PENGARUH MEKANISME TATA KELOLA PERUSAHAAN TERHADAP KINERJA

JURNAL RISET AKUNTANSI DAN KEUANGAN
Vol. 6 No.2, Agustus 2010
Hal. 125-137

PENGARUH MEKANISME TATA KELOLA PERUSAHAAN
TERHADAP KINERJA
Eko Budi Santoso
Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Duta Wacana
Jl. Dr. Wihidin Sudiro Husodo 5 - 25, Yogyakarta, 55224

ABSTRACT
Good Corporate Governance is a major issue dealing with agency problem. The
purpose of this study is to analyse the development of good corporate governance in
Indonesia. The result of the study show inverse effect between board structure and
board independence towards performance. This difference indicates the need of good
checks and balances mechanism. This study also explains the failure of two-tier board
system as governance to sustain Indonesian companies during the crisis.
Keywords:Corporate governance, ownership structure, board structure, board
independence, two-tier board system.

PENDAHULUAN

Tata kelola perusahaan sebenarnya bukanlah masalah baru. Masalah tata kelola
perusahaan sudah berkembang sejak abad ke 16 dan mulai mendapat perhatian dari
kalangan akademis untuk diteliti sejak tahun 1930-an (Daily et al. 2003). Hasil
penelaahan Denis (2001) terhadap penelitian-penelitian mengenai tata kelola perusahaan
selama 25 tahun terakhir menyimpulkan bahwa sistem tata kelola perusahaan memiliki
peranan yang penting dalam perekonomian. Kegagalan pada perusahaan-perusahaan
besar seperti kasus Enron, serta perusahaan-perusahaan di negara-negara Asia ketika
terjadi krisis pada tahun 1997 menunjukkan pentingnya peranan sistem tata kelola
perusahaan yang baik di perusahaan. Penelitian tersebut menunjukkan adanya penyebab
utama terpuruknya perusahaan-perusahaan ketika terjadi krisis ekonomi adalah
buruknya tata kelola perusahaan (Leng, 2004; Daily et al., 2003; Faccio et al., 2001;
Scott, 1999).
Pengelolaan perusahan yang buruk mengakibatkan terbukanya kesempatan
bagi pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari perusahaan.
Pengelolaan yang buruk akan mengakibatkan terjadinya kecurangan-kecurangan yang
akan merugikan perusahaan. Menurut La Porta et al. (2000) kecurangan-kecurangan

126

JRAK, Agustus 2010


tersebut dapat berupa (1) manipulasi laba, (2) penjualan output atau aset perusahaan
dibawah harga pasar, dan (3) penempatan orang-orang yang tidak kompeten ke dalam
posisi manajerial atau pemberian kompensasi eksekutif yang terlalu berlebihan.
Kecurangan-kecurangan tersebut dapat mengakibatkan pondasi perusahaan terutama
dalam bidang keuangan menjadi rapuh sehingga ketika terjadi krisis perusahaan menjadi
terpuruk. Sukrisno (2004) menjelaskan bahwa pengelolaan perusahaan yang buruk akan
berdampak pada buruknya kinerja perusahaan karena banyaknya kecurangan yang
terjadi di dalam perusahaan.
Salah satu bagian yang penting dalam tata kelola perusahaan adalah
mekanisme yang mengatur hubungan antara fungsi pengelolaan dan fungsi pengawasan.
Indonesia yang menganut two tier board system seharusnya dapat menjadi modal awal
yang baik dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik. Daniri (2005)
menjelaskan pemisahan fungsi, tugas, dan wewenang dewan pengelola perusahaan
dengan dewan pengawas perusahaan pada two-tier board system akan memperkuat
pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik. Namun kenyataan menunjukkan
perusahaan-perusahaan di Indonesia yang walaupun sudah menerapkan two tier board
system banyak yang ambruk ketika menghadapi krisis. Hal ini mengindikasikan ada
yang tidak beres dengan implementasi two tier board system di Indonesia. Kondisi
inilah yang mendorong peneliti untuk menganalisa pengaruh tata kelola perusahan yang

baik terhadap kinerja perusahaan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran evaluasi kondisi tata kelola perusahaan di Indonesia dan dampaknya terhadap
kinerja perusahaan.

TINJAUAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Teori Keagenan
Hubungan keagenan timbul ketika terjadi pemisahan antara fungsi pengelolaan
dan kepemilikan (Jensen dan Meckling, 1976). Pemegang saham sebagai pemilik
perusahaan mempekerjakan tenaga-tenaga profesional (agen) sebagai pelaksana fungsi
pengelolaan perusahaan. Tujuan dari dipisahkannya fungsi pengelolaan dari fungsi
kepemilikan perusahaan yaitu agar pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang
semaksimal mungkin dengan biaya yang seefisien mungkin dengan dikelolanya
perusahaan oleh agen (FCGI, 2000). Agen dianggap sebagai orang yang memiliki
keahlian untuk menjalankan perusahaan yang tidak dimiliki oleh pemilik perusahaan.
Agen bertugas untuk kepentingan perusahaan dan memiliki kekuasaan dalam
menjalankan manajemen perusahaan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
prinsipal. Masalah timbul ketika agen mulai bertindak tidak sesuai dengan tujuan
tersebut dan berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan sendiri dengan biaya dari
prinsipal. Sebagai contoh, agen dalam hal ini manajer memiliki insentif untuk
meningkatkan kesejahteraannya sendiri dengan menggunakan fasilitas yang

dipercayakan oleh pemegang saham atau dana yang diperoleh dari pemberi pinjaman.

PENGARUH MEKANISME TATA KELOLA PERUSAHAAN….…, Eko Budi Santoso

127

Sistem Kepengurusan
Terdapat dua macam sistem atau struktur kepengurusan yang lazim diterapkan
diperusahaan-perusahaan di seluruh dunia, yaitu one-tier board system dan two-tier
board system. One-tier board adalah suatu sistem yang menggabungkan organ
pengawas dan organ pengelola berada dalam satu board yang lazim disebut Board of
Director dan umumnya dipimpin oleh seorang Chief Executive Officer (CEO) yang juga
merangkap sebagai Chairman. Direktur eksekutif bertugas sebagai lembaga pengelola
yang memimpin perusahaan sedangkan direktur non eksekutif berfungsi untuk
mengawasi jalannya perusahaan. Pada prakteknya para direktur eksekutif dan direktur
non eksekutif dalam model one tier board oleh banyak kalangan sering dinilai rancu
karena tugas dan wewenang mereka sering bercampuran. Akibatnya kita sulit
membedakan bagaimana peran masing-masing organ. Bahkan para direktur non
eksekutif dapat mempunyai tanggungjawab dan kewajiban hukum yang sama
sebagaimana para direksi lainnya di perusahaan tersebut. Hal ini ditambah lagi oleh

kondisi dimana praktek perusahaan yang menganut one-tier board cenderung
memasukkan jumlah direktur eksekutif secara mayoritas yang biasanya dihubungkan
dengan struktur dan strategi pengembangan perusahaan, di mana pada waktu tertentu
dapat menimbulkan konflik kepentingan (Gregory 2000 dalam Daniri 2005).
Pemisahannya yang tidak jelas dan porsi yang tidak berimbang antara direktur eksekutif
dan direktur non eksekutif menyebabkan sistem ini menjadi tidak efektif.
Struktur kepemimpinan dalam one-tier board memungkinkan seorang CEO
pada suatu saat berperan sebagai direktur eksekutif yang bertanggung jawab atas
kelancaran pelaksanaan manajemen perusahaan sehari-hari, tetapi pada waktu yang
bersamaan ataupun berbeda sang CEO bisa juga diminta untuk memenuhi tanggung
jawabnya sebagai pimpinan pada semua aspek pengelolaan, termasuk pengawasan.
Dengan kata lain, pada sistem one-tier board, seorang CEO diberikan jabatan formal
yang luar biasa pengaruh dan wewenangnya dalam memimpin perusahaan, sehingga
pada suatu waktu tertentu dimungkinkan timbul penyimpangan atau penyalahgunaan
wewenang untuk kepentingan tertentu yang dikategorikan sebagai masalah keagenan.
One-tier board system umumnya berkembang pada negara-negara industri
maju seperti Amerika, Inggris, Perancis dan Swiss. Negara-negara ini memiliki sejarah
yang panjang mengenai sistem mekanisme pasar, dimana segala latar belakang budaya
dan sejarah yang mereka alami ternyata menunjukkan bahwa sistem ini justru mampu
memacu pertumbuhan ekonomi dan perusahaan-perusahaan multinasional dinegara

tersebut hingga merambah ke berbagai pelosok negara lain. Namun justru dengan
gabungan peranan para direktur eksekutif dan direktur non-eksekutif dalam satu board
maka sistem GCG di perusahaan mengalami proses yang sebenarnya sangat lemah dan
tidak efektif sama sekali. Hal tersebut ditunjukkan dengan kasus ambruknya Enron.
Menurut Thompson (2003) one tier board system merupakan salam satu penyebab
jatuhnya perusahaan-perusahaan tersebut.
Sedangkan two-tier board system adalah sistem atau struktur kepengurusan
yang memisahkan antara organ pengawas (oversight/supervisory body) dengan organ
pengelola (management). Kepemimpinan di kedua organ tersebut juga dibedakan
dengan tegas. Sistem ini dipandang lebih kondusif bagi terciptanya mekanisme checks
and balances di perusahaan (Daniri, 2005). Sistem ini lazim ditemukan di perusahaan-

128

JRAK, Agustus 2010

perusahaan Eropa kontinental seperti Jerman, Perancis dan Belanda. Sistem ini
diterapkan Belanda ketika menjajah Indonesia dan diadposi sampai sekarang.
Pada sistem two-tier board, struktur kepemimpinan dewan yang independen
jelas sangat efektif untuk mengurangi masalah keagenan karena adanya pemisahanan

dalam hal kebijakan manajemen dengan kebijakan bidang pengawasan. Penyatuan tugas
pengelolaan dan pengawasan jelas tidak mungkin dalam two-tier board system, Karena
anggota dewan pelaksana dalam waktu yang bersamaan tidak boleh merangkap menjadi
anggota dewan pengawas. Hasilnya seorang direktur tidak dapat menjadi komisaris
perusahaan. Dengan demikian fungsi dan peranan yang mandiri dari dewan pengawas
dalam two-tier board system ini efektif dalam menghindari risiko terjadinya
penyimpangan seperti yang dapat terjadi pada one-tier board system. Dapat disimpulkan
bahwa keberadaan two-tier board system sejalan dengan prinsip teori keagenan. Twotier board system merupakan salah satu solusi dari konflik keagenan
Berdasarkan penjelasan diatas, negara-negara penganut two-tier board system
seharusnya memiliki kondisi tata kelola perusahaan yang lebih baik dibandingkan
dengan negara-negara penganut one-tier board system. Namun Indonesia yang
menganut two-tier board system justru mengalami keterpurukan yang lebih buruk
dibandingkan Malaysia yang menganut one-tier board system. Hal ini mengindikasikan
ada yang tidak beres dalam penerapan two-tier board system di Indonesia.
Tata Kelola Perusahaan
Shleifer dan Vishny (1997) mengemukakan bahwa tata kelola perusahaan yang
baik merupakan salah satu isu yang penting dalam masalah keagenan. Pendapat ini
didukung oleh Barton dan Wong (2006) yang menyatakan mekanisme tata kelola
perusahaan yang efektif merupakan modal dasar perusahaan untuk dapat bertahan
menghadapi kondisi perekonomian yang tidak menentu. Penelitian ini mencoba

membagi mekanisme tata kelola perusahaan ke dalam tiga komponen utama.
Struktur Kepemilikan dan Kinerja Perusahaan
Struktur kepemilikan memiliki peranan yang penting dalam mekanisme tata
kelola perusahaan. Komposisi kepemilikan akan turut menentukan komposisi dewan
pengawas dan dewan direksi. Pemegang saham mayoritas akan memiliki wakil lebih
banyak di dewan direksi maupun di dewan komisaris. Struktur kepemilikan akan
menentukan efektif atau tidaknya pengawasan terhadap direksi perusahaan.
Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham yang dimiliki oleh
institusi atau perusahaan lain. Kepemilikan insitusional umumnya memiliki porsi
kepemilikan yang besar pada perusahaan. Hal ini dikarenakan insitusi memiliki sumber
pendanaan yang lebih besar dibandingkan individu. Chaganti dan Damanpour (1991)
menyatakan kepemilikan institusional berfungsi sebagai suatu kekuatan unutuk
membatasi manajemen dalam mengambil keputusan-keputusan tertentu yang dapat
menguntungkan manajemen dengan biaya prinsipal. Sementara itu Leng (2004)
menjelaskan kepemilikan institusional akan berusaha untuk meminimalkan terjadinya
asimetri informasi. Hasil penelitian Chaganti dan Damanpour (1991) serta Leng (2004)
menunjukkan keberadaan kepemilikan institusional dapat menjadi mekanisme
pengawasan yang efektif. Berdasarkan hal tersebut, maka dihipotesiskan:
Ha1: Kepemilikan Institusional berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan


PENGARUH MEKANISME TATA KELOLA PERUSAHAAN….…, Eko Budi Santoso

129

Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan yang dimiliki oleh manajer
atau eksekutif perusahaan baik secara perorangan atau berkelompok. Morck et al.
(1988) menyatakan kepemilikan manajerial yang besar dapat meningkatkan kekuatan
bagi manajemen untuk berprilaku oportunistik. Penelitian Barnhart dan Rosentein
(1998) menemukan hubungan terbalik antara kepemilikan manajerial dan kinerja
perusahaan. Berdasarkan hal tersebut maka dihipotesiskan:
Ha2 : Kepemilikan Manajerial berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan
Struktur Dewan dan Kinerja Perusahaan
Pemisahan fungsi dalam two tier board system menghasilkan dua dewan
dengan fungsi yang berbeda, yaitu (Kurniawan dan Indriantoro, 2000): Dewan
Komsaris yang berfungsi sebagai pengawas dan penasehat dan Dewan Direksi
(termasuk manajemen) yang berfungsi sebagai eksekutif.
Berbeda dengan one tier board system, yang hanya memiliki satu dewan, yaitu
dewan direksi yang di dalamnya dipisahkan antara direksi eksekutif (manajemen) dan
direksi non eksekutif (pengawas). Penelitian yang dilakukan Denis dan Sarin (1998)
menemukan adanya hubungan yang signifikan antara struktur dewan dengan kinerja

perusahaan. Berdasarkan hal tersebut maka dihipotesiskan:
Ha3: Dewan Komisaris berpengaruh terhadap kinerja perusahaan
Ha4: Dewan Direksi berpengaruh terhadap kinerja perusahaan
Dewan independen dan Kinerja Perusahaan
Keberadaan badan atau pihak-pihak tertentu yang independen dalam memantau
perusahaan merupakan hal yang penting. Badan atau pihak ini merupakan perwakilan
dari investor mayoritas atau dapat juga perwakilan dari masyarakat sebagai stakeholder.
Saat ini badan atau pihak independen yang sudah diwajibkan dimiliki perusahaanperusahaan go publik yang ada di Indonesia adalah Komisaris Independen dan Komite
Audit. Perusahaan harus memiliki Komisaris Independen yang jumlahnya secara
proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang
saham pengendali dengan ketentuan jumlah Komisaris Independen sekurang-kurangnya
30% dari jumlah seluruh anggota komisaris.
Sedangkan untuk Komite Audit, keanggotaan Komite Audit sekurangkurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang anggota, seorang diantaranya merupakan Komisaris
Independen perusahaan tercatat yang sekaligus merangkap sebagai ketua Komite Audit,
sedangkan anggota lainnya merupakan pihak eksternal yang independen dimana
sekurang-kurangnya satu diantaranya memiliki kemampuan dibidang akuntansi dan atau
keuangan. Keberadaan badan dan pihak independen ini diatur berdasarkan Surat
keputusan Direksi BEJ nomor 315/BEJ/06-2000 yang kemudian dituangkan lebih rinci
dalam Peraturan Pencatatan Efek Nomor: 1-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan
Efek Bersifat Ekuitas di Bursa pada butir C

Penelitian yang dilakukan oleh Chtourou et al. (2001) dan Xie et al. (2001)
menemukan keberadaan dewan komisaris yang independen dan komite audit akan
membatasi praktek pengelolaan laba.
Ha5 : Komite Audit berpengaruh terhadap kinerja perusahaan

130

JRAK, Agustus 2010

Ha6 : Komisaris Independen berpengaruh terhadap kinerja perusahaan
METODA PENELITIAN
Data dan Sampel
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari laporan tahunan (financial report), Direktori Pasar Modal Indonesia
(ICMD), dan Publikasi BEJ lainnya.
Perusahaan yang menjadi sampel penelitian dipilih berdasarkan kriteria-kriteria
tertentu (purposive random sampling), yaitu: (1) perusahaan-perusahaan yang termasuk
kelompok industri manufaktur (2) terdaftar di BEJ pada tahun 2001-2003. Pada tahun
2001 mulai diberlakukan pengangkatan Komisaris Independen dan Komite Audit
Definisi Operasional Variabel Penelitian
1.

Q Tobin
Variabel Q Tobins merupakan proksi dari kinerja perusahaan, yang diukur
berdasarkan rumus yang dikembangkan oleh Chung dan Pruitt (1994).
Q Tobins = (MVE + Debt)/TA
Dimana:
Tobins Q
MVE
Debt
TA

2.

3.

4.

=
=
=
=

Kinerja Perusahaan
Jumlah saham beredar x Harga saham
(Hutang lancar – Aktiva lancar) + Hutang jangka panjang
Total Aset

Struktur Kepemilikan
Kepemilikan Institusional, diukur dengan persentase kepemilikan perusahaan
yang dimiliki oleh insitusi atau perusahaan lain. Kepemilikan Manajerial, diukur
dengan persentase kepemilikan perusahaan yang dimiliki oleh pihak manajemen.
Struktur Dewan
Dewan Komisaris, diukur dengan jumlah dewan komisaris dalam perusahaan.
Dewan Direksi, diukur dengan jumlah dewan direksi dalam perusahaan.
Dewan Independen
Komite Audit, diukur dengan jumlah anggota komite audit. Komisaris
Independen, diukur dengan jumlah anggota komisaris independen

Model Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model sebagai berikut:

QTOBIN it  b0  b1 INSTit  b2 MANJ it  b3 DKOM it  b4 DDIRit 
b5 KAUDit  b6 KINDit

131

PENGARUH MEKANISME TATA KELOLA PERUSAHAAN….…, Eko Budi Santoso

Dimana:
QTOBIN
INST
MANJ
DKOM
DDIR
KAUD
KIND

=
=
=
=
=
=
=

Kinerja perusahaan i pada tahun t
Persentase Kepemilikan Institusional perusahaan i tahun t
Persentase Kepemilikan Manajerial perusahaan i pada tahun t
Jumlah Dewan Komisaris perusahaan i pada tahun t
Jumlah Dewan Direksi perusahaan i pada tahun t
Jumlah Komite Audit perusahaan i pada tahun t
Jumlah Komisaris Independen perusahaan i pada tahun t

Pengujian model persamaan diatas dilakukan dengan resgresi Ordinary Least
Square (OLS) untuk melihat apakah variabel bebas dan variabel kontrol mempengaruhi
variabel dependen. Namun sebelumnya terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi
klasik terhadap model empiris yang digunakan, yaitu data berdistribusi normal, bebas
heteroskedastisitas, bebas multikolinieritas, dan bebas autokorelasi.
Data yang menjadi sampel penelitian adalah sebanyak 137 perusahaan dengan
411 observasi. Data outlier dikeluarkan dengan kriteria ± 3 deviasi standar diperoleh
data akhir adalah sebesar 384 observasi. Statistik Deskriptif data akhir dan korelasi dari
variabel-variabel yang digunakan dalam pengujian hipotesis dapat dilihat pada Tabel 1
dan Tabel 2.
Tabel 1
Descriptif Statistics
N

Minimum

Maximum

Mean

Std.Deviation

QTOBIN

384

-.45

2.16

.5731

.4628

INST

384

.00

.99

.6832

.2035

MANJ

384

.00

.97

3.609E-02

.1062

DKOM

384

1.00

13.00

4.2344

1.8444

DDIR

384

2.00

13.00

4.6667

1.9372

KAUD

384

.00

4.00

1.8672

1.4759

KIND

384

.00

1.00

.3142

.1571

Valid N (listwise)

384

Tabel 2
Correlation
QTOBIN
Pearson Correlation

INST

MANJ

DKOM

DDIR

KAUD

KIND

QTOBIN

1.000

-.006

-.016

.117

.234

-.268

-.192

INST

-.006

1.000

-.35

-.032

.066

-.11

-.023

MANJ

-.016

-.35

1.000

-.145

-.005

.056

.022

DKOM

.117

-.032

-.145

1.000

.130

.008

.021

132

JRAK, Agustus 2010

Sig. (1-tailed)

DDIR

.234

.066

-.005

.130

1.000

.006

-.030

KAUD

-.268

-.110

.056

.008

.008

1.000

.413

KIND

-.192

-.023

.022

.021

.021

.413

1.000

.

.453

.380

.011

.000

.000

.000

QTOBIN

N

INST

.453

.

.000

.263

.100

.016

.329

MANJ

.380

.000

.

.002

.464

.138

.331

DKOM

.011

.263

.002

.

.005

.441

.343

DDIR

.000

.100

.464

.005

.

.450

.278

KAUD

.000

.016

.138

.441

.450

.

.000

KIND

.000

.329

.331

.343

.278

.000

.

QTOBIN

384

384

384

384

384

384

384

INST

384

384

384

384

384

384

384

MANJ

384

384

384

384

384

384

384

DKOM

384

384

384

384

384

384

384

DDIR

384

384

384

384

384

384

384

KAUD

384

384

384

384

384

384

384

KIND

384

384

384

384

384

384

384

Selanjutnya, dilakukan uji asumsi klasik agar dapat memenuhi kriteria Best
Linier Unbiased Estimation (BLUE) Tabel 3, 4, 5, 6 menyajikan hasil uji normalitas,
heteroskedastisitas, multikolinieritas, dan autokorelasi.
Tabel 3
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Standardizec
Residual
N

384

Normal Parameters

ab

Mear
Std.Deviator

-7.50636E-10
.9921362

Most Extreme

Absolute

.068

Differences

Positive

.068

Negative

-.034

Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp.Sig. (2-tailed)

a. Test distribution is Normal
b. Calculated from data

1.324
.06

133

PENGARUH MEKANISME TATA KELOLA PERUSAHAAN….…, Eko Budi Santoso

Tabel 4
bc

ANOVA
Mode
1

Sum Of Squares
Regression
Residual

df

Mean Square

23.628

6

3.938

1635.021

377

4.337

F

Sig.

.908

.489 a

Total
1658.649
383
a. Predictors: (Constant), KIND, DKOM, INST, DDIR, MANJ, KAUD
b. Dependent Variable: KUAD_ZRE
c. Weighted Least Squares Regression - Weighted by ABS_ZRE2

Tabel 5
b

Mode
1

R

Model Summary
Adjusted Std.Error of
R
R
the
Square
Square
Estimate

DurbinWatson

0.38 a
0.145
0.131
0.4314
1.914
a. Predictors: (Constant), KIND, DKOM, INST, DDIR, MANJ, KAUD
b. Dependent Variable: QTOBIN

HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah memenuhi kriteria BLUE maka uji hipotesis dengan metode OLS dapat
dilakukan. Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil Penelitian

Mode
1

Unstandardizec
Coefficients
B
Std.Error

Standardizec
Coefficients
Beta

(Constant)

.524

.121

INSJ

-.107

.117

-.047

t

Sig.

4.317

.000

-.915

.361

Colleniarity Statistics
Tollerance
VIF

.856

1.168

MANJ

-1.25E-02

.225

-.003

-.055

.956

.851

1.175

DKOM

2.25E-02

.012

.090

1.836

.067

.952

1.050

DDIR

5.36E-02

.012

.224

4.651

.000

.975

1.026

KAUD

-7.48E-02

.017

-.239

-4.532

.000

.819

1.221

KIND
-.264
.154
a. Dependent Variable: QTOBIN

-.090

-1.715

.087

.827

1.209

134

JRAK, Agustus 2010

1.

Strukutur Kepemilikan
a. Hipotesis Ha1 dalam penelitian ini ditolak. Kepemilikan insititusional
berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, namun hasil ini tidak
signifikan. Hal tersebut menunjukan mekanisme pengawasan kepemilikan
institusional belum efektif
b. Hipotesis Ha2 dalam penelitian ini ditolak. Kepemilikan manajerial memiliki
pengaruh yang positif tetapi tidak signifikan. Hasil ini disebabkan masih
sedikitnya kepemilikan manajerial di perusahaan-perusahaan go publik di
Indonesia.

2.

Struktur Dewan
a. Hipotesis Ha3 diterima pada tingkat signifikansi 10%. Dewan komisaris
memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja perusahaan
b. Hipotesis Ha4 diterima dengan tingkat signifikansi 1%. Dewan Direksi
memiliki pengaruh yang yang positif terhadap kinerja perusahaan.

3.

Dewan Independen
a. Hipotesis Ha5 diterima pada tingkat signifikansi 1%. Komite Audit memiliki
pengaruh yang negatif terhadap kinerja perusahaan.
b. Hipotesis Ha6 diterima pada tingkat signifikansi 10%. Komisaris Independen
memiliki pengaruh negatif terhadap kinerja perusahan.

Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa struktur kepemilikan tidak berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan. Pelaksanaan mekanisme pengawasan oleh kepemilikan
institusional masih belum efektif. Struktur dewan memiliki pengaruh yang positif
sedangkan dewan independen justu sebaliknya. Hal ini mengindikasikan kemungkinan
terjadi penyimpangan dalam laporan keuangan, artinya laporan keuangan belum tentu
menggambarkan kinerja perusahaan yang sesungguhnya, sehingga ketika dilakukan
pengawasan oleh pihak independen ditemukan bahwa kinerja yang sesungguhnya lebih
rendah dibandingkan dengan kinerja perusahaan yang dilaporkan. Hal ini juga dapat
menimbulkan spekulasi bahwa terjadi kolusi antara pihak dewan direksi dan dewan
komisaris terhadap laporan kinerja perusahaan. Karena terdapat pengaruh yang
berlawanan antara struktur dewan dengan dewan independen terhadap kinerja
perusahaan.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa meskipun Indonesia menganut
two-tier board system, namun sistem ini belum dilaksanakan secara professional, direksi
dan komisaris dapat berkulosi dalam pelaporan kinerja perusahaan. Hal ini dapat
ditelaah dari stuktur kepemilikan perusahaan-perusahaan di Indonesia yang merupakan
kepemilikan terkonsentrasi. Claessens et al. (2000) menemukan 68,6% perusahaanperusahaan di Indonesia dikuasai oleh keluarga atau kelompok tertentu. Struktur
kepemilikan terkonsentrasi memungkinkan pihak-pihak yang duduk dalam dewan
direksi dan dewan direktur berasal dari pemilik mayoritas. Sehingga walaupun berada
pada board yang terpisah, tapi jika berasal dari kelompok yang sama, maka
kemungkinan untuk terjadi kolusi sangat besar. Hal inilah yang menyebabkan two-tier
board system walaupun suatu sistem yang ideal menjadi tidak efektif karena tingginya
konsentrasi kepemilikan. Regulator harus berupaya untuk meningkatkan proporsi pihak-

PENGARUH MEKANISME TATA KELOLA PERUSAHAAN….…, Eko Budi Santoso

135

pihak yang independen didalam perusahaan sehingga mekanisme checks and balances
bisa berjalan efektif

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan, Indonesia walaupun menganut two tier board
system, namun pelaksanaannya masih jauh dari kondisi ideal. Adanya kepemilikan
saham terkonsentasi menjadi penyebab two tier board system tidak dapat berjalan
dengan baik. Tingginya konsentrasi kepemilikan menjadi penghambat dapat
diterapkannya mekanisme tata kelola perusahaan yang baik.
Orang-orang yang duduk dalam dewan komisaris dan dewan direksi adalah
bagian dari pemegang saham mayoritas, sehingga keputusan yang diambil akan
berpihak pada pemegang saham mayoritas baik dalam pengelolaan maupun
pengawasan. Tingginya konsentrasi kepemilikan menyebabkan sulitnya diterapkan
mekanisme check and balance dalam perusahaan. Hal tersebut yang menyebabkan
perusahaan tidak memiliki dasar yang kuat dalam menghadapi krisis ekonomi.
Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam penerapan tata kelola
perusahaan yang baik adalah mengurangi tingginya konsentrasi kepemilikan.
Penambahan proporsi pihak-pihak yang independen dalam struktur dewan dan struktur
kepemilikan sangat penting untuk menjamin mekanisme checks and balances dapat
berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Barnhart, S.W. and S. R. 1998. “Board Composition, Managerial Ownership, and Firm
Performance: An Empirical Analysis”. The Financial Review 33:1-16.
Barton, D. and S.C.Y. Wong. 2006. “Improving board performance in emerging
markets”. The McKinsey Quarterly No.1: 35-43.
Chaganti R. and Damanpour, F. 1991. “Institutional Ownership, Capital Structure, and
Firm Performance”. Strategic Management Journal, Vol.12: 479-491.
Chung, K.H. and Pruitt, S.W. 1994. “A Simple Approximation of Tobin’s q”. Financial
Management, 23 (3):70-74.
Chtourou, S.M., Bedard, J. and Courteau, L. 2001. Corporate Governance and Earnings
Management. http://papers.ssrn.com.
Claessens, S., Djankov, J.P.H. and Lang, L.H.P. 2000. “The Separation of Ownership
and Control in East Asia Corporations”. Journal of Financial Economics,
58:81-112.

136

JRAK, Agustus 2010

Daily, C.M., Dalton, D.R and Rajagopalan, N. 2003. “Governance Through Ownership:
Centuries of Practice, Decades of Research”. Academy of Management
Journal, 46 (2):151-158.
Daniri, M. A., 2005. Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapannya dalam
Konteks Indonesia. Jakarta: PT. Ray Indonesia.
Denis, D.J. and Sarin, A. 1998. Ownership and Board Structures in Publicly Traded
Corporations. http://papers.ssrn.com.
Denis, D.K. 2001. “Twenty-five Years of Corporate Governance Research…and
Counting”. Review of Financial Economics, 10:191-211.
Faccio M., Lang, L.H.P. and Young, L. 2001. “Dividens and Expropriation”. American
Economic Review, 91:54-78.
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI). 2000. Tata Kelola Perusahaan.
Jensen, M.C. dan W.H. Meckling. 1976. “Theory of the Firm: Managerial Behavior,
Agency Cost, and Ownership Structure”. Journal of Financial Economics,
3:305-360.
Kurniawan, D.M. dan Nur I. 2000. Corporate Governance in Indonesia. The Second
Asian Roundtable on Corporate Governance.
La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A. and Vishny, R.W. 2000. “Investor
Protection and Corporate Governance”. Journal of Financial Economics,
58:3-27.
Leng, A.C.A. 2004. “The Impact of Corporate Governance Practices on Firms’
Financial Performance. Evidence from Malaysian Companies”. ASEAN
Economic Bulletin, 21 (3):308-318.
Morck, R., A. Shleifer, dan R.W. Vishny. 1988. “Management Ownership and Market
Valuation: An Empirical Analysis”. Journal of Financial Economics, 20:293315.
Scott, Kenneth E.1999. Corporate Governance and East Asia. http://papers.ssrn.com.
Shleifer, A. dan R.W. Vishny. 1997. “A Survey of Corporate Governance”. Journal of
Finance 52:737-783.
Sukrisno, Agoes. 2004. Good Corporate Governance Practice in Indonesia and
Malaysia. http://papers.ssrn.com.

PENGARUH MEKANISME TATA KELOLA PERUSAHAAN….…, Eko Budi Santoso

137

Thompson, R. 2003. Corporate Governance after Enron: The First Year.
http://papers.ssrn.com.
Xie, B., W.N. Davidson III, P.J. Dadalt. 2001. Earnings Management and Corporate
Governance: The Roles of the Board and Audit Committee.
http://papers.ssrn.com.