PEMILU DALAM MEMBENTUK PARTAI DAN KADER POLITIK BERKARAKTER POSITIF

WACANA HUKUM

VOL. XXIII, 1, APRIL 2017

PEMILU DALAM MEMBENTUK PARTAI DAN KADER
POLITIK BERKARAKTER POSITIF
Oleh:
Ian Aji Hermawan
ABSTRAK
Buruknya proses pengaderan dalam sebuah partai melahirkan kader-kader yang
pragmatis serta oportunis, yang mana kader-kader tersebut kurang mampu membaca kebutuhan
dan keinginan masyarakat. Para kader lebih sibuk untuk memenangkan dirinya dalam suatu
pertarungan politik, yaitu pemilu, dibandingkan memahami persoalan masyarakat yang
sesungguhnya. Maka, tidak heran menjelang pemilu banyak bermunculan kader partai politik,
baik kader partai murni maupun kader karbitan (kader yang baru muncul karena ada pemilu).
Konflik-konflik yang terjadi di internal partai politik sering kali disebabkan oleh senioritas
otoriter pimpinan, artinya partai tersebut lebih mengutamakan kader yang lebih dahulu aktif
yang boleh berkiprah tanpa melihat kompetensi. Kader yang baru masuk atau baru sebentar
berproses di partai politik tidak diizinkan untuk berkiprah. Namun, ada pula partai politik yang
menggunakan cara instan untuk mendapatkan kader, yakni orang yang dianggap memiliki
modal atau materi lebih dapat langsung menduduki posisi strategis dalam sebuah partai politik.

Perkembangan politik di Indonesia mengalami fase kemunduran, yang mana sekarang
untuk memenangkan dalam sebuah pemilihan umum seorang kader yang dicalonkan oleh partai
politik dalam berkampanye lebih sering menggunakan politik identitas, yakni berkampanye
dengan cara menyerang lawan politiknya dengan menggunakan isu SARA. Menurut Lukmantoro
(2008: 2), politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingankepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau
karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, maupun keagamaan.
Kata kunci: pengaderan, konsistensi, filosofi, ambigu, pragmatis

A. LATAR BELAKANG
Tahun 2018 banyak disebut oleh pengamat politik sebagai tahun politik karena di
tahun ini akan diselenggarakan pemilihan umum kepala daerah secara serentak di berbagai
wilayah di Indonesia. Kondisi tersebut menjadikan banyak partai politik mulai sibuk
mencari figur-figur, baik dari internal partai politik (kader) maupun dari luar partai politik.
Partai politik dalam melakukan rekrutmen calon pemimpin atau kepala daerah
mempunyai berbagai mekanisme, di antaranya ada yang melalui polling atau survei
terlebih dahulu, ada pula tanpa survei juga penjaringan, tetapi langsung menunjuk kader
terbaik partai politik. Selain dua mekanisme tersebut, ada pula cara merekrut dari luar
partai politik, yang mana yang direkrut adalah mereka yang dianggap public figure atau
setidaknya dikenal masyarakat luas.
Pada Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik menyebutkan bahwa fungsi dari partai politik di Indonesia adalah: pertama,
sebagai sarana pendidikan bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga
negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, sebagai saran penciptaan iklim
yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan
masyarakat. Ketiga, sebagai sarana penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi
politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.

19

WACANA HUKUM

VOL. XXIII, 1, APRIL 2017

Keempat, sebagai sarana partisipasi politik warga negara Indonesia. Kelima,
sebagai rekrutmen publik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.1
Kaderisasi dalam sebuah partai politik sering kali tidak menggunakan jenjang atau
sistem yang diterapkan hanya senioritas, yang mana orang yang lama berkecimpung di
partai, meskipun kurang mempunyai prestasi, dapat naik atau menduduki posisi terbaik

termasuk dicalonkan dalam pemilihan umum, baik sebagai calon kepala daerah maupun
sebagai calon legislatif. Kaderisasi yang kurang terkonsep dalam suatu partai menjadikan
partai politik tersebut dapat dikatakan tidak sehat serta mudah terguncang ketika
menghadapi persoalan internal, apalagi persoalan yang datang dari eksternal, sehingga
tidaklah heran bila di Indonesia banyak bermunculan partai baru, tetapi tidak dapat
bertahan lama dan kemudian tenggelam. Hal itu salah satunya disebabkan oleh lemahnya
konsep kaderisasi sehingga sulit menjadikan kader yang berintegritas dan loyalitas rendah.
Konflik-konflik yang terjadi di internal partai politik sering kali disebabkan oleh
senioritas otoriter, artinya partai politik tersebut lebih mengutamakan kader yang lebih
dahulu aktif yang boleh berkiprah tanpa melihat kompetensi kader tersebut. Kader partai
politik yang baru masuk atau baru sebentar berproses di partai politik tidak diizinkan
untuk berkiprah. Namun, ada pula partai politik yang menggunakan cara instan untuk
mendapatkan kader terbaik, yakni menunjuk orang yang dianggap memiliki modal atau
materi lebih atau public figure sehingga dapat langsung menduduki posisi strategis dalam
sebuah partai politik.
Partai politik yang baru sering menggunakan cara seperti itu untuk merekrut kader
terbaik dari seorang yang dianggap mempunyai kelebihan dalam segi materi dan publisitas
yang baik. Maka, tidak heran banyak para kutu loncat partai, yaitu mereka yang ingin
berpolitik dan menduduki posisi strategis guna mencapai tujuan politik, tetapi tanpa
melalui proses pengaderan yang berlaku di dalam partai. Sayangnya, kasus seperti itu

sangat banyak di Indonesia.
Kedudukannya sebagai pilar demokrasi, peran partai politik dalam sistem
perpolitikan nasional merupakan wadah seleksi kepemimpinan nasional dan
daerah. Pengalaman dalam rangkaian penyelenggaraan seleksi kepemimpinan
nasional dan daerah melalui pemilu secara langsung membuktikan keberhasilan
partai politik sebagai pilar demokrasi. Penyelenggaraan pemilu tahun 2004
di Indonesia dinilai cukup berhasil oleh banyak kalangan, termasuk kalangan
internasional. Dengan gambaran ini dapat dikatakan bahwa sistem perpolitikan
nasional dipandang mulai sejalan dengan penataan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang di dalamnya mencakup penataan partai politik.2
Anggota sebuah partai yang dianggap gagal atau tidak mampu melalui proses
pengaderan, tetapi mempunyai materi yang berlebih, maka orang tersebut menggunakan
berbagai cara untuk dapat mencapai tujuan politiknya dengan cara mendirikan sebuah
partai sendiri. Namun, jika hal itu dirasa berat, orang tersebut melamar untuk masuk ke
sebuah partai dan langsung dapat menduduki posisi strategis dalam partai, seperti ketua,
wakil ketua, atau ketua dewan pertimbangan, ketua dewan pembina, dan seterusnya.
Kekacauan dan ketidak-konsistenan sebuah partai dalam melakukan kaderisasi
memicu berbagai pertanyaan, di antaranya untuk apa partai tersebut didirikan? Apakah
untuk kepentingan pribadi atau golongan? Ataukah benar-benar untuk mencetak kaderkader yang berkualitas secara politik dan matang dalam berproses? Kenyataannya, sedikit
1

2

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Artis, “Eksistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam Konteks Demokrasi di Indonesia”,
Jurnal Sosial Budaya Vol. 9 No. 1 Januari–Juli 2012.

20

WACANA HUKUM

VOL. XXIII, 1, APRIL 2017

partai, bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada partai, yang benar-benar mempunyai
konsep tersebut.
Kondisi yang demikian menjadikan partai politik tidak sehat. Ketidaksehatan
tersebut juga berdampak pada tidak berjalannya salah satu fungsi partai politik, yakni
sebagai penampung aspirasi masyarakat. Negara yang menganut demokrasi modern
mempunyai kelemahan yang mana rakyat tidak dapat menyampaikan aspirasinya secara
langsung pada pemerintah, tetapi melalui kader partai politik yang menduduki jabatan
sebagai anggota legislatif atau kepala daerah.

Buruknya proses pengaderan dalam sebuah partai melahirkan kader-kader yang
pragmatis serta oportunis, yang mana kader-kader tersebut kurang mampu membaca
kebutuhan dan keinginan masyarakat. Para kader lebih sibuk untuk memenangkan
dirinya dalam suatu pertarungan politik, yaitu pemilu, dibandingkan memahami
persoalan masyarakat yang sesungguhnya. Maka, tidak heran menjelang pemilu banyak
bermunculan kader partai, baik kader partai murni dari partai tersebut maupun kader
karbitan (kader yang baru muncul karena ada pemilu).
B. PEMBAHASAN
1. Pilihan Rakyat
Menjelang pemilu, baik kepala daerah maupun legislatif, banyak kader instan dari
sebuah partai politik, yang muncul dengan jargon “lahir dari rakyat, untuk rakyat, dan
oleh rakyat”, sangat mampu menarik simpati serta empati masyarakat. Latar belakang
pendidikan atau pengalaman kerja dijadikan produk jualan kader dalam berkampanye.
Tidak jarang juga guna meraih kemenangan partai politik merekrut seorang public figure/
artis hanya untuk meraup suara yang banyak dalam sebuah pemilu.
Public figure/artis memang tidak salah bila dijadikan seorang calon kepala daerah
atau anggota legislatif karena mereka juga merupakan warga negara Indonesia yang
memiliki hak politik yang sama, yakni dipilih dan memilih. Namun, terlepas dari hak
politik yang sama, seseorang untuk dapat menduduki jabatan politik, seperti kepala
daerah atau anggota legislatif, tidak dapat dilakukan secara mendadak, dengan kata lain

mencalonkan diri ketika mendekati pemilihan umum.
Kondisi yang serba mendadak membuat calon kepala daerah atau calon anggota
legislatif kurang maksimal dalam memahami keadaan masyarakat bawah, serta kurang
maksimal dalam mempelajari kelebihan dan kekurangan daerah yang akan dia pimpin
atau wakili dalam legislatif nanti. Masyarakat juga mengalami kegamangan untuk memilih
calon pemimpin kepala daerah dan calon anggota legislatifnya karena dalam waktu singkat
tersebut masyarakat tidak dapat maksimal mengetahui latar belakang serta visi dan misi
calon yang ditawarkan oleh partai politik.
Filosofi “jangan memilih kucing dalam karung” sering digaungkan, baik oleh partai
politik maupun oleh para pengamat politik, yang tujuannya agar masyarakat menggunakan
hak pilihnya sesuai dengan hati nuraninya, sesuai dengan yang diyakininya bahwa orang
tersebut baik, amanah, bertanggung jawab, dan mampu menyejahterakan rakyatnya.
Kenyataan yang ada, masyarakat selalu dihadapkan pada persoalan seperti itu.
Pilihan-pilihan yang dimunculkan dianggap terbaik dan sudah merupakan representatif
dari kepentingan masyarakat, meskipun secara kenyataan tidak demikian. Masyarakat
senantiasa dihadapkan pada hal sulit. Jika tidak memilih dianggap tidak patuh pada
negara karena tidak menggunakan hak politiknya (hak memilih). Namun, jika memilih,
pilihannya dapat dikatakan tidak sesuai dengan harapan (jika tidak ingin dikatakan pilihan
yang buruk dari yang terburuk).
Pemilihan umum lahir dari konsepsi dan gagasan besar demokrasi yang

berarti merujuk John Locke dan Rousseau, keterjaminan kebebasan, keadilan dan
kesetaraan bagi individu dalam segala bidang. Dalam demokrasi, ada nilai-nilai

21

WACANA HUKUM

VOL. XXIII, 1, APRIL 2017

partisipatif dan kedaulatan yang dijunjung tinggi dan harus dijalankan oleh warga
negara dan instrumen negara, baik pada level legislatif, yudikatif, maupun eksekutif.
Hubungan antara warga negara dan negara, meskipun masih berjarak, tetapi
dapat difasilitasi oleh berbagai lembaga dan elemen masyarakat karena adanya
kebebasan bagi semua pihak untuk ikut serta secara aktif dalam pembangunan
nasional, baik pembangunan politik maupun bidang-bidang lainnya.3
Hasilnya dapat kita lihat, mereka yang menjadi pemimpin instan tidak jarang justru
memunculkan masalah baru, seperti membuat kebijakan yang kurang sesuai dengan
persoalan yang dihadapi, misalnya penertiban pedagang kaki lima (PKL) dengan membuat
kebijakan relokasi yang tempatnya sepi dan kurang strategis, jauh dari keramaian. Memang
dengan relokasi pemerintah menjawab persoalan akan ketertiban dalam tata kelola kota,

tetapi melahirkan persoalan baru bagi pedagang, yang mana mereka kehilangan pelanggan
yang selama ini menjadi tumpuan, dan akhirnya berimbas pada keuntungan atau omzet
mereka yang menurun.
Artinya, kebijakan tersebut dibuat hanya melihat secara sepihak atau satu aspek
saja, tanpa melihat aspek lain, seperti kebutuhan para pedagang, melihat kesemrawutan
lalu lintas kota yang banyak menimbulkan kemacetan serta tingkat kecelakaan yang
tinggi, kemudian pemerintah daerah melalui Dinas Perhubungan mengeluarkan kebijakan
sistem satu arah (SSA). Sekilas kebijakan tersebut menjawab persoalan kesemrawutan dan
tingkat kecelakaan lalu lintas, tetapi kebijakan tersebut ternyata memunculkan persoalan
baru bagi warga, baik penduduk maupun pedagang yang berada di lingkungan terdampak
kebijakan SSA tersebut.
Persoalannya, sebagian warga yang berada di daerah terdampak SSA mayoritas
adalah pedagang. Sebelum ada kebijakan SSA, kegiatan atau aktivitas ekonomi
pedagang berjalan lancar, keuntungan atau omzetnya pun juga lumayan. Namun, setelah
diberlakukan kebijakan SSA, para pedagang mengalami penurunan omzet yang lumayan
besar.
Kasus tersebut dapat menjadi gambaran serta pelajaran bahwa dalam pembuatan
kebijakan, terutama bagi kepentingan masyarakat, hendaknya melihat titik persoalan
tidak hanya dari satu sisi saja, tetapi juga dari berbagai pandangan. Dengan kata lain,
masyarakat juga dimintai saran serta pendapat dalam menyelesaikan persoalan yang

dihadapi pemerintah daerah. Bila pemimpin mengetahui kelemahan dan kekurangan
daerahnya serta mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakatnya
maka pemimpin tersebut tidak akan secara sepihak membuat kebijakan, meskipun
kebijakan tersebut untuk kepentingan masyarakatnya.
Keberadaan partai politik dalam menggembleng kadernya hingga suatu saat nanti
mampu diterjunkan di tengah masyarakat, untuk saat ini masih sangat minim. Partai
lebih disibukkan dengan konsolidasi lintas pengurus pusat hingga ranting atau konsolidasi
lintas partai politik dan organisasi masyarakat (ormas) guna kepentingan politik, yakni
kemenangan dalam pemilu.
Pengawasan terhadap kegiatan partai politik, baik oleh pemerintah maupun lembaga
independen (Komisi Pemilihan Umum), lebih bersifat temporer dan formalistik bila saat
menjelang pemilihan umum saja, atau pada saat kegiatan politik lainnya, masyarakat
sendiri juga sulit dalam memantau serta mengawasi kegiatan partai politik karena partai
bersifat tertutup, baik dalam finansial maupun kegiatannya. Masyarakat mengetahui
kegiatan partai politik bila partai politik tersebut akan melakukan kegiatan. Contoh,
sebuah partai politik akan melakukan kegiatan bakti sosial di suatu kampung pada tanggal
3 Bachtiar, Farahdiba Rahma, “Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi dari Berbagai
Representasi” Jurnal Politik Profetik, Volume 3 Nomor 1 Tahun 2014.

22


WACANA HUKUM

VOL. XXIII, 1, APRIL 2017

dan bulan yang telah ditentukan, dan masyarakat baru mengetahui mungkin tiga hari
atau satu minggu sebelum acara berlangsung.
Transparansi partai politik pada masyarakat memang belum dapat dikatakan baik.
Dalam merekrut kader untuk duduk sebagai calon kepala daerah atau anggota legislatif,
mereka dimintai mahar (tanda jadi) yang cukup besar. Entah benar atau tidak isu tersebut,
tetapi hal itu sudah menjadi rahasia umum tanpa harus partai politik tersebut membantah
atau mengiyakan, karena dari kasus-kasus yang pernah ada, belum pernah ada yang dapat
membuktikan kebenarannya. Semua imformasi yang ada hanya bersumber dari mulut
ke mulut.
Rusaknya tatanan sistem pengaderan atau ketiadaan sistem pengaderan dalam
suatu partai politik menjadikan partai politik tersebut kurang mendapat kepercayaan
dari masyarakat. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam setiap pemilihan umum bukan
semata-mata gagalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melakukan sosialisasi pada
masyarakat, atau petugas yang kurang cermat dalam mendata penduduk yang sudah
mempunyai hak pilih, tetapi juga dipengaruhi oleh keberadaan partai politik yang kurang
berfungsi.
Disadari atau tidak, keengganan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya juga
berasal dari calon-calon kepala daerah maupun legislatif yang dimunculkan oleh partai
politik tersebut kurang dikenal oleh masyarakat, baik secara fisik seperti nama lengkap,
asal usul, hingga kurang dikenal juga dengan sepak terjangnya atau partisipasinya dalam
kegiatan masyarakat. Kader tersebut tiba-tiba muncul dan mengajak masyarakat untuk
memilihnya dalam pemilu, tetapi tanpa memberi kontribusi pada masyarakat yang akan
dipimpin atau diwakilinya.
Seorang kader bisa saja terkenal di kalangan menengah ke atas seperti kaum
intelektual, kaum profesional, serta akademisi, tetapi tidak dikenal di kalangan masyarakat
bawah seperti tukang becak, pedagang kaki lima (PKL), ibu-ibu rumah tangga, dan lain
sebagainya. Dengan demikian, nama yang populer tidak menjadi jaminan dirinya terpilih
dalam sebuah pemilihan umum.
2. Politik Identitas dan Politik Ideologi
Perkembangan politik di Indonesia mengalami fase kemunduran yang mana
sekarang untuk memenangkan sebuah pemilihan umum seorang kader yang dicalonkan
oleh partai politik dalam berkampanye lebih sering menggunakan politik identitas, yakni
cara menyerang lawan politiknya dengan menggunakan isu SARA. Menurut Lukmantoro
(2008: 2), politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingankepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas
atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, maupun keagamaan.
Entah kebetulan atau disengaja, politik identitas ini mulai muncul pada saat
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, meskipun pada waktu itu
tidak begitu kentara, yang mana pada saat itu muncul partai politik baru yang didirikan
oleh Susilo Bambang Yudhoyono, bernama Partai Demokrat. Pada saat itu keberadaan
Partai Demokrat dianggap tidak mampu menjadi kompetitor partai politik yang sudah
lebih terdahulu.
Pada akhirnya keraguan tersebut terjawab ketika Partai Demokrat berhasil
memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Republik Indonesia,
mengalahkan incumbent pada waktu itu, Megawati Soekarno Putri. Meskipun sebelumnya
Susilo Bambang Yudhoyono diguncang dengan politik identitas, yakni diserang dengan
isu SARA, tetapi hal itu tidak begitu mengubah suara pemilih secara signifikan karena isu
SARA yang disebarkan tidaklah masif sehingga dapat teratasi dengan baik.
Kondisi sekarang berbeda ketika dalam berpolitik menggunakan politik identitas
yang mana rivalitas politik ditandai dengan isu-isu yang sensitif, seperti SARA. Isu SARA

23

WACANA HUKUM

VOL. XXIII, 1, APRIL 2017

lebih mudah menyulut masyarakat bawah yang notabene kurang mengetahui persoalan
yang sebenarnya. Mereka terprovokasi sehingga kurang dapat berpikir jernih mengenai
kebenaran informasi yang diperoleh.
Kekuatan politik identitas dalam memengaruhi masyarakat sangat signifikan,
apalagi dengan latar belakang masyarakat yang berpendidikan rendah, serta kehidupan
sosial yang kompleks lebih cenderung mudah terprovokasi. Bila sudah terprovokasi,
masyarakat sulit membedakan mana karakter asli, mana yang pencitraan.
Pendewasaan berpolitik di Indonesia memang masih dalam proses belajar, yang
mana etika dan kesantunan terkadang kurang diperhatikan. Para politisi lebih sering
menggunakan politik praktis untuk menjatuhkan lawan politiknya yang dianggap berat
untuk dikalahkan, seperti menggunakan isu SARA, atau pembunuhan karakter serta isu
atau fitnah yang sensitif sehingga dapat menghapus kepercayaan masyarakat akan sosok
calon pemimpinnya.
Wacana politik santun, beretika, dan saling menghormati satu sama lain hanya
sebagai jargon belaka karena kenyataan di lapangan tidak demikian. Banyak politisi partai
mengembuskan isu di masyarakat bawah melalui media sosial maupun melalui obrolan
di masyarakat mengenai keburukan lawan politiknya.
Partai yang mempunyai ideologi kuat dan baik tidak akan menggunakan isuisu SARA untuk memenangkan partainya dalam pemilu. Partai politik tersebut lebih
mengandalkan visi-misi dan program kerja melalui kader-kadernya yang sudah terseleksi
sehingga partai tersebut dapat bertahan lama, meskipun terjadi pergolakan di dalamnya.
Semenjak Reformasi, banyak partai baru yang bermunculan. Namun, sayangnya
banyak juga partai yang kemudian bubar karena tidak mempunyai basis massa yang
cukup untuk dapat bertahan karena kebanyakan partai baru tersebut tidak mempunyai
kekuatan dasar yang mampu mengajak masyarakat untuk mendukungnya, seperti ideologi
yang kuat.
3. Perang di Media
Kemajuan teknologi juga digunakan oleh para tim sukses partai politik untuk
menyampaikan informasi tentang profil kader yang dicalonkan sebagai pemimpin kepala
daerah atau wakil kepala daerah, serta visi-misi yang dibawa, program kerja yang akan
dijalankan bila nanti terpilih melalui media elektronik dan media cetak.
Berbeda dengan media cetak dan elektronik, menggunakan media sosial seperti
Facebook, Twitter, dan lain-lain, lebih efektif dan hemat karena media sosial di Indonesia
memiliki pengguna yang cukup banyak dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
Di media sosial, kita bisa melakukan apa pun dari menyampaikan informasi yang benar
hingga menyebarkan informasi yang tidak benar atau hoax.
Keberadaan media sosial tidak diimbangi dengan kesiapan budaya serta karakteristik
individu sehingga tidak jarang para pengguna media sosial menggunakan bahasa-bahasa
yang kurang santun dalam menyampaikan informasi atau ketika berdiskusi. Bahkan
yang lebih parah untuk membunuh karakter lawan politiknya, para pendukung sering
menyebarkan foto, gambar, atau meme yang lebih bersifat negatif pada masyarakat umum.
Pengaturan komunikasi di media sosial oleh pemerintah melalui UU ITE pun banyak
ditentang oleh pengguna internet karena hal itu dianggap melanggar hak asasi manusia,
khususnya dalam menyampaikan atau menerima informasi, serta mematikan kreativitas
manusia. Banyak masyarakat pengguna internet menganggap UU ITE sebagai bentuk
pengekangan terhadap masyarakat serta bentuk otoriter penguasa. Namun, sebenarnya
bila masyarakat menyadari, keberadaan UU ITE merupakan bentuk perlindungan
pemerintah pada warga negara terhadap informasi yang tidak benar serta tindak kejahatan
yang dilakukan melalui internet, khususnya media sosial.

24

WACANA HUKUM

VOL. XXIII, 1, APRIL 2017

Begitu pula jika media sosial digunakan sebagai alat politik maka para politisi
beserta tim cyber-nya harus bijaksana dalam menggunakannya. Jangan hanya untuk
mendapatkan banyak suara dalam pemilihan umum, kemudian menyebarkan kampanye
hitam dengan memberi masyarakat informasi yang menyesatkan atau informasi yang
bersifat pribadi dari lawan politik yang hal itu tidak berhubungan dengan pemilihan
umum, seperti kasus perceraian, agama, dan lain sebagainya.
Melihat ke belakang, media khususnya media sosial memang mempunyai peran yang
cukup besar dalam dunia perpolitikan Indonesia. Penyampaian visi-misi serta program
kerja lebih mudah dibaca, dipahami, dan dimengerti oleh masyarakat daripada melalui
kampanye terbuka maupun kampanye tertutup. Melalui media sosial masyarakat dapat
mempelajari langsung visi-misi serta program kerja calon kepala daerah atau wakil kepala
daerah dan langsung dapat memberi komentar atau bertanya pada calon tersebut.
Media sosial juga dapat dijadikan alat propaganda atau juga pembentukan opini
pada masyarakat. Bila informasi yang disampaikan secara masif dan berkelanjutan maka
informasi tersebut juga akan tertanam dalam pikiran masyarakat dengan sendirinya.
Seperti halnya orang mendengar lagu yang sama setiap hari tanpa harus menghafalkan,
mereka akan hafal dengan sendirinya. Begitu pula bila tim sukses menyampaikan
informasi calon pemimpinnya di media sosial secara masif dan berkelanjutan maka
masyarakat dengan sendirinya akan paham apa yang dimaksud dan diinginkan calon
tersebut melalui visi-misinya.
Penggunaan media sosial secara bijak memang harus dimulai dari diri sendiri.
Oleh karena itu, kedewasaan para elite politik dalam memanfaatkan media sosial juga
diharapkan dapat menjadi contoh masyarakat karena mereka secara langsung maupun
tidak langsung dilihat dan dicontoh oleh masyarakat dalam menggunakan media sosial.
4. Politik dan Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pemilu, sebanyak 186.569.233 jiwa terdaftar
sebagai pemilih dalam Pileg 2014. Namun, hanya 124.972.491 jiwa saja (67,99%)
yang suaranya dianggap sah, sedangkan suara dari 61.596.742 jiwa (33,01%)
dianggap tidak sah, bahkan golput. Angka partisipasi pemilih dalam Pileg 2014
tampak menurun jika dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Ada beberapa
catatan penting terkait proses Pileg 2014.4
Pola atau metode partai politik dalam berkampanye juga menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan naik atau turunnya partisipasi msyarakat dalam pemilu. Partai politik
harus jeli dalam menggaet masyarakat untuk minimal menggunakan hak politiknya,
terlepas calon mana yang harus dipilihnya dalam bilik suara nanti.
Para politisi berkampanye, mensosialisasikan visi dan misinya untuk kemajuan
masyarakat serta daerah yang kelak akan dipimpinnya. Namun, kebanyakan dalam
melakukan kampanye tidak jarang politisi dan tim kampanye menggunakan isu-isu
sensitif di masyarakat sehingga kampanye yang disampaikan lebih bersifat provokasi
yang ujungnya menimbulkan kebencian terhadap lawan politik lainnya.
Politik di mata masyarakat dinilai kotor dan menghalalkan segala macam cara
sehingga ketika diajak untuk menyukseskan pemilu masyarakat sangat skeptis terhadap
calon pemimpin maupun cara yang digunakannya. Wajar jika masyarakat beranggapan
demikian karena seorang politisi memang sulit dilepaskan dengan politik hingga apa pun
yang diucapkannya itu dianggap bentuk atau sikap politiknya.
Pemahaman yang demikian sangatlah wajar, melihat fenomena yang terjadi selama
ini. Namun, sebenarnya anggapan politik itu kotor atau jahat sangat keliru karena politik
4

Majalah Tempo, 12–18 Mei 2014, hal. 49.

25

WACANA HUKUM

VOL. XXIII, 1, APRIL 2017

merupakan suatu alat atau cara yang digunakan seseorang maupun kelompok untuk
mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Politik tidak hanya dalam dunia kenegaraan
(pemilu dan pemerintahan), tetapi juga dimainkan dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat.
Politisi sering kali menempatkan masyarakat sebagai subjek politik yang mana hanya
disapa dan diperhatikan ketika ada pemilu saja. Setelah pemilu usai, masyarakat kembali
dalam kehidupan semula. Tidak ada perubahan yang dialami oleh masyarakat. Bila saja
politisi dalam berpolitik tidak menggunakan politik nasi goreng, yakni masyarakat
dibumbui dengan harapan-harapan yang ke depan akan lebih baik, lalu setelah masyarakat
matang (memilih), politisi tersebut meninggalkan pemilihnya, membiarkan nasi goreng
tersebut dingin sehingga dimakan pun tidak enak dan akhirnya dibuang.
Politik adalah alat, dan untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan dalam
kehidupan masyarakat, misalkan seseorang ingin mendapat penghasilan yang banyak,
maka pilihannya adalah bekerja pada orang lain (menjadi karyawan) atau membuka usaha
sendiri atau wirausaha. Pilihan tersebut sudah merupakan bentuk politik karena dalam
pilihan tersebut terkandung konsekuensi serta risiko yang akan dihadapi dan ditanggung.
Pemilu menjadikan masyarakat dihadapkan pada suatu pilihan calon sehingga
masyarakat dengan sendirinya juga harus bisa menerima konsekuensi serta risiko yang
akan diperolehnya. Dalam politik hanya ada dua hasil yang didapatkan, yakni menang
dan kalah. Jika yang dipilih menang maka masyarakat dapat menagih janji politik ketika
berkampanye. Namun, jika calon yang dipilih kalah maka konsekuensinya masyarakat
harus siap menerima dipimpin oleh calon yang menang dan siap menerima kebijakan
yang dibuatnya kelak.
Politik seharusnya menjadikan masyarakat lebih baik dalam segala hal, baik dalam
menghadapi suatu kenyataan bahwa calon yang didukungnya kalah, dan mau menerima
kekalahan dengan sehat dan lapang dada, tidak ada lagi sakit hati ataupun membenci
masyarakat yang pilihannya menang. Kenegarawanan masyarakat dapat terbentuk bila
para elite politik juga dengan legowo menerima kekalahan, tidak kemudian mencari
kesalahan pihak lain atas kekalahannya karena hal itu justru menimbulkan persoalan
baru di masyarakat bawah khususnya.
Konflik-konflik di antara masyarakat akan terus berlanjut nantinya, padahal pemilu
sudah usai. Politik hanya alat untuk mencapai suatu kemakmuran, yaitu kemakmuran
masyarakatnya. Bila politik digunakan untuk tujuan lain, hal itu sudah menyimpang dan
bukanlah politik, tetapi lebih pada intrik, yaitu taktik untuk menguntungkan diri pribadi
atau golongan.
Politik dapat dianalogikan sebagai sebuah pisau. Pisau dapat bermanfaat bagi
masyarakat banyak bila dipakai dengan positif, seperti untuk mengiris daging guna
dimasak. Namun, pisau juga dapat berbahaya atau tidak bermanfaat bila digunakan dengan
negatif, seperti digunakan untuk menodong, membunuh orang, dan lain sebagainya.
Kesalahan bukan pada siapa pembuat pisau, tetapi siapa yang menggunakannya,
karena sejatinya pisau digunakan untuk membantu manusia dalam menjalankan aktivitas
kesehariannya, seperti memasak, bukan untuk membahayakan orang lain. Begitu pula
Einstein ketika menciptakan atom ialah untuk kemaslahatan masyarakat, tetapi Einstein
sangat menyesal ketika penemuannya digunakan sebagai alat perang untuk membunuh
manusia.
Budaya yang terjadi selama ini ialah masyarakat kita belum terbiasa menjalankan
sistem demokrasi yang mana dalam sistem tersebut setiap manusia diberi hak keleluasaan
dalam segala hal, baik dalam berpolitik, bersosial, maupun dalam berpendapat. Pada
masa Orde Baru, tidak semua orang dibebaskan untuk berpendapat atau menyuarakan
aspirasinya. Namun, di era Reformasi setiap orang diberi kebebasan untuk menyuarakan
aspirasinya.

26

WACANA HUKUM

VOL. XXIII, 1, APRIL 2017

Endapan aspirasi yang selama Orde Baru tidak dapat dimunculkan akhirnya dapat
dengan mudah disampaikan oleh masyarakat melalui media apa pun, baik surat tertulis
maupun media sosial. Namun, kebebasan masyarakat dalam berpendapat sering kali
ditafsirkan dengan kebebasan mutlak dan bagian dari hak asasi manusia yang mana setiap
manusia berhak mengeluarkan pendapatnya dalam bentuk apa pun, dalam bahasa apa
pun, sehingga tidak jarang dalam prakampanye ataupun pascapemilu banyak masyarakat
yang menyampaikan aspirasi maupun kritikannya dengan menggunakan bahasa yang
tidak pantas.
Perlunya peraturan tentang penyampaian pendapat bukan untuk membatasi
masyarakat dalam menyampaikan aspirasi serta pendapatnya, tetapi untuk mengatur/
menata dan mengingatkan bahwa apa yang kita perbuat dan kita ucapkan di depan umum
mempunyai konsekuensi hukum. Artinya, bila perbuatan tersebut tidak pantas dan tidak
sesuai dengan peraturan dan mengganggu ketertiban umum maka dapat diberikan sanksi
pada pelakunya.
Pembelajaran berpolitik santun perlu dibiasakan, dimulai dari elite politik, karena
politik masyarakat sekarang merupakan cerminan dari para elitenya yang kurang
memperhatikan etika serta norma berpolitik. Mereka mengkritik tanpa etika dan tanpa
ada tawaran solusi sehingga terkesan menghujat. Seorang negarawan mengkritik sesuatu
dengan cara yang santun serta beretika sehingga tidak menimbulkan kontroversi bahkan
hal-hal yang kontradiktif.
Menghargai perbedaan pendapat serta perbedaan pilihan sekarang ini di Indonesia
merupakan sesuatu yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dijalankan. Terlihat ketika
terjadi pelaksanaan pemilu sering kali terjadi bentrok antarpendukung hanya karena
merasa tersinggung oleh yel-yel atau kata-kata dari pendukung lain. Bahkan, yang ekstrem
lagi, pendukung calon yang kalah melakukan tindakan anarkis dengan merusak fasilitas
umum sehingga mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat.
C. KESIMPULAN
Partai di Indonesia belum dapat menjalankan fungsi utamanya sebagai penampung
aspirasi rakyat maupun menciptakan dan membentuk kader-kader politik yang memiliki
karakter, integritas yang memiliki militansi pada bangsa dan negara, serta memiliki
tanggung jawab dan moralitas yang baik dalam menjalankan amanah partai maupun
negara.
Partai politik lebih asyik pada dunia aksi yang mendatangkan keuntungan
politik secara cepat (pola pragmatisme) dan mengutamakan kepentingan golongan
(primordialisme) cukup tinggi. Terlihat banyak kasus kader-kader partai politik yang
terlibat kasus hukum karena tuntutan partai politik yang menginginkan kadernya lebih
berkontribusi, baik secara materi maupun tenaga.
Keberadaan ini menjadikan partai hanya sebagai ladang para politikus untuk
mencapai tujuan pribadi dan golongan, sedangkan kepentingan masyarakat, negara, dan
bangsa hanya dijadikan kamuflase semata agar dianggap telah menjalankan tugas, padahal
kenyataan di lapangan mereka tidak memperhatikan keadaan dan problem yang dihadapi
masyarakat. Pemilu yang harusnya menjadi awal perubahan menuju ke arah lebih baik
selama ini hanya menjadi ajang kekuatan pendukung dan mesin politik.
Pascapemilu, pemenang tidak melanjutkan program-program pemerintah
sebelumnya dengan baik, tetapi lebih mengutamakan membuat satu kebijakan yang
baru, berbeda dari pemerintah sebelumnya, tanpa melihat kondisi sosial masyarakat
yang dihadapi. Kedewasaan dan kenegarawanan berpolitik partai politik berdampak pada
kader-kadernya dalam menyikapi kondisi politik yang terjadi, seperti bagaimana sikap
partai politik dalam berkampanye dan sikap menerima kekalahan dalam pemilu. Bila
partai politik tersebut dengan bijaksana dapat menerima kekalahan tanpa mengeluarkan

27

WACANA HUKUM

VOL. XXIII, 1, APRIL 2017

suatu pernyataan yang menimbulkan kontroversi maupun kontradiktif maka kaderkadernya pun mengikuti hal yang sama. Namun, bila sebaliknya, bila partai politik tersebut
menyikapi kekalahan dalam pemilu dengan cara yang kurang elegan, seperti dengan
melontarkan pernyataan yang memicu kontroversi, atau lebih buruknya provokasi, hal
ini akan ditiru juga oleh kader-kadernya dari tingkat pusat hingga daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Azed, A.B. dan Makmur, A. 2005. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara FKUI.
Budiardjo, M. 1996. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fahmi, K. 2011. Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Rajawali Press.
Fatah, E.S. 2000. Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar Demokratisasi PascaOrde Baru. Bandung: Penerbit Mizan.
Kelsen, Hans. 2014. Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung:
Nusamedia.
L. Tanya, Bernard, dkk. 2013. Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi). Yogyakarta: Genta Publishing.
Mahfud M.D., Moh. 2012. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Rahardjo, Satjipto. 2008. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Rahman Nitibaskara, Ronny. 2007. Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. Jakarta: PT.
Kompas Media Nusantara.
Jurnal
Artis. 2012. “Eksistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam Konteks Demokrasi di
Indonesia”. Jurnal Sosial Budaya Vol. 9 No. 1 Januari–Juli 2012.
Bachtiar, Farahdiba Rahma. 2014. “Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi dari
Berbagai Representasi”. Jurnal Politik Profetik Vol. 3 No. 1 Tahun 2014.
Majalah

Majalah Tempo, 12–18 Mei 2014.

28