RELASI MASYARAKAT DENGAN HUTAN STUDI KAS

RELASI MASYARAKAT DENGAN HUTAN
STUDI KASUS PENURUNAN JUMLAH HUTAN MANGROVE AKIBAT
PEMBUKAAN TAMBAK WILAYAH SUMATERA UTARA

MAKALAH PENGGANTI UJIAN TENGAH SEMESTER
MATAKULIAH
HUKUM LINGKUNGAN

AZHAR FIRDAUS
1106143415

FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM KAJIAN ILMU LINGKUNGAN
APRIL 2012

1. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak


pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di
tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk
yang terlindung dari gempuran ombak,maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan
mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Wilayah terluas di dunia yang memiliki hutan mangrove adalah wilayah hutan mangrove
yang terdapat di Indonesia, yaitu dengan luas antara 1,5 hingga 4,5 juta hektar. Melebihi Brazil
(1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dd, 1997 dalam Noor ddk,
1999). Hutan mangrove Indonesia yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif
tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatera,
dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Hutan-hutan pantai utara Pulau Jawa telah lama
terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan
Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di
sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas
hutan bakau di Indonesia.
Hutan mangrove Indonesia begitu luas tetapi kondisi hutan tinggal 25 persen yang masih
bertahan lestari. Penurunan hutan mangrove ini akibat dari pembuatan tambak ikan dan budidaya
kelautan lainnya. Produksi tambak sendiri hanya bertahan selama 10 tahun setelah hutan
mangrove ditebang. Akibatnya lahan menjadi tidak produktif. Tanah telah kehabisan semua
unsur hara yang diperlukan untuk kehidupan berikutnya.

Tambak dalam perikanan adalah kolam buatan, biasanya di daerah pantai, yang diisi air
dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur). Hewan yang dibudidayakan
adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang. Manfaat tambak sendiri dari segi ekonomi
disebabkan karena harga udang yang tinggi di pasar internasional dan keuntungan yang relatif

1

tinggi mendorong masyarakat untuk membuka usaha tambak udang. Tidak hanya masyarakat
dalam negeri namun juga para investor asing.
Melihat manfaat tambak yang cukup tinggi, bukan berarti hutan mangrove tidak memiliki
fungsi yang penting. Hutan mangrove berfungsi untuk meredam gelombang dan angin,
pelindung dari abrasi dan pengikisan pantai oleh air laut, penahan intrus air laut ke darat,
penahan lumpur dan perangkap sedimen. Hutan mangrove juga terbukti sebagai penghasil
jumlah besar detritus bagi plankton yang merupakan sumber makanan utama biota laut. Sebagai
daerah asuhan (nursery grounds), tempat mencari makan (feeding grounds), dan daerah
pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya. Sebagai habitat
bagi beberapa satwa liar, seperti burung, reptilian (biawak, ular), dan mamalia (monyet). Sebagai
penghasil kayu konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas. Dan tidak
mustahil, hutan mangrove dapat dikelola menjadi lokasi ekowisata.
Seperti dijelaskan di atas, hutan mangrove di Indonesia


hanya tinggal 25 persen.

Permasalahan utama adalah karena ditebangnya hutan mangrove untuk lahan tambak. Kerugian
dapat dilihat dari rusaknya ekosistem di hutan mangrove. Relasi masyarakat dengan hutan sudah
tidak tertanam lagi. Manfaat dari segi ekonomi yang membuat masyarakat mengubah hutan
mangrove menjadi lahan tambak. Kenyataan sebenarnya bahwa hutan sudah ada sebelum
manusia ada. Hutan begitu menjaga kelestariannya tanpa bantuan manusia. Tetapi manusia
selama ini tidak berusaha menjaga alam itu sendiri. Dengan melakukan penebangan hutan
mangrove untuk dijadikan lahan tambak.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 40 menyebutkan Rehabilitasi hutan
dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan
dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem
penyangga kehidupan tetap terjaga. Kondisi hutan mangrove disesuaikan dengan Undangundang tersebut sudah mulai ada pemulihan kembali di beberapa wilayah Indonesia. Tetapi itu
semua belum optimal. Alasan mengapa belum optimal ini akan diteliti mengenai relasi
masyarakat dengan hutan mangrove. Relasi ini bisa menumbulkan dampak positif maupun
negatif.

2


Studi kasus yang diambil tepatnya di wilayah Kecamatan Sicanggang, Kabupaten
Langkat, Sumatera Utara. Kawasan yang ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa semenjak
pemerintahan Belanda dengan nama “Karang Gading” mempunyai luas sekitar 9.520 ha.
Sebagian besar dari kawasan hampir gundul karena penebangan liar dan pembukaan lahan-lahan
pertanian. Sekitar 2.000 ha dari kawasan telah berubah menjadi tambak udang.

1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan mengenai relasi masyarakat dengan
hutan studi kasus masalah penurunan jumlah hutan mangrove akibat pembukaan tambak daerah
Kalimantan Timur yaitu:
1. Bagaimana relasi masyarakat dengan hutan mangrove?
2. Apa solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi perubahan hutan mangrove di
Sumatera Utara menjadi lahan tambak?

1.3 Tujuan Makalah
Makalah ini disusun untuk membeirkan wawasan mengenai masalah hukum lingkungan
dalam aspek ilmu sosial. Tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Mengkaji relasi masyarakat dengan hutan mangrove
2. Memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi perubahan hutan mangrove di Sumatera
Utara menjadi lahan tambak.


3

2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1

Kondisi Hutan Mangrove di Sumatera Utara
Luas hutan mangrove di pulau Sumatera kurang lebih 657.000 ha. Dari total ini sekitar 30

persen (kurang lebih 200.000 ha) dapat ditemukan di propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan
penafsiran Citra Landscape, diketahui luasan mangrove di propinsi Sumatera Utara mengalami
penurunan yang sangat cepat dari waktu ke waktu. Dari luas kurang lebih 200.000 ha pada tahun
1987, tinggal 15 persen atau kurang lebih 31.885 ha yang berfungsi baik pada tahun 2001
(Laporan Status Lingkungan, 2002).
Dari data tersebut dapat diambil penjelasan bahwa kondisi hutan mangrove di propinsi
Sumatera Utara sedang mengalami tekanan yang sangat hebat oleh berbagai bentuk kegiatan
sehingga mengakibatkan hilangnya kawasan hutan mangrove sekitar 85 persen atau kurang lebih
168.145 ha dalam kurun waktu 14 tahun.
Penyebaran hutan mangrove yang masih tersisa di propinsi Sumatera Utara meliputi

Kabupaten Langkat (9.340 ha), Kabupaten Deli Serdang (6.425 ha), Kabupaten Asahan (150 ha),
Kabupaten Madina (2.900 ha) dan Kabupaten Nias (9.570 ha). Hamparan hutan mangrove
terluas terdapat di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten
Deli Serdang.
Kegiatan yang mengakibatkan penurunan hutan mangrove di Sumatera Utara salah
satunya dengan melakukan tambak udang. Tambak udang ada, karena sebelumnya telah
dilakukan penebangan hutan mangrove. Kualitas udang yang semakin tinggi harganya membuat
masyarakat terus menerus melakukan penebangan hutan mangrove.
Pekerjaan masyarakat sendiri sebelumnya menjadi nelayan dan penghasilan yang didapat
tidak seberapa daripada melakukan kegiatan tambak udang. Alasan ini yang membuat nelayan
melihat dari segi ekonomi untuk kebutuhan hidup mereka. Tidak adanya kesadaran untuk
menjaga alam yaitu hutan mangrove.
Eksploitasi yang dilakukan oleh masyarakat sudah merusak ekosistem yang ada di laut.
Mereka memutuskan mata rantai dan mengakibatkan ketidakseimbangan antara makhluk hidup
4

dan alam. Rusaknya hutan mangrove yang berlangsung secara terus menerus ini berpotensi
menurunkan produksi dari perikanan laut. Kerusakan ini merupakan kerusakan jangka panjang
dan perlu waktu lama untuk mengembalikannya.


2.2

Teori Konsepsi Pengelolaan Hutan Berwawasan Ketahanan Nasional
Pengelolaan hutan berwawasan ketahanan nasional adalah upaya sadar dan terencana

untuk memanfaatkan dimensi geografi, demografi, kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi,
sosial-budaya, dan pertahanan keamanan dari sumberdaya hutan nasional secara integratif,
holistik, dan berkelanjutan guna memperkokoh ketahan nasional. Dengan perkataan lain
konsepsi pengelolaan hutan berwawasan ketahanan nasional memandang sumberdaya hutan
sebagai salah satu unsur kekuatan nasional yang dapat mendukung keuletan dan ketangguhan
bangsa dalam menghadapi tantangan, ancaman, dan hambatan, baik yang datang dari luar
maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas,
dan kelangsungan hidup bangsa dan nerga serta perjuangan mencapai tujuan nasional.
Pengelolaan hutan yang berwawasan ketahanan nasional selayaknya akomodatif terhadap
dinamika dan peran serta masyarakat serta sistem nilai yang berkembang di dalam masyarakat,
khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Dengan perkataan lain pengelolaan hutan
yang berwawasan ketahanan nasional selayaknya dapat menjamin akses masyarakat terhadap
sumber daya tersebut, pengakuan atas hak-hak tradisional, serta manfaat bagi masyarakat lokal.
Terbukanya akses masyarakat kepada sumber daya hutan juga harus meningkatkan peran sumber
daya hutan sebagai sumber pengetahuan. Salah satu faktor penting dalam pencapaian

pengelolaan hutan yang berwawasan ketahanan nasional adalah dicapainya social equity, yang
dasarnya adalah bahwa rakyat kecil dan masyarakat lokal (apakah penghuni hutan, masyarakat
setempat atau penduduk asli) tidak dirugikan. Tolak ukurnya adalah bahwa kehidupan mereka
tidak diganggu dan mereka meningkat kesejahteraannya.

5

2.3

Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan
Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam pembangunan

bangsa dan Negara. Karena hutan itu dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Manfaat itu dapat dibedakan menjadi langsung dan
tidak langsung. Di samping itu, hutan merupakan kekayaan milik bangsa dan Negara yang tidak
ternilai, sehingga hak-hak Negara atas hutan dan hasilnya perlu dijaga dan dipertahankan, dan
dilindungi agar hutan dapat berfungsi dengan baik.
Keberhasilan pembangunan di bidang kehutanan tidak saja ditentukan oleh aparatur yang
cakap dan terampil, tetapi harus juga didukung dengan peran serta masyarakat. Perlunya peran
serta masyarakat dalam perlindungan adalah didasari pemikiran bahwa dengan adanya peran

serta tersebut dapat memberikan informasi kepada Pemerintah yaitu Menteri Kehutanan dan
mengingatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan.
Informasi yang diberikan/disampaikan masyarakat kepada Pemerintah beserta alat
perlengkapannya sangat penting. Karena dengan adanya informasi tersebut Pemerintah dapat
merencanakan peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan secara serba guna dan lestari di
seluruh Indonesia. Sedangkan manfaat bagi masyarakat yang telah ikut berperan serta dalam
bidang kehutanan atau cenderung untuk memperlihatkan kesediaan yang lebih besar guna
menerima dan menyesuaikan diri dengan keputusan. Pada pihak lain, dan ini adalah penting,
peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan akan banyak mengurangi kemungkinan
timbulnya pertentangan asal peran serta masyarakat dilaksanakan pada saat yang tepat.
Kewajiban peran serta masyarakat dalam bidang kehutanan diatur dalam Pasal 15 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 yang berbunyi: Untuk menjamin terlaksananya
perlindungan hutan ini dengan sebaik-sebaiknya maka rakyat diikutsertakan. Selanjutnya di
dalam penjelasannya disebutkan bahwa kewajiban melindungi hutan adalah bukan kewajiban
dari pemerintah semata-mata, akan tetapi merupakan kewajiban dari seluruh rakyat, karena
fungsi hutan itu menguasai hajat hidup orang banyak.

6

3. PEMBAHASAN


3.1

Relasi Masyarakat dengan Hutan Mangrove
Relasi masyarakat dengan alam seharusnya seimbang. Baik itu relasi masyarakat dengan

laut maupun relasi masyarakat dengan hutan. Kondisi hutan di Indonesia semakin buruk
diakibatkan semakin banyaknya pembalakan liar dari hutan-hutan tersebut. Pembalakan liar juga
terjadi di kawasan hutan lindung. Peraturan Pemerintah sudah menetapkan bahwa dilarang
melakukan pembalakan liar di kawasan tersebut.
Kegiatan pembalakan liar dilakukan untuk membuka lahan tambang terbuka. Kegiatan
lain adalah dengan adanya pembukaan lahan tambak yang terjadi di Sumatera Utara. Pembukaan
tambak yang dilakukan oleh masyarakat di Sumatera Utara karena adanya tekanan ekonomi.
Manfaat hutan mangrove yang dirasakan oleh masyarakat sekitar tidak terlalu besar. Kemudian
penghasilan dari masyarakat Sumatera Utara sebagai nelayan tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Masyarakat akhirnya melakukan cara lain dengan menebang hutan
mangrove yang kemudian diubah menjadi lahan tambak.
Perubahan hutan mangrove menjadi lahan tambak akan menjadi masalah ketika dalam
skala besar. Masalahnya yaitu rusaknya ekosistem mangrove. Tetapi dalam skala kecil, tidak
terlalu banyak mempengaruhi ekosistem mangrove. Selain rusaknya ekosistem mangrove, rantai

makanan yang sebelumnya ada menjadi hilang akibat perubahan lahan. Hasil perikanan juga
menjadi menurun. Akibat-akibat yang terjadi karena kebutuhan masyarakat akan sesuatu yang
lebih bagi kehidupan sehari-hari.
Relasi masyarakat yang terjadi di wilayah Sumatera Utara semakin menurun. Masyarakat
cenderung melakukan perubahan lahan tanpa tahu sebab akibatnya. Perubahan lahan yang
mereka lakukan karena harga udang di dunia semakin tinggi. Masyarakat dengan mudahnya
mengubah lahan mangrove menjadi lahan tambak. Tidak adanya proses pemulihan kembali
ketika lahan tambak sudah tidak dapat digunakan.

7

3.2

Solusi untuk Mengatasi Perubahan Hutan Mangrove menjadi Lahan Tambak
Sebelum membahas mengenai solusi yang tepat untuk masalah ini. Kita perlu mengetahui

kebijakan pengelolaan hutan dan penerapannya di Indonesia. Selama periode Orde Baru,
kebijakan kehutanan berpusat pada skala besar dan melibatkan hanya beberapa gelintir pelaku di
tingkat pusat. Hak dan akses sumber daya alam diberikan atas dasar patronase politik, yang
menguntungkan pihak yang berkuasa saat itu dan pelaku bisnis tertentu. Pada tahun 1995,
misalnya, pemerintah telah mengeluarkan izin pengelolaan hutan kepada 585 HPH (Hak
Pengusahaan Hutan) yang menguasai 62 juta hektar hutan, atau hampir separuh dari luas hutan
Indonesia saat itu (Brown, 1999). Hal ini telah menyebabkan pengelolaan hutan yang tidak
bertanggung jawab: hutan dianggap sebagai mesin uang belaka. Kegiatan pembalakan kayu
secara besar-besaran ini dibarengi dengan kemampuan pemantauan yang kurang memadai dari
pihak pembuat kebijakan.
Selain kebijakan tersebut

ada

yang disebut

kebijakan pidana untuk upaya

penanggulangan suatu kejahatan. Suatu usaha untuk mewujudkan suatu peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dari situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang
akan datang. Dalam kebijakan pidana ini secara operasional harus melengkapi unsur-unsur
sebagai berikut. Pertama, kebijakan legislatif yaitu tahapan perumusan/penyusunan hukum
pidana. Kedua, kebijakan yudikatif yaitu tahap penerapan hukum pidana. Ketiga, kebijakan
eksekutif yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana. Namun, sebaik peraturan hukum yang
dipersiapkan belum dapat menjadi jaminan bilaman dalam penerapannya tidak dilakukan dalam
suatu sistem peradilan pidana yang terpadu. Seperti contoh kasus yang terjadi dalam penelitian
ini.
Penelitian ini menyebutkan bahwa pengelolaan hutan mangrove sudah diatur dalam
peraturan pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun, tidak sedikit
perusahaan melanggar peraturan tersebut. Bahkan, masyarakat sekitar hutan mangrove ikut
berperan aktif dalam perusakan hutan mangrove. Perusakan hutan mangrove yang mereka
lakukan adalah dengan menebang habis hutan mangrove dan dirubah menjadi lahan tambak.
Kegiatan perusakan yang terjadi akibat tidak adanya sifat saling melengkapi mengenai unsurunsur dari kebijakan pidana yang sudah dijelaskan pada alinea sebelumnya.

8

Solusi yang tepat adalah dengan melakukan penjagaan di setiap lokasi mangrove oleh
para penjaga lingkungan dari berbagai lembaga lingkungan. Penjagaan ini dilakukan agar tidak
adanya perubahan hutan mangrove secara berlebihan untuk lahan tambak. Selain penjagaan,
perlu adanya pengetahuan bagi masyarakat manfaat hutan mangrove secara luas. Ketika
masyarakat sudah mengetahui manfaat mengenai hutan mangrove, perlu adanya pengontrolan di
sekitar hutan mangrove. Pengontrolan ini diperlukan agar masyarakat tidak melakukan kembali
pembalakan liar di lahan mangrove.
Ketiga proses ini tentu saja ada hambatan yang terjadi. Konflik akan terjadi baik dalam
penjagaan, pemberian pengetahuan, dan pengontrolan. Biasanya yang terjadi adalah adanya
pihak oknum yang melanggar peraturan tersebut. Beberapa penyelesaian yang dilakukan dari
hambatan tersebut adalah dengan model negosiasi dan model mediasi. Proses negosiasi selalu
bertumpu pada kemampuan masing-masing pihak dalam mengajukan dan menawarkan wujud
kompromitas, menentukan kepentingan, kompetitif yang akan dibahas, dan dalam proses “Joint
Problem Solving” harus menerapkan mekanisme solusi yang dapat diterima oleh kedua belah
pihak. Sedangkan untuk proses penyelesaian perkara melalui model mediasi dalam proses
peradilan hukum dapat dilakukan di luar Lembaga Peradilan dan di dalam proses peradilan
hukum dengan terlebih dahulu mendapatkan kesepakatan dari para pihak dan memilih serta
menentukan pihak atau orang tertentu sebagai Mediator yang ditunjuk dan dipercayakan untuk
membangun dan menjalankan proses mediasi dalam penanganan sengketa atau masalah tersebut.
Ketika proses ini telah dilakukan dengan memperhitungkan hambatan yang ada,
diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan .utan mangrove secara bijaksana tanpa merusak
ekosistem mangrove.

9

4. KESIMPULAN

Relasi masyarakat dengan hutan di wilayah Kecamatan Sicanggang, Kabupaten Langkat,
Sumatera semakin menurun. Masyarakat cenderung lebih memikirkan untuk pemenuhan
kebutuhan sehari-hari. Akibatnya hutan mangrove ditebang dan kemudian dirubah menjadi lahan
tambak. Perubahan menjadi lahan tambak disebabkan karena meningkatnya harga udang dunia.
Tetapi ekosistem mangrove dan rantai makanan menjadi terganggu akibat pembukaan tambak
ini.
Solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini adalah dengan tiga proses kegiatan. Proses
pertama yaitu adanya penjagaan di sekitar lahan mangrove. Kedua, proses pemberian
pengetahuan mengenai mangrove bagi masyarakat. Ketiga, adanya pengontrolan yang dilakukan
di sekitar lahan mangrove. Ketiga proses ini ketika mengalami hambatan, perlu adanya proses
untuk mengatasinya yaitu dengan proses negosiasi dan mediasi. Ketiga proses ini yaitu
penjagaan, pemberian pengetahuan dan pengontrolan harus dilakukan dengan proses
keberlanjutan yang memperhitungkan hambatan-hambatan yang ada, agar relasi masyarakat dan
lingkungan dapat terjaga, baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.

10