PENGEMBANGAN DESA WISATA DI KALIMANTAN

PENGEMBANGAN DESA WISATA
DI KALIMANTAN BARAT1
oleh Erdi2

A. Pengantar
Ada dua ujung yang ingin dicapai secara berkelanjutan melalui pemantapan
desa wisata; yakni kemajuan industri pariwisata dan peningkatan kesejahteraan
rakyat. Konsep ini menginginkan pariwisata dapat memberi kemakmuran bagi
masyarakat sekitar; yang ditandai dengan kemajuan perekonomian masyarakat
akibat membaiknya dunia pariwisata (Hall dkk, 2005 dan Weaver, 2006). Strategi
terbaik untuk mengembangkan pariwisata adalah dengan meningkatkan partisipasi
masyarakat (Lanza, 2005) agar dapat memperpanjang waktu tinggal turis (Tucker,
2003). Namun sayang, sejak tahun 2013 yang merupakan tahun dimulai dilakukan
pemilihan sebanyak 3 desa wisata terbaik di Indonesia oleh Kementerian Pariwisata
dan EKonomi Kreatif; jangankan Kalbar, Regional Kalimantan saja belum ada yang
terpilih hingga sekarang dan ini menjadi catatan untuk kita semua; padahal kita
memiliki julukan sebagai negeri the heart of borneo. Dari sebanyak 980 desa wisata di
Indonesia, sebanyak 31 desa diantaranya berada di Kalbar; diantaranya Bagak Sahwa,
Sebubus, Balai Karangan, Sungai Uluk Palin, Ensaid Panjang, Kebong, Sungai Buaya,
Sedahan Jaya, Dalam Bugis, Sungai Kakap, Jeruju Besar dan lain-lain sebagaimana
tertuang dalam SK Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata No.

29/Kep/DPDP/I/2013 tanggal 7 Januari 2013. Pengembangan desa wisata berarti
pengembangan pariwisata yang melibatkan sumber daya masyarakat di kawasan
wisata secara berkelanjutan.

B. Konsep Desa Wisata
Menurut Priasukmana & Mulyadin (2001), desa wisata (DW) merupakan
suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang
mencerminkan keaslian pedesaaan; baik dari kehidupan social ekonomi, sosial
budaya, adat-istiadat, keseharian, kearsitekturan (bangunan) dan struktur tata-ruang
desa; atau suatu kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai
potensi untuk dikembangkan menjadi paket wisata yang unsurnya meliputi atraksi,
akomodasi, makanan-minuman, cindera-mata, dan kebutuhan wisata lainnya.
1

2

Makalah disampaikan pada FGD Pengembangan Desa Wisata Tahun 2016 berdasarkan
surat permohonan menjadi narasumber dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Provinsi Kalimantan Barat No. 556/010/Disparekrap-PDP tanggal 5 September 2016 di
Hotel Orchad Perdana. Sementara edisi ringkasnya telah dimuat oleh Pontianak Post

pada hari Kamis, 15 September 2016 halaman 13 kolom Opini dengan judul
Memantapkan Desa Wisata Di Kalbar seperti terlampir di akhir tulisan ini.
Erdi adalah Doktor Kebijakan Pariwisata; Dosen pada FISIP UNTAN, MAP-UT, dan IPDN
Kampus Kalbar; juga menjadi Instruktur pada Lembaga Pengembangan Pendidikan dan
Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Page |2

Selain berbagai keunikan, kawasan DW juga dipersyaratkan memiliki
berbagai fasilitas penunjang daerah tujuan wisata. Berbagai fasilitas ini akan
memudahkan para wisatawan untuk melakukan perjalanan dan kegiatan wisata.
Fasilitas-fasilitas yang seyogyanya ada di suatu kawasan DW antara lain sarana
transportasi, telekomunikasi, kesehatan, dan akomodasi. Khusus untuk sarana
akomodasi, DW dapat menyediakan sarana penginapan berupa pondok-pondok
wisata (villa) atau rumah tinggal (home stay) agar para wisatawan mendapatkan rasa
aman dan merasakan suasana pedesaan yang asli dan asri.
Masih menurut Priasukmana dan Mulyadin (2001), penetapan suatu desa
dijadikan sebagai DW harus memenuhi persyaratan-persyaratan (dengan berbagai
tambahan dan penyesuaian dari penulis):
1.

Aksesibilitas, untuk memudahkan wisatawan mengunjugi destinasi dengan
menggunakan berbagai jenis alat transportasi.
2.
Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda, makanan
lokal, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek wisata dan dikemas
menjadi paket wisata.
3.
Masyarakat dan aparat desa yang dapat menerima dan memberikan dukungan
tinggi terhadap keberadaan DW; khususnya bagi kedatangan turis.
4.
Keamanan di desa tersebut terjamin.
5.
Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai untuk
menimbulkan rasa nyaman
6.
Beriklim sejuk atau dingin.
7.
Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat
luas.
Dengan tujuh kriteria di atas, maka kita dapat menentukan sebuah DW dan

kemudian melakukan pembinaan kepada masyarakat sehingga terwujud DW secara
akumulatif di Indonesia pada umunya dan di Kalbar pada khususnya.
Dari situs yang lain, yakni https://id.m.wikipedia.org/wiki/Desa_wisata
disebutkan terdapat 5 (lima) indicator sebagai penentu DW; yakni:
1.
Atraksi wisata; yaitu semua hal yang mencakup alam, budaya dan hasil ciptaan
manusia. Atraksi yang dipilih adalah yang paling menarik dan atraktif di desa.
2.
Jarak Tempuh; adalah jarak tempuh dari kawasan wisata terutama tempat
tinggal wisatawan dan juga jarak tempuh dari ibukota provinsi dan jarak dari
ibukota kabupaten.
3.
Besaran Desa; menyangkut masalah-masalah jumlah rumah, jumlah penduduk,
karakteristik dan luas wilayah desa. Kriteria ini berkaitan dengan daya dukung
kepariwisataan pada suatu desa.
4.
Sistem kepercayaan dan kemasyarakatan; merupakan aspek penting
mengingat adanya aturan-aturan yang khusus pada komunitas sebuah desa.
Perlu dipertimbangkan adalah agama yang menjadi mayoritas dan sistem
kemasyarakatan yang ada.

5.
Ketersediaan infrastruktur; meliputi fasilitas dan pelayanan transportasi,
fasilitas listrik, air bersih, drainase, telepon dan sebagainya.
Masing-masing kriteria di atas digunakan untuk melihat karakteristik utama
suatu desa untuk kemudian menetukan apakah suatu desa akan menjadi desa dengan
tipe berhenti sejenak, tipe one day trip atau tipe tinggal inap.

Page |3

Sementara kajian lain menyebutkan bahwa untuk menentukan sebuah desa
dapat dikatakan sebagai DW atau bukan, diperlukan indicator-indikator tertentu.
Hasil kajian ini diringkas menjadi tabel sebagai berikut ini.
Tabel 1
Tabel Kajian Komponen Desa Wisata

No
1

Sumber
Putra (2006)


Komponen Desa Wisata
1.
2.

3.
4.

2

Gumelar (2010)

5.
1.
2.
3.
4.

3


Prasiasa (2011)

1.
2.

Memiliki potensi pariwisata, seni, dan budaya khas
daerah setempat.
Lokasi desa masuk dalam lingkup daerah pengembangan
pariwisata atau setidaknya berada dalam koridor dan
rute paket perjalanan wisata.
Diutamakan telah tersedia tenaga pengelola, pelatih,
dan pelaku–pelaku pariwisata, seni dan budaya.
Terdapat aksesibilitas dan infrastruktur pendukung
program Desa Wisata.
Terjaminnya keamanan, ketertiban, dan kebersihan.
Keunikan, keaslian dan sifat khas
Letaknya berdekatan dengan daerah alam yang luar
biasa
Berkaitan dengan kelompok atau masyarakat berbudaya
yang secara hakiki menarik minat pengunjung

Memiliki peluang untuk berkembang baik dari sisi
prasarana dasar, maupun sarana lainnya.
Partisipasi masyarakat lokal
Sistem norma, adat dan budaya

Sumber: http://desawisatakotagede.blogspot.com/ diakses pada tanggal
10.09.2016 pukul 18.20 WIB dengan perbaikan dari penulis.
Proses pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan destinasi wisata
akan terlihat lebih maksimal apabila di DW terdapat kelompok sadar wisata
(pemandu, homestay, atraksi, dan konsumsi) yang dibentuk dari adanya faktor
pendukung internal seperti potensi alam, partisipasi masyarakat, sumber daya
manusia, kepemimpinan yang baik dari pengelola dan perangkat desa serta factor
eksternal seperti dukungan dari pemerintah untuk pendanaan, pengadaan pelatihan,
serta dari pihak di luar pemerintah seperti KKN mahasiswa, Perhimpunan Pariwisata
Indonesia dan tim yang sudah berpengalaman dalam bidang pariwisata. Dengan
perpaduan faktor internal dan eksternal, sebuah DW akan dapat menjadi destinasi
wisata secara berkelanjutan (Gössling, dkk 2009). Oleh karena itu, pengembangan
destinasi wisata pada tingkat desa akan menjadi kompetitif ketika para pihak
memainkan peran-peran secara bersama-sama, focus dan seimbang.
C. Unsur Penarik Kedatangan Turis

Keunggulan destinasi baru dapat menjadi penarik kedatangan wisatawan bilamana
semua unsur penarik telah terbangun dan terkelola secara baik (Ritchie dan Crough, 2003).
Sesungguhnya, fasilitas kepariwisataan yang terbangun oleh pemerintah adalah tidak hanya
dapat digunakan oleh wisatawan, tetapi masyarakat atau rakyat local juga dapat
menggunakan fasilitas itu secara bersama-sama dengan wisatawan. Akan menjadi salah

Page |4

ketika fasilitas yang dibangun pemerintah hanya digunakan oleh wisatawan, sementara
masyarakat dibangunkan fasilitas tersendiri dan seakan terbedakan diantara keduanya.
Keberadaan objek wisata dapat menjadi penarik kedatangan turis (Veal, 2002). Pendek
cerita, semakin banyak dan tersebar objek dan atraksi wisata, akan semakin tersebar pula
manfaat ekonomi. Semua itu menuntut peran pemerintah sebagai pemegang otoritas
wilayah untuk menetapkan standar pelayanan yang menjadi acuan bagi pengelola dalam
pelayanan di destinasi wisata (Elliot, 2007). Model yang dilakukan adalah dengan
mengoptimalkan keberadaan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara
menserasikan antara penyediaan dengan aktivitas manusia dengan daya dukung alam. Itulah
yang disebut pembangunan berwawasan lingkungan (Barrow, 2006). Salah satu bentuk
nyata dari model pembangunan demikian adalah industri pariwisata. Kita punya hutan dan
hutan itu dibiarkan lestari karena justru keberadaan hutan dapat menjadi penarik kedatangan

wisatawan (Erdi, 2015a dan 2015b).
Lalu pertanyaannya kemudian adalah apakah industri pariwisata itu adalah riil industri?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, berikut kita lihat perbandingan antara proses atau
rentetan industri barang dengan industri pariwisata. Tujuan akhir dari industri adalah
tersedianya devisa negara dan terciptanya kemakmuran rakyat. Devisa negara dimaksud
dapat digunakan pemerintah untuk membiayai program pemerintah. Ketika pariwisata dapat
menghasilkan devisa negara dan devisa itu terdistribusi kepada masyarakat dalam bentuk
proyek dan program pembangunan, berarti sector ini adalah riil industry. Mari kita lihat
Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1
Pariwisata sebagai ”Quick Yielding Industry”
Export Barang ke LN:
Permintaan
barang ke LN

Proses produksi

Distribusi
barang ke LN


Pembayaran dgn
dollar

Devisa Negara

Invisible Export (pembangunan pariwisata)
Kedatangan
wisatawan

Pengeluaran turis di destinasi: Akomodasi,
Makan-minum, Belanja, Transport Lokal,
Attraksi wisata dan lain-lain

Devisa
Negara

Sumber: Davidson, 2005 disimpelkan oleh penulis.
Dari Gambar 1 di atas, terdapat dua proses produksi yang terpotong. Tidak hanya itu,
di dalam proses kedua, juga terjadi keunggulan, yakni terbebaskannya masyarakat dari
pembiayaan dan regulasi internasional yang harus dibayar bilamana harus kirim barang ke
luar negeri. Sementara industri pariwisata, masyarakat tidak dibebankan biaya tambahan
kecuali memperbaiki kualitas produksi dan performa sehingga dapat dibeli oleh turis dalam
berbagai bentuk pengeluaran dan dibeli oleh turis dalam wujud paket wisata (Erdi, 2015c).
Dalam kaitan dengan penarik turis, paling tidak ada beberapa unsur penarik. Gambar 2
berikut memperlihatkan unsur dimaksud secara jelas.

Page |5

Gambar 2.
Model Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan oleh penulis yang dikembangkan dari Model
Ritchie dan Crough (2003:111).
Informasi tentang
Destinasi (Unsur 5A)

Terbangun

Puas  Berlanjut ke kunjungan
ulangan dengan membawa rekan,
sahabat dan keluarga untuk masa
tinggal yang lebih lama

UNSUR PENARIK
KEDATANGAN TURIS
1.
2.

DESTINASI
WISATA

3.
4.
5.
6.

Pisiografi
Budaya dan
sejarah
Aktivitas
Kejadian khusus
Superstruktur
Aktivitas potensi
pembentuk
jaringan

TURIS
Mengelola Pesan
Wisatawan

Tidak terbangun atau tidak
sesuai dgn iklan

Turis Kabur (memilih
destinasi lain)

Dari Gambar 2 di atas, paling tidak terdapat 6 unsur yang perlu diperhatikan dalam
rangka menahan lama tinggal turis. Keenam unsur tersebut, ternyata dapat menuai manfaat
berupa pendapatan sebagaimana tergambar pada Gambar 3.

D. Pemanfaatan ITC Dalam Pemasaran Destinasi
Kehadiran informasi teknologi computer (ITC) yang wujudnya adalah internet tidak
dapat disangkal telah dapat membantu destinasi dalam promosi pariwisata. Kehadiran
teknologi internet juga membuat tarif promosi semakin murah dengan skope target
(sasaran) yang sangat luas dan bahkan tidak terbatas oleh jarak, waktu dan negara. Dengan
sentuhan di ujung jari, masyarakat yang membutuhkan informasi destinasi dengan mudah
akan memperolehnya. Oleh karena itu, keberadaan informasi destinasi ini akan lebih efektif
bilamana dibuat atau dibungkus ke dalam sebuah paket wisata dan terhubung dengan
berbagai media social seperti Facebook, Twitter, Blogging, Chatting, Forum, Email, dan
sebagainya.

Page |6

Gambar 3
Struktur pengeluaran turis di destinasi wisata yang berkontribusi pada
pelayanan dan berdampak pada kesejahteraan
Pengeluaran turis
Pendapatan dari
belanja turis untuk
pelayanan hotel
dan pajak

Pendapatan dari
belanja turis untuk
sektor rumah tangga
dan pajak
Sektor
tertier

Pendapatan dari
belanja turis atas
produk industri
retail dan pajak

Hotel, retail
dan layanan
bisnis
Industri
rumah
tangga

Bisnis grosir
(BG)

Pendapatan dari belanja turis
atas jasa dan berbagai bentuk
pelayanan dan pajak

Sektor
sekunder

Pendapatan langsung (via hotel) di daerah
destinasi
Pendapatan tidak langsung (via hotel)
untuk BG dan IRT

Sektor
primer

Pendapatan dari belanja
turis untuk kebutuhan
primer dan pajak

Pendapatan induksi dari berbagai sektor di
daerah destinasi
Pendapatan induksi dari belanja turis di
daerah destinasi

Sumber: Page, 2007:395 dengan beberapa modifikasi penulis

Di ujung jari pengguna internet, promosi pariwisata Indonesia dapat
menembus batas ruang dan waktu dengan biaya yang sangat murah, mudah diakses
dimanapun dan kapanpun, mampu menyediakan informasi sedetil mungkin seperti
harga, lokasi, informasi sekitar, cuaca, atraksi, events, secara interaktif dan up to date,
serta jangkauan yang sangat luas ke seluruh dunia. Perlu diingat bahwa pemanfaatan
ITC hendaknya sampai ke tingkat 4; yakni dapat secara langsung melakukan transaksi
seperti terlihat pada Gambar 4.
E.

Konsep dan Kontek Integrasi Dalam Memperpanjang Lama Tinggal Turis
Pelajaran dari beberapa negara yang dianggap telah maju dalam industri
kepariwisataannya seperti Italia dan Perancis, telah mampu memperlama tinggal
wisatawan antara 2 sd 7 hari lebih lama dari waktu yang direncanakan dan juga
mampu memperbesar pengeluaran turis menjadi 150% hingga 200% dari perencanaan
semua, sedangkan Singapura, Thailand dan Malaysia selain mampu menahan lama
tinggal wisatawan menjadi lebih lama 2 hari dari perencanaan semula, juga mampu
memperbesar pengeluaran wisatawan antara 120% hingga 140% dari perencanaan
semua (OECDa, 2011 dan OECDb, 2011).

Page |7

Gambar 4
Stage of e-govt Level Dalam Pemanfaatan ITC untuk Industry Pariwisata

expansion

Sumber: Latif Al-Hakim. 2008; pp 24 dengan modifikasi Penulis.
Dari studi tentang isu dan kebijakan kepariwisataan di Negara-negara OECD
juga diperoleh informasi bahwa memperlama tinggal wisatawan akan berimplikasi
pada jadwal penerbangan atau kepulangan wisatawan dan untuk mengatur jadwal
penerbangan ulang (reschedule), semua maskapai penerbangan yang beroperasi di
negara ini diwajibkan tunduk pada kebijakan pemerintah dengan mengharuskan
seluruh agen penjulan tiket pesawat dan reservasi hotel untuk mempermudah
layanan kepada turis dengan tanpa biaya tambahan (recharge) apapun (OECDb, 2011).
Aspek lain yang juga penting diberikan oleh pemerintah adalah layanan visa on
destination. Bagi turis, aspek kemudahan akses dan layanan visa menjadi tolak ukur
kunjungan ke destinasi, sehingga bukan hanya kebijakan bebas visa seperti yang
dilakukan pemerintah Malaysia dengan memberikan bebas visa bagi 164 negara.
Target sektor pariwisata tahun 2019 adalah menaikkan indeks daya saing pariwisata
Indonesia ke ranking 30 dunia. Dengan kondisi ini, kontribusi sector pariwisata pada PDB
Nasional akan mencapai 8%, dengan jumlah perolehan devisa sebesar Rp 240
triliun, terciptanya lapangan kerja di bidang pariwisata sebanyak 13 juta orang untuk
melayani kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 20 juta dan pergerakan
wisatawan nusantara (wisnus) sebanyak 275 juta.

Sementara target pariwisata tahun 2016 yang telah ditetapkan oleh Kemenpar
adalah jumlah kunjungan wisman sebanyak 12 juta dengan devisa yang dihasilkan
diproyeksikan sebesar Rp 172 triliun; jumlah perjalanan wisatawan nusantara (wisnus)
sebanyak 260 juta perjalan dengan uang yang dibelanjakan sebesar Rp 223,6

Page |8

triliun; kontribusi pariwisata terhadap PDB nasional 5% dan jumlah lapangann kerja
yang diciptakan sebesar 11,7 juta tenaga kerja.
Akankah kita juga mampu melakukan itu? Bila tidak mungkin, maka
kecenderungan akan kehilangan kunjungan wisman dan pendapatan dari mereka
akan terjadi. Oleh karena itu, dibutuhkan regulasi khusus untuk mempermudah
urusan turis dimana pemerintah harus mengatur dan ikut mengurus atau terlibat
dalam pengelolaan kepariwisataan dengan melakukan control pada pelayanan para
pihak dan secara terus-menerus membangun infrastruktur kepariwisataan hingga ke
tingkat desa.
Bilamana semua infrastruktur yang terbangun itu tidak digunakan oleh turis,
maka pihak yang akan menggunakannya adalah masyarakat lokal itu sendiri. Dengan
demikian, motto sebagaimana disampaikan oleh Stiver (2001) bahwa the essential
roles of government are how serve their people as good as possible dapat diwujudkan
melalui pembangunan pariwisata.
Dari potensi yang dimiliki oleh Indonesia pada umumnya dan Pemerintah
Kalimantan Barat pada khususnya, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok dalam
keindahan alam dan budaya; justru yang berbeda hanyalah dalam hal investasi dan
pengelolaan destinasi. Dengan dua hal itu, sejuta eksotik Indonesia akan dapat
termanfaatkan dalam menarik industri pariwisata dalam rangka pembangunan
ekonomi berkelanjutan dan berwawasan lingkungan!

Daftar Pustaka
Barrow, C.J. 2006. Environmental Management for Sustainable Development.
Second Edition. Routledge. London
Elliot, James. 1997. Tourism: Politic and Public Sector Management. Routledge, Taylor
and Francis Group. London.
Erdi. 2015a. Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca di Kalbar. Telah dimuat pada Harian
Pontianak Post pada hari Senin, 29 Juni 2015 pada kolom Opini; pp. 14.
--------- . 2015b. Belajar Melestarikan Rimba Sayu Dari Desa Lape, Kabupaten Sanggau.
Telah dimuat pada Harian Tribun Pontianak Post pada hari Selasa, 30
Juni 2015 pada kolom Opini pp.18.
-------- . 2015c. Makna Garga Paket Wisata di Mata Turis. Telah dimuat pada Harian
Pontanak Post pada hari Senin, 23 Maret 2015 pada kolom Opini pp.14.
Gössling, Stefan; C. Micheal Hall dan David B. Weaver. 2009. Sustainable Tourism
Future. Routledge: Taylor and Francis Bacon. London.
Hall, Derek; Irene Kirpatrick dan Morag Mitcheall. 2005. Rural Tourism and
Sustainable Business. Channel View Publication. Toronto.

Page |9

Latif Al-Hakim. 2008. Global E-Government: Theory, Applications and Benchmarking.
Idea Group Publishing: London.
OECD. 2011a. OECD Studies on Tourism: Italy. OECD. Paris.
----------. 2011b. OECD Tourism Trends and Policies 2010. OECD, Paris.
Page, Stephen. 2007. Tourism Management: Managing for Change. Second Edition.
Butterworth-Heinemann. Oxford.
Priasukmana, Sutarso dan R Muhammad Mulyadin, 2001, "Pembangunan Desa
Wisata: Pelaksanaan Ekonomi Daerah" dalam Jurnal Info Sosial
Ekonomi, vol. 2 no.1.
Ritchie, J. R. Brent dan G. I. Crouch. 2003. The Competitive Destination: A Sustainable
Tourism Perspective. CABI Publishing. Cambridge.
Stivers, Camilla. 2001Democracy, Bureaucracy, and the Study of Administration. West
View. Oxford.
Tucker, Hazel. 2003TLiving with Tourism: Negotiating identities in a Turkish Village.
Routledge: Taylor and Francis Group. London.
Veal, A. J. 2002. Leisure and Tourism Policy and Planning. Second Edition. CABI
Publication: Wallingford.
Weaver, David. 2006. Sustainable Tourism: Theory and Practice. Elsevier. Amsterdam.

Pontianak,

12 September 2016
10 Djulhijjah 1435 H