Citizen Inclusion Governance Inclusion d

Oleh:

Drs. Drs. Priyatno Harsasto, MA Laila Kholid Alfirdaus, Laila Kholid Alfirdaus, S.IP, MPP

Dibiayai dari Sumber ari Sumber Dana DIPA FISIP UNDI A FISIP UNDIP

Tahun Anggaran 2010

JURUSAN ILM JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK LITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO UNIVERSI

Daftar Isi

Halaman judul -1- Halaman pengesahan -2- Daftar Isi -3- Daftar Tabel-4- Kata Pengantar -5- Abstrak -6- Bab I PENDAHULUAN -7-

A. LATAR BELAKANG -7-

B. RUMUSAN MASALAH -10-

C. TUJUAN PENELITIAN -10-

D. KONTRIBUSI PENELITIAN -11-

E. TINJAUAN PUSTAKA -11-

E. 1. Keterlibatan Warga: Menggeser Pendulum Negara ke Masyarakat-11-

E.2. Bentuk-bentuk Citizen Inclusion dalam Governing Process -14-

E.3. Desentralisasi dan Good Governance -15-

E.4. Penguatan Governance di Daerah: Pemberdayaan Pemerintah & Warga-16-

F. Definisi Konsep-20-

G. METODE PENELITIAN -21-

G. 1. Pendekatan Penelitian -21-

G. 2. Jenis Penelitian -21-

G. 3. Lokasi Penelitian -21-

G. 4. Teknik Pemilihan Sumber Informasi -21-

G. 5. Teknik Pengumpulan Data -22-

G. 6. Teknik Analisa Data -22- BAB II SOSIAL, EKONOMI DAN POLITIK KOTA SURAKARTA -23-

A. Kondisi Geografis-23-

B. Sumber Daya Manusia -24-

C. Ketenagakerjaan -26-

D. Perekonomian-27-

E. Pemerintahan-29- BAB III CITIZEN INCLUSION DALAM PRAKTIK GOVERNANCE:

PENELUSURAN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN KOTA SURAKARTA -30-

A. Bentuk Kebijakan Pendidikan -30-

B. Awal Mula Kebijakan-31- C.Pelibatan Warga dalam Pemerintahan: Upaya Mewujudkan Harapan Masyarakat dan Demokratisasi Pengambilan Keputusan -33-

C. 1. Demokratisasi Sistem Perwakilan Masyarakat-33-

C. 2. Pengembangan Jaringan dan Penciptaan Saling Ketergantungan-35-

C. 3. Posisi Kelompok Sektoral dalam Proses Inklusi -38-

C. 4. Inklusi dalam Kebijakan Pendidikan -40-

C. 5. Kritik terhadap Proses Inklusi Kebijakan-42- BAB IV PENUTUP -44-

A. Simpulan -44-

B. Kelemahan Penelitian-45- DAFTAR PUSTAKA -46-

Daftar Tabel

Tabel II.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Rasio Jenis Kelamin dan Tingkat Kepadatan Tiap Kecamatan di Kota Surakarta Tahun 2007 -26-

Tabel II.2 Tingkat Kelulusan Pendidikan Kota Surakarta -27- Tabel II.3 Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota -28- Tabel II.4 Pertumbuhan PAD Kota Surakarta -29-

Kata Pengantar

Puji syukur penelitian mengenai inklusi warga dalam praktik governance dengan fokus pada kebijakan pendidikan di Kota Surakarta telah terlaksanakan. Penelitian ini berangkat dari maraknya inovasi pelayanan di berbagai daerah, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan sebagainya. Penelitian ini bermaksud menelisik keterlibatan warga dalam berbagai inovasi tersebut dengan mengambil contoh kebijakan pendidikan di Kota Surakarta sebagai fokus penelitian. Penelitian ini bermaksud mengelaborasi inklusi warga dengan pertanyaan utama: sejauh mana warga dilibatkan, dan apa hambatan untuk inklusi warga dalam inovasi kebijakan tersebit? Bagaimanapun, inovasi pelayanan adalah untuk warga, bukan untuk popularitas politik semata. Di samping warga, warga adalah esensi penting dalam governance, disamping pemerintah dan sektor swasta di daerah.

Dalam penelitiaan ditemukan bahwa inklusi warga dalam kebijakan dan pelayanan di Kota Surakarta telah berjalan. Inklusi ini berjalan melalui tiga aras, yaitu Musrenbang, public hearing dan inisiasi NGO. Proses ini melibatkan warga sebagai komunitas, bukan sebagai individu, media, dan NGO. Di sisi lain, proses inklusi ini didukung oleh kesediaan pemerintah, terutama walikota, untuk terbuka dan mendengarkan aspirasi dan suara warga. Namun demikian, inklusi ini masih dikritik terbatas pada kalangan elite, didominasi warga yang memiliki afiliasi partai, masih minim pada bidang-bidang sektoral, dan belu didukung komunikasi politik yang efektif, seperti acara interaktif warga dan walikota atau wakil walikota di radio dan TV yang intensif. Dalam beberapa hal, warga mengaku masih terbatas informasinya.

Ucapan terimakasih tidak lupa penulis ucapkan pada pihak fakultas (FISIP) yang telah memberikan dukungan dana bagi terlaksananya penelitian ini. Terimakasih juga pada Ketua dan Sekretaris Jurusan Ilmu Pemerintahan atas dukungan moril dan materiil penelitian ini. Terimakasih kepada Christian von Luebke dan Laila Alfirdaus, untuk data penelitian di Kota Surakarta, Kompip untuk laporan kajian sektor informal Kota Surakarta, dan para informan penelitian.

Bagaimanapun juga penelitian ini tidak lepas dari kekuraangan. Input dari berbagai diharapkan dapaaat membangun penelitian yag lebih baik.

Abstrak

Inklusi merupakan syarat praktik governance yang tertuang dalam kebijakan dan pelayanan publik dapat berjalan. Inklusi memastikan suara dan aspirasi warga terserap, juga memastikan peran warga diperhitungkan dalam kebijakan publik. Inklusi mensyaratkan warga yang aktif sekaligus pemerintahan yang terbuka. Dengan inklusi, kebijakan pemerintah yang inovatif dan berbasis pada kebutuhan warga dapat disusun.

Dalam konteks inilah penelitian ini dilakukan. Penelitian bermaksud mengelaborasi lebih dalam eterlibatan warga dalam berbagai inovasi kebijakan pemerintah. Penelitian mengambil kasus kebijakan pendidikan di Kota Surakarta, terutama yang dituangkan dalam Bantuan Pendidikan untuk Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS) untuk melihat sejauh mana inklusi warga dan hambatan apa yang ditemukan.

Menggunakan metode wawancara dan studi dokumentasi, penelitian ini menemukan bahwa, bidang sektoral pada dasarnya masih menjadi bidang yang dikuasai kalangan teknokrat, dan inklusi warga masih terbatas. Namun, di Kota Surakarta, kebijakan dan program sektoral, tidak lepas dari peran warga, baik melalui Musrenbang, public hearing maupun peran-peran inisiasi LSM kepada pemerintah. Warga memiliki ruang inklusi, namun dalam beberapa kasus masih terhambat bias elite dan partai. Di sisi lain, inklusi warga juga belum didukung oleh komunikasi politik yang tertata, melalui proses interaktif pemerintah dan warga. Hambatan teknis dan kultur menjadi penjelas mengapa inklusi masih memiliki berbagai kelemahan.

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Demokrasi tak bermakna tanpa inklusi karena akan terus dipertanyakan kualitasnya dan manfaatnya bagi masyarakat (Dryzek, 1995: 475). Sepertinya frasa ini dapat dijadikan penjelas atas keroposnya praktik demokrasi di Indonesia. Masyarakat berbondong-bondong dalam pemilu, bahkan sederet pemilu, tetapi terjadi keterputusan hubungan antara mereka yang dipilih dalam pemilu dan mereka yang memilih ketika ritual pemilu selesai dan yang dipilih telah masuk dalam mesin governing process atau lebih tepatnya proses-proses legislasi (Edi, 2009). Lemahnya inklusi menyebabkan demokrasi terjebak dalam pengertian-pengertian prosedural, sebagaimana Schumpeter ketika menggarisbawahi makna demokrasi (Gaffar, 1999), tetapi lemah sebagai nilai dan ruh dalam praktik menjalankan tata kelola pemerintahan sehari-hari (governance, governing process).

Problem ini secara baik direfleksikan oleh Michel Pimbert dan Tom Wakeford (2001) ketika mengkritisi praktik demokrasi keterwakilan. Menurut Pimbert dan Wakeford (2001: 23), demokrasi keterwakilan yang menekankan peran dan fungsi wakil rakyat sebagai penyambung lidah rakyat, masih tidak cukup mewadari suara (voice) masyarakat. Seringkali, di negara-negara yang telah mempraktikkan demokrasi keterwakilan, inisiatif untuk menciptakan ruang baru muncul untuk memastikan bahwa masyarakat dapat memberikan pengaruh secara langsung dan signifikan terhadap proses pembuatan keputusan (pp. 23). Tentu ini tidak untuk meremehkan pentingnya prosedur atau ritual demokrasi, sebagaimana terwadahi dalam konsep demokrasi keterwakilan. Tetapi, menjadi jelas bahwa demokrasi keterwakilan, dengan demikian diperlukan sekadar sebagai mekanisme perekrutan para penentu dalam policy making. Tetapi, dalam praktik-praktik pemerintahan sehari-hari perspektif, voice, dan aspirasi masyarakat tetap memerlukan ruang untuk diakomodasi.

Dalam konteks inilah, konsep partisipasi, inklusi, engagement, dan deliberasi muncul. Sederet konsep ini merujuk pada terlibatnya masyarakat dalam praktik-praktik pemerintahan sehari-hari di dalam policy making atau decision making. Masyarakat hadir, memberi warna, sekaligus turut menentukan policy atau decision yang seperti apa yang sekiranya dapat menjawab kebutuhan mereka. Masyarakat juga secara aktif diperhitungkan dalam implementasi kebijakan, bukan sekedar sebagai obyek, tetapi juga Dalam konteks inilah, konsep partisipasi, inklusi, engagement, dan deliberasi muncul. Sederet konsep ini merujuk pada terlibatnya masyarakat dalam praktik-praktik pemerintahan sehari-hari di dalam policy making atau decision making. Masyarakat hadir, memberi warna, sekaligus turut menentukan policy atau decision yang seperti apa yang sekiranya dapat menjawab kebutuhan mereka. Masyarakat juga secara aktif diperhitungkan dalam implementasi kebijakan, bukan sekedar sebagai obyek, tetapi juga

Dalam governing process masyarakat tidak sekedar hadir sebagai pemilih dalam pemilu (voters) tetapi juga sebagai warga negara (citizen) yang berhak memperoleh pelayanan (service recipients). Oleh karena itu, kehadiran sekaligus keterlibatan masyarakat tidak berhenti sebatas pada memilih mereka yang tercakup dalam policy makers, baik dalam lingkaran eksekutif maupun legislatif, sebagaimana dalam praktik- praktik pemilu di Indonesia. Masyarakat bukan sekedar obyek politik, tetapi juga players.

Tidak juga sekedar hanya dilibatkan dalam planning, yaitu menelurkan dan mengaspirasikan ide-ide mengenai apa saja yang mesti direspon oleh kebijakan sekaligus bagaimana seharusnya sebuah kebijakan, sebagaimana musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Tetapi secara menyeluruh masyarakat terlibat dalam praktik pengelolaan pemerintahan dan kebijakan publik sehari-hari. Governance yang menekankan sinergi antar aktor, baik aktor politik, sosial, dan ekonomi, jelas sekali mempersyaratkan keterlibatan (inklusi) bagi efektivitas interelasi antar aktor dalam upaya pemenuhan hak dasar warga negara. Bahkan jika kita merujuk pada Dryzek (2000a), ketika menjelaskan deliberative democracy, keterlibatan warga negara dalam praktik-praktik governance pada dasarnya tidak sekedar penting bagi proses pembuatan kebijakan, tetapi, secara substantif penting bagi pembelajaran sosial dan politik dalam rangka mendukung perubahan kebijakan bagi kesejahteraan bersama.

Dalam era desentralisasi, dimana penyediaan layanan publik semakin dekat kepada warga negara (Mawardi, 2002 dan Toyamah, 2002), inklusi menjadi syarat yang tidak terhindarkan dan memperkuat pencapaian tata pemerintahan yang baik (good governance). Tetapi, kenyataannya, desentralisasi belum sepenuhnya mampu mendukung good governance sehingga belum membawa kemudahan yang lebih berarti bagi pelayanan publik. Catatan the World Bank (2009), misalnya, menyebutkan bahwa ketidak-sinkronan visi dan prioritasi berbagai bidang menyebabkan desentralisasi seperti kehilangan arah. Desentralisasi berjalan tanpa roadmap. Di pusat, terdapat tumpang tindih antar kementerian dalam hal pelaksanaan wewenang, dan terlebih jika dikaitkan dengan kebijakan desentralisasi. Beberapa kementerian terlihat masih belum mendukung berjalannya desentralisasi, sementara beberapa yang lain kehilangan arah dalam mendesentralisasikan kebijakan. Kerumitan di pusat ini kemudian menurun dalam praktik pemerintahan di daerah, dimana terdapat tumpang tindih antar dinas, Dalam era desentralisasi, dimana penyediaan layanan publik semakin dekat kepada warga negara (Mawardi, 2002 dan Toyamah, 2002), inklusi menjadi syarat yang tidak terhindarkan dan memperkuat pencapaian tata pemerintahan yang baik (good governance). Tetapi, kenyataannya, desentralisasi belum sepenuhnya mampu mendukung good governance sehingga belum membawa kemudahan yang lebih berarti bagi pelayanan publik. Catatan the World Bank (2009), misalnya, menyebutkan bahwa ketidak-sinkronan visi dan prioritasi berbagai bidang menyebabkan desentralisasi seperti kehilangan arah. Desentralisasi berjalan tanpa roadmap. Di pusat, terdapat tumpang tindih antar kementerian dalam hal pelaksanaan wewenang, dan terlebih jika dikaitkan dengan kebijakan desentralisasi. Beberapa kementerian terlihat masih belum mendukung berjalannya desentralisasi, sementara beberapa yang lain kehilangan arah dalam mendesentralisasikan kebijakan. Kerumitan di pusat ini kemudian menurun dalam praktik pemerintahan di daerah, dimana terdapat tumpang tindih antar dinas,

Dalam hal pelayanan publik, wewenang yang mestinya didesentralisasikan tereduksi oleh berbagai aturan dari pusat, ditambah dengan petunjuk teknis pelaksanaan yang terlalu, tetapi tanpa disertai dengan pertimbangan kekhasan daerah yang berbeda- beda, menyebabkan kegagalan pelayanan publik menjawab problem dan isu masyarakat sesuai konteks masing-masing. Kerumitan ini justru mengesankan kebijakan pusat yang belum sepenuhnya percaya pada kemampuan pengelolaan daerah, sekaligus tidak sensitif pada partikularitas daerah. Area dimana pemerintah daerah mestinya memiliki otoritas yang determining menjadi sekedar sebatas pelaksana. Pemerintah daerah tidak lebih sebagai service provider daripada the real policy makers di hadapan pemerintah pusat. Di sisi lain, daerah tidak berani berimprovisasi sehingga inovasi menjadi lemah. Sebaliknya, daerah juga terkadang terlalu sering membuat berbagai peraturan yang justru bertentangan (kontraproduktif) dengan peraturan nasional sehingga menumpuk dan memperumit masalah.

Kerumitan di ranah pemerintah ini berimplikasi secara serius salah satunya pada kebuntuan-kebuntuan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Respon terhadap tuntutan dan aspirasi ala kadarnya, bahkan seringnya tidak digubris. Ketidakpuasan masyarakat sering dijawab dengan alasan peraturan dari atas berbunyi seperti ini, seolah-olah tidak bisa diutak-atik, pemerintah daerah hanya menjalankan, dan akhirnya masyarakat juga harus menerima apa adanya. Protes masyarakat diremehkan dan didengar sambil lalu saja. Inklusi pun menjadi lemah.

Kota Surakarta dipilih sebagai obyek studi untuk membidik fokus kajian mengingat setidaknya dua hal. Pertama, Kota Solo dikenal memiliki karakter asosiasi sosial yang kuat berupa tradisi paguyuban yang mengakar di masyarakat (sebagaimana hasil penelitian LSM KOMPIP, Surakarta). Di Solo terdapat berbagai paguyuban yang menggambarkan interest dari masyarakat, seperti paguyuban pedagang pasar, tukang becak, dan sebagainya. Paguyuban ini bukan sekedar wadah profesi tetapi juga wadah berdemokrasi, deliberasi, dan penyalur aspirasi di pembuatan kebijakan. Paguyuban berfungsi sebagai wadah interest.

Kedua, Kota Solo dikenal sebagai kota yang memiliki akar civil society yang kuat, dimana eksistensi LSM masif dan intensif dalam advokasi kebijakan. Pattiro dan Kompip, misalnya, adalah sedikit dari berbagai NGO yang aktif dalam advokasi pelayanan publik di Surakarta (sebagaimana hasil penelitian Alfirdaus dan von Luebke, 2010). Akar civil society disebut kuat bukan sekedar karena jumlah mereka banyak, tetapi secara kualitas keberadaan mereka juga diperhitungkan dalam interaksi governmental sehari-hari. NGO dan asosiasi masyarakat di Kota Solo sedikit banyak telah menjadi bagian dari governing process dan praktik-praktik governance (sebagaimana temuan Alfirdaus dan von Luebke, dalam wawancara dengan aktivis LSM Kompip, Surakarta, 2010).

B. RUMUSAN MASALAH Penelitian tentang “citizen inclusion dalam praktik governance sehari-hari ini” membidik fokus pada “sejauh mana masyarakat dilibatkan dalam governing process?”, yang secara spesifik merujuk pada proses-proses policy making di daerah, yang mencakup penyediaan layanan publik, program pemberdayaan masyarakat, pengelolaan konflik, penanganan protes dan tuntutan, dan sebagainya. Masyarakat dalam pengertian ini adalah masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi di luar pemerintah (government).

Lebih jauh, implikasi dari pertanyaan penelitian di atas adalah pada perlunya penggalian data tentang penjelas keterlibatan masyarakat, menjawab secara kritis pertanyaan “mengapa”. Cakupan data penjelas itu antara lain adalah constraning factors maupun driving factors baik di dalam pemerintah maupun di dalam masyarakat, termasuk di dalam peran-peran yang dimainkan oleh NGO dalam advokasi kebijakan. Di dalam pemerintah, akan dilihat aspek willingness dan kompabilitas sistem yang disiapkan dalam institusi pemerintahan bagi keterlibatan warga. Di dalam warga negara sendiri akan dilihat sejauhmana pengetahuan dan kesadaran warga, serta aspek-aspek teknis yang mendukung maupun menghambat. Secara tidak langsung, analisis dalam penelitian akan menekankan kaitan antara constraining dan driving factors ini dengan karakter sosial budaya dan antropologi masyarakat di kedua kota untuk memastikan kontekstualitas data.

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan fokus penelitian di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Berdasarkan fokus penelitian di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk melihat kedalaman keterlibatan warga negara (Citizen inclusion) di daerah yang pola-pola struktur sosialnya hampir sama tetapi sedikit berbeda dalam karakter politiknya.

2) Untuk memetakan berbagai penjelas kedalaman keterlibatan tersebut, baik dari aktor pemerintah maupun non-pemerintah (citizen).

b. Tujuan Praktis

1) Penelitian ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang praktek partisipasi masyarakat dalam pengembangan potensi lokal.

2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah maupun masyarakat tentang partisipasi masyarakat lokal dalam rangka mewujudkan good governance.

D. KONTRIBUSI PENELITIAN

Meski sangat kental nuansa akademiknya, terlacak dalam perdebatan-perdebatan wacana tentang governance dan kebijakan publik, penelitian dapat dikategorikan sebagai evaluation research, yaitu penelitian yang ditujukan untuk menelaah kegagalan maupun kesuksesan sebuah kebijakan, kemudian memetakan sebab-sebab penjelas kesuksesan dan kegagalan tersebut. Oleh karena itu, secara praktis, penelitian ini juga berkontribusi sebagai policy learning yang bermanfaat tidak saja bagi kedua daerah obyek penelitian, tetapi juga daerah lain dalam hal pelibatan warga negara dan pengelolaan pemerintahan (governing process).

E. TINJAUAN PUSTAKA

E. 1. Keterlibatan Warga: Menggeser Pendulum Negara ke Masyarakat

Pimbert dan Wakeford (2001) mengidentifikasi inclusion sebagai sebuah tindakan untuk melibatkan orang lain. Dalam konteks proses pembuatan keputusan, yang disebut sebagai inclusionary decision-making process adalah yang didasarkan pada keterlibatan aktif aktor-aktor sosial, dengan memberikan tekanan yagn kuat pada keterlibatan warga negara yang sebelumnya dan biasanya dipinggirkan (excluded citizens). Dari pengertian inclusion Pimbert dan Wakeford, dapat disimpulkan bahwa dorongan pelibatan warga negara dalam pengambilan keputusan jelas sekali berasal dari berbagai problem ketersumbatan saluran-saluran aspirasi. Inclusion dengan demikian adalah bagian penting untuk membongkar ketersumbatan tersebut.

Sementara itu, Witcher (2003), mengkontraskan istilah inclusion dengan exclusion. Dalam pandangan Witcher, kondisi miskin dan termiskinkan warga negara salah satunya dapat dijelaskan dengan konsep social exclusion. Konsep ini merujuk pada ketidakmampuan warga negara untuk mengakses berbagai fasilitas dan sumberdaya yang dapat dijadikan sebagai kapital dalam memberdayakan potensi mereka. Konsep inclusion diperkenalkan dengan memberikan tekanan pada pembukaan ruang-ruang sosial sehingga warga negara miskin bisa dengan leluasa masuk dan bertransaksi didalamnya. Hanya saja, sebagaimana Witcher transaksi itu tidak mesti dilakukan dengan currency yang berupa uang. Dalam relasi sosial, human atau social capital dapat juga menjadi modal dalam bertransaksi secara sosial.

Logika yang dibangun Witcher dapat juga kita gunakan untuk menjelaskan inclusion maupun exclusion dalam konteks politik. Dalam interaksi yang bernama governance transaksi terjadi antar elit politik, antar konstituen dengan pendukungnya, antar anggota legislatif dengan para pemilihnya, antara pengusaha dengan policy makers, dan sebagainya. Currency yang dimiliki antar aktor bisa berupa investasi ekonomi sebagaimana yang dimiliki masyarakat ekonomi, mandat pemilih sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat politik, juga hak politik warga negara sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat sipil (Dyson, Cummings, dan Millward, 2003: 49). Akan tetapi, sebagaimana Witcher, meskipun tiap manusia secara jelas telah memiliki currency, seringkali mereka terhalang ataupun juga dihalangi untuk turut terlibat dalam transaksi tersebut. Ketidakterlibatan tiap elemen masyarakat itulah yang disebut sebagai exclusion.

Dalam ranah politik, halangan untuk turut serta dalam aktivitas-aktivitas transaksional policy making bisa terbagi dalam setidaknya empat hal. Pertama, fasilitas infrastruktur yang memang tidak tersedia, seperti sarana transportasi dan komunikasi, sebagaimana sering dialami oleh masyarakat di daerah-daerah terpencil. Kedua, terkait dengan relasi kekuasaan, dimana terdapat pihak-pihak yang enggan membagi ruang transaksinya dengan warga negara (Witcher: 2003: 1). Ketiga, masyarakat yang memang belum mengerti makna inklusi. Keempat, policy makers yang memang tidak siap dengan piranti-piranti inklusif (The World Bank: 2009).

Terkait exclusion, ada yang bersifat aktif, ada juga yang bersifat pasif. Sebagaimana Sen (2000), eksklusi aktif merujuk pada warga negara yang secara sengaja membatasi keterlibatannya dalam interaksi sosial dan politik, dengan alasan apapun. Sedangkan eksklusi pasif merujuk pada akses warga negara yang secara sengaja Terkait exclusion, ada yang bersifat aktif, ada juga yang bersifat pasif. Sebagaimana Sen (2000), eksklusi aktif merujuk pada warga negara yang secara sengaja membatasi keterlibatannya dalam interaksi sosial dan politik, dengan alasan apapun. Sedangkan eksklusi pasif merujuk pada akses warga negara yang secara sengaja

Akan tetapi, karena inklusi dalam ranah politik adalah perihal hak yang sangat mendasar, desakan untuk membuka inklusi warga pun menjadi semakin tidak terhindarkan, terlebih lagi ketika sebagian besar negara di dunia ini memutuskan untuk mengadopsi demokrasi sebagai sistem maupun semangat untuk menjalankan kehidupan politik dan pemerintahan mereka.

Dalam ranah politik, inklusi tidak sekedar hadir, misal dalam pemilu ataupun musyarawarah-musyawarah pengambilan keputusan. Tetapi, inklusi juga berarti terlibat untuk memberikan ide-ide dan mengajukan perspektif sehingga dapat memperdalam substansi maupun metode atau desain sebuah kebijakan. Kebutuhan melibatkan warga dalam praktik governance sehari-sehari menjadi penting karena di sanalah justru kebutuhan riil masyarakat memerlukan respon kebijakan publik. Dengan demikian inklusi lebih dari sekedar partisipasi yang umumnya diukur secara kuantitatif dalam bentuk kehadiran.

Citizen inclusion menjadi tawaran untuk menyudahi dominasi negara ketika dominasi itu tidak lagi mampu menjawab persoalan dan kebutuhan warga negara. Sebelumnya, perspektif state-centric menempatkan negara sebagai jawaban bagi

permasalahan warga negara, dan negara mengemban amanah warganya. 1 Permasalahan masyarakat diidentifikasi oleh pemerintah dan diselesaikan melalui otoritas penuh

pemerintah. Tetapi, ketika praktik memerintah oleh negara pada kenyataannya lebih sering diwarnai oleh represi, otoritarianisme, dan rente birokrasi, kepercayaan penyerahan mandat secara bulat itu mulai luntur. Di samping itu, terlalu banyak segmen

masyarakat yang marjinal yang tidak terakomodasi dalam kebijakan pemerintah 2 , sehingga menjadi terlalu musykil jika upaya penyelesaian masalah sepenuhnya

bertumpu pada pundak pemerintah. Oleh karena itu, perspektif state-centric ini digeser kepada perspektif society- centric, dimana policy making dan governing process bertumpu pada masyarakat. State

Hal ini dijelaskan oleh Sutoro Eko, dalam “Pembangunan Politik, Pemberdayaan Politik, dan Politik Transformasi”, disadur dari www.ireyogya,or.id , pada tanggal 1 Maret 2010.

2 Dryzek (1996: 1) menyebut mereka sebagai target inklusi, meliputi kaum perempuan, pemuda, penyandagang cacat, kaum miskin, dan sebagainya.

yang direpresentasikan oleh pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator dan penyedia layanan, dan inklusi adalah mekanisme untuk meletakkan tumpuan governing process itu pada masyarakat. Partisipasi, dengan demikian menjadi basis bagi bekerjanya governance menggantikan perspektif pembangunan yang terpusat pada negara (Takeshi, 2006: 138). Dalam konteks transformasi politik negara-negara berkembang, inklusi warga negara ini menguat seiring dengan tumbangnya rezim otoritarian, yang merupakan penanda paradigma state-centric, mengisi proses reformasi politik dan demokratisasi (Rosser, Roesad, dan Edwin: 2004: 1).

E.2. Bentuk-bentuk Citizen Inclusion dalam Deliberative Governing Process

Wakeford (2001: 29-31) melalui surveinya mencatat berbagai bentuk keterlibatan warga negara dalam governing process, antara lain:

a. Focus Groups Focus groups adalah diskusi yang dipimpin oleh seorang moderator, dimana berbagai pandangan masyarakat yang disampaikan dalam forum diskusi tersebut dianalisa oleh sebuah badan komisi. Tetapi, bentuk diskusi dalam focus groups mencakup sejumlah kecil warga negara yang diperbolehkan untuk mengekspresikan dan mengeksplorasi pandangan mereka. Interest adalah kata kunci dalam Focus Groups sehingga penguasaan terhadap masalah tertentu menjadi penting untuk menentukan dibolehkan/tidaknya anggota masyarakat untuk bergabung dalam diskusi kecil ini. Meski dapat secara cepat menjaring perspektif masyarakat, tetapi Focus Groups dinilai terlalu membatasi kemungkinan variasi perspektif yang mungkin muncul.

b. Deliberative Focus Groups Deliebrative Focus Groups hampir sama dengan Focus Gorup, hanya saja, ia memungkinkan menjaring informasi tertulis dan non-tertulis selama proses diskusi berlangsung maupun sebelum diskusi dilaksanakan. Tetapi, potensi informasi yang bias menjadi kritik bagi metode ini.

c. Consensus Conference/Panel Di sini, warga diperkenankan mendengarkan berbagai data dan informasi yang telah diseleksi relevansinya sebelumnya, lalu menyimpulkannya berdasarkan konsensus. Data dan informasi ini berasal dari stakeholders terkait dengan kebijakan yang bersentuhan dengan kepentingan warga. Selama pertemuan, warga diberi ruang untuk bertanya, tetapi di akhir proses c. Consensus Conference/Panel Di sini, warga diperkenankan mendengarkan berbagai data dan informasi yang telah diseleksi relevansinya sebelumnya, lalu menyimpulkannya berdasarkan konsensus. Data dan informasi ini berasal dari stakeholders terkait dengan kebijakan yang bersentuhan dengan kepentingan warga. Selama pertemuan, warga diberi ruang untuk bertanya, tetapi di akhir proses

d. Citizens’ Jury/Panel Hampir sama dengan Focus Groups, tetapi metode ini dipakai untuk menilai sebuah kebijakan. Jury diambil secara random dari masyarakat.

e. Scenario Workshop/Citizen Foresight Fokus pada berbagai pilihan dan skenario bagi pembangunan kebijakan.isu yang didiskusikan dikerangkai oleh warga, sehingga merupakan proses perencanaan yang partisipatoris.

E.3. Desentralisasi dan Good Governance

Bekerjanya mesin governance mensyaratkan negara atau pemerintah yang secara geografis dan politis dekat dengan warga negaranya. Dekat secara geografis dalam arti warga tidak memiliki hambatan yang berarti untuk menjangkau pemerintah terkait dengan jarak dan fasilitas infrastruktur. Dekat secara politis dalam arti pemerintah cukup tanggap terhadap kebutuhan dan permasalahan ditunjukkan melalui respon yang cepat dalam kebijakan publik. Sistem politik dengan demikian bekerja secara baik mengolah input dari warga negara, baik berupa aspirasi, tuntutan, atau protes.

Terkait dengan ini, desentralisasi menjadi salah satu pilihan rasional bagi upaya pendekatan negara kepada masyarakatnya. Bukan saja desentralisasi bertujuan untuk membagi kewenangan dan kekuasaan pusat kepada daerah, tetapi desentralisasi juga untuk mempermudah pendistribusian pelayanan publik kepada masyarakat serta mendukung penjaringan aspirasi masyarakat dalam hal penyediaan pelayanan publik dan pembuatan keputusan. Sebagaimana Mawardi, dkk (2002: 1), secara teoritis desentralisasi dan otonomi daerah dapat mendekatkan pelayanan publik melalui pemotongan jalur birokrasi pelayanan, sehingga masyarakat tidak perlu melalui prosedur yang rumit untuk mengakses pelayanan. Desentralisasi dengan demikian mestinya mendukung engagement (rasa keterikatan) antara pemerintah dan pihak-pihak di luar pemerintah melalui interaksi yang semakin dekat dan intensif. Kedekatan negara dengan masyarakatnya ini tidak hanya menguntungkan masyarakat dalam hal pelayanan, tetapi juga mempermudah negara dalam mengidentifikasi problem masyarakat untuk dicerna dalam agenda setting dan proses-proses kebijakan yang lain. Mesin governance dengan demikian tidak perlu menunggu lama untuk bisa bekerja Terkait dengan ini, desentralisasi menjadi salah satu pilihan rasional bagi upaya pendekatan negara kepada masyarakatnya. Bukan saja desentralisasi bertujuan untuk membagi kewenangan dan kekuasaan pusat kepada daerah, tetapi desentralisasi juga untuk mempermudah pendistribusian pelayanan publik kepada masyarakat serta mendukung penjaringan aspirasi masyarakat dalam hal penyediaan pelayanan publik dan pembuatan keputusan. Sebagaimana Mawardi, dkk (2002: 1), secara teoritis desentralisasi dan otonomi daerah dapat mendekatkan pelayanan publik melalui pemotongan jalur birokrasi pelayanan, sehingga masyarakat tidak perlu melalui prosedur yang rumit untuk mengakses pelayanan. Desentralisasi dengan demikian mestinya mendukung engagement (rasa keterikatan) antara pemerintah dan pihak-pihak di luar pemerintah melalui interaksi yang semakin dekat dan intensif. Kedekatan negara dengan masyarakatnya ini tidak hanya menguntungkan masyarakat dalam hal pelayanan, tetapi juga mempermudah negara dalam mengidentifikasi problem masyarakat untuk dicerna dalam agenda setting dan proses-proses kebijakan yang lain. Mesin governance dengan demikian tidak perlu menunggu lama untuk bisa bekerja

Terkait hubungan desentralisasi dan good governance, Takeshi (2006: 138) dengan jelas menegaskan bahwasannya desentralisasi dapat mendorong pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif. Kedekatan dengan para waraga negara yang juga adalah klien pemerintah dalam kerangka desentralisasi itulah yang menjadi pemicu bagi pemerintah daerah untuk lebih tanggap terhadap problem di daerahnya. Di sini letak krusialnya desentralisasi bagi penguatan good governance di aras lokal. Apalagi, akuntabilitas, transparansi, dan responsivitas pemerintah tidak sekedar menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan pemerintahan di daerah (138). Dan untuk kepentingan ini, sangat tidak mungkin pemerintah bekerja sendiri. Ia harus melibatkan masyarakat. Takeshi (2006: 138) menambahkan, dalam hal ini partisipasi masyarakat menjadi prasyarat efektifnya kinerja governance karena mendorong keterlibatan yang lebih luas, memungkinkan preferensi kebijakan yang lebih kaya, sehingga meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan responsivitas pemerintah, baik di tingkat nasional maupun sub- nasional.

E.4. Penguatan Governance di Daerah: Pemberdayaan Pemerintah dan Warga

Desentralisasi menggeser hampir sebagian besar urusan yang sebelumnya secara dominan ditangani oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Urusan paling banyak yang didesentralisasikan adalah urusan pelayanan publik. Catatan The World Bank (2009) menyebutkan, sejak kebijakan desentralisasi diterapkan, setidaknya pemerintah daerah dibebani tanggung jawab atas sepertiga belanja negara dan setengah dari anggaran pembangunan. Di samping itu, pengeluaran dalam bidang pendidikan, kesehatan dan penyediaan infrastruktur juga merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Bahkan tiga perempat dari pegawai negeri bekerja untuk pemerintah daerah. Dengan demikian, fungsi pemeRrintahan dapat dikatakan sebagian besar tergantung pada bagaimana pemerintahan di daerah dilaksanakan.

Oleh karena itu, langkah krusial dalam rangka mengefektifkan fungsi desentralisasi sebagai bagian dari upaya penguatan governance di daerah adalah mereformasi pelayanan publik. Jika tidak, sebagaimana The World Bank (2009), maka berbagai penyediaan layanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan, akan mengalami hambatan yang cukup berarti, sehingga kesenjangan kesejahteraan akan semakin tajam, Oleh karena itu, langkah krusial dalam rangka mengefektifkan fungsi desentralisasi sebagai bagian dari upaya penguatan governance di daerah adalah mereformasi pelayanan publik. Jika tidak, sebagaimana The World Bank (2009), maka berbagai penyediaan layanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan, akan mengalami hambatan yang cukup berarti, sehingga kesenjangan kesejahteraan akan semakin tajam,

Dalam rangka mereformasi pelayanan publik di aerah itu setidaknya terdapat dua langkah fundamental. Pertama, memberdayakan pemerintah daerah. Kedua memberdayakan warga negara. Pemberdayaan dua aras ini krusial karena pola dan bentuk interaksi keduanya mempengaruhi kualitas bekerjanya governing process dalam praktik-praktik governance sehari-hari.

Pemberdayaan Pemerintah Daerah Citizen inclusion sangat dipengaruhi oleh dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pertama, willingness pemerintah. Hal ini terkait dengan keterbukaan pemerintah terhadap partisipasi warga dalam praktik-praktik pemerintahan sehari-hari. Kedua, sistem yang dipersiapkan dalam institusi pemerintahan agar secara kompatibel memiliki kemampuan mewadahi dan merespon keterlibatan warga. Sistem ini terkait dengan regulasi, resources, alokasi dana, dan fasilitas yang tersedia guna mendukung citizen inclusion.

Dalam konteks tertentu, terkadang terdapat willingness pemerintah, dan sistem yang dipersiapkan cukup kompatibel, tetapi warga belum maksimal memanfaatkan ruang-ruang inklusi. Hal ini bisa saja terjadi karena misal kesadaran warga yang masih rendah atau ada problem trust atau legitimasi terhadap pemerintah sehingga rakyat apatis. Bisa juga pemerintah memang tidak memiliki willingness, karena tertutup, dan melihat keterlibatan warga kontraproduktif bagi berjalannya pemerintahan, serta sama sekali belum mempersiapkan sistem yang kompatibel untuk inklusi warga. Warga ditempatkan secara vis a vis negara. Dalam hal lain, mungkin saja pemerintah telah mempunyai willingness tetapi sistem belum cukup siap, atau pada dasarnya pemerintah memiliki kemampuan untuk mempersiapkan sistem yang kompatibel bagi citizen inclusion tetapi memang tidak ingin warga terlibat.

Tetapi, willingness dan kesiapan sistem ini juga tergantung pada banyak hal. Lemahnya desain desentralisasi jelas akan mempengaruhi kesediaan dan kesiapan pemerintah untuk terbuka terhadap warganya. Dalam hal ini, pemberdayaan pemerintah daerah menjadi perlu. Terkait dengan upaya pemberdayaan pemerintah daerah, The

World Bank (2009) menekankan setidaknya ada lima tindakan yang diperlukan. Tindakan tersebut antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut.

Satu, menyusun roadmap. Tindakan menyusun roadmap tidak lain ditujukan untuk menyusun rencana yang jelas dan menyeluruh mengenai prioritasi agenda desentralisasi. Penyusunan roadmap akan memberikan kejelasan dan membantu tahap pelaksanaan, guna menemukan keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah, serta menyeimbangkan kebutuhan akan efisiensi dan pemerataan. Penyusunan roadmap jelas bukan wilayah eksklusif pemerintah. Melainkan, mesti didasarkan pada konsultasi antara pemerintah daerah, DPD, masyarakat sipil dan pihak terkait lainnya.

Kedua, menunjuk pihak yang bertanggungjawab. Agar desentralisasi dapat secara efektif mendukung bekerjanya governance di daerah, koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah, serta antar pemerintah dan masyarakat mesti diperkuat. Pengalaman tumpang tindihnya kewenangan serta saling lempar tanggung jawab ketika terjadi permasalahan, mengindikasikan betapa lemahnya koordinasi antar sektor dan instansi didalam lembaga pemerintah.

Di pusat, beberapa kementerian masih belum dapat mengakomodasi proses desentralisasi, sementara kementerian lain seakan-akan kehilangan arah, dan sebagian lain bahkan memperlihatkan tendensi tidak mendukung berjalannya desentralisasi. Hal ini menyebabkan inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan di tingkat nasional serta munculnya kebingungan di tingkat daerah. Oleh karena itu, formulasi kebijakan desentralisasi harus dapat memperjelas batas tanggung jawab antar pihak, dan jika memang sebuah isu mesti ditangani secara koordinatif, koordinasi itu mesti diperjelas ruang kerjanya.

Ketiga, memperjelas kewenangan, yaitu menegaskan tugas dan kewenangan sektoral yang menjadi bagian dari otoritas daerah. Pengalaman kebijakan desentralisasi selama ini, UU No. 22 tahun 2004 memang sudah menegaskan kewenangan sektoral dan otoritas daerah, termasuk fungsi-fungsi daerah tingkat dua. Tetapi penjelasan UU kurang terperinci sehingga menimbulkan keruwetan koordinasi, yang berimplikasi pada permasalahan perencanaan dan pembiayaan.

Problem ini tentu dapat mempengaruhi kualitas pelayanan publik, serta upaya pencapaian perbaikan indikator sosial, seperti kesehatan anak, prestasi pendidikan siswa, kemajuan usaha kecil bagi kaum miskin, kesempatan pelatihan kerja bagi kaum Problem ini tentu dapat mempengaruhi kualitas pelayanan publik, serta upaya pencapaian perbaikan indikator sosial, seperti kesehatan anak, prestasi pendidikan siswa, kemajuan usaha kecil bagi kaum miskin, kesempatan pelatihan kerja bagi kaum

Tekanan pembuatan standar pelayanan minimum sebagaimana diamanatkan UU No. 22 tahun 2004 memang dapat membantu masyarakat memperoleh informasi tentang apa saja yang dapat mereka harapkan dari pemerintah mereka. Tetapi, hal ini tentu mempersyaratkan persiapan sumber daya manusia dan keuangan yang cukup kepada pemerintah daerah.

Keempat, penyaluran dana secara lebih merata. Basis kekayaan sumberdaya alam dan kontribusi pada pendapatan negara yang selama ini digunakan sebagai dasar menentukan dana penyelenggaraan pemerintahan di daerah memperlebar jarak ketimpangan antara daerah kaya dan daerah miskin. Akibatnya, masyarakat miskin di daerah miskin semakin jauh dari akses pelayanan publik yang layak. Pemerataan penyaluran dana ini misalnya dapat dilakukan dengan memperbaiki penentuan besar

DAU (Dana Alokasi Umum). 3 Kedua, dengan meningkatkan pemberian DAK (Dana Alokasi Khusus). DAK mestinya dapat menopang kebutuhan penyelenggaraan

pemerintahan dan penyediaan pelayanan yang tidak tercukupi oleh DAU. Melalui DAK, daerah-daerah miskin diharapkan tetap dapat memberikan pelayanan publik.

Kelima, meningkatkan akuntabilitas lokal. Akuntabilitas pemerintah daerah mesti kuat pada dua aras: terhadap pemerintah pusat dan terhadap masyarakat sebagai klien. Akuntabilitas mempersyaratkan informasi dan sistem informasi yang memadai, sistem pengawasan dan evaluasi yang baik, tersedianya basis pajak lokal yang lebih besar.

Pemberdayaan Warga Negara untuk Mendorong Inklusi Sementara itu, pemberdayaan warga dilakukan dengan memperluas inklusi dalam ruang-ruang kebijakan, sejak dari perencanaan, implementasi, sampai evaluasi. Sejauh ini, skema yang disediakan bagi pelibatan warga adalah Musrenbang. Sayangnya, belum lagi kritik terhadap efektivitas Musrenbang terjawab, absennya ruang keterlibatan warga dalam implementasi dan evaluasi juga menjadi masalah tersendiri. Konsep citizen’s juries sebagai bagian dari mekanisme evalusai kebijakan masih belum dapat dilakukan. Pemberdayaan warga memerlukan ruang deliberasi yang lebih. Upaya

3 DAU disusun berdasarkan beberapa indikator: luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, biaya hidup dan kapasitas fiskal.

pelibatan warga dalam budgeting policy juga masih absen, sebagaimana temuan Sunaji dan Anwar ketika melakukan advokasi “Participatory Budgeting and Expenditure Tracking” (2008).

Pemberdayaan terhadap warga dalam proses-proses deliberatif adalah untuk tujuan sebagai berikut. Pertama, menumbuhkan kesadaran bahwa mereka adalah bagian penting dalam policy making. Kedua, untuk menginformasikan saluran-saluran apa yang dapat mereka masuki untuk mempengaruhi kebijakan dan memperbaiki penyediaan pelayanan. Ketiga, untuk memberikan preferensi kepada policy makers terkait dengan opsi-opsi dan prioritas untuk direspon dalam kebijakan dan pelayanan publik. Keempat, untuk memastikan bahwa penyediaan pelayanan telah memenuhi standar kepuasan warga, diselenggarakan secara akuntabel, transparan, dan berpihak pada kaum yang lemah. Pemberdayaan warga untuk memperkuat inklusi juga untuk memastikan bahwa negara responsif terhadap kebutuhan warga yang memerlukan perhatian spesifik, seperti kaum cacat, petani miskin, perempuan, dan sebagainya (Suharto, 2008: 1-8).

Dalam konteks pemberdayaan warga, peran NGO jelas tidak dapat dikesampingkan. NGO menjadi lembaga intermediari antara warga dan negara, sekaligus sebagai advokat kepentingan komunitas yang didampinginya. Miller mereujuk pada Covey (dalam Covey dan Miller, 2005: 380) menekankan peran penting NGO dalam kebijakan antara lain: mendidik warga dalam mengidentifikasi isu-isu sipil; mendidik warga tentang cara-cara mengakses sistem; membangun basis kelembagaan masyarakat sipil yang kuat; dan menyajikan mekanisme-mekanisme untuk partisipasi dan perubahan kebijakan.

Mempertimbangkan berbagai faktor di atas, citizen inclusion dapat dipetakan menjadi tiga, yaitu:

1. Inclusion yang diinisiasi pemerintah, dimana ruang pelibatan ini disebut juga invited space, sebagaimana Gaventa (2006: 26)

2. Inclusion atas inisiatif masyarakat.

3. Inclusion yang didorong oleh LSM.

F. Definisi Konsep

Penelitian ini memanfaatkan dua konsep kunci, yaitu citizen inclusion dan praktik-praktik governance sehari-hari yang terdiri dari dari policy making, pelanan masyarakat sipil, pemberdayaan, dan sebagainya. Fokus utama studi ini adalah untuk melihat kedalaman keterlibatan dan pelibatan masyarakat dalam praktik-praktik Penelitian ini memanfaatkan dua konsep kunci, yaitu citizen inclusion dan praktik-praktik governance sehari-hari yang terdiri dari dari policy making, pelanan masyarakat sipil, pemberdayaan, dan sebagainya. Fokus utama studi ini adalah untuk melihat kedalaman keterlibatan dan pelibatan masyarakat dalam praktik-praktik

G. METODE PENELITIAN

G.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yang didefinisikan sebagai "metodologi kualitatif' merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2000: 3). Pandangan dari Kirk dan Miller (Moleong, 2000: 3) bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang- orang tersebut dalam bahasanya/pengistilahannya.

G.2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif kualitatif, yakni mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh- pengaruh dari suatu fenomena. Demikian pula yang dinyatakan (Neuman 2000: 21-

23) bahwa penelitian deskriptif itu berupaya menampilkan gambaran situasi, seting sosial, atau hubungan yang lebih rinci.

G.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Surakarta.

G. 4. Teknik Pemilihan Sumber Informasi

Sumber informasi untuk diwawancara dipilih berdasarkan kompetensi dan relevansinya. Pertama, sumber wawancara berasal dari pemerintah, yaitu mereka yang termasuk dalam lingkaran policy makers. Kedua, warga negara, khususnya yang termasuk dalam asosiasi sosial, mempertimbangkan representasi interes warga. Ketiga, NGO yang aktif dalam pendampingan inklusi warga negara. Sumber informasi dokumentatif mencakup misalnya laporan-laporan kegiatan NGO, laporan penelitian, Sumber informasi untuk diwawancara dipilih berdasarkan kompetensi dan relevansinya. Pertama, sumber wawancara berasal dari pemerintah, yaitu mereka yang termasuk dalam lingkaran policy makers. Kedua, warga negara, khususnya yang termasuk dalam asosiasi sosial, mempertimbangkan representasi interes warga. Ketiga, NGO yang aktif dalam pendampingan inklusi warga negara. Sumber informasi dokumentatif mencakup misalnya laporan-laporan kegiatan NGO, laporan penelitian,

G. 5. Teknik Pengumpulan Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan para informan sebagai data primer dan tulisan atau dokumen-dokumen yang mendukung pemyataan informan sebagaimana Lofland dan Lofland (dalam Moleong 2000: 112). Data tambahan lain adalah dokumen. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

a. Wawancara terstruktur, yaitu wawancara dengan informan secara individual dengan tetap mengacu pada panduan wawancara yang disusun secara terbuka.

b. Observasi (pemantauan) yaitu mengamati aktivitas, kejadian, dan interaksi kehidupan masyarakat, terutama dalam menjalankan kegiatan yang terkait dengan program partisipasi masyarakat.

c. Kajian Dokumentasi, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan data sekunder yang berasal dari buku panduan organisasi atau program, laporan kegiatan, evaluasi program, maupun jenis dokumentasi lainnya.

G.6. Teknik Analisa Data

Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui tahapan sebagai berikut: (1) Melakukan telaah data, yaitu berupa penyajian hasil data secara menyeluruh, baik dari hasil wawancara maupun dokumentasi, (2) Reduksi data, (3) Penyusunan ke dalam satuan-satuan, (4) Kategorisasi, (5) Pemeriksaan keabsahan data, yaitu upaya menentukan data yang masuk memenuhi syarat penelitian atau belum, sehingga kalau belum maka dapat disempurnakannya, dan (6) analisa dan penafsiran data berdasar teori dan konsep yang digunakan.

Dalam penelitian ini data-data tentang partisipasi masyarakat yang telah didapatkan, baik melalui wawancara atau dokumentasi disajikan secara menyeluruh, kemudian dipilih data yang diperlukan dan dikelompokkan kepada kelompok infomasi yang telah disusun. Apabila didapatkan data yang kurang maka dilakukan penyempurnaan data dengan mencari kembali baik melalui wawncara atau dokumen yang ada, dan setelah itu dilakukan pemaparan dan analisa terhadap data yang ada.

BAB II SOSIAL, EKONOMI DAN POLITIK KOTA SURAKARTA

A. Kondisi Geografis

Dokumen yang terkait

Anal isi s K or e sp on d e n si S e d e r h an a d an B e r gan d a P ad a B e n c an a Ala m K li m at ologi s d i P u lau Jaw a

0 27 14

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

Implementasi Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance pada PT. Mitra Tani Dua Tujuh (The Implementation of the Principles of Good Coporate Governance in Mitra Tani Dua Tujuh_

0 45 8

I M P L E M E N T A S I P R O G R A M P E N Y A L U R A N B E R A S U N T U K K E L U A R G A M I S K I N ( R A S K I N ) D A L A M U P A Y A M E N I N G K A T K A N K E S E J A H T E R A A N M A S Y A R A K A T M I S K I N ( S t u d i D e s k r i p t i f

0 15 18

JAR AK AT AP P UL P A T E RHAD AP T E P I I N S I S AL GI GI I NSI S I VU S S E NT RA L P E RM AN E N RA HAN G AT AS P AD A S UB RA S DE UT ROM E L AY U ( T in j au an L ab or at o r is d an Radi ol ogis )

0 35 16

Pengaruh Kinerja Keuangan Dan Mekanisme Corporate Governance Terhadap Pengungkapan Laporan Keuangan : studi pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

2 19 79

Identifikasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Daya Saing Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Wilayah Industri TPT Kabupaten Bandung (Studi Kasus : Kecamatan Dayeuh Kolot, Kecamatan Majalaya, Kecamatan Katapang, Kecamatan Pameungpeuk, d

0 5 6

Pengaruh pengawasan Intern Dan Good Governance Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Survey Pada Dinas SKPD Kabupaten Cianjur)

0 34 21

1 Silabus Prakarya Kerajinan SMP Kls 8 d

2 70 15

Critical Review Jurnal Analisis Lokasi d 001

12 77 15