MAKALAH ETIKA KEPEMIMPINAN DAN PENENTUAN

BAB IX ETIKA
KEPEMIMPINAN DAN
PENENTUAN KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
1. Pengertian Etika

Etika adalah sistem nilai pribadi yang digunakan memutuskan apa yang
benar, atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi tertentu; memutuskan apa
yang konsisten dengan sistem nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi.
Etika adalah perilaku berstandar normatif berupa nilai-nilai moral, norma-norma,
dan hal-hal yang baik-baik. Etika difungsikan sebagai penuntun dalam bersikap
dan bertindak menjalankan kehidupan menuju ke tingkat keadaan yang lebih baik.
Pada dasarnya arti hakiki etika adalah determinasi pedoman untuk menjalankan
apa-apa yang benar dan tidak melakukan apa-apa yang tidak benar. Dengan
demikian menjalankan suatu kehidupan yang beretika diyakini akan membawa
kehidupan pada suatu kondisi yang tidak menimbulkan efek negatif yang
merugikan bagi kehidupan di sekitarnya. Ditinjau dari segi evolusi, dimensi etika
dapat menjadi faktor kunci keberhasilan suatu kepemimpinan. Dalam suatu
organisasi, kepemimpinan yang dinilai baik apabila fungsi-fungsi kepemimpinan
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip beretika.


2. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu seni dan ilmu untuk mempengaruhi orang
lain atau orang-orang yang dipimpin sehingga dari orang-orang yang dipimpin

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

186

timbul suatu kemauan, respek, kepatuhan dan kepercayaan terhadap pemimpin
untuk melaksanakan yang dikehendaki oleh pemimpin, atau tugas-tugas dan
tujuan organisasi, secara efektif dan efisien. Dalam Diktat Kepemimpinan
Pendidikan arti dari Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin (leader) tentang bagaimana menjalankan
kepemimpinannya (to lead) sehingga bawahan dapat bergerak sesuai dengan yang
diinginkandalam mencapai tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Bergeraknya
orang-orang harus mengikuti jalur tujuan organisasi yang hendak dicapai dan
bukan merupakan kepura-puraan dari kepemimpinannya itu sendiri.
Pemimpin adalah seorang yang dipandang memiliki kelebihan dari yang
lainnya untuk jangka panjang maupun jangka pendek dengan kewenangan dan
kekuasaan dalam situasi tertentu. Memimpin (leading) adalah kegiatan dimana

individu-individu atau kelompok dipandang oleh satu atau lainnya untuk
mengarahkan dalam pencapaian tujuan, walaupun tujuan itu merupakan tujuan
individu. Berikut pengertian kepemimpinan (leadership) menurut beberapa ahli:
a. Kepemimpinan adalah perilaku dari seseorang ketika dia mengarahkan
kegiatakegiatan dari kelompoknya ke arah pencapaian tujuan. (Hemphill
dan Coons)
b. Kepemimpinan adalah hubungan kerja antara anggota-anggota kelompok
dimana pemimpin memperoleh status melalui partisipasi aktif dan
dengan mempelihatkan kamempuannya untuk melaksanakan tugas kerja
sama denga usaha mencapai tujuan. (Stogdil)
c.

Kepemimpinan adalah cara interaksi dengan orang-orang lain yang
merupakan suatu proses sosial yang mencakup tingkah laku pemimpin
yang diangkat. (Jenings)

d. Kepemimpinan adalah proses mengarahkan aktivitas kelompok yang
terorganisasi ke arah pencapaian tujuan. (Rauch dan Behling)

Pemimpin dengan kekuasaan yang luas dan terbatas akan memiliki bobot

yang sama berat dari sisi pertanggungjawaban secara batiniah. Adapun

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

187

perbedaannya akan terlihat dari bersarnya tanggung jawab atas pekerjaanpekerjaan yang harus dijalankan. Manager memimpin sebagai boss urutan
pekerjaan, dan kepala dari tim proyek. Leadership kunci dalam mengatur orang
untuk mencapai tujuan.

3. Pengertian Kepemimpinan Pendidikan
Kepemimpinan pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan
dan proses mempengaruhi, membibing, mengkoordinir, dan menggerakkan orang
lain yang ada hubungannya dengan pengembangan ilmu pendidikan dan
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, agar supaya kegiatan-kegiatan yang
dijalankan dapat lebih efisien dan efektif didalam pencapaian tujuan-tujuan
pendidikan dan pengajaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan pendidikan
dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan
orang lain untuk mencapai tujuan pendidikan secara bebas dan sukarela.


4. Faktor yang dapat Menghambat Kepemimpinan
Berkembangnya faham-faham (isme) dewasa ini yang mempengaruhi pola
dan gaya kehidupan masyarakat yaitu:
a. Materialisme (mendewakan materi), hedonisme ( hidup untuk bersenangsenang) dan konsumerisme (mengikuti naluri konsumtif). Orang cenderung
ingin memiliki materi lebih (dimensi having) ketimbang menjadi manusia
yang lebih bermartabat (dimensi being). Sementara di sisi lain gaji atau
penghasilan PNS belum dapat sepenuhnya mencukupi kebutuhan hidup
keluarga ( perumahan, biaya pendidikan anak-anak dsb).

Seringkali

timbul hal-hal yang dilematis, misalnya pilihan untuk hidup jujur atau
mengikuti “arus” dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan
(melanggar aturan), dan sebagainya. Semua ini secara langsung maupun
tidak langsung berpengaruh dalam pelaksanaan kepemimpinan.
Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

188


b. Praktek korupsi yang menghambat kemajuan organisasi dan melemahkan
peran pemimpin. Korupsi (corruption) mengandung makna: korup
(corrupt) berarti jahat, busuk, rusak, curang dan tidak jujur (dishonest).
Korupsi bukan hanya kejahatan menyelewengkan uang negara atau
perusahaan, tetapi juga suatu kejahatan peradaban atau moral yang buruk.
Pemimpin yang melakukan korupsi akan berakibat bawahan meniru
perbuatan korupsi dan terjadi pembusukan dalam organisasi. Bahkan
korupsi tidak lagu dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi secara bersamasama. Tindakan korupsi bisa menghancurkan pemimpin dan berakibat
kepemimpinan yang dijalankan tidak efektif lagi.

c. Proses rekrutmen pemimpin yang hanya berorientasi mengejar kekuasaan
dan uang. Demokratisasi dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung
selain sisi positifnya, juga mengandung kelemahan yaitu hanya mereka
yang memiliki modal (uang) yang cukup banyak dapat maju sebagai calon
kepala daerah atau wakil. Akibatnya, setelah calon terpilih terpaksa harus
memikirkan “balas jasa” kepada sponsor politik dalam bentuk kemudahankemudahan usaha yang melanggar aturan, membayar “hutang politik”
kepada para pendukung dalam penempatan jabatan yang terkadang
mengabaikan segi kualitas. Masih diperlukan waktu yang cukup panjang
untuk mengeliminer dampak-dampak negatif tersebut dalam proses
demokratisasi yang tengah dijalankan.


5. Nilai dan Etika dalam Kepemimpinan
Nilai-nilai kepemimpinan adalah sejumlah sifat-sifat utama yang harus
dimiliki seorang pemimpin agar kepemimpinannya dapat efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sifat-sifat utama tersebut ibarat “roh” nya
pemimpin yang membuat seseorang mampu menjalankan kepemimpinannya

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

189

dengan berhasil guna. Tanpa roh kepemimpinan maka posisi atau jabatan
seseorang sebagai pemimpin tidak ada artinya. Beberapa nilai kepemimpinan
yang perlu dimiliki seorang pemimpin antara lain adalah sebagai berikut :

1. Integritas dan moralitas.
Integritas menyangkut mutu, sifat dan keadaan yang menunjukkan
kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang
memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Moralitas menyangkut ahlak, budi
pekerti, susila, ajaran tentang baik dan buruk, segala sesuatu yang berhubungan

dengan etiket, adat sopan santun.

2. Tanggung jawab.
Seorang pemimpin harus memikul tanggung jawab untuk menjalankan
misi

dan

mandat

yang

dipercayakan

kepadanya.

Pemimpin

harus


bertanggungjawab atas apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya untuk
mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam organisasi.
3. Visi Pemimpin.
Kepemimpinan

seorang

pemimpin

nyaris

identik

dengan

visi

kepemimpinannya. Visi adalah arah ke mana organisasi dan orang-orang yang
dipimpin akan dibawa oleh seorang pemimpin. Pemimpin ibarat seorang nakhoda
yang harus menentukan ke arah mana kapal dengan penumpangnya akan di

arahkan.

4. Kebijaksanaan.
Kebijaksanaan (wisdom) yaitu kearifan seorang pemimpin dalam
memutuskan sesuatu sehingga keputusannya adil dan bijaksana. Kebijaksanaan
memiliki makna lebih dari kepandaian atau kecerdasan. Pemimpin setiap saat
Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

190

dihadapkan kepada situasi yang rumit dan sulit untuk mengambil keputusan
karena terdapat perbedaan kepentingan antar kelompok masyarakat dan mereka
yang akan terkena dampak keputusannya.

5. Keteladanan.
Keteladanan seorang pemimpin adalah sikap dan tingkah laku yang dapat
menjadi contoh bagi orang-orang yang dipimpinnya. Keteladanan berkaitan erat
dengan kehormatan, integritas dan moralitas pemimpin. Keteladanan yang
dibuat-buat atau semu dan direkayasa tidak akan langgeng.


6. Menjaga Kehormatan.
Seorang pemimpin harus menjaga kehormatan dengan tidak melakukan
perbuatan tercela karena semua perbuatannya menjadi contoh bagi bawahan dan
orang-orang yang dipimpinnya.

7. Beriman.
Beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa sangat penting karena pemimpin
adalah manusia biasa dengan semua keterbatasannya secara fisik, pikiran dan akal
budi sehingga banyak masalah yang tidak akan mampu dipecahkan dengan
kemampuannya sendiri. Iman dapat menjembatani antara keterbatasan manusia
dengan kesempurnaan yang dimiliki Tuhan, agar kekurangan itu dapat diatasi.

8. Kemampuan Berkomunikasi.
Suatu proses kepemimpinan pada hakikatnya mengandung beberapa
komponen yaitu : pemimpin, yang dipimpin, komunikasi dan interkasi antara
pemimpin dan yang dipimpin, serta lingkungan dari proses komunikasi tersebut.

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

191


9. Komitmen Meningkatkan Kualitas SDM.
Sumber daya manusia (SDM) adalah faktor strategis dan penentu dalam
kemajuan organisasi, dan pemimpin harus memiliki komitmen kuat untuk
meningkatkan kualitas SDM.

Selain nilai-nilai yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, etika yang
baik juga harus dimiliki. Etika adalah perilaku berstandar normatif berupa nilainilai moral, norma-norma, dan hal-hal yang baik-baik. Etika difungsikan sebagai
penuntun dalam bersikap dan bertindak menjalankan kehidupan menuju ke tingkat
keadaan yang lebih baik. Kepemimpinan beretika akan membuat suasana
hubungan kerja dalam organisasi lebih nyaman dan terhindar dari konflik vertikal
maupun

konflik

horisontal.

Sebab,

pelaku-pelaku

organisasi

menyadari

keberadaan pedoman dan penuntun berupa prinsip-prinsip etika yang membatasi
gerak bersikap dan bertindak. Adapun etika dalam kepemimpinan yakni :
1. Menjaga perasaan orang lain,
2. Memecahan masalah dengan rendah hati,
3. Menghindari pemaksaan kehendak tetapi menghargai pendapat orang lain,
4. Mengutamakan proses dialogis dalam memecahkan masalah,
5. Menanggapi suatu masalah dengan cepat, dan sesuai dengan keahlian
(competence),
6. Menyadari kesalahan dan berusaha untuk memperbaiki (improving value),
Mengedepankan sikap jujur, disiplin, dan dapat dipercaya.

6. Pengertian Kebijakan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik,
program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan,
konvensi, dan rencana strategis. Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

192

dikalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui
tentang hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, untuk
lebih memperjelasnya bagi semua orang yang akan berkaitan dengan kebijakan,
maka alangkah baiknya definisi policy haruslah dipahamkan.

7. Pengertian Kebiajakan Pendidikan
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui
pernyatan-pernyataan berikut ini.
Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan
bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good
(1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai
suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas
factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai
dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga.
Dapat disimpulakan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk
yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legalnetral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat.

8. Fungsi Kebijakan dan Pendidikan
Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi
organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan
bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan
ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturanaturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh
pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan
eksternal.
Kebijakan

diperoleh

melalui

suatu

proses

pembuatan

kebijakan.

Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari
Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

193

semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran
sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal,
input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan
balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Sedangkan Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua,
masyarakat dan pemerintah. Dengan dasar kata – kata bijak itu, maka perbaikan
kualitas pendidikan di Indonesia menjadi beban bersama orang tua, Masyarakat
dan pemerintah. Dalam Undang – Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikam Nasional disrbutkan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh
masyarakat, pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan penegasan diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan
pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan
kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan
pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain,
kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan
pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.

9. Kebijakan Pendidikan Berdasarkan Fakta dan Informasi
Model kebijakan pendidikan menunjukkan keterlibatan yang aktif dari
para guru profesional

dan birokrasi pendidikan. Pelaksanaan serta evaluasi

kebijakan pendidikan menuntut peran aktif dari para pendidik profesional karena
dari merekalah dapat disusun hasil-hasil kebijakan yang akan diriset serta
mendeseminasikan kebijakan pendidikan yang ternyata di dukung oleh fakta-fakta
positif. Kegiatan para pendidik dalam mengikuti setiap langkah dari siklus
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan merupakan portofolio dari
keprofesionalan pendidik. Dewasa ini menurut undang-undang no 14 tahun 2004
tentang guru dan dosen menuntut terbinannya guru profesional yang ditentukan
bukan semata-mata oleh ijazah formal, tetapiterutama oleh partisipasinnya dalam
proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

194

Melihat temuan diatas kita bisa menganalisa bahwasannya dalam
menentukan kebijakan pendidikan para guru dan birokrasi pendidikan ditutut
profesional dan juga selalu berperan aktif dalam mengikuti siklus-siklus kebijakan
maupun evaluasi kebijakan pendidikan. Karena dari mereka semua kebijakan
pendidikan dapat dihasilkan, maka secara otomatis mereka harus selalu berperan
aktif dan profesional dalam mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengen
kebutuhan masyarakat.
Partisipasi aktif dari para pendidik dalam pembinaan keprofesionalannya
telah mulai dicoba dinegara-negara maju seperti Inggris dan Amerika. Sekolahsekolah yang mengambil peranan aktif dalam pembinaan profesionalisme tersebut
bergabung dengan Profesional Development School (PDS). PDS ternyata bukan
hannya menjadi pendorong pembinaan pendidik profesional tetapi juga akan
meningkatkan kwalitas proses pendidikan serta partisipasi masyarakat, dalam
pendidikan seperti dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. PDS
menunjukkan pada kita arti yang sebenarnya dari lembaga pendidikan atau
sekolah yang otonom.
Coba kita refleksi secara bersama-sama dari analisa diatas. Berbeda
dengan kondisi penentuan kebijakan pendidikan yang ada di Negara tercinta kita
yakni Negara Indonesia, belum adanya partisipasi aktif dari para pendidik dan
birokrasi pendidikan untuk melihat kondisi masyarakat dalam menentukan sebuah
kebijakan. Memang kalau kita lihat di Negara kita birokrasi pendidikan belum
berani menerapkan hal semacam ini secara besar-besaran dan bersama-sama
diseluruh penjuru Negeri. Berbicara masalah kondisi masyarakat tentunya pasti
berbeda dengan Negara-negara tersebut, akan tetapi demi memajukan pendidikan
Indonesia maka Birokrasi pendidikan dalam menentukan kebijakan harus berani
mencoba menerapkan sistem bottom up secara transparan kepada seluruh
masyarakat.
Karena kita tahu bahwasannya Negara kita ini memiliki beragam suku,
budaya, adat dan kebiasaan beragam. Ketika semuanya diberikan kebijakan yang
sama dapat dimungkinkan pendidikan tidak akan bisa dirasakan manfaatnya oleh
semua kelompok yang ada di Indonesia ini. Maka demi memajukan hal itu
Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

195

minimal pemerintah harus mengikut sertakan peran setiap kelompok-kelompok
tersebut untuk memutuskan suatu kebijakan pendidikan.
Kebijakan pendidikan yang benar yaitu bilamana kebijakan tersebut telah
dites kebenarannya dilapangan. Kebijakan pendidikan dengan demikian akan
tumbuh dari bawah meskipun kemungkinan kebijakan tersebut di rumuskan dan di
instruksikan dari atas. Dalam hal ini diperlukan kemampuan dari lembagalembaga pendidikan yang otonom untuk memvalidasi kebijakan-kebijakan
pendidikan yang di instruksikan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
Kebijakan-kebijakan pendidikan berdasarkan instruksi dari atas tidak mempunyai
akar dilapangan sehingga sukar untuk ditentukan keberhasilannya.
Selain kebijakan pendidikan yang tidak berakar tersebut akan melahirkan
budaya yang ABS (Asal Bapak Senang) dengan laporan-laporang dari bawah
yang menyatakan keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Hal ini dapat kita lihat
dalam silih bergantinya kurikulum disekolah tanpa didukung oleh fakta dan
kenyataan serta yang lebih penting lagi sosialisasi dari guru profesional yang akan
melaksanakannya.
Memang benar pendidikan haruslah bersumber dari fakta dan informasi
temuan dari masyarakat, ketika seluruh birokrasi pendidikan bisa menerapkan hal
semacam itu dalam menentukan kebijakan maka besar kemungkinan pendidikan
yang ada di Negara kita ini bisa di rasakan manfaatnya oleh seluruh elemen
masyarakat, tetapi sayangnya birokrasi pendidikan yang ada di Negara kita belum
menerapkan hal tersebut.
Dalam penerapan kurikulumpun juga sama seperti itu, memang dari
pemerintah mempunyai maksud yang baik, tapi coba kita lihat dampak dari semua
itu, di Negara kita sering berganti-gantinya kurikulum. Akhrirnya pemeintah
kebingungan untuk menemukan model pendidikan yang ada di Negara kita.
Semua itu karena pemerintah belum bisa mempercayai masyarakat untuk ikut
serta dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Meskipun pada akhirnya yang
menentukan kebijakan adalah dari pemerintah, minimal sebelum mengeluarkan
kebijakan itu pemerintah harus mengikut sertakan masyarakat terlebih dahulu.
Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

196

Disadari atau tidak bahwasannya pendidikan yang terbaik adalah pendidikan
berasal dari kondisi masyarakat yang ada.

10. Karakteristik Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1. Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa
ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk
memberikan kontribusi pada pendidikan.

2. Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya
pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan
itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan
pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki
konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah
dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu
kebijakan pendidikan yang legitimat.

3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum,
tentunya

harus

mempunyai

manfaat

operasional

agar

dapat

diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

197

pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan
kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.

4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang
memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan
kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para
administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi
yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal
pembuat kebijakan pendidikan.

5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang
sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau
dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa
diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat
memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.

6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh
karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh
aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki
efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan
pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh
strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan
satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar
pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara
internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus
Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

198

bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter;
bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.

11. Nilai-Nilai yang Mempengaruhi dalam Pengambilan Keputusan
a. Nilai-nilai politik
Keputusan atau kebijakan negara tidak lepas dari partai politik karena
pejabat-pejabat pengambil keputusan berasal dari partai politik. Dalam
mengambil keputusan dari berbagai macam alternatif yang tersedia maka
dipilih alternatif yang berkepentingan dengan partai politiknya ataupun
kelompok-kelompok klien dari partai politik dan badan atau organisasi
yang dipimpinnya. Keputusan-keputusan yang lahir tidak mustahil dibuat
untuk kepentingan partai politiknya dan digunakan sebagai instrumen
untuk memperluas pengaruh pengaruh politik untuk mencapai tujuan dari
kelompok kepentingan yang bersangkutan.
b. Nilai-nilai Organisasi
Nilai-nilai organisasi yang dimiliki akan mempengaruhi pengambilan
keputusan khususnya organisasi pemerintah (birokrat). Hal ini disebabkan
karena struktur organisasi yang ada di birokrat memiliki sistim kontrol
yang terorganisasi. Sistim kontrol dapat berupa sanksi yang dapat
memaksa organisasi dibawahnya untuk mengikuti perintah dari organisasi
di atasnya. Hal ini dilakukan dengan berbagai macam alasan antara lain:
1. untuk mempertahankan kedudukan organsasi agar tetap eksis
2. untuk meningkatkan dan memperlancar program-program dan kegiatan
organisasi
3. untuk mempertahankan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang mungkin
ada dalam organisasi.
c. Nilai-nilai Kebijakan
Para pembuat keputusan tidak hanya dipengaruhi oleh perhitunganperhitungan keuntungan, organisasi-organisasi atau pribadi, namun para
Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

199

pembuat keputusan mungkin bertindak baik atas dasar persepsi mereka
tentang kepentingan masyarakat atau kepercayaan-kepercayaan mengenai
apa yang merupakan kebijakan publik secara moral benar atau pantas.
d. Nilai-nilai Ideologis
Idologi menjadi pedoman bertindak bagi masyarakat yang menyakininya.
Pada hakikatnya merupakan serangkaian nilai-nilai dan keyakinan yang
secara logis saling berkaitan.

12. Unsur-unsur Pokok Kebijakan Pendidikan
Kerangka analisis yang ditujukan pada proses kebijakan mencakup paling
tidak mengandung empat unsur yang harus diperhatikan, yaitu:
a. unsur masalah
Unsur masalah berkaitan dengan bidang-bidang garapan pemerintahan
seperti pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kesehatan masyarakat,
pengembangan wilayah, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan,
perpajakan, kependudukan dan lain-lain. Unsur ini lebih dikenal dengan
bidang ideologi, politik, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan.
b. tujuan
Unsur tujuan itu berkenaan dengan sasaran yang hendak dicapai melalui
program-program yang telah ditetapkan oleh negara.
c. cara kerja atau cara pemecahan masalah
Unsur cara kerja berkaitan dengan prosedur logis dan sistematis
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

d. otoritas publik
Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

200

Unsur otoritas berkenaan dengan aparatur yang diberi kepercayaan untuk
melakukan aktivitas pemerintahan.

13. Tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan
Berhasil atau tidaknya suatu kebijakan akan ditentukan oleh banyak faktor.
Misalnya:
a. kompleksitas kebijakan yang telah dirumuskan
b. kejelasan rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah
c. sumber-sumber potensial yang mendukung
d. keahlian pelaksanaan kebijakan
e. dukungan dari khalayak sasaran
f. efektifitas dan efisiensi birokrasi

Keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dapat dievaluasi
kemampuannya secara nyata dalam mengoperasikan program-program yang telah
dirancang sebelumnya. Sebaliknya proses implementasi kebijakan dievaluasi
dengan cara mengukur dan membandingkan antara hasil akhir program-program
tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.

14. Peran Guru dan Organisasi Guru Dalam Penentuan Kebijakan
Pendidikan
Secara lebih lengkap peran guru untuk ikut dalam penentuan kebijakan
pendidikan termuat didalam PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Pasal 45 PP
Guru menyebutkan bahwa:
1. Guru memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan
pendidikan di tingkat:

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

201

a. satuan pendidikan;
b. kabupaten atau kota;
c. provinsi; dan
d. nasional.

2. Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan di tingkat satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a.

penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya

b.

penetapan kalender pendidikan di tingkat satuan pendidikan

c.

penyusunan rencana strategis

d.

penyampaian

pendapat

menerima

atau

menolak

laporan

pertanggungjawaban anggaran dan pendapatan belanja sekolah
e.

penyusunan anggaran tahunan satuan pendidikan

f.

perumusan kriteria penerimaan peserta didik baru

g.

perumusan kriteria kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

h.

penentuan buku teks pelajaran sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan

3. Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat
kabupaten atau kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi
saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam:
a. penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan
b. penyusunan rencana strategis bidang pendidikan
c. kebijakan operasional pendidikan daerah kabupaten atau kota

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

202

4. Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat
propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi saran atau
pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam:
a. penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan
b. penyusunan rencana strategis bidang pendidikan
c. kebijakan operasional pendidikan daerah propinsi

5. Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi saran atau
pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam:
a. penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan;
b. penyusunan rencana strategis bidang pendidikan; dan
c. kebijakan operasional pendidikan tingkat nasional.

6. Saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) disampaikan baik secara individual, kelompok,
atau melalui Organisasi Profesi Guru, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

15. Implementasi Kebijakan Pendidikan Melalui Manajemen Berbasis
Sekolah
Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu
setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan
minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi,
suku, etnis, agama, dan gender. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan
Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

203

kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan
ekonomi dan sosial ataupun kendala geografis, dengan menyediakan layanan
pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau.
Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan
program besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah
penduduk yang luar biasa dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi
Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan
tingkat sosial-ekonomi yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan
nasional yang kompleks, sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Sistem pendidikan semacam itu tidak mungkin dipenuhi tanpa adanya
suatu perencanaan pendidikan nasional yang handal. Perencanaan itu juga bukan
perencanaan biasa, tetapi suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi
perubahan kebutuhan dan tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan
global. Globalisasi yang menjangkau seluruh bagian bumi membuat Inonesia
tidak bisa terisolasi. Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi,
membuat segala hal yang terjadi di dunia internasional berpengaruh juga
berpengaruh ke Indonesia.
Dalam mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai
wujud dari implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini
dikontrol ketat oleh pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat
ditingkatkan. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih
besar tersebut merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat,
sekaligus sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan. Tanggung jawab
pengelolaan pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh sekolah dan
masyarakat dalam rangka mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat yang
paling dekat dengan peserta didik. MBS ini sekaligus memperkuat kehidupan
berdemokrasi melalui desentralisasi kewenangan, sumber daya dan dana ke
tingkat sekolah sehingga sekolah dapat menjadi unit utama peningkatan mutu
pembelajaran yang mandiri (kebijakan langsung, anggaran, kurikulum, bahan ajar,
dan evaluasi). Program MBS sendiri merupakan program nasional sebagaimana
Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

204

yang tercantum dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun
2003 Pasal 51 (1): “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan
minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”
Dalam konteks, MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap,
adaptif, kreatif, dalam mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal,
dan pada saat yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya
untuk terus meningkatkan diri. Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi,
mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui
keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan
penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan
pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat
menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak
pada tumbuhnya partisipasi masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu
dan peduli terhadap masalah pendidikan. Implikasinya adalah pemberian
kewenangan yang lebih besar kepada kabupaten dan kota untuk mengelola
pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya.
Juga, melakukan perubahan kelembagaan untuk memenuhi dan meningkatkan
efisiensi

dan

efektivitas

dalam

perencanaan

dan

pelaksanaan,

serta

memberdayakan sumber daya manusia, yang menekankan pada profesionalisme.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih
belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam
metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan.
Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai
improvisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya,
beberapa langkah program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan
dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah
dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai
berikut :

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

205

a. Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
b. Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
c. Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
d. Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
e. Pemberian insentif kepada guru-guru negeri
f. Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
g. Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru
untuk mengikuti program Pascasarjana.
16. Tujuh Pilar MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)
Tujuh pilar MBS yaitu kurikulum dan pembelajaran, peserta didik
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, hubungan
sekolah dan masyarakat, dan budaya dan lingkungan sekolah.
a. Manajemen kurikulum dan pembelajaran berbasis sekolah adalah
pengaturan

kurikulum dan pembelajaran

yang meliputi

kegiatan

merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi
kurikulum dan pembelajaran di sekolah, dengan berpedoman pada prinsipprinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.
b. Manajemen peserta didik berbasis sekolah adalah pengaturan peserta didik
yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan,
dan
mengevaluasi program kegiatan peserta didik di sekolah, dengan
berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis
sekolah.
c. Manajemen pendidik dan tenaga kependidikan berbasis sekolah adalah
pengaturan pendidik dan tenaga kependidikan yang meliputi kegiatan
merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi
program kegiatan yang terkait dengan pendidik dan tenaga kependidikan
di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi
manajemen berbasis sekolah.

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

206

d. Manajemen sarana dan prasarana berbasis sekolah adalah pengaturan
sarana

dan

prasarana

yang

meliputi

kegiatan

merencanakan,

mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan
sarana dan prasarana di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip
implementasi manajemen berbasis sekolah.
e. Manajemen pembiayaan berbasis sekolah adalah pengaturan pembiayaan
yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan,
dan mengevaluasi program kegiatan pembiayaan di sekolah, dengan
berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis
sekolah.
f. Manajemen hubungan sekolah dan masyarakat berbasis sekolah adalah
pengaturan hubungan sekolah dan masyarakat yang meliputi kegiatan
merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi
program kegiatan hubungan sekolah dan masyarakat, dengan berpedoman
pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.
g. Manajemen budaya dan lingkungan berbasis sekolah adalah pengaturan
budaya

dan

lingkungan

yang

meliputi

kegiatan

merencanakan,

mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan
budaya dan lingkungan sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip
implementasi manajemen berbasis sekolah.
Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan
berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan
tanggung jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan sebagai konkretisasi
visi dan misi organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan
keperluannya.
17. Tujuan dan Manfaat Pelaksanaan MBS

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

207

Sekolah sebagai institusi atau lembaga pendidikan, yang merupakan
wadah tempat proses pendidikan dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan
dinamis.

Sekolah

sebagai

institusi

pendidikan

juga

diharapkan

dapat

meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan derajat sosial
masyarakat. Oleh karena itu, sekolah membutuhkan sistem pengelolaan yang tepat
untuk dapat mencapai apa yang diharapkan.
Tujuan

penerapan

MBS

adalah

untuk

memandirikan

atau

memberdayagunakan sekolah melalui kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan
mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif.
Secara lebih rinci, MBS bertujuan untuk:
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah
dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
b. Meningkatkan

kepedulian

warga sekolah dan masyarakat

dalam

menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan
pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu
pendidikan yang akan dicapai.

Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasikan beberapa
manfaat dari penerapan MBS sebagai berikut:
a. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil
keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

208

b. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan penting.
c. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program
pembelajaran.
d. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung
tujuan yang
dikembangkan di setiap sekolah.
e. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan
guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran,
dan biaya program-program sekolah.
f. Dapat

meningkatkan

kesejahteraan

guru

sehingga

dapat

lebih

berkonsentrasi pada tugasnya.
g. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di
semua level.

18. Syarat Penerapan Manajemen Berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan
MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk
menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting
artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan
tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala
sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan
standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap
sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik
kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah
menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok,
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik
presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok.
Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

209

masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi
tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan
pelatihan kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang
berikut :
a. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
b. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
c. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya,
pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran
dan saluran komunikasi yang baru.
d. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan
waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
e. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada
kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini
dengan para guru dan orang tua murid.

19. Hambatan Penerapan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan
dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
a. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang
sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam
kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan
sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang
menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan
guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan
aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat
dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan
waktunya untuk urusan itu.

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

210

b. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya
menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan
cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja
sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di
luar itu.
c. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan
besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena
mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu
menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak
berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan
sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena
keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
d. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak
atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif
ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara
kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi
dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS
mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan.
Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan
dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab
pengambilan keputusan.
f. Kesulitan Koordinasi

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

211

Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam
mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu,
kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing
yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal,
mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum
penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS
dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada
semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus
memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi,
oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan
yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di
tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS
telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan
keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih
baik.

20. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma
desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan
MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu strategi
adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS,
yakni :
a.

Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk
masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala
sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan
MBS.

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

212

b.

Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan,
dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan
pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di
papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic
Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga
membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster
tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah
dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.

c.

Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan
kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan
kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS
di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.

d.

Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya
sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan
pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah
berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang
lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.

21. Peran Kepala Sekolah Dalam Implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah
Peran kepala sekolah menurut Mulyasa dalam bukunya yang berjudul
Menjadi Kepala Sekolah Profesional menyatakan ada tujuh peran yaitu kepala
sekolah sebagai edukator (pendidik), kepala sekolah sebagai manajer, kepala
sekolah sebagai administrator, kepala sekolah sebagai supervisor, kepala sekolah
sebagai leader, kepala sekolah sebagai innovator dan kepala sekolah sebagai
motivator.
Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

213

1. sebagai edukator adalah
a. pengadaan pelatihan IT guru
b. pemberian hak dan kebebasan peningkatan pengetahuan seperti
belajar
c. memberikan evaluasi belajar dan pembelajaran dalam bentuk nilai
sisipan dan raport
2. sebagai manajer
Terlihat dari kemampuan atau potensi kepala sekolah dalam
mengendalikan atau memberdayakan potensi SDM yang dimiliki
sekolah. hal-hal yang perlu dilakukan oleh kepala sekolah sebagai
manajer adalah:
a. pemberdayaan
melibatkan

orangtua

dilakukan

kepala

sekolah

dengan

seluruh komponen masyarakat untuk ikut andil dalam

setiap kegiatan sekolah
b. menjalin komunikasi secara intensif dengan komite sekolah dan
paguyuban orangtua
c. kepala sekolah memberikan pelatihan IT agar guru dapat membuat
media pembelajaran
d. untuk meningkatkan profesi guru, kepala sekolah mengikutsertakan
guru untuk mengikuti kegiatan seminar dan workshop yang diadakan
oleh Dinas Pendidikan Kota Malang
e. ketrampilan dalam mengelola pilar-pilar MBS
f. kepala sekolah menerapkan prinsip keterbukaan dalam pengelolaan
dana sekolah
3. sebagai leader antara lain:
a. penyusunan visi, misi, dan tujuan sekolah melibatkan melibatkan
guru, komite, perwakilan orangtua peserta didik, dan alumni untuk
diadakan musyawarah

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

214

b. dalam mempermudah kerja kepala sekolah dalam mewujudkan visi,
misi, dan tujuan sekolah, kepala sekolah membentuk struktur
sekolah dengan melihat potensi yang dimiliki guru, dan sebelumnya
diadakan analasis terlebih dahulu
c. penyusunan program kerja baik jangka panjang, menengah, dan
jangka pendek menyusun bersama tim disusun bersama tim, yaitu
tim pengelola kurikulum, pengelola kesiswaan, pengelola sarana dan
prasarana, pengelola ketenagaan, pengelola keuangan, dan pengelola
kehumasan. Penyusunan program kerja disepakati bersama melalui
rapat antara kepala sekolah dan guru
d. pengambilan keputusan, kepala sekolah juga melibatkan banyak
pihak, yaitu penjaga kantin, security, staf, guru, orangtua, komite
sekolah, dan pengawas
e. kepala sekolah memiliki kepribadian baik yaitu tegas dalam
mengambil keputusan, pintar dan cerdas dalam mencarikan solusi,
sangat komunikatif, tanggap terhadap masalah, suka menerima
kritikan, ramah, dan telaten dalam menjalin teman kerja dengan
guru, komite, dan orangtua
4. sebagai supervisor yaitu:
a. memberi evaluasi RPP yang sudah disusun oleh guru
b. melakukan observasi kelas pada saat jam pembelalajaran untuk
melihat kemampuan guru dalam mengajar
c. melakukan pendekatan kepada guru secara individual dan kelompok
d. memberi pengarahan kepada orangtua pada saat orangtua memiliki
masalah dengan prestasi belajar anak dan kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan oleh orangtua
5. sebagai administrator melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. pengelolaan keuangan dilakukan dengan cermat dan teliti,

Etika Kepemimpinan dan Penentuan Kebijakan Pendidikan

21