PENDAHULUAN Latar Belakang - PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA SEBAGAI UPAYA PEMBENTUKAN KECERDASAN SPIRITUAL ANAK

PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA
SEBAGAI UPAYA PEMBENTUKAN KECERDASAN SPIRITUAL ANAK
Moh. Miftahul Choiri
Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro
choirinafik90@gmail.com

Abstrak: This article aims to identify the role of moral education in the family as an
effort to form the spiritual intelligence of children. Lately the spotlight on morals is quite
serious in other words the quality of morality is still far from expectations. The quality of
morality should always be strived to be better again. The family as the first and main
educational environment is a solid foundation in the process of moral formation. Moral
formation requires early habituation because morals can not be formed in a short time.
The existence of the role of education, especially family education will be very helpful in
the formation of the main person. The family is one of the institutions that are responsible
for the implementation of education that will determine the success or failure of children's
education. Therefore, parents in Islam have an obligation to provide education and
guidance to their children as one of the mandate of Allah SWT. Children are in need of
education from their parents, so that he grows and develops into a child who has good
character, and has a good spiritual intelligence.
Keywords: Pendidikan karakter, keluarga, kecerdasan spiritual.


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan. Pendidikan sama
sekali tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Pendidikan itu mutlak sifatnya, baik dalam
kehidupan keluarga maupun masyarakat. Menurut Ki Hajar Dewantoro dalam bukunya
Indrakusuma (1973: 108) berpendapat bahwa ada tiga lingkungan pendidikan yang dikenal
dengan tripusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Secara prinsipil
keluarga adalah lembaga pertama yang melakukan pendidikan terhadap anak, karena itu
keluargalah yang meletakkan fondasi pertama bagi hari depan anaknya. Selain itu keluarga juga
berfungsi sebagai lingkungan anak yang faktor-faktor kondisional dan situasional dapat
memberikan pengaruh menguntungkan atau merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan
anak.
Keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan yang utama, karena dalam keluarga
inilah anak pertama-tama mendapatkan pendidikan, dan dikatakan utama karena pendidikan dan
bimbingan anak itu paling banyak dilaksanakan dalam lingkungan keluarga. Berdasarkan atas
adanya hubungan yang bersifat kodrati antara anak dan orang tua, Zakiah daradjat menyatakan
bahwa orang tua merupakan Pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian
orang tua, sikap, dan cara hidup mereka, merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak
langsung yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh.
Daradjat (1997:56). Selain itu menurut Muchtar (1993:10) menyatakan bahwa secara sosiologis,

keluarga mempunyai fungsi pendidikan. Fungsi ini mempunyai hubungan yang erat dengan
masalah tanggung jawab orang tua sebagai pendidik pertama bagi anak-anak sehingga upaya

pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga, disatu pihak sebagai lingkungan pendidikan
pertama dan di pihak lain sebagai lingkungan pendidikan sepanjang hayat.
Sebagai pusat pendidikan pertama, keluarga mempunyai tugas fundamental dalam
mempersiapkan anak bagi peranannya di masa depan. Dasar-dasar perilaku, sikap hidup dan
berbagai kebiasaan ditanamkan kepada anak dalam lingkungan keluarga. Semua dasar yang
menjadi landasan bagi pengembangan pribadinya itu tidak mudah berubah. Oleh sebab itu,
penting sekali diciptakan lingkungan keluarga yang baik, dalam arti menguntungkan bagi
kemajuan dan perkembangan pribadi anak serta mendukung tercapainya tujuan yang dicitacitakan. Pergaulan anak sehari-hari dengan lingkungan keluarganya itu akan membentuk
karakter, watak dan sikap serta kepribadian anak. Ma’ruf Noor (1980:17). Oleh karena itu,
keluarga harus membentuk dan menumbuhkan kepribadian anak kearah yang kuat dengan
memberikan pengalaman atau kebiasaan yang baik, nilai-nilai akhlak yang tinggi serta
kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama (Islam). Nilai-nilai akhlak yang ditanamkan dalam
keluarga sejak dini pada anak-anak dengan sendirinya akan menjadi bagian dari unsur-unsur
kepribadiannya.
Keluarga sebagai lembaga atau badan pertama dan utama yang harus terpenuhi oleh
kebutuhan jasmani dan rohani, maka pendidikan dalam keluarga harus dan merupakan
pendidikan pendahuluan atau persiapan bagi pendidikan dalam sekolah atau masyarakat. Oleh

karena itu pendidikan keluarga bertujuan sebagai berikut: Syaifullah (1982:110). pertama,
membentuk budi pekerti. Seorang anak diberikan dan ditanamkan norma-norma tentang
pandangan hidup tertentu, meskipun dalam bentuk sederhana dan langsung dalam bentuk
praktik dalam kehidupan sehari-hari; kedua, membentuk jiwa sosial. Seorang anak diberikan
kesempatan dan latihan secara praktis tentang bagaimana bergaul antara manusia dan antara
sebayanya sesuai dengan tuntunan kebudayaan tertentu; ketiga, menanamkan sikap
nasionalisme. Para orang tua hendaknya menanamkan kepada anaknya sikap nasionalisme,
patriotisme serta cinta tanah air; keempat, menanamkan kebiasaan. Menanamkan kebiasaan
sangat berguna bagi pembinaan kepribadian yang baik dan wajar dimana anak diberikan
kesempatan untuk hidup dan tertib tanpa dirasakan adanya suatu paksaan dari luar pribadinya.
Adapun salah satu cara untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan sejahtera yaitu
adanya pendidikan yang baik dan tepat dalam lingkungan keluarga. Hal demikian karena
pendidikan keluarga memiliki beberapa fungsi: Hasbullah (1999:39). Pertama, sebagai
pengalaman pertama masa kanak-kanak. Pendidikan keluarga memberikan pengalaman pertama
yang merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak. Suasana pendidikan
keluarga ini sangat penting untuk diperhatikan, sebab dari sinilah keseimbangan jiwa dalam
perkembangan individu selanjutnya ditentukan. Kedua, menjamin kehidupan emosi anak.
Dalam kehidupan keluarga maka rasa emosional atau kebutuhan rasa kasih sayang anak dapat
terjamin dengan baik. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan darah antara orang tua dan
anak. Terjadinya kehidupan emosional anak pada waktu kecil berarti menjamin pembentukan

pribadi anak selanjutnya. Ketiga, Penanaman dasar pendidikan moral. Dalam pendidikan
keluarga, maka pendidikan ini menyentuh pendidikan moril anak-anak karena di dalam
keluargalah terutama tertanam dasar-dasar pendidikan moril, melalui contoh-contoh yang
konkret dalam perbuatan hidup sehari-hari.
Hasan langgulung mengatakan diantara kewajiban keluarga adalah: Langgulung (1979:
79). Pertama, memberi contoh yang baik bagi anak-anaknya dalam berpegang teguh kepada
akhlak mulia. Sebab orang tua yang tidak berhasil menguasai dirinya tentulah tidak sanggup
meyakinkan anak-anaknya untuk memegang akhlak yang diajarkannya. Kedua, menyediakan

bagi anak-anaknya peluang-peluang dan suasana praktis dimana mereka dapat mempraktikkan
akhlak yang diterima dari orang tuanya. Ketiga, memberi tanggung jawab yang sesuai kepada
anak-anaknya supaya mereka merasa bebas memilih dalam tindakannya. Keempat,
menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi mereka dengan sadar dan bijaksana.
Selanjutnya Baqir menegaskan bahwa keluarga merupakan salah satu elemen pokok
pembangunan entitas-entitas pendidikan, menciptakan proses-proses naturalisasi sosial,
membentuk kepribadian-keperibadian, serta memberi berbagai kebiasaaan baik pada anak-anak
yang terus bertahan selamanya, dengan kata lain bahwa keluarga merupakan benih awal
penyusunan kematangan individu dan struktur kepribadian, dengan demikian maka keluarga
merupakan elemen pendidikan lain yang paling nyata, tepat dan amat besar. Al-Qarasyi (2003:
46).

Peranan keluarga terhadap perkembangan anak sangat memiliki tempat yang penting,
gambaran ini tidak diragukan lagi, bahwa keluarga memiliki dampak yang besar dalam
pembentukan perilaku individu serta pembangunan vitalitas dan ketenangan dalam benak anakanak. Melalui peranan keluarga, anak-anak mendapatkan bahasa, nilai-nilai, serta
kecenderungan mereka. Keluarga menyumbang secara langsung pada pembangunan peradaban
umat manusia dan hubungan asosiatif di antara orang-orang. Keluarga membawa seseorang
untuk belajar prinsip-prinsip sosiologi dan eksisnya banyak profesi dan karier yang orang tua
transfer terhadap anak-anak mereka. Keberlangsungan keluarga dalam mengoptimalkan
kesejahteraan lahir dan batinnya anak manusia sangat memiliki peran yang strategis
dibandingkan lembaga pendidikan lainnnya, karena keluarga secara umum merupakan tempat,
di mana anak didik menghabiskan sebagian besar waktunya sehari-hari. Zakaria (2000: 99).
Maka dari itu penumbuh kembangan nilai-nilai akhlak bagi anak bukan hanya pada kepuasan
secara yuridis formal, akan tetapi adanya peningkatan kualitas aplikatif praktis akan nilai-nilai
akhlak dalam kehidupan anak di lingkungan keluarga.
Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah).
Keluarga merupakan basis dari ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat
menentukan keadaan ummah itu sendiri. Bangsa terbaik (khayr ummah) yang merupakan
ummah wahidah (bangsa yang satu) dan ummah wasath (bangsa yang moderat), sebagaimana
dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang dibangun dan dikembangkan
atas dasar mawaddah wa rahmah. Sehingga dalam keterangan lain menegaskan bahwa
kehidupan kekeluargaan, di samping menjadi salah satu tanda dari sekian banyak tanda-tanda

kebesaran Ilahi, juga merupakan nikmat yang harus dimanfaatkan sekaligus disyukuri. Dapat
dipahami bahwa peran pendidikan keluarga sangat penting dalam rangka membentuk rasa cinta
dan kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya. Karena sebuah keluarga yang dibentuk
dengan rasa kasih sayang dan cinta kasih akan menimbulkan dampak positif pertumbuhan dan
perkembangan anak-anaknya. Anak akan merasa tenang, tenteram, dan bahagia serta jauh dari
kekacauan, kesulitan dan penyakit-penyakit batin yang dapat membawa mereka kepada hal-hal
yang dilarang oleh agama karena mereka selalu dididik dan dibina dalam rumah tangga yang
baik dan harmonis.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah Library Research
(penelitian kepustakaan), karena data yang diteliti berupa naskah-naskah, buku-buku yang
bersumber dari khazanah kepustakaan. Sedangkan teknik pengumpulan data menggunakan
metode dokumentasi. Teknik ini digunakan oleh penulis dalam rangka mengumpulkan data
yang berkaitan dengan Peran Pendidikan Karakter dalam Keluarga. Teknik analisis data
menggunakan analisis isi (content analysis) dipergunakan untuk menarik kesimpulan yang sahih

dari berbagai sumber atau referensi yang berhubungan dengan topik yang diangkat dalam
penulisan artikel ini, yaitu “ Peran Pendidikan Karakter dalam Keluarga Sebagai Upaya
Pembentukan Kecerdasan Spiritual Anak”. Adapun langkah-langkahnya adalah dengan
menseleksi teks yang akan ditulis, menyusun item-item yang spesifik dan melaksanakan
penelitian. Soejono (1999: 13).

PEMBAHASAN
Urgensi Pendidikan Karakter dalam Keluarga
Secara etimologis (lughatan) akhlaq (bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq
yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang
berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan).
Kesamaan akar kata tersebut mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercakup pengertian
terciptanya keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dengan perilaku mahkluq (manusia).
Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru
mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan
kepada kehendak Khaliq (Tuhan). Ilyas (2009:1). Kata yang setara maknanya dengan akhlak
adalah moral dan etika. Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata
krama atau sopan santun. Ismail (1988:178). Istilah sekarang adalah karakter yang juga
memiliki makna hampir sama dengan akhlak, moral, dan etika. Tetapi seluruh istilah tersebut
merupakan bagian yang menguatkan nilai-nilai kebaikan pada manusia hanya sudut pandang
penyesuaiannya saja menimbulkan perbedaan mengenai istilah tersebut.
Secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian yang sama, yakni samasama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan
buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk
mengkaji sistem nilai, sedang moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang. Etika memandang perilaku secara universal, sedang moral
memandangnya secara lokal. Sa’id (1986:23). Bertolak dari penjelasan istilah dan keterangan

ayat tentang akhlak yang mulia tersebut, maka para ahli pengkaji akhlak memberikan
keterangannya tentang akhlak, antara lainnya sebagaimana ditegaskan oleh Harun Nasution
bahwa akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan
antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun. Nasution (1992:98).
Istilah akhlak Ibn Maskawaih mendefenisikan akhlak sebagai suatu keadaan jiwa atau
sikap mental yang menyebabkan individu bertindak tanpa pikir atau dipertimbangkan secara
mendalam. Maskawaih (1329H:25). Abu Hamid al-Ghazali mendefenisikan akhlak sebagai sifat
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan. Al- Ghazali (1989:58). Akhlak atau khuluq yang sifatnya tertanam
dalam jiwa manusia, ia akan muncul secara spontan atau internalisasi motive dalam diri
seseorang. Bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu,
serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Ilyas (2009:2). Agar terbentuknya insan yang
berakhlak mulia, tentu saja ada suatu tuntutan bagaimana proses pendidikan yang dijalankan
mampu mengantarkan manusia menjadi pribadi yang utuh, baik secara jasmani maupun rohani.
Sudarwan (2006:65). Akhlak adalah kehendak jiwa atau kelakuan yang timbul dari hasil
perpaduan antara hati nurani, pikiran dan perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu
membentuk satu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dari

kelakuan itu, lahirlah perasaan moral (moral sence) yang terdapat di dalam diri manusia sebagai

fitrah sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan bermanfaat serta sebaliknya.
Pendidikan akhlak memang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik secara
individu maupun keluarga. Dalam hal ini yang pertama kali menentukan adalah pendidikan
akhlak yang diterima seseorang dalam keluarga. Oleh sebab seorang atau individu, pertama kali
berkomunikasi dan mendapat rangsangan dari keluarga. Jika dalam keluarga itu, anggota
keluarga tidak dapat melakukan fungsinya sebagai pendidik (pendidikan akhlak), maka
keberhasilan pendidikan di luar keluargapun akan sulit tercapai. Hal ini dikarenakan pendidikan
akhlak dalam keluarga merupakan dasar dari ajaran seseorang dan merupakan faktor penting
dalam pembentukan akhlak seseorang. Djatnika (1987:82). Begitu pentingnya akhlak dan
penanamannya dalam jiwa anak, maka Rasulullah SAW jauh-jauh hari telah menganjurkan
kepada orang tua agar mendidik anaknya dengan akhlak mulia. Sebagaimana beliau bersabda:
“Dari Anas bin Malik sesungguhnya ia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah mereka dengan akhlak yang baik”. (H.R. Ibnu
Majah).
Terjemah hadits di atas merupakan peringatan langsung dari Rasulullah SAW. Jika anak
tidak pernah disayangi dan dididik dengan akhlak yang baik, maka dampaknya akan bisa
dirasakan langsung oleh orang tua. Tepat sekali kalau Rasulullah SAW menganjurkan kepada
orang tua agar memberi contoh tingkah laku yang baik pada anaknya. Memberikan pendidikan
akhlak kepada anak harus diajarkan sejak kecil, agar mereka terbiasa berlaku sopan dan punya
kepribadian luhur. Penanaman akhlakul karimah sejak kanak-kanak merupakan dasar bagi

pembentukan kepribadian anak. Menurut Mahmud tujuan pendidikan akhlak adalah agar
manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah
digariskan oleh Allah swt., inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Pendidikan akhlak memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia, karena ia cocok
dengan realitas kehidupan mereka dan sangat penting dalam mengantarkan mereka menjadi
ummat yang paling mulia di sisi Allah swt. Selanjutnya seiring dengan penjelasan tersebut
menurut Mahmud bahwa pendidikan akhlak bertujuan mempersiapkan insan beriman dan saleh
yang bisa berinteraksi secara baik antara sesamanya, baik dengan orang muslim maupun orang
non muslim. Selanjutnya mampu bergaul dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya dengan
mencari ridho Allah, yaitu dengan mengikuti ajaran-Nya dan petunjuk-petunjuk Nabi-Nya,
dengan demikian maka semua ini dapat tercipta kestabilan masyarakat dan kesinambungan
hidup umat manusia. Adanya pendidikan akhlak diharapkan seseorang itu dapat membaca dan
memahami akhlak yang akhirnya mengamalkannya. Sebab manusia bukanlah sesuatu yang
tinggal diam di dalam dirinya, ia secara terus menerus berada dalam proses menangkap dan
menemukan dirinya dengan membangun dunianya. Asror (2007:206).
Dilihat dari segi kedudukannya, pendidikan akhlak memiliki landasan normatif-teologis
dan yuridis yang amat kuat. Sehingga kehadiran pendidikan akhlak di tengah-tengah masyarakat
Islam baik secara historis maupun masa depan sangat diperlukan. Oleh karena itu, tugas dunia
pendidikan khususnya lingkungan pendidikan keluarga semakin berat untuk membentuk bukan

saja insan yang siap berkompetisi, tetapi juga mempunyai akhlak mulia dalam segala
tindakannya sebagai salah satu modal sosial (capital sosial). Agar terbentuknya insan yang
berakhlak mulia, tentu saja ada suatu tuntutan bagaimana proses pendidikan yang dijalankan
mampu mengantarkan manusia menjadi pribadi yang utuh, baik secara jasmani maupun rohani.
Danim (2006:65). Pendidikan akhlak muncul sebagai respon terhadap kemerosotan akhlak

masyarakat yang sampai saat ini dalam fenomena keseharian menunjukkan, perilaku yang
belum sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan sehingga muncul berbagai persoalan, dengan
demikian kedudukan pendidikan akhlak sangat diperlukan.
Pertama secara normatif-teologis, pendidikan akhlak menjadi misi dan agenda agama
Islam. Sebagaimana yang umumnya diketahui bahwa ajaran tentang hubungan manusia dengan
Allah SWT, manusia dengan manusia dan dengan alam dalam ajaran Islam sangat berkaitan erat
dengan akhlak. Gambaran ini ditegaskan oleh Langgulung bahwa pertumbuhan spiritual dan
moral melalui pendidikan akhlak dapat menolong individu menguatkan iman, akidah dan
pengetahuannya terhadap Tuhannya dengan hukum-hukum, ajaran-ajaran dan moral agamanya.
Langgulung (1992:31). Begitu juga kedudukan pendidikan akhlak secara normatifteologis dapat
membentuk keinginan yang betul dalam melaksanakan tuntutan tuntutan iman yang kuat kepada
Allah dan pemahaman yang sadar terhadap ajaran-ajaran agama dan nilai-nlainya dalam
kehidupan sehari-hari dan pada seluruh bentuk tingkah lakunya dan dengan hubunganhubungannya dengan Tuhannya, dengan orang-orang lain dan seluruh mahkluk yang lain.
Perkembangan kedudukan pendidikan akhlak dapat dilihat dari peristiwa Nabi
Muhammad saw sebagai tokoh historis, sebagaimana dalam keterangan Abuddin Nata bahwa
pendidikan akhlak secara historis merupakan respon terhadap adanya kemorosotan akhlak pada
masyarakat dengan karakter budaya kota, yaitu masyarakat yang cenderung ingin serba cepat,
tergesa-gesa, pragmatis, hedonistik, materialistik, penuh persaingan yang tidak sehat,
permissive, mengambil keputusan serba cepat, dan menghadapi berbagai masalah: sosial,
ekonomi, politik, budaya, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Masyarakat yang hidup dalam
karakter budaya kota tersebut merupakan perhatian utama pendidikan akhlak lahirnya agama
Islam di Makkah dan berkembang di Madinah merupakan sampling yang representative tentang
perlunya agama ini mampu membentuk akhlak masyarakat pada budaya kota tersebut. Jika
Islam telah berhasil membentuk akhlak pada masyarakat budaya kota, maka untuk membentuk
akhlak pada masyarakat budaya desa akan lebih mudah lagi. Dengan demikian, keberhasilan
Nabi Muhammad saw, dalam menetapkan kebijakan, taktik, strategi dan pendekatan dalam
membentuk akhlak mulia pada masyarakat budaya kota Makkah dan Madinah tersebut perlu
dijadikan model. Abuddin (2012:212). Maka secara normatif-telogis pendidikan akhlak yang
dilakukan oleh Rasullah saw telah memberikan sebuah perubahan masyarakat yang patut
dijadikan rujukan dalam menyelesaikan persoalan akhlak saat ini.
Peranan Orang Tua dalam Penanaman Karakter
Keluarga yang menghadirkan anak ke dunia ini, secara kodrat bertugas mendidik anak.
Sejak kecil, anak hidup, tumbuh dan berkembang di dalam keluarga. Seluruh isi keluarga yang
mula-mula mengisi pribadi anak. Orang tua dengan secara tidak direncanakan menanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang diwarisi nenek moyang dan pengaruh-pengaruh lain yang diterima
dari masyarakat. Orang tua memiliki kedudukan tersendiri dimata anak, bagi anak keduanya
merupakan rujukan pertama di saat anak sedang menghadapi persoalan. Dalam hal ini orang tua
dituntut pertanggungjawabannya dalam mendidik dan membimbing anak. Orang tua wajib
mengarahkan masa depan anak yang harus disesuaikan dengan masing-masing kepribadian anak
tersebut, karena arahan dan motivasi orang tua sangatlah penting untuk masa depan anak.
Karena tanpa itu semua dikhawatirkan anak akan salah dalam menentukan masa depannya.
Sehingga berakibat tidak baik terhadap masa depan anak itu sendiri.
Orang tua memiliki kewajiban dalam mempedulikan, memperhatikan, dan mengarahkan
anak-anaknya. Karena anak merupakan amanat yang diberikan oleh Allah kepada orang tua,

maka orang tua berkewajiban menjaga, memelihara, memperhatikan, dan menyampaikan
amanat dengan cara mengantarkan anak-anaknya untuk mengenal dan menghadapkan diri
kepada Allah. Orang tua harus berusaha dengan sepenuh hati menjadi ayah dan ibu yang
pertama bagi anak-anaknya. Mereka pun harus menjaga diri dari perbuatan dosa dan terhindar
dari segala bentuk kejahatan. Keberadaan orang tua yang memiliki kekuatan integritas moral
dan spiritual, kebajikan dan perhatian yang baik akan sangat membantu dalam membesarkan
anaknya. Kurniawan (1993:28). Peran orang tua adalah sebagai penyelamat anak dunia dan
akhirat, khususnya dalam menumbuhkan akhlak mulia bukanlah tugas yang ringan.
Pertumbuhan fisik, intelektual, emosi dan sikap sosial anak harus diukur dengan kesesuaian
nilai-nilai agama melalui jalan yang diridhai Allah SWT. Oleh karena itu perlu adanya
pembagian peran dan tugas antara seluruh anggota keluarga, masyarakat, dan lembaga yang
bertanggung jawab atas terbentuknya akhlak mulia seorang anak. Mushoffa (2009:37).
Peran orang tua yang satu dengan yang lainnya terhadap anaknya sudah tentu berbedabeda. Hal ini dilatar belakangi masalah pendidikan orang tua yang berbeda-beda maupun
pekerjaannya. Dan dalam hal ini akan penulis paparkan bentuk-bentuk peran orang tua terhadap
anak antara lain; pertama, memberikan arahan dan bimbingan. Pengarahan dan bimbingan
diberikan kepada anak terutama pada hal-hal yang baru yang belum pernah anak ketahui. Dalam
memberikan bimbingan kepada anak akan lebih baik jika diberikan saat anak masih kecil. Orang
tua hendaknya membimbing anak sejak lahir ke arah hidup sesuai ajaran agama, sehingga anak
terbiasa hidup sesuai dengan nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh agama. Kedua, memberikan
motivasi. orang tua harus dapat memberikan motivasi kepada anaknya, dalam hal ini anak juga
sangat membutuhkan motivasi orang tua. Karena apa yang mereka lakukan belum tentu mereka
mengerti. Seperti yang telah dikatakan Zakiah Derajat bahwa: “Sebenarnya yang sangat
dibutuhkan anak bukanlah benda-benda atau hal-hal lahir, tetapi lebih penting dari itu adalah
kepuasan batin, merasa mendapat tempat yang wajar dalam hati Bapak Ibunya. Mungkin saja
kebutuhan materiil kurang terpenuhi karena orang tuanya tidak mampu, namun ia cukup
merasakan kesayangan dari kedua orang tuanya itu” Darajat (1976:469).
Peran orang tua yang ketiga, yaitu memberikan teladan yang baik. Keteladanan menjadi
hal yang sangat dominan dalam mendidik anak. Pada dasarnya anak akan meniru apa saja yang
dilakukan oleh orang-orang yang ada disekitarnya terutama keluarga dekatnya, dalam hal ini
adalah orang tua. oleh karena itu apabila orang tua hendak mengajarkan tentang makna
kecerdasan spiritual pada anak, maka orang tua seharusnya sudah memiliki kecerdasan spiritual
juga. Supardi (2010:36). Pengaruh yang kuat dalam pendidikan anak adalah teladan orang tua.
Karena dapat memberikan gambaran yang jelas untuk ditirukan. Oleh karena itu, perlu disadari
dan diperhatikan agar orang tua dapat memberikan contoh yang baik dan benar. Mengenai akan
hal itu, Zakiah Darajat berpendapat orang tua harus memberi contoh dalam hidupnya (anak),
misalnya biasa beribadah shalat, dan berdoa kepada Tuhan, di samping mengajak anak untuk
meneladani sikap tersebut. Orang tualah cermin bagi anak-anak dan contoh yang paling dekat
untuk ditiru. Darajat (1977:87). Keempat, memberikan pengawasan kepada anak. Pengawasan
merupakan hal yang sangat penting sekali dalam mendidik anak-anak, karena dengan
pengawasan, perilaku anak dapat terkontrol dengan baik, sehingga apabila anak bertingkah laku
yang tidak baik dapat langsung diketahui dan kemudian dibenarkan. Dengan demikian
pengawasan kepada anak hendaknya diberikan sejak kecil, sehingga segala tingkah laku yang
dilakukan oleh anak dapat diketahui secara langsung.
Kewajiban serta peran orang tua yang kelima, yaitu mencukupi fasilitas belajar.
Fasilitas mempunyai peranan penting dalam suatu proses pekerjaan. Begitu pula masalah

fasilitas belajar juga mempunyai peranan penting dalam pendidikan. Menyediakan fasilitas
belajar yang dimaksud di sini adalah alat tulis, buku tulis, buku-buku ini pelajaran dan tempat
untuk belajar. Hal ini dapat mendorong anak untuk lebih giat belajar, sehingga dapat
meningkatkan prestasi belajar. Setelah anak memasuki masa sekolah maka tanggungjawab
keluarga khususnya orang tua dalam pendidikan intelektual bertambah luas. Sudah menjadi
kewajiban keluarga dalam hal ini adalah menyiapkan suasana belajar yang sesuai untuk belajar,
mengulangi pelajaran, mengerjakan tugas, mengikuti kemajuan sekolah, bekerjasama dengan
sekolah untuk menyelesaikan masalah pelajaran yang dihadapinya. Langgulung (1995:367).
Semua orang dewasa dapat menjadi model bagi anak: guru, anggota keluarga, teman,
orang tua, atau kakek nenek. Tetapi model yang paling penting adalah orang tuanya. Hal yang
paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anakanaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak secara tidak sadar mereka akan
terpengaruh, maka kedua orang tua di sini berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan
pada tataran teoritis maupun praktis. Ayah dan Ibu sebelum mereka mengajarkan nilai-nilai
agama dan akhlak serta emosional kepada anak-anaknya, pertama mereka sendiri harus
mengamalkannya. Munandar (2009:93). Pendidikan agama jika diajarkan sejak usia dini akan
membawa berkah bagi keluarga tersebut, seperti pada agama Islam diatur segala aspek
kehidupan manusia, baik hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan diri sendiri,
manusia dengan manusia lainnya maupun manusia dengan alam sekitarnya. Syafaruddin
(2006:61). Berkaitan dengan potensi yang dimiliki anak sejak lahir, hadis yang diriwayatkan
Bukhârî dari Abû Hanifah: “Setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah, maka kedua orang
tuanya yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi”.
Potensi yang ada pada setiap anak perlu digali oleh kedua orangtuanya agar mempunyai
kecerdasan spiritual sejak usia dini. Jika keluarga dapat mengarahkan anaknya sejak usia dini
agar melalui agama Islam, anak dibiasakan berzikir untuk mengingat Allah, doa, istighfar,
puasa, dan salat merupakan rangkaian ibadah yang dapat membentuk anak menjadi sehat
mentalnya sejak usia dini. Jika anak sejak usia dini sudah diberikan pemahaman untuk
menumbuhkembangkan sifat-sifat terpuji (mahmudah) dan menghilangkan sifat-sifat tercela
(mazmumah), akan didapatkan masa depan anak yang tidak membuat masalah bagi kedua
orangtuanya. Keluarga sebagai pendamping anak pada saat anak berada di rumah akan
membekali anak dengan jiwa yang sehat melalui agama yang berfungsi sebagai terapi bagi jiwa
yang gelisah dan terganggu. Orangtua yang mempunyai anak soleh akan berbahagia baik ketika
di Dunia maupun di Akhirat kelak.
Proses Pembentukan Kecerdasan Spiritual Anak
Dalam terminologi Islam, dapat dikatakan bahwa SQ adalah kecerdasan yang bertumpu
pada qalb. Qalb inilah yang sebenarnya merupakan pusat kendali semua gerak anggota tubuh
manusia.Ia adalah raja bagi semua anggota tubuh yang lain. Semua aktivitas manusia berada di
bawah kendalinya. Jika qalb ini sudah baik, maka gerak dan aktivitas anggota tubuh yang lain
akan baik pula. Demikian juga sebaliknya. Hasan (2006:63). Kecerdasan spiritual dapat
dimaknai sebagai kemampuan hati nurani yang lebih bermakna dibanding dengan semua jenis
kecerdasan yang lain, karena kecerdasan spiritual ini merupakan kemampuan menempatkan
segala perilaku dan hidup dalam konteks kebermaknaan yang lebih luas. Zohar (2002:4).
Zohar dan Marshall mengemukakan bahwa kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan
untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,

kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna di
bandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang di perlukan untuk memfungsikan IQ
dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita. Hidayatullah
(2009:207). Selanjutnya Ary Ginanjar Agustian mendefinisikan bahwa kecerdasan spiritual
(SQ) adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah pada setiap perilaku dan kegiatan
melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (hanif),
dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik) serta berprinsip hanya karena Allah. Agustian
(2001:57).
Dalam bukunya yang berjudul ESQ, Ary Ginanjar menyatakan bahwa setidaknya ada
tujuh spiritual core value (nilai dasar ESQ) yang diambil dari Asmaul Husna yang harus di
junjung tinggi sebagai bentuk pengabdian manusia kepada sifat Allah yang terletak pada pusat
orbit (God Spot) yaitu: jujur, tanggung jawab, disiplin, kerjasama, adil, visioner, peduli.
Agustian (2005:90). Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual, ketika menghadapi persoalan
dalam hidupnya, tidak hanya dihadapi dan dipecahkan dengan rasional dan emosi saja, tetapi ia
menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Dengan demikian, langkahlangkahnya lebih matang dan bermakna kehidupan. Azzet (2010:42).
Kecerdasan spiritual anak dapat dikembangkan dengan cara antara lain: pertama,
bimbingan ke arah hidup mandiri. Hal ini sesuai dengan anjuran Nabi Muhammad SAW, agar
kehidupan seseorang tidak menjadi beban bagi orang lain. Kedua, pola hidup sederhana, tidak
boros dan juga tidak kikir. Ketiga, menjauhi sikap serakah yang berlebihan sehingga melebihi
batas yang telah ditentukan oleh agama. Keempat, menumbuhkan sikap selalu ingin maju
dalam proses kehidupan. Islam adalah agama yang dinamis yang menghendaki agar
penganutnya selalu maju dan berkembang. Ahid (2010:142). Zakiah Daradjat mengatakan agar
anak memiliki kecerdasan rohani yang baik maka setidaknya orang tua harus melakukan hal
berikut pada anak; pertama, menumbuh kembangkan dorongan dari dalam yang bersumber pada
iman dan taqwa sehingga diperlukan pendidikan agama pada diri seorang anak. Kedua,
meningkatkan pengetahuan tentang akhlak al-Qur’an lewat ilmu pengetahuan, pengalaman, dan
latihan agar dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ketiga, meningkatkan
pendidikan kemauan yang menumbuhkan pada manusia kebebasan memilih yang baik dan
melaksanakannya sehingga kemauan itu akan mempengaruhi pikiran dan perasaan. Keempat,
latihan untuk melakukan yang baik serta mengajak orang lain untuk bersama-sama melakukan
perbuatan baik tanpa paksaan. Kelima, pembiasaan dan pengulangan melaksanakan yang baik,
sehingga perbuatan baik itu menjadi keharusan moral dan perbuatan akhlak terpuji, kebiasaan
yang mendalam, tumbuh dan berkembang secara wajar dalam diri anak. Daradjat (1995:10).
Penutup
Upaya pembinaan karakter atau akhlak harus selalu diupayakan dengan usaha yang sungguhsungguh. Pembinaan karakter bisa diterapkan melalui berbagai metode yaitu melalui lembaga
pendidikan formal atau informal seperti pendidikan keluarga. Hal ini dilakukan karena
permasalahan karakter adalah sangat urgent yang menentukan baik tidaknya seorang anak.
Tujuan dari pembinaan karakter yaitu untuk membentuk pribadi Muslim yang mempunyai
akhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, taat kepada orang tua, serta agar dapat
membedakan antara yang baik dan buruk. Hendaknya pembinaan karakter pada anak dilakukan
secara terus menerus, dengan usaha maksimal, agar tujuan yang diinginkan terwujud. Potensi
rohaniah yang ada dalam diri anak termasuk didalamnya akal, nafsu, fitrah, kata hati, hati nurani
dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat sehingga dengan upaya-upaya di

atas pendidikan karakter terwujud dengan baik. Ketika anak mempunyai karakter yang bagus
maka dengan sendirinya akan memiliki kesholihan spiritual atau kecerdasan spritual yang dapat
diunggulkan. Pada akhirnya generasi penerus menjadi generasi yang sholih-sholihah serta
berguna bagi agama, nusa dan bangsa
Daftar Rujukan
Agustian, Ari Ginanjar.2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi Dan Spiritual
berdasarkan 6 Rukun Iman Dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga.
Abuddin.2012. Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-Isu Kontemporer tentang Pendidikan
Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Al-Ghazali, Abu Hamid.1989. Ihya Ulum al-Din. Bairut: Dar al-Fikr.
Al Qarashi, Baqir Sharif. 2003. Seni Mendidik Islami, Terj. Mustofa Budi Santoso. Jakarta:
Pustaka Zahra.
Ahid, Nur. 2010. Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azzet, Akhmad Muhaimin. 2010. Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Bagi Anak.
Yogyakarta: kata Hati.
Asror, Ahidun. 2007. “Ritual Islam Tradisional: Rekontruksi Nilai Lokal dan Proses
Pembentukannya”, dalam Istiqro, Jurnal Penelitian Islam Indonesia.
Daradjat, Zakiyah.1997. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
-----.1976. Perawatan Jiwa untuk Anak-anak. Jakarta: Bulan Bintang.
-----. 1995. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: CV. Ruhana.
-----. 1977. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Jakarta, Bulan Bintang.
Danim, Sudarwan. 2006. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Danah Zohar dan Ian Marshall. 2002. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir
Integralistik Dan Holistic Untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan Media Utama.
Djatnika, Rahmat. 1987. Sistem Etika Islam. Surabaya: Pustaka Pelajar.
Hasbullah.1999. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Umum dan Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Hasan, Abdul Wahid. 2006. SQ Nabi : Aplikasi Strategi & Model Kecerdasan Spiritual (SQ)
Rasulullah di Masa Kini. Yogyakarta : Ircisod.
Hidayatullah, Furqon. 2009. Membangun Insan Berkarakter Kuat Dan Cerdas. Surakarta:
Yuma Pustaka.
Ibnu Yazid Al-Quzwin, Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad. Sunan Ibnu Majah, Jilid II.
Maktabah Dahlan: Indonesia, t.th.
Ilyas, Yunahar.2009. Kuliah Akhlaq, Cet. X. Yogyakarta, LPPI.
Indrakusuma, Amir Dain. 1973. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Ismail, Faisal. 1988. Paradigma Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Titihan Ilahi Press.
Kurniawan, Yedi. 1993. Pendidikan Anak Sejak Dini Hingga Masa Depan; Tinjauan Islam dan
Permasalahannya. Jakarta: Firdaus.
Langgulung, Hasan.1979. Pendidikan Islam Suatu Analisa Sosio Psikologikal. Kuala Lumpur:
Pustaka Antara.
-----. 1992. Asas-asas Pendidikan Islam, Cet. II. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
-----. 1995. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Al
Husna Zikra.
Miskawaih, Ibn. 1329 H. Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq. Mesir: al-Husaini.

Muchtar, Jalaluddin. 1993. Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Munandar, Utami.2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Mushoffa, Aziz. 2009. Aku Anak Hebat Bukan Anak Nakal. Jogjakarta: DIVA Press.
Nasution, Harun Dkk.1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Noor, Faried Ma’ruf.1980. Menuju Keluarga Sejahtera dan Bahagia. Bandung: Al-Ma’arif.
Sa’id, Muka.1986. Etika Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Schaefer, Charles. Bagaimana Mempengaruhi Anak. Jakarta: Effhar Dahara Prize
Supardi dan Aqila. 2010 Smart Ide-Ide Kreatif Mendidik Anak Bagi Orang tua Sibuk.
Jogjakarta: Katahati.
Syafaruddin, Nurgaya Pasha dan Mahariah.2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Hijri Pustaka
Utama.
Syaifullah, Ali.1982. Pendidikan Pengajaran dan kebudayaan. Surabaya: Usaha Nasional.
Zakaria, Teuku Ramli. 2000. “Pendidikan Budi Pekerti”, dalam Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional, Januari.