reka setiap ditelpon oleh terdakwa tidak pernah diangkat dan 3

  http://m.news.viva.co.id/news/read/454822- polisi-tangkap-penyebar-foto-syur-polwan- lampung diunduh pada pukul 19.17 WIB tanggal 29 Agustus 2014

  terdakwa merasa tidak dihargai lagi oleh saksi Reka. Sekitar jam 23.30 WIB terdakwa menelpon saksi Reka dan mengancam akan menyebarkan foto tanpa busana milik saksi Reka dan saksi Reka menjawab sebarkan saja, saya tidak takut akan dibawa ke hukum. Berdasarkan jawaban saksi Reka tersebut maka pada hari Minggu tanggal 27 Oktober 2013 sekira jam 00.30 WIB terdakwa mengunggah foto saksi Reka Satri tanpa busana/bugil sebanyak 3 (tiga) foto melalui akun facebook milik saksi Reka Satri dengan posisi foto/gambar sedang mengaca, sedang tidur, dan posisi sedang berdiri.

  4 Terkait kasus penyebaran gambar

  pornografi polwan polda Lampung dengan terdakwa Bayu Perdana, terdakwa Bayu dengan sengaja mendistribusikan dan atau tanpa hak mentransmisikan membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat gambar porno milik polwan Reka Satri melalui media sosial facebook.

3 Pada sekitar tahun 2011

  Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “Analisis Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penyebaran Gambar Pornografi Polwan Polda Lampung Melalui Media Elektronik (Studi Kasus : Putusan No.09/Pid.Sus/2014/PN.TK)”. Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah: a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku penyebaran 4 gambar pornografi polwan polda Lampung ?

  b. Apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku penyebaran gambar pornografi polwan polda Lampung melalui media elektronik Lampung ?

  Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melihat, menelaah perundang-undangan, asas- asas, mempelajari kaedah hukum, teori-teori, doktrin-doktrin hukum. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan menelaah hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara obyektif di lapangan baik berupa data, informasi, dan pendapat yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum, yang didapat melalui wawancara dengan akademisi yang berkompeten terkait dengan masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini.

  A. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penyebaran Gambar Pornografi Polwan Polda Lampung Melalui Media Elektronik (Studi Kasus: Putusan No.09/Pid.Sus/2014/PN.TK)

  Penegakan hukum pidana memiliki bidang yang luas sekali, tidak hanya bersangkut paut dengan tindakan- tindakan apabila sudah ada atau persangkaan telah terjadi kejahatan, akan tetapi juga menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Salah satu kebijakan dalam menganggulangi masalah kejahatan adalah kebijakan kriminal atau politik kriminal. Menurut Soedarto, politik kriminal atau disebut juga dengan criminal

  policy memiliki arti sebagai berikut

  5

  :

  1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.

  2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparat penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

  3. Dalam arti paling luas, keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang- undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral dari masyarakat. Sedangkan dalam pengertian praktis, politik kriminal adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari pembentukan undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan. Aktivitas badan tersebut tidak berdiri sendiri- sendiri, melainkan berkaitan satu sama lain sesuai fungsinya masing- masing.

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum pidana. 5 Barda Nawawi Arief,. Kebijakan Hukum

  Pidana, Jakarta: Kencana, 2008, hlm.1 Oleha karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana.

  pelaku tindak pidana penyebaran gambar pornografi melalui media elektronik dapat dilakukan dengan melalui dua jalur yaitu dengan jalur non penal yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan sebelum terjadi kejahatan) dengan lebih mengarahkan kepada sosialisasi peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran gambar pornografi melalui media elektonik. Selanjutnya melalui jalur penal yang menitikberatkan pada sifat represif (pemberantasan setelah terjadinya kejahatan) dengan dilakukannya penyidikan untuk selanjutnya dapat di proses melalui pengadilan.

  Penulis berpendapat dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap lembaga penegak hukum di Bandar Lampung telah memiliki landasan dalam menegakan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan pornografi melalui media elektronik walaupun mengingat bahwa, aturan perbuatan pidana tersebut masih memiliki kelemahan dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana itu sendiri, termasuk Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang memiliki kelemahan substansi yang perlu dikaji ulang. Kemudian dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 6 Ibid, hlm 23 2008 tentang Informasi dan

  Transaksi Elektronik telah sangat membantu aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan pornografi melalui media elektronik.

6 Penegakan hukum pidana terhadap

  Berdasarkan wawancara dengan Fx Supriyadi dalam proses penegakan hukum pidana terhadap pelaku penyebaran gambar pornografi polwan polda Lampung melalui media elektronik, hakim menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam memutus perkara mengingat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Bayu Perdana memenuhi semua unsur-unsur yang ada di dalam Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan menimbang bahwa dalam melakukan perbuatan pidana tersebut terdakwa menggunakan alat atau dokumen elektronik yang menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, Kode Akses, simbol atau perforasi, yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

  Selain itu menurut Fx Supriyadi yang mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam dakwaan kasus penyebaran gambar pornografi polwan polda Lampung ini adalah perbuatan yang menyebarluaskan, meneruskan, meneruskan kepada orang-orang yang melakukan interaksi dengan sistem elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan, sehingga orang-orang dalam jaringan sistem elektronik tersebut dapat mengetahui, melihat dan menyimpan informasi atau data elektronik tersebut.

  Penulis juga berpendapat bahwa penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pornografi melalui media elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor

  a. Undang-Undang Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditemukan faktor penghambat dari Undang-Undang, artinya dalam susbstansi Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tersebut memiliki kelemahan-kelemahan diantaranya

  Faktor Penegak Hukum Salah satu keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas kepribadian dari penegak hukumnya. Hal ini dikarenakan apabila penegak hukum memiliki sikap yang 7 Hasil wawancara dengan Erna Dewi dosen

  b.

  2. Batasan mengenai definisi pornografi dan batasan- batasan larangan yang ditentukan tidak menentukan proporsi dan keadaan seperti apa dikatakan memenuhi unsur-unsur porno.

  1. Sanksi pidananya cukup berat, tetapi dalam pelaksanaanya dilapangan tidak efektif atau dapat dikatakan bahwa Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ibarat patung bernyawa.

  :

  7

  e. Faktor Kebudayaan Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan narasumber yang menjadi penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku penyebaran gambar pornografi melalui media elektronik adalah sebagai berikut;

  44 Tahun 2008 tentang Pornografi dilapangan tidak sejalan dengan teori dan pendapat para sarjana hukum sebagaimana yang digunakan untuk menemukan permasalahan antar teori dengan pelaksanaan penegakan hukum tersebut baik itu terhadap Undang-undangnya, aparat penegak hukum, dan faktor kesadaran hukum masyarakat, oleh karena itu diperlukan realitas dan langkah yang konkrit oleh aparat penegak hukum.

  d. Faktor Masyarakat

  c. Faktor Sarana atau Fasilitas

  b. Faktor Penegak Hukum

  a. Faktor Undang-Undang

  Teori yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang kedua dalam penulisan skripsi ini adalah teori Soerjono Soekanto yang mengemukakan bahwa dalam penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

  B. Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penyebaran Gambar Pornografi Polwan Polda Lampung Melalui Media Elektronik (Studi Kasus: Putusan No. 09/Pid.Sus/2014/PN.TK).

  di Fakultas Hukum Universitas Lampung, 20 Oktober 2014 profesional dan bermoral baik maka tentu saja akan menegakan hukum dengan baik dan sempurna. Begitu juga sebaliknya, apabila penegak hukum tidak memiliki sikap yang profesional, maka tentu saja kaidah hukum tersebut tidak dapat ditegakan dengan sebagaimana mestinya. Kelemahan lain adalah prosedur yang sangat lama dan kurang tanggapnya dalam menangani perkara dan pemahaman polisi dalam bidang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam proses penyelidikan dan penyidikan, hal ini sangat melemahkan sistem peradilan pidana sebagaimana telah ditetapkan oleh ketentuan Undang-Undang.

  Penegakan hukum akan berlangsung baik apabila didukung oleh sarana dan fasilitas yang memadai demi kepentingan tegaknya hukum dan penanggulangan kejahatan efektif terlaksana. Dalam kenyataanya berdasarkan wawancara penelitian penulis dilapangan, maka faktor yang dapat menghambat penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penyebaran gambar pornografi melalui media elektronik adalah tingginya biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan penyelidikan dan kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan informasi publik tentang bahaya pornografi secara khusus terhadap kaum anak muda dan anak-anak yang masih duduk dibangku sekolah. Dilihat dari jumlah personil, sesuatu yang tidak mungkin untuk melakukan pengawasan supaya tidak terjadi tindak pidana pornografi secara pornografi melalui media elektronik.

  Terkait kasus penyebaran gambar pornografi polwan polda Lampung dengan terdakwa Bayu Perdana Briptu Ijan Wahyudi menungkapkan bahwa dalam proses pencarian alat bukti untuk membuktikan suatu perakara tersebut, penyidik harus ke Mabes Polri, mengingat alat yang belum tersedia di kantor mereka. Hal ini melemahkan penegakan hukum pidana tersebut dalam menanggulangi kejahatan penyebaran gambar pornografi melalui media elektronik.

  d. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas

  Persoalan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penyebaran gambar pornografi melalui media elektronik adalah permasalahan yang rumit. Taraf pendidikan sebagian besar sangat rendah, menjadikan pula taraf hidup mereka menjadi tertinggal dan pola pikir yang masih tertinggal ini sangat berpengaruh terhadap tingginya kejahatan. Memahami hal ini, tidak terlepas dari rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap hukum, rendahnya kesadaran masyarakat dalam melakukan upaya-upaya hukum dan mempertahankan hak-haknya, membuat masyarakat meskipun mengetahui bahwa ada pihak yang telah mengambil hak-haknya dan kehormatanya, namun mereka enggan untuk menempuh upaya hukum tersebut. Peran pihak keluarga juga dalam hal ini harus lah diutamakan karena tindak pidana penyebaran gambar pornografi melalui media elektronik ini terkait dengan kebutuhan masyarakat pada barang-barang elektronik, misalnya Hand Phone, VCD/DVD..

e. Faktor Kulture atau Budaya

  Kebudayaan merupakan salah satu unsur yang telah lama hidup dan berkembang ditengah masyarakat. Budaya masyarakat yang lebih mengutamakan alat-alat tradisional dalam kehidupan sehari-hari yang dikaitkan dengan pola pikir dan seni yang tradisional yang dianut dalam suatu budaya masyarakat itu sendiri. Menurut Briptu Ijan Wahyudi selaku Staf Ditreskrimsus Subdit II Unit 1 Polda Lampung menerangkan keberlakuan Undang-Undang Pornografi tidak semua diterima oleh wilayah Republik Indonesia karena bertentangan dengan budaya masyarakat tersebut, misalnya di provinsi Bali batasan keadaan telanjang yang diatur menurut Undang-Undang Pornografi tidak sama dengan budaya masyarakat Bali yang berapakaian disana, karena di provinsi Bali banyak pelancong dari manca negara yang dimana para budaya masyarakat yang menolak Undang-Undang tentang Pornografi dengan alasan membatasi kebebasan hak seseorang dan bertentangan dengan budaya yang berlaku karena dianggap batasan pornografi belum tentu pornogarfi seperti yang diatur oleh Undang-Undang tentang Pornografi tersebut.

  Lebih lanjut lagi Erna Dewi mengatakan bahwa budaya sangat mempengaruhi dalam penegakan pidana penyebaran gambar pornografi melalui media elektronik karena letak permasalahan perbuatan yang dilarang itu dianggap masyarakat bertentangan dengan budayanya dalam arti kategori yang ditentukan pornografi itu memenuhi ikon budaya tersebut sehingga Undang-Undangnya pun bertolak belakang dengan budaya sehingga menyebabkan penegakan hukum pidana melalui Undang-Undang Pornografi menjadi terkendala

  8 .

  III. SIMPULAN

  A. Simpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dan diuraikan oleh penulis, maka dapat disimpulkan yaitu :

  1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku penyebaran gambar pornografi polwan polda Lampung melalui media elektronik (Studi Kasus: Putusan No.09/Pid.Sus/2014/PN.TK), penyebaran gambar pornografi melalui media elektronik merupakan suatu perbuatan yang melanggar peraturan, yang mana perbuatan tersebut diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pasal 27 Ayat (1), (3) Undang-Undang Nomor

  11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kedua Undang-Undang tersebut merupakan

  Lex specialis dari ketentuan Pasal

  282 KUHP. Tetapi sangat disayangkan Undang-Undang Nomor

  44 Tahun 2008 tentang Pornografi masih memiliki kelemahan substansi yang perlu dikaji ulang dan Undang- 8 Hasil wawancara dengan Erna Dewi dosen

  di Fakultas Hukum Universitas Lampung, 20 Oktober 2014 Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah sangat membantu aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan pornografi melalui media elektronik.

  Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penyebaran gambar pornografi melalui media elektronik dapat dilakukan dengan melalui dua jalur yaitu dengan jalur non penal yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan sebelum terjadi kejahatan) dengan lebih mengarahkan kepada sosialisasi peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran gambar pornografi melalui media elektonik. Selanjutnya melalui jalur penal yang menitikberatkan pada sifat represif (pemberantasan setelah terjadinya kejahatan) dengan dilakukannya penyidikan untuk selanjutnya dapat diproses melalui pengadilan.

  2.Faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku penyebaran gambar pornografi polwan polda Lampung melalui media elektronik (Studi Kasus: Putusan No.09/Pid.Sus/2014/PN.TK) antara lain : a. Undang-Undang, Undang-Undang

  Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi masih memiliki kelemahan substansi yang perlu dikaji ulang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik masih kurang sosialisasi sehingga masyarakat dalam menggunakan media elektronik belum mengetahui b. Penegak hukum, dalam hal ini aparat penegak hukum khususnya

  Kepolisian kurang tanggapnya dalam menangani perkara dan pemahaman polisi dalam bidang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

  c. Sarana dan Fasilitas, dalam proses pencarian alat bukti untuk membuktikan suatu perakara tersebut, penyidik harus ke Mabes Polri, mengingat alat yang belum tersedia di kantor mereka. Hal ini melemahkan penegakan hukum pidana tersebut dalam menanggulangi kejahatan penyebaran gambar pornografi melalui media elektronik.

  d. Masyarakat, kesadaran dari dalam diri masyarakat itu sendiri untuk selalu berhati-hati dalam menggunakan media elektronik, dan memiliki nilai moral yang baik untuk tidak mengumbar gambar porno yang merupakan privasi dan seharusnya dijaga.

  e. Kulture atau Budaya, keberlakuan Undang-Undang Pornografi tidak semua diterima oleh wilayah Republik Indonesia karena bertentangan dengan budaya masyarakat tersebut, misalnya di provinsi Bali batasan keadaan telanjang yang diatur menurut Undang-Undang Pornografi tidak sama dengan budaya masyarakat Bali yang berapakaian disana, karena di provinsi Bali banyak pelancong dari manca negara yang dimana para budaya masyarakat yang menolak Undang Undang tentang Pornografi dengan alasan membatasi kebebasan hak seseorang dan bertentangan dengan budaya yang berlaku karena dianggap batasan pornografi belum tentu pornogarfi seperti yang diatur oleh Undang Undang tentang dan dilarang oleh Undang- Pornografi tersebut. Undang.

  Saran B.

DAFTAR PUSTAKA

  Berdasarkan kesimpulan diatas maka dalam hal ini penulis dapat

  Literatur A.

  memberikan saran:

1. Diharapkan perlu adanya sikap

  Nawawi Arief, Barda. 2008. Bunga dan tindakan yang pro-aktif dari

  Rampai Kebijakan Hukum Pidana.

  aparat penegak hukum, khususnya Kencana. Jakarta dari aparat kepolisian dan lembaga pendidikan serta

  Raharjo, Agus. 2002. Cyber Crime keagamaan baik, di samping

  Pemahaman dan Upaya Pencegahan

  penerapan sanksi hukum dalam

  Kejahatan Berteknologi. PT Citra

  penanggulangan kejahatan Aditya Bakti. Bandung diperlukan juga penyuluhan- penyuluhan serta pengawasan intensif dari lembaga di luar lembaga penegak hukum.

  B. Undang-Undang

  Undang-Undang Nomor 11 Tahun Pemerintah dalam hal ini juga 2008 tentang ITE berperan penting terutama dalam kebijakan kriminalisasi yang dirumuskan dalam Undang-

  C. Website

  Undang harus memperhatikan

  http://m.news.viva.co.id

  aspek-aspek di luar aspek hukum agar Undang-Undang tersebut berjalan dengan efektif untuk

  D. Sumber Lainnya

  mendukung pembangunan

  Putusan Nomor 09/ Pid.sus /2014/

  manusia Indonesia dan

PN.TK

  pembangunan jangka panjang yang seutuhnya.

  2. Perlunya peran aktif pemerintah dalam proses sosialisasi terhadap Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dikarenakan di jaman modern kini media elektronik sangat dekat penggunaannya dengan masyarakat. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan sebagian besar masyarakat kita akan hukum. Masyarakat terkadang tidak menyadari bahwa perbuatan