BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Literatur 2.1.1. Kinerja Auditor - Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Auditor Dengan Konflik Peran dan Ketidakjelasan Peran Sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Kota Meda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Literatur

2.1.1. Kinerja Auditor

  Untuk mengukur keberhasilan suatu organisasi dapat dilihat kinerja sumber daya manusianya. Kinerja auditor berkontribusi terhadap kinerja dan citra kantor akuntan publik di mata masyarakat. Secara etimologis, kinerja berasal dari kata job performance (prestasi kerja) atau actual performance (prestasi sesungguhnya yang dapat dicapai seseorang) yang merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2009:9). Kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang dicapai atau pun prestasi yang diperlihatkan. Kinerja organisasi menurut Daft (2000) adalah kegiatan suatu organisasi yang dalam mencapai tujuannya menggunakan sumber daya yang ada secara efektif (dikutip dalam Ghorbanpour et al., 2014). Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Ricardo (2001) yang menyatakan bahwa kinerja organisasi itu mengacu pada kegiatan organisasi yang dilakukan untuk mengupayakan tujuan dan sasarannya (dikutip dalam Abo-jarard, Yousof, dan Nikbin, 2010). Definisi kinerja organisasi di atas sama-sama mengacu pada pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Sementara, kinerja auditor adalah evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh atasan, rekan kerja, diri sendiri, dan bawahan langsung (Kalbers dan Fogarty, 1995). Jika sebelumnya Mangkunegara melihat kinerja berdasarkan hasil kerja menurut kualitas dan kuantitas, di sisi lain Neely et al. (1996) memandang kinerja dari perspektif kualitas atas efisiensi dan efektivitas dari suatu pekerjaan yang telah dilakukan. Neely bermaksud menjelaskan dua komponen utama dalam definisi yang ia berikan yaitu efisiensi dan efektivitas. Efisiensi berbicara mengenai ketepatan dalam mengelola sumber daya yang ada untuk menghasilkan barang dan jasa. Sementara, efektivitas berkaitan dengan pencapaian tujuan organisasi. Tujuan organisasi yang dimaksud di sini biasanya dinyatakan dalam hal kesesuaian (hasil mampu menjawab kebutuhan pelanggan), ketersediaan (prioritas dalam distribusi dan jaraknya secara fisik), serta kualitas (tingkat realisasi atas standar yang ditetapkan) (Dollery dan Worthington, 1996).

  Kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan. Kinerja individu akan tercapai apabila didukung oleh atribut individu, upaya kerja (work effort), dan dukungan organisasi (Mangkunegara, 2009:15).

  Selain itu, Mangkunegara (2009:16) juga menyetujui pandangan teori konvergensi William Louis Stern bahwa faktor-faktor penentu kinerja individu adalah faktor pembawaan (individu) dan faktor lingkungan kerja organisasi. Sementara, kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok.

  Selain pembagian kinerja di atas, terdapat faktor-faktor yang memengaruhi kinerja. Hennry Simamora (1995:500) dalam Mangkunegara (2009:14) menyatakan ada tiga faktor yang memengaruhi kinerja (performance), yaitu : 1)

  Faktor individual yang terdiri dari : a.

  Kemampuan dan keahlian b.

  Latar belakang c. Demografi

  2) Faktor psikologis yang terdiri dari :

  a. Persepsi b.

  Attitude c. Personality d.

  Pembelajaran e. Motivasi

  3) Faktor organisasi yang terdiri dari : a.

  Sumber daya b.

  Kepemimpinan c. Penghargaan d.

  Struktur e. Job design

  Untuk mengetahui seberapa baik kinerja yang dihasilkan oleh auditor perlu diketahui pengukuran yang digunakan untuk menilainya. Reza Surya (2004:35) menyatakan bahwa kinerja seseorang yang baik dilihat dari hasil kerja individu tersebut yang melampaui peran atau target yang telah ditentukan sebelumnya. Demikian pula, Miner (1988) menyatakan bahwa dimensi kinerja adalah ukuran penilaian dari perilaku yang aktual di tempat kerja dan mencakup : a.

  Quality of Output, kinerja seseorang individu dinyatakan baik apabila kualitas output yang dihasilkan lebih baik atau paling tidak sama dengan target yang telah ditentukan.

  b.

  Quantity of Output, yaitu kinerja seseorang juga diukur dari jumlah output yang dihasilkan. Seseorang dinyatakan mempunyai kinerja yang baik jika kuantitas output yang dicapai dapat melebihi atau setidaknya sama dengan target yang telah ditentukan serta tidak mengabaikan kualitas output yang bersangkutan.

  c.

  Time at Work, yaitu dimensi waktu juga menjadi pertimbangan di dalam mengukur kinerja seseorang. Hal ini berarti dengan tidak mengabaikan kualitas dan kuantitas output yang harus dicapai, seseorang dinilai mempunyai kinerja yang baik jika individu tersebut dapat menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu atau bahkan melakukan penghematan waktu.

  d.

  Cooperation with Others’ Work, yaitu kinerja juga dinilai dari kemampuan seorang individu untuk tetap bersifat kooperatif dengan pekerja lain yang harus menyelesaikan tugasnya masing-masing. Selain pengukuran, evaluasi juga penting untuk melihat apakah kinerja yang dihasilkan telah sesuai dengan apa yang diharapkan. Tujuan evaluasi adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja dari auditor suatu KAP. Agus Sunyoto (1999:1) dalam Mangkunegara (2009:10) mengemukakan tujuan evaluasi kinerja secara lebih spesifik, yaitu : a.

  Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kinerja.

  b.

  Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.

  c.

  Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang.

  d.

  Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan sehingga karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.

  e. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan, khusus rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja

  (performance) auditor adalah suatu hasil kerja yang dapat dicapai oleh auditor dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya berdasarkan kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan waktu yang diukur dengan memerhatikan kuantitas, kualitas, ketepatan waktu, dan sikap kooperatifnya dengan rekan sekerja dalam kantor akuntan publik. Kinerja berdasarkan kualitas adalah berkaitan dengan mutu kerja yang dihasilkan sedangkan berdasarkan kuantitas adalah jumlah hasil kerja yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu. Ketepatan waktu adalah kesesuaian antara waktu yang dapat dicapai untuk menyelesaikan kerja dengan waktu yang telah direncanakan.

2.1.2. Komitmen Organisasi

  Komitmen setiap anggota dalam suatu organisasi merupakan hal yang penting agar organisasi tersebut tetap going concern apapun bentuk organisasinya termasuk kantor akuntan publik. Komitmen mengindikasikan keinginan anggota untuk tetap loyal dan mengabdikan dirinya pada organisasi tempat ia bekerja.

  Robbins (2001) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah keadaan dimana seorang individu memihak pada suatu organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut.

  Komitmen organisasi didefinisikan sebagai keadaan psikologis yang mengikat seorang karyawan pada organisasinya sehingga mengurangi tingkat

  turnover (Allen dan Meyer, 1990) dan sebagai pola pikir yang berbeda bentuknya

  yang mengikat individu untuk melakukan suatu tindakan yang relevan dengan sasaran tertentu (Meyer dan Herscovitch, 2001). Sementara Aranya et al. (1981) menyatakan komitmen profesional yang juga berlaku bagi komitmen organisasi sebagai :

  1. Rasa percaya yang kuat dan penerimaan seseorang terhadap tujuan dan nilai- nilai organisasi,

  2. Keinginan seseorang untuk melakukan usaha secara sungguh-sungguh demi organisasinya,

  3. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam suatu organisasi.

  Dengan demikian, individu dengan komitmen yang tinggi pada pekerjaannya akan berusaha melakukan yang terbaik untuk organisasinya yang akan berdampak pada keberhasilan atau kegagalan internal pekerjaannya (Gifford, 2003). Ada dua jenis komitmen, yaitu :

  1. Attitudinal commitment 2.

   Behavioral commitment

  Mowday et al. (1982) menguraikan perbedaan di antara keduanya. Attitudinal merupakan pola pikir dimana individu memerhatikan keselarasan

  commitment

  tujuan dan nilai-nilai mereka dengan orang-orang dari organisasi yang mempekerjakan mereka. Sementara, behavioral commitment adalah proses dimana perilaku individu di masa lalu dalam sebuah organisasi mengikat mereka kepada organisasinya. Baik attitudinal maupun behavioral commitment memiliki beberapa aspek yang terkandung di dalamnya. Aspek attitudinal antara lain : 1.

  Diidentifikasikan dengan organisasinya 2. Partisipasi dan keterlibatan dalam peran organisasi 3. Kesetiaan kepada organisasinya

  Demikian pula yang termasuk aspek behavioral adalah : 1.

  Usaha yang sangat besar 2. Kecenderungan untuk tetap berada dalam organisasinya. Sifat saling melengkapi antara attitudinal commitment dan behavioral

  commitment tak terpisahkan dalam konseptualisasi model multidimensional komitmen organisasi Meyer dan Allen (1991).

  Meyer dan Allen (1991) menyimpulkan bahwa komitmen mencerminkan keinginan, kebutuhan, dan kewajiban untuk mempertahankan keanggotaan dalam sebuah organisasi. Hal ini mewujudkan tiga komponen model komitmen organisasi yang dikategorikan oleh Meyer dan Allen (1991) yaitu, komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinu (continuance commitment), dan komitmen normative (normative commitment).

1. Komitmen Afektif (Affective Commitment)

  Komitmen afektif didefinisikan sebagai keterikatan emosional, identifikasi, dan keterlibatan yang dimiliki oleh seorang karyawan terhadap organisasinya (Mowday et al., 1997; Meyer dan Allen, 1993). Porter et al. (1974) mencirikan komitmen afektif dalam tiga faktor, yaitu: 1)

  Kepercayaan dan penerimaan sasaran dan nilai organisasi 2)

  Keinginan untuk memusatkan usaha dalam pencapaian tujuan organisasi, dan 3) Keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi.

  Individu memandang pekerjaannya sebagai bagian dari identitasnya dan ingin berkontribusi untuk mencapai tujuan yang ditargetkan (Smith dan Hall, 2008). Komitmen ini timbul ketika karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional atau psikologis terhadap organisasi di mana ia berada. Komitmen afektif ini juga timbul melalui pengalaman profesional yang positif atau keahlian profesional yang berkembang (Hall et al. 2005).

2. Komitmen Kontinu (Continuance Commitment)

  Komitmen ini merupakan komitmen yang dimiliki oleh individu yang merasa bahwa mereka harus tetap berada dalam profesi di mana ia berada sekarang dengan pertimbangan akumulasi modal atau kurangnya alternatif yang sebanding (Smith dan Hall, 2008). Komitmen ini didasarkan pada teori Becker yang menyatakan bahwa orang-orang berkomitmen pada organisasinya karena modal terakumulasi dalam organisasi tersebut atau kurangnya alternatif yang sesuai (Hall et al., 2005). Teori Becker juga menjelaskan bahwa individu berinvestasi di organisasinya, dan komitmennya pada organisasi dan pekerjaannya berkaitan langsung dengan jumlah investasinya.

  Komitmen kontinu ini merupakan penyebab mengapa orang tetap berada di posisinya yaitu karena adanya biaya yang tinggi jika harus meninggalkan organisasi dan pekerjaannya. Kondisi pasar tenaga kerja yang tidak sesuai dan adanya keahlian dan investasi yang tidak dapat dipindahtangankan seperti dana pensiun dan hubungan dengan rekan sekerja menyebabkan terjadinya peningkatan komitmen kontinu (continuance commitment).

  Singkatnya, komitmen ini ada ketika karyawan tetap bertahan pada organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain atau karena tidak menemukan pekerjaan lain yang sesuai. Meyer dan Allen (1997) menjelaskan bahwa karyawan yang bersama-sama memiliki komitmen kontinu dengan atasannya membuat mereka sulit untuk meninggalkan organisasi tersebut.

3. Komitmen Normatif (Normative/Mandatory Commitment)

  Komitmen ini menjelaskan keadaan auditor yang menyadari bahwa mereka harus tetap berada dalam organisasi tersebut karena paksaan (Smith dan Hall, 2008). Komitmen organisasi normatif ini timbul saat auditor benar- benar ingin tetap menjadi bagian dari organisasi atau setelah menerima keuntungan mereka merasa harus membalansya (take and give) dan merupakan hal yang timbal balik. Selain itu, juga timbul ketika auditor menerima keuntungan yang cukup besar dengan berada pada suatu posisi atau dengan mengalami sejumlah tekanan dari keluarga atau rekan-rekan kerja yang menekan mereka saat berada di posisi tersebut (Hall et al., 2005).

  Sederhananya, komitmen ini timbul dari nilai-nilai diri auditor. Auditor bertahan menjadi anggota suatu kantor akuntan publik karena memiliki kesadaran bahwa komitmen terhadap KAP tempat ia bekerja merupakan hal yang sudah seharusnya dilakukan karena ia berkewajiban untuk itu.

2.1.3. Stres Peran (Role Stress)

  Stres bersifat personal. Setiap orang memiliki tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap tekanan tertentu. Sehingga, untuk tekanan yang sama tidak selalu menghasilkan stres. Stres merupakan respon psikologis yang dihadapi seseorang ketika berada dalam situasi di luar kendalinya. Stres penting untuk pertumbuhan, perubahan, perkembangan, dan kinerja auditor baik di rumah maupun di tempat kerja (Quick dan Quick, 1984:1) tetapi bagaimana auditor tersebut akan merespon stressor tergantung pada berbagai faktor individual. Stres kerja sering timbul dalam situasi ketika seeorang tidak dapat memenuhi kebutuhan kerja yang bersangkutan (French dan Caplan, 1972). Artinya, orang akan mengalami stres ketika mereka tidak dapat mengendalikan pekerjaannya atau ketika tuntutan kerja melebihi kemampuan yang mereka miliki. Stres tidak selalu dianggap sebagai hal yang buruk karena ada stres yang berdampak baik tetapi ada juga yang berdampak buruk.

  Stres yang buruk (distress) merupakan hasil dari situasi seperti kehilangan pekerjaan. Sementara, stres yang baik (eustress) dapat berupa situasi yang akhirnya akan mengondisikan kegembiraan misalnya stres yang dialami ketika seseorang ingin mendapatkan promosi kerja mendorong seseorang untuk bekerja dengan lebih baik untuk mencapainya (Larson, 2004). Namun, salah mengatur stres yang dimiliki organisasi berdampak pada stres dan ketegangan individual yang mengganggu baik individu itu sendiri maupun organisasinya. Stres berpengaruh baik pada fisik maupun proses mental yang keduanya akan memengaruhi bagaimana seseorang berperilaku di bawah tekanan yang berat dan memengaruhi tingkatan di mana ia bisa melanjutkan perannya, di rumah dan di tempat kerja, secara efektif dan efisien (Towner, 2002:26).

  Stres yang terjadi di lingkungan tempat kerja dan disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan disebut stres kerja. Tuntutan peran berkaitan dengan tekanan yang diterima oleh seseorang sebagai akibat dari fungsi peran tertentu yang dimainkannya dalam organisasi tersebut (Eko Sasono, 2004:123). Fogarty et al. (2000:32) menegaskan bahwa tekanan peran terbagi atas tiga, yaitu konflik peran, ketidakjelasan peran, dan kelebihan peran.

  Stres peran bersifat berbahaya karena membuat auditor tidak memiliki kepastian akan tujuan-tujuan dan harapan-harapannya dalam organisasi.

  Sopiah (2008) menerangkan stres karena peran atau tugas termasuk kondisi dimana auditor mengalami kesulitan dalam memahami apa yang menjadi tugasnya dan merasa perannya terlalu berat atau memainkan peran yang banyak pada tempat mereka bekerja. Pemicu stres memiliki empat penyebab utama, yaitu:

  a. Konflik Peran (Role Conflict) Ketika di antara rekan sekerja bersaing menghadapi berbagai tuntutan maka terjadi konflik peran ini. Ada beberapa jenis konflik peran dalam organisasional, antara lain :

  setting

  a) Inter-role conflict, terjadi ketika seseorang memiliki dua peran yang masing-masing berlawanan dalam suatu organisasi.

  b) Intra-role conflict, terjadi saat seseorang menerima pesan berlawanan dari orang yang berbeda. c) Person-role conflict, terjadi saat kewajiban-kewajiban dalam pekerjaan dan nilai-nilai organisasi tidak sejalan dengan nilai-nilai pribadi.

  b.

  Ketidakjelasan Peran (Role Ambiguity)

  

Stressor ini terjadi dan dialami oleh para karyawan saat mereka merasa

  bimbang tentang tugas-tugas mereka, harapan kinerja, tingkat kewenangan, dan kondisi kerja yang lain. Hal ini cenderung terjadi saat orang memasuki situasi yang baru, seperti menjadi anggota suatu organisasi atau mengambil suatu tugas pekerjaan yang asing karena bimbang dengan harapan sosial dan tugas-tugasnya.

  c.

  Beban Kerja (workload) Beban kerja adalah pemicu stres yang berhubungan dengan peran atau tugas lain yang terjadi karena pegawai merasa beban kerjanya banyak. Hal ini dapat terjadi karena para karyawan merasa beban kerjanya banyak. Hal ini dapat terjadi misalnya karena perusahaan mengurangi tenaga kerjanya dan melakukan restrukturisasi pekerjaan, membebani pegawai yang ada dengan tugas yang banyak dan waktu serta sumber daya yang sedikit untuk menyelesaikannya.

  d.

  Karakteristik Tugas (Task Characteristics) Beberapa tugas yang potensial memicu stres adalah ketika membuat keputusan, memantau perlengkapan, atau saling bertukar informasi.

  Pengendalian yang kurang, aktivitas dalam pekerjaan yang terlalu banyak, dan lingkungan kerja juga termasuk dalam kategori stressor ini.

  Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres peran adalah stres yang disebabkan oleh tuntutan peran yang dilakoni oleh seseorang ketika kemampuannya kurang memadai untuk memenuhi tuntutan fungsi peran tersebut. Ada beberapa jenis stres peran yang diketahui.

  Namun, penelitian ini hanya menggunakan konflik peran dan ketidakjelasan peran sebagai variabel moderating.

2.1.4. Konflik Peran (Role Conflict)

  Konflik peran adalah suatu situasi yang terjadi karena seseorang tidak bekerja sesuai dengan aturan, norma, dan etika profesional. Konflik dapat menyebabkan dampak negatif terhadap perilaku individu yang akhirnya akan berujung pada penurunan kinerja auditor secara keseluruhan (Fanani et al., 2007). Konflik peran merupakan gambaran kondisi karena diterimanya dua perintah atau lebih yang berbeda secara bersamaan sehingga terabaikannya perintah yang lain sementara perintah yang satu dilaksanakan. Konflik peran menimbulkan harapan-harapan yang kemungkinan sulit untuk dipenuhi (Robbins dan Judge, 2009). Demikian pula, Patelli (2007) mengemukakan bahwa konflik peran terjadi saat dua atau lebih peran dilakukan secara bersamaan sehingga pelaksanaan atas satu tekanan menghambat pelaksanaan tekanan yang lainnya. Stres yang dialami secara terus-menerus selain merugikan kinerja auditor juga menyebabkan timbulnya reduced personal

  accomplishment yang mengakibatkan kepuasan kerja dan keinginan untuk

  tetap bekerja di kantor akuntan publik menjadi rendah. Gibson et al. (2006) membagi konflik dalam beberapa bentuk antara lain : a.

  Konflik Peran Pribadi (Person-Role Conflict) Konflik ini terjadi ketika peran yang ada bertentangan dengan peran dasar, sikap, dan kebutuhan individu yang memainkan peran tersebut.

  b.

  Konflik Intraperan (Intrarole Conflict) Konflik ini terjadi ketika individu terkait peran memiliki harapan yang berbeda dengan definisi peran yang sebenarnya ia lakoni sehingga ia sulit untuk memenuhi semua permintaan perannya.

  c.

  Konflik Antarperan (Interrole Conflict) Konflik ini terjadi ketika individu mengerjakan banyak peran yang memiliki harapan yang saling bertentangan secara bersamaan.

  Teori peran menegaskan bahwa ketika individu tidak memiliki kekonsistenan terhadap perilaku-perilaku yang diharapkan darinya maka ia akan mengalami stres yang berdampak pada efektivitas organisasi yang menurun. Rizzo et al. (1970) melihat konflik peran sebagai penyebab menurunnya kepuasan individu dan efektivitas organisasi. Role conflict dan

  role ambiguity merupakan dua ketegangan psikologis yang memengaruhi baik kesehatan mental maupun fisik (Jackson, 1983).

  Umar Nimran (2004) menyebutkan ciri-ciri seseorang yang berada dalam konflik peran, yaitu : a.

  Mengerjakan hal-hal yang tidak perlu.

  b.

  Terjepit di antara dua atau lebih kepentingan yang berbeda (atasan dan bawahan atau sejawat). c.

  Mengerjakan sesuatu yang diterima oleh pihak yang satu tetapi tidak oleh pihak yang lain.

  d.

  Menerima perintah yang bertentangan.

  e.

  Mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan keadaan dimana saluran komando dalam organisasi tidak terpenuhi.

  Beberapa definisi mengenai konflik peran di atas dapat disimpulkan bahwa konflik peran (role conflict) adalah suatu ketegangan psikologis yang dihadapi oleh seseorang yang terjepit di antara situasi yang menempatkannya di keadaan yang tidak sesuai antara perintah yang diberikan dengan sikap, komitmen, dan kebutuhan dari individu yang memainkan peran tersebut. Fanani et al. (2008) menyatakan bahwa konflik peran berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja auditor. Konflik peran berdampak buruk terhadap perilaku individu yang memicu dampak buruk lainnya yang hasilnya adalah kinerja yang buruk.

2.1.5. Ketidakjelasan Peran (Role Ambiguity)

  Ketidakjelasan peran adalah kurangnya pemahaman atas hak-hak, hak istimewa dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan (Gibson et al., 1997). Zaenal Fanani et al. (2007) menyatakan bahwa role

  ambiguity terjadi ketika informasi yang dimiliki tidak cukup, tidak adanya

  arah dan kebijakan yang jelas, ketidakpastian otoritas, kewajiban dan hubungan dengan yang lainnya, serta adanya ketidakpastian sanksi dan ganjaran terhadap perilaku yang dilakukan. Begitu juga Eko Sasono (2004) menjelaskan bahwa ketidakjelasan peran terjadi saat pemahaman tentang harapan peran tidak jelas dan individu tidak memiliki kepastian akan apa yang harus dikerjakannya. Hal ini dapat terjadi pada semua orang tak terkecuali auditor sendiri. Ketidakjelasan peran dapat membuat orang-orang sulit untuk menyesuaikan diri dengan organisasinya karena mereka tidak mengetahui dengan pasti apa yang diharapkan darinya. Oleh karena itu, mereka mengharapkan penjelasan sehingga mereka mengerti apa yang harus dan tidak harus dikerjakan.

  Menurut teori peran, ketidakjelasan peran yang dialami dalam waktu yang lama dapat mengikis kepercayaan diri, memupuk ketidakpuasan kerja, dan menghambat kinerja. Penelitian Jackson (1983) menemukan bahwa role

  ambiguity berkorelasi negatif dengan kesehatan psikologis dan kesejahteraan

  fisik. Demikian pula, teori klasik menyatakan bahwa setiap kedudukan dalam struktur organisasi formal harus memiliki tugas dan tanggung jawab yang khusus dan jelas. Seperti Rizzo et al. (1970) menyatakan bahwa jika seseorang tidak tahu dengan pasti otoritas yang sebenarnya yang dimilikinya untuk mengambil keputusan, apa yang diharapkan untuk dicapai, dan bagaimana dia akan dinilai maka ia akan ragu untuk membuat keputusan dan harus mengandalkan pendekatan trial and error dalam memenuhi harapan- harapan pemimpinnya. Hal ini tentunya akan menempatkannya pada situasi yang tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan perannya yang sebenarnya sehingga kinerja pun tidak optimal.

  Umar Nimran (2004) menggambarkan ciri-ciri mereka yang berada dalam ketidakjelasan peran sebagai berikut : a.

  Tidak mengetahui dengan jelas apa tujuan peran yang dimainkannya.

  b.

  Tidak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab dan siapa yang melapor kepadanya.

  c.

  Tidak cukup wewenang untuk melaksanakan tanggung jawabnya.

  d.

  Tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan darinya.

  e.

  Tidak memahami dengan benar peranan pekerjaannya dalam rangka mencapai tujuan secara keseluruhan.

  Maka, dapat disimpulkan bahwa ketidakjelasan peran (role ambiguity) merupakan kurang memadainya informasi yang dimiliki oleh seseorang untuk mengerti perannya secara utuh dan memahami kewajiban-kewajiban dan hak- haknya dalam organisasi sehingga ia tidak dapat melakukan tugasnya sesuai dengan tuntutan peran yang dimilikinya. Fanani et al. (2008) menemukan bahwa ketidakjelasan peran tidak berpengaruh terhadap ketidakjelasan peran.

  Sementara, Fried (1998) menyatakan bahwa ketidakjelasan peran berpengaruh pada level kinerja yang lebih rendah. Seperti konflik peran, ketidakjelasan peran pun berbahaya bagi kesehatan psikologis dan fisik karena merupakan memicu stress.

2.2. Penelitian Terdahulu

  Adapun hasil-hasil dari penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan topik penelitian ini dapat dilihat pada tabel

  2.1 di bawah ini.

  28 Tabel 2.1

  Independen : pemahaman

  organisasi tidak berpengaruh secara langsung terhadap kinerja auditor.

  good governance dan budaya

  Gaya kepemimpinan berpengaruh secara langsung terhadap kinerja auditor sedangkan pemahaman

  Structural Equation Model ( SEM)

  auditor dan komitmen organisasi Dependen : kinerja auditor, independensi auditor, dan komitmen organisasi

  Moderating : independensi

  kepemimpinan, budaya organisasi, independensi auditor, dan komitmen organisasi

  good governance , gaya

  Kepemimpinan, dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Auditor

  Penelitian-penelitian Terdahulu No. Peneliti Judul Penelitian Variabel Teknik Analisis Hasil Penelitian

  Governance , Gaya

  Independensi Auditor dan Komitmen Organisasi Sebagai Mediasi Pengaruh Pemahaman Good

  2. Sri Trisnaningsih (2007)

  Regresi berganda Komitmen afektif dan normatif berpengaruh sementara komitmen kontinu tidak berpengaruh secara signifikan.

  Independen : komitmen afektif, kontinu, dan normatif Dependen : kinerja auditor dan karakteristik demografis

  Investigating the Effect of Organization Commitment on Performance of Auditors in the Community of Certified Accountants

  et al. (2014)

  1. Zahra Ghorbanpour

  Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. (Lanjutan)

  No. Peneliti Judul Penelitian Variabel Teknik Hasil Penelitian Analisis

  3. Josina Pengaruh Independen : independensi Regresi Independensi auditor, komitmen Lawalata, Independensi Auditor, auditor, komitmen berganda organisasi, gaya kepemimpinan, dan Darwis Said, Komitmen Organisasi, organisasi, gaya budaya organisasi berpengaruh dan Mediaty Gaya Kepemimpinan, kepemimpinan, dan positif dan signifikan terhadap (2008) dan Budaya budaya organisasi kinerja auditor.

  Organisasi Terhadap Hal ini menunjukkan bahwa auditor

  Kinerja Auditor Dependen : kinerja auditor yang memiliki independensi dan komitmen organisasi yang tinggi, cara memimpin yang baik, serta adanya budaya organisasi akan meningkatkan kinerja dalam organisasi di mana ia bekerja.

  4. Zaenal Fanani Pengaruh Struktur Independen : struktur Regresi Struktur audit dan konflik peran

  et al. (2007) Audit, Konflik Peran, audit, konflik peran, dan berganda berpengaruh secara signifikan

  dan Ketidakjelasan ketidakjelasan peran sementara ketidakjelasan peran tidak Peran Terhadap berpengaruh secara signifikan Kinerja Auditor Dependen : kinerja auditor terhadap kinerja auditor.

  29 Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 (Lanjutan)

  No. Peneliti Judul Penelitian Variabel Teknik Hasil Penelitian Analisis

  5. Darwish A. Organizational Independen : gaya Moderated  Gaya kepemimpinan dan Yousef (2000) Commitment: A kepemimpinan, komitmen Multiple kebangsaan berinteraksi

  Mediator of the organisasi Regression secara bersama dalam Relationships of meningkatkan kepuasan

  Leadership Behavior Moderating : kebangsaan kerja with Job Satisfaction dan komitmen organisasi

   Interaksi antara gaya and Performance in a kepemimpinan dan

  Non-Western Country Dependen : kinerja dan komitmen organisasi kepuasan kerja meningkatkan baik kepuasan kerja maupun kinerja

   Kebangsaan tidak memoderasi baik hubungan antara gaya kepemimpinan dengan komitmen organisasi dengan kinerja maupun hubungan antara komitmen organisasi dengan kinerja dan kepuasan kerja.

  30 Universitas Sumatera Utara

2.3. Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting (Umar Sekaran, 1992). Kerangka konseptual yang baik merupakan jaringan hubungan antarvariabel yang secara logis diterangkan, dikembangkan, dan dielaborasi dari perumusan masalah yang diidentifikasi melalui baik proses wawancara, observasi, maupun survei literatur. Untuk mencapai tujuan bersama, kantor auditor harus memperhatikan kinerja para auditornya. Komitmen organisasi dipandang sebagai faktor yang meningkatkan kinerja auditor. Di sisi lain, stres peran diketahui sebagai pemicu yang memperlemah hubungan di antara keduanya.

  Secara skematis, kerangka konseptual dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut ini:

  

Gambar 2.1.

Kerangka Konseptual

2.4. Hubungan Antarvariabel dan Perumusan Hipotesis

2.4.1. Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Auditor

  Komitmen organisasi mengindikasikan keinginan anggota untuk tetap loyal dan mengabdikan dirinya pada organisasi tempat ia bekerja. Auditor yang percaya pada nilai-nilai organisasinya akan merasa ikut memiliki organisasi tersebut. Oleh karena itu, mereka yang merasa bahwa dirinya terikat dengan nilai-nilai tersebut akan melakukan pekerjaannya dengan senang hati sehingga kinerjanya pun meningkat.

  Penelitian Meyer et al. (1989) menunjukkan korelasi yang positif antara komitmen afektif dengan kinerja. Sebaliknya, komitmen kontinu berkorelasi secara negatif dengan kinerja. Sementara, Somers dan Birnbaum (1998) menyatakan bahwa baik komitmen afektif maupun kontinu tidak berpengaruh terhadap kinerja.

  Komitmen merupakan suatu konsistensi wujud keterikatan seseorang terhadap suatu hal seperti karir, keluarga, lingkungan sosial, dan sebagainya.

  Komitmen dapat menjadi dorongan bagi seseorang untuk bekerja dengan lebih baik atau sebaliknya dapat menyebabkan seseorang justru meninggalkan pekerjaannya karena tuntutan komitmen lainnya. Komitmen yang tepat akan memberikan dampak yang baik terhadap kinerjanya dalam suatu pekerjaan.

  Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

  

H1 : Komitmen organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja

auditor.

2.4.2. Interaksi antara Komitmen Organisasi dengan Konflik Peran Terhadap Kinerja Auditor

  Komitmen organisasi didefinisikan sebagai bentuk identifikasi keterlibatan seseorang dalam suatu bagian organisasi (Mowday, et al., 1992).

  Komitmen organisasi dapat tumbuh ketika harapan kerja dapat terpenuhi oleh organisasi dengan baik. Seseorang yang merasa jiwanya terikat dengan nilai- nilai organisasi akan merasa senang bekerja sehingga kinerja meningkat. Ghorbanpour et al. (2014) menyatakan bahwa komitmen organisasi berhubungan secara positif dan signifikan terhadap kinerja auditor.

  Konflik peran adalah suatu konflik yang timbul karena mekanisme pengendalian birokrasi tidak sesuai dengan norma, etika, aturan, dan kemandirian profesional. Konflik peran dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja sehingga berdampak negatif terhadap perilaku individu yang akhirnya menurunkan kinerja auditor secara keseluruhan. Khoo dan Sim (1997) meneliti tentang konflik peran auditor di Korea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa auditor di Korea mengalami konflik peran yang signifikan sehingga dalam bekerja mereka cenderung berkompromi dengan motif ekonomi dan kurang memperhatikan etika profesional.

  Akibatnya, kinerjanya terabaikan.

  Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

  H2 : Interaksi antara komitmen organisasi dengan konflik peran berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor.

2.4.3. Interaksi antara Komitmen Organisasi dengan Ketidakjelasan Peran Terhadap Auditor

  Ketidakjelasan peran merupakan keadaan yang menjelaskan tidak diketahuinya gambaran peran secara jelas. Gibson et al. (1997) mendefinisikannya sebagai kurangnya pemahaman atas hak-hak, hak istimewa dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk melakukan pekerjaannya. Komitmen organisasi diketahui sebagai bentuk loyalitas dan keterlibatan seseorang di dalam organisasinya. Semakin sering seseorang terlibat dan loyal dalam suatu organisasi maka dapat diartikan semakin tinggi komitmennya terhadap organisasinya. Keterlibatan yang terus-menerus terjadi di dalam suatu organisasi membuat seseorang akan semakin mengetahui apa yang harus dikerjakan dalam tugas-tugasnya dan mengetahui apa yang menjadi haknya. Penjelasan ini memberikan arti bahwa semakin tinggi tingkat komitmen seseorang terhadap organisasinya maka akan semakin rendah ketidakjelasan peran yang dialaminya. Ketidakjelasan peran yang semakin tinggi akan memperburuk kinerja. Fanani et al. (2007) menyatakan bahwa ketidakjelasan peran berpotensi menurunkan motivasi dan kinerja secara keseluruhan.

  Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

  H3 : Interaksi antara komitmen organisasi dengan ketidakjelasan peran berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Stres Terhadap Pola Makan Mahasiswa Tingkat Akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (USU)

0 0 40

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres 2.1.1 Pengertian Stres - Pengaruh Stres Terhadap Pola Makan Mahasiswa Tingkat Akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (USU)

0 0 12

Pengaruh Stres Terhadap Pola Makan Mahasiswa Tingkat Akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (USU)

1 1 12

Pengaruh Nilai Perusahaan, Profitabilitas, Likuiditas dan Ukuran Perusahaan Terhadap Dividend Payout Ratio pada Perusahaan Property dan Real Estate yang Terdaftar di BEI 2011-2013

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Nilai Perusahaan, Profitabilitas, Likuiditas dan Ukuran Perusahaan Terhadap Dividend Payout Ratio pada Perusahaan Property dan Real Estate yang Terdaftar di BEI 2011-2013

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Nilai Perusahaan, Profitabilitas, Likuiditas dan Ukuran Perusahaan Terhadap Dividend Payout Ratio pada Perusahaan Property dan Real Estate yang Terdaftar di BEI 2011-2013

0 0 8

Analisis Pengaruh Book Tax Differences Terhadap Peringkat Obligasi Perusahaan Dengan Ukuran Perusahaan sebagai Variabel Kontrol Pada Emiten Indeks KOMPAS100 di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012-2014

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Teori Pensinyalan (Signalling Theory) - Analisis Pengaruh Book Tax Differences Terhadap Peringkat Obligasi Perusahaan Dengan Ukuran Perusahaan sebagai Variabel Kontrol Pada Emiten Indeks KOMPAS100 di Bur

0 0 60

Analisis Pengaruh Book Tax Differences Terhadap Peringkat Obligasi Perusahaan Dengan Ukuran Perusahaan sebagai Variabel Kontrol Pada Emiten Indeks KOMPAS100 di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012-2014

0 0 14

Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Auditor Dengan Konflik Peran dan Ketidakjelasan Peran Sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Kota Medan)

0 0 23