POLA PENGASUHAN ANAK DI MASYARAKAT KUMUH

POLA PENGASUHAN ANAK DI MASYARAKAT KUMUH PERKOTAAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.1 Lokasi dan Keadaan Daerah
Lokasi penelitian ini bertempat di RT 03/RW 09 (biasa

disebut daerah

Sayuran), Kelurahan Cijerah, Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung. Daerah ini
terletak di ujung kecamatan Bandung Kulon yang berbatasan langsung dengan kota
Cimahi.
Daerah Sayuran merupakan salah satu daerah kumuh yang ada di kelurahan
Cijerah. Luas daerah ini kurang lebih 1,5 km persegi. Sayuran termasuk daerah
kumuh yang padat penduduknya. Susunan rumah di daerah ini tidak beraturan, jarak
satu rumah ke rumah yang lainnya tidak jelas.
1.2 Penduduk
Jumlah penduduk yang tinggal di RT 03/RW 09 (Sayuran) sampai saat ini
adalah 117 orang, yang terdiri dari 21 kepala keluarga. Penduduk yang tinggal di
daerah Sayuran rata-rata merupakan pendatang dari daerah luar Bandung, penduduk
asli daerah setempat diperkirakan hanya separuh dari jumlah penduduk. Penduduk
pendatangnya ada yang berasal dari Garut, Tasik, Ciamis, Jawa, dan lain-lain.
1.3 Kehidupan Ekonomi

Kehidupan ekonomi penduduk di daerah Sayuran adalah menengah ke
bawah. Sebagian besar kehidupan ekonomi penduduknya bisa dikatakan lemah. Mata
pencaharian mereka beraneka ragam; ada yang berdagang, bekerja di pabrik (buruh),
tukang becak, bahkan ada yang mencari nafkah sebagai pemulung.
1.4 Pendidikan
Warga yang tinggal di daerah Sayuran rata-rata berpendidikan rendah, karena
lebih dari 50% warga hanya tamatan SD, selebihnya tamatan SMP dan SMA.
Sedangkan yang menyicipi pendidikan sampai ke perguruan tinggi bisa dihitung
dengan jari sebelah tangan.

1

2. Pola Pengasuhan Anak dalam Keluarga
Keluarga yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah sebuah keluarga
muda. Ayah bernama Yono (25), ibu bernama Erna (22), dan sang anak bernama
Aditya (6). Aditya sekarang sekolah di SD Cijerah sebagai murid kelas 1. Mereka
tinggal di sebuah rumah kontrakan yang berukuran 3x4 m. kamar, ruang keluarga,
dan dapur menjadi satu (hanya di ruangan itu). Malam hari rumah mereka berfungsi
sebagai kamar, sedangkan siang harinya berubah menjadi ruang keluarga atau dapur.
Untungnya dalam memasak nasi mereka menggunakan Magic jar , dan untuk

memasak yang lainnya mereka menggunakan kompor gas gratis yang dibagikan
pemerintah.
Perabotan rumah tangga yang dimiliki oleh keluarga ini antara lain; satu
lemari pakaian, satu buah TV 14 inci, satu buah kasur, satu buah kompor gas kecil,
satu buah magic jar, satu buah strika, dan beberapa alat untuk memasak.
Ayah Aditya (Yono) bekerja sebagai montir di sebuah bengkel. Sedangkan
Ibunya tidak bekerja, beliau bertugas di rumah untuk menyiapkan kebutuhan
keluarga. Penghasilan Yono sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan seharihari keluarga mereka.
2.1 Pola Interakasi
2.1.1 Interaksi Ayah, Ibu, dan Anak
Interaksi dalam keluarga ini berjalan dengan baik, karena setiap ada masalah
selalu dibicarakan bersama. Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anaknya.
Setiap ada masalah yang dihadapi oleh anak (Aditya), orangtuanya selalu membantu
untuk memecahkan masalah tersebut.
2.1.2 Interaksi antara Anak dengan Orang Lain (Lingkungan)
Dalam berhubungan dengan lingkungannya, Aditya termasuk anak yang aktif.
Di lingkungan tempat tinggalnya Aditya termasuk anak yang jarang keluar rumah.
Walaupun ia jarang keluar rumah, tapi kalau ada kegiatan anak-anak di sekitar
rumahnya Aditya termasuk anak yang aktif.


2

Di lingkungan sekolah, Aditya juga termasuk anak yang aktif. Ia selalu ikut
kegiatan pramuka dan bebrapa kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Di kelasnya, Aditya
selalu aktif bertanya. Aditya disukai banyak temannya karena dalam bergaul tidak
pernah merugikan orang lain dan ia selalu ceria.
2.2 Perawatan dan Pengasuhan Anak
Orang tua Aditya (Yono dan Erna) merupakan orangtua yang sangat perhatian
dan mengerti akan kebutuhan anaknya. Walaupun mereka tergolong pasangan muda,
tapi mereka sangat mengerti bagaimana cara yang baik untuk merawat dan mengasuh
anak. Mereka sangat mengutamakan pendidikan, sehingga apapun yang dibutuhkan
Aditya dalam pendidikan mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhinya.
Dalam urusan pendidikan agama, mereka juga sangat perhatian. Selain
mengajarkan tata cara sholat serta membimbing untuk selalu sholat lima waktu,
mereka juga mengajar ngaji (baca-tulis al-Qur’an) setiap selesai sholat maghrib di
rumah mereka. Mereka juga menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini.
2.3 Disiplin
2.3.1 Makan dan Minum
Dalam sehari, biasanya Aditya dan keluarganya makan tiga kali sehari.
Mereka sarapan sebelum Aditya berangkat sekolah dan ayahnya berangkat kerja.

Untuk makan siang Aditya biasanya makan setelah pulang sekolah dan hanya berdua
dengan ibunya, karena ayahnya masih kerja. Barulah di waktu makan malam mereka
berkumpul lagi untuk makan bersama-sama. Ayah Aditya pulang dari kerja biasanya
pukul 5 sore.
2.3.2 Disiplin dalam Beribadah
Dalam urusan ibadah, keluarga aditya termasuk keluarga yang taat. Mereka
selalu melaksanakan sholat yang lima waktu. Aditya biasanya bangun dari tidur
pukul 05.00, dan langsung melaksanakan sholat shubuh berjama’ah dengan ayah
ibunya. Sholat zuhur dan ashar Aditya biasanya ditemani ibunya. Sholat maghrib
mereka kembali berjama’ah, setelah sholat maghrib Aditya selalu mengaji di

3

rumahnya dengan bimbingan kedua orangtuanya. Biasanya Aditya mengaji sampai
waktu sholat isya tiba, kemudian dilanjutkan dengan sholat isya berjama’ah.
2.3.3 Disiplin Belajar
Dalam hal Belajar, Aditya termasuk anak yang rajin. Prestasi di sekolahnya
cukup bagus, ia termasuk ranking 4 besar di kelasnya. Orang tua Aditya sangat
memperhatikan kedisiplinan dalam belajar. Aditya mempunyai jadwal rutin untuk
belajar di rumah, yaitu sehabis sholat isya sampai kira-kira jam 9. Waktu tersebut

digunakan untuk mengerjakan PR atau mebaca pelajaran untuk hari besoknya.
2.3.4 Disiplin Bermain
Dalam hal bermain, Aditya termasuk anak yang agak jarang keluar rumah.
Padahal orang tuanya tidak melarang dia untuk bermain dengan teman-temannya di
sekitar rumanya. Ia lebih suka main game (nintendo) di rumahnya. Kadang-kadang ia
mengajak teman untuk main di rumahnya. Waktu untuk bermain adalah dari jam 4
sore sampai waktu magrib. Aditya dibelikan Nintendo oleh Ayahnya agar ia tidak
ikut-ikutan menghabiskan uang untuk bermain PS di rumah tetangganya.
2.3.5 Disiplin Tidur dan Istirahat
Waktu untuk istirahat dan tidur Aditya sangat teratur. Untuk malam hari, ia
tidur jam 9 setelah selesai belajar, kemudian bangun jam 5 subuh. Istirahat di siang
hari juga ada waktunya, yaitu setelah makan siang kira-kira jam 2 sampai jam 4 sore.
2.3.6 Disiplin Kebersihan Diri
Masalah kebersihan adalah unsur yang sangat penting dan mendapat
perhatian yang besar dari orang tua Aditya. Apalagi mereka tinggal di daerah yang
tergolong kumuh. Untuk menjaga kebersihannya, dalam sehari Aditya mandi dua kali
dalam sehari, yaitu di waktu mau berangkat sekolah dan di sore hari setelah bangun
dari tidur siang.

4


ANALISA
Dalam proses sosialisasi, seorang individu akan dibimbing dan diarahkan
untuk membentuk diri menjadi seorang anggota masyarakat yang mampu berpikir
dan bertindak sesuai norma dan nilai sosial budaya yang berlaku pada masyarakat
tempat ia hidup. Salah satu bagian dari proses sosialisasi adalah cara pengasuhan
anak yang berlaku pada setiap masyarakat.. Menurut Dananjaya (1980 : 68), “Pola
pengasuhan anak pada setiap masyarakat tidak bisa terlepas dari fungsinya yaitu
menyiapkan seorang anak untuk menjadi warga masyarakat yang merupakan upaya
agar masyarakat dan kebudayaan dapat terpelihara terus, ide-ide yang ditanamkan
kepada warga baru ini harus sesuai dengan yang berlaku pada masyarakat dan
kebudayaannya”. Proses pewarisan kebudayaan ini akan dimulai pertama kali di
dalam lingkungan keluarga, yang merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat.
Dengan mengacu kepada konsep dasar tumbuh kembang maka secara
konseptual pengasuhan adalah upaya dari lingkungan agar kebutuhan-kebutuhan
dasar anak untuk tumbuh kembang (’asuh, asih, dan asuh’) terpenuhi dengan baik
dan benar, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Namun
praktiknya tidaklah sesederhana itu karena praktik ini berjalan secara informal,
sering dibumbui dengan hal-hal yang tanpa disadari dan tanpa disengaja dan lebih
diwujudkan oleh suasana emosi rumah tangga sehari-hari yang terjadi interaksi

antara orang-tua dan anaknya serta anggota keluarga lainnya. Dengan demikian
hubungan inter dan intra personal orang-orang di sekitar anak tersebut dan anak itu
sendiri sangat memberi warna pada praktik pengasuhan anak.
Komunikasi sebagai sebuah konsep dan perkembangan komunikasi antara
anak dan orang tua telah menjadi sangat penting dalam penelitian empiris tentang
bayi dan anak kecil selama 25 tahun terakhir ini. Sejumlah peneliti telah
menggambarkan komunikasi awal ibu-anak dalam bentuk saling bersuara, saling
meniru suara atau gerakan, di mana ibu dan anak berpartisipasi dengan cara yang
bervariasi. Juga kemampuan bayi untuk berkomunikasi dan meniru ekspresi perasaan
digambarkan secara rinci (Bateson 1975; Newson 1979).
Komunikasi emosional dan saling beradaptasi serta keteraturan interaksi yang
terjadi antara pengasuh dan anak (Stern 1985, 1996; Trewarthen 1984, 1988) dalam

5

perkembangan anak sebagai seorang makhluk sosial merupakan fondasi bagi semua
perkembangan mental (Bruner 1975, 1990; Vygotsky 1978). Jerome Bruner
menggambarkan bahwa pada diri anak terjadi “transactional self” dengan akses yang
intuitif dan bebas terhadap kesadaran subjektif orang lain. Ini merupakan pencarian
alami atas kesamaan konsepsi yang dia sebut “the biology of meaning”, yang

merupakan prasyarat untuk mengembangkan sebuah lingkungan yang memiliki
kesamaan pengertian dan tindakan.
Sudah lebih dari tiga puluh tahun para ahli psikologi berpendapat bahwa
sikap dan pandangan tentang nilai-nilai dari orang-tua mempengaruhi kreativitas
anak-anaknya. Beberapa hal penting tentang bagaimana secara langsung dapat
merangsang kreativitas anaknya adalah:
1. Kebebasan – orang-tua yang memberikan kebebasan yang cukup luas cenderung
mempunyai anak-anak yang kreatif. Orang-tua yang memberi kebebasan tidak selalu
mengontrol anaknya, tidak bersifat restriktif terhadap kegiatan anaknya.
2. Hormat – orang-tua cenderung menghormati anaknya sebagai individu, mereka
yakin akan kemampuan dan percaya akan keunikan anaknya, dengan demikian akan
meningkatkan rasa percaya diri anaknya dalam menjalani hal-hal yang berisiko serta
menjadi bersifat original. Kami ini istimewa, saya senang kamu karena kamu adalah
kamu.
3. Kedekatan emosi namun tetap tenggang rasa – Pada keluarga dengan anak-anak
yang kreatif secara relatif antara orang-tua dan anak tidak didapatkan hubungan
emosi yang terlalu dekat. Kuncinya adalah tenggang rasa: anak-anak janganlah
terlalu tergantung pada orang, namun anak-anaknya merasakan bahwa mereka
disayangi dan diterima oleh orang-tua mereka.
4. Nilai, bukan aturan – orang-tua dari anak-anak yang kreatif tidak membuat terlalu

banyak aturan. Namun bukan berarti orang-tua menjadi primisif. Daripada membuat
aturan-aturan khusus orang-tuanya mengajarkan nilai-nilai tentang apa yang benar
dan yang salah, memperlihatkan nilai-nilai tersebut dengan contoh diri mereka

6

sendiri dan memberi dorongan kepada anaknya untuk menetapkan perilaku yang
mencontohkan nilai tersebut. Orang-tua mengharapkan anaknya bertindak mandiri
namun penuh tanggung-jawab.
5. Perolehan, bukan angka/rangking – orang-tua yang kreatif sangat menghargai
perolehan/keberhasilan anaknya. Mereka mendorong anaknya untuk berbuat yang
terbaik untuk memperoleh hal-hal yang bagus. Menganggap imajinasi dan kejujuran
jauh lebih penting daripada angka yang tinggi maupun IQ tinggi. Sangat menarik
adalah bahwa kebanyakan orang-tua pada keluarga dengan anak-anak yang kreatif
merasakan hanya sedikit saja masalah disiplin pada anak-anaknya.
6. Orang-tua yang aktif dan mandiri – sebagai orang-tua sikap tentang diri sendiri
sangat penting karena orang-tua menjadi model utama bagi anak-anaknya. Orang-tua
dari anak yang kreatif cenderung merasa yakin akan dirinya sendiri, tidak
mempedulikan status sosial, tidak terikat dan relatif kebal terhadap tuntutan sosial.
Mereka sangat kompeten dan mempunyai perhatian yang beraneka di dalam maupun

di luar rumah.
7.

Apresiasi terhadap kreativitas – anak-anak yang kreatif merasakan adanya

dorongan yang kuat dari orang-tuanya untuk berbuat kreatif dan orang-tua mereka
menyatakan kegembiraannya melihat anak-anaknya mempertunjukkan kreativitas.
Orang-tua mereka memupuk pengembangan kreativitas anak mereka dengan
penyediaan sarana, pelajaran, dan pengalaman yang merangsang.
8. Visi – orang-tua yang kreatif mempunyai visi yang jelas tentang anaknya sebagai
individu yang terpisah dan bebas, pantas dihargai dan dikasihi, yang dapat
diharapkan bertindak dengan moral dan tanggung-jawab pada situasi apapun.
9. Humor – kemampuan untuk tertawa tentang suatu situasi, peristiwa maupun diri
sendiri. Dalam keluarga dengan anak-anak yang kreatif selalu ada suasana canda,
main plesetan dan saling menggoda. Anggota keluarga saling memberi nama julukan

7

(misalnya dari komik) dan mempunyai kosa kata yang hanya dapat dimengerti oleh
mereka sendiri.

Dalam hal mengasuh dan mengajarkan kebudayaan Indonesia serta
memasukkan nilai-nilai budaya yang ada pada anak, orang tua harus menyamakan
persepsi terlebih dahulu sehingga nantinya dapat meminimalisir kebingungan pada
anak dalam mempelajari kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Selain itu,
orang tua juga harus menggunakan metode pengasuhan yang bersifat universal, yaitu
tidak memihak pada salah satu kebudayaan tertentu, dan mengutamakan kebaikan
yang bersifat universal. Hal lainnya yang penting juga dilakukan oleh orang tua
adalah menutupi kekurangan yang ada pada satu kebudayaan, dan lebih
mengutamakan hal-hal positif yang ada pada kebudayaan tersebut serta mengajarkan
atau setidaknya memperkenalkan pada anak seluruh kesenian yang ada pada
kebudayaan orang tuanya.
Berbeda dari makhluk hidup lainnya, ketika dilahirkan manusia baru
(newborn baby) merupakan makhluk yang tidak berdaya, dan amat sangat tergantung
(dependence) pada pengasuhnya dalam hal ini pada ibunya. Menurut Neuman (1990)
hubungan ibu-anak bahkan sudah dimulai sejak dalam kandungan (intra-uterine)
yakni pada masa uroboric dimana terjadi kesatuan (unity) antara diri (the self), ego
dan kebenaran (ruh Tuhan, the light). Pada masa uroboric ini hingga individu berusia
20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri
individu, yang disebut Neuman sebagai primal relationship. Dalam pandangan ahli
social learning maka apa yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya merupakan
proses yang diadopsi oleh si anak melalui proses social-modelling. Bagaimana cara
ibu mengasuh, apakah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang atau apakah
dengan kasar dan amarah serta penolakan akan membentuk perilaku manusia muda
tersebut.

Menurut Rohner dalam bukunya the warmth dimension of parenting

dikatakan bahwa seorang anak mempunyai perilaku baik atau buruk didasarkan atas
cara pengasuhan yang diberikan ibunya.

Anak-anak yang diasuh dengan cara

diterima (acceptance) akan menjadi anak yang tumbuh dan berkembang lebih baik
dibandingkan anak yang diasuh dengan cara ditolak (rejection). Anak-anak yang
diasuh dengan kekerasan juga belajar kekerasan pertama kali dari ibunya, sehingga ia

8

juga akan tumbuh menjadi anak yang menolak (anti-social) dan seringkali diikuti
oleh perilaku destruktif.
Sebaliknya anak-anak manusia yang diasuh dengan kasih sayang juga akan
memiliki ikatan kasih sayang yang kuat dengan ibunya (emotional bonding) dan
cenderung menjadi anak yang patuh (obedience) dibandingkan anak yang lemah
ikatan emosionalnya. Oleh sebab itu apa yang terjadi pada anak Jepang yang diasuh
ibu dan jarang dipisahkan dari ibunya memiliki ikatan emosional yang lebih tinggi
dibandingkan anak-anak barat (western society) pada umumnya, dan ternyata anakanak Jepang tersebut tumbuh menjadi anak yang patuh dan hormat kepada
orangtuanya serta memiliki prestasi akademik lebih baik dibandingkan anak-anak
barat (Schikendanz, 1986). .
Keharmonisan

dalam

keluarga

sebagaimana

dipercaya

oleh

para

environmentalism juga mempunyai kontribusi terhadap bagaimana perilaku anak
manusia. Hal ini telah dibuktikan oleh para ahli selanjutnya, seperti diungkapkan
Fagan (1995) bahwa anak-anak yang melakukan kenakalan dan pelanggaran hukum
dan norma adalah anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis,
orangtua tunggal atau orangtua yang menikah kembali (step parent family). Anak
yang dibesarkan dari keluarga seperti itu juga cenderung memiliki pengalaman pahit
dan buruk dalam masa kecilnya, mereka seringkali disiksa (physically or sexually
abused), dan mengalami perceraian beberapa kali dalam masa kanak-kanaknya,
sehingga anak-anak tersebut belajar kekerasan dan kekejaman dari orangtuanya dan
tumbuh menjadi manusia yang keras dan kejam pula.
Contoh yang buruk dari hubungan suami dan istri juga menjadi teladan yang
buruk bagi kehidupan pernikahan anak tersebut ketika menjadi dewasa. Mereka
kehilangan komitmen terhadap pasangan, sangat menjunjung tinggi aktualisasi diri
dan kebebasan, hingga angka perceraian di Amerika dan kebanyakan negara maju
lainnya meningkat tajam pada dekade ini.

Karena itu anak-anak yang berasal dari

keluarga seperti ini akan menjadi manusia yang kehilangan nilai konvensional dan
tradisional tentang keluarga. Bagi mereka perceraian bukanlah sesuatu yang salah,
meskipun agama Katolik telah mengharamkan terjadinya perceraian, dan agama
Islam telah menyatakan bahwa Tuhan membenci perceraian. Terlebih sistem hukum
negara saat ini seperti di Amerika Serikat telah memungkinkan terjadinya perceraian

9

meski tanpa sebab adanya kesalahan (no vault divorce). Dampaknya adalah pada
menurunnya nilai komitmen dan pengorbanan yang selayaknya ada pada sebuah
keluarga. Hal ini secara tak langsung dapat menggerus bukan saja nilai keluarga
tetapi juga nilai pribadi saat berhubungan dengan tanggungjawab sosial (civic
responsibility). Kebanyakan orang saat ini terlalu memperhitungkan untung dan rugi
ketika berhubungan dengan orang lain, termasuk dalam sebuah pernikahan.
Oleh sebab itu keluarga memiliki peran yang besar disamping sekolah dalam
memberikan pengetahuan tentang nilai baik dan buruk kepada anak-anaknya.
Keluarga pulalah wadah dimana anak dapat menerapkan nilai-nilai yang diajarkan di
sekolah, maupun di institusi keagamaan.

10

KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan di atas, khususnya hasil analisa data maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendidikan orang tua mempengaruhi pola asuh dan perkembangan anak.
2. Nilai-nilai agama dan kebudayaan sangat dibutuhkan untuk membentuk
kepribadian dan karakter anak.
3. Kehidupan ekonomi keluarga dan pekerjaan orang tua berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak.
4. Walaupun tinggal di daerah kumuh, apabila orang tua mengetahui dan
mengerti betapa pentingnya hidup bersih, insya Allah anak akan terhindar
dari berbagai macam penyakit.
5. Kedisiplinan yang ditanamkan sejak usia dini akan sangat bermanfaat bagi si
anak dalam menghadapi masa depannya.
6. Lingkungan juga mempengaruhi perkembangan anak.
7. Interaksi atau komunikasi yang intensif sangat dibutuhkan di antara orang tua
dan anaknya.
Dengan memperhatikan beberapa kasimpulan di atas, maka penulis ingin
memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Orang tua harus berusaha untuk memberikan pendidikan yang terbaik kepada
anaknya, tentunya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
2. Selain sekolah dan Lembaga pendidikan keagamaan, setiap orang tua juga
harus menanamkan nilai-nilai agama kepada anak sejak usia dini dan juga
harus melestarikan kebudayaan agar tidak terkikis di telan zaman.
3. Masyarakat harus memperhatikan kebersihan lingkungan demi menjaga
kesehatan.
4. Orang tua harus menanamkan sikap disiplin kepada anak sejak usia dini.
5. Orang tua harus bisa membangun komunikasi dan interaksi yang baik dengan
anaknya, serta mendidik anak agar bisa bersosialisasi dengan lingkungannya.

11

DAFTAR PUSTAKA
1. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Antropologi. Jakarta. Rineka cipta.
2. Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta. P.T.
Dian Rakyat.
3. Sarwono, S.W. 1997. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi
Sosial. Jakarta. Balai Pustaka..
4. Bateson, M.C.. 1975. Mother – Infant Exchanges: The epigenesist of
conversational Interaction. Annals of New York Academy of Science.
5. Stern, D..1985. The Interpersonal World of the Infant: A view from
psychoanalysis and developmental psychology. New York, Basic Books.
6. Bruner, J.. 1975. From Communication to language. London, Harvard
University Press.
7. Neuman,E. 1990. The Child. Shambala Publications,Inc., Massachusetts.

12