UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA DI PERANAN

UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA

PERANAN RAPI SEBAGAI INSTRUMEN MEDIA
KOMUNIKASI BENCANA (STUDI KASUS: RAPI SLEMAN
SAAT BENCANA ERUPSI MERAPI 2010)

PROPOSAL TESIS

DIAN PUSPITA
120120203007

SEKOLAH KAJIAN PERTAHANAN DAN STRATEGI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN BENCANA
UNTUK KEAMANAN NASIONAL

JAKARTA
JULI 2013

1

Universitas Pertahanan Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Posisi geografis Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga
lempeng tektonik dunia (Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan
Lempeng Pasifik) serta karakteristik dan kepadatan populasi di Indonesia
menyebabkan Indonesia terpapar oleh berbagai ancaman bencana baik
alam maupun non-alam yang tinggi. Oleh karena itu, kesiapan
menghadapi bencana perlu dimiliki oleh Indonesia. Terlebih lagi, dalam
beberapa dasawarsa terakhir tren bencana di dunia terus meningkat, tak
terkecuali Indonesia. Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia
(DIBI), terdapat 11.910 kejadian bencana di Indonesia selama 1815-2011
yang menyebabkan 329.585 jiwa meninggal dan hilang serta lebih dari
15,8 juta jiwa mengungsi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah menyusun dan
mengeluarkan buku Indeks Kerawanan Bencana Indonesia pada tahun
2011 yang berisikan tentang informasi tingkat kerawanan bencana tiaptiap kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan identifikasi kerawanan
tersebut, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi
yang memiliki kelas kerawanan yang tinggi yakni peringkat ke-18 dari

seluruh provinsi di Indonesia. Dalam administrasi Yogyakarta sendiri,
Sleman merupakan kabupaten paling rawan dengan menempati peringkat
ke-7 se-Indonesia dalam hazard bencana letusan gunungapi.
Gunungapi yang menjadi hazard bagi Yogyakarta adalah Gunung
Merapi. Gunung Merapi ini terletak di utara Daerah Istimewa Yogyakarta
dan merupakan gunung yang aktif di Indonesia. Merapi terletak di
Perbatasan empat kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Provinsi DIY dan
kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten di
Provinsi Jawa Tengah, dengan koordinat 7˚32’30” LS dan 110˚26’30”BT.
Dalam sejarahnya, Merapi memiliki aktivitas letusan yang cukup intens
selama dua abad terakhir. Berdasarkan Baseline Gunung Api Indonesia
2

Universitas Pertahanan Indonesia

(2011), tercatat aktivitas letusan Merapi terjadi dari 3000 – 250 tahun yang
lalu hingga letusan tearkhir pada 2010 yang lalu. Letusan yang terjadi
pada 2010 ini merupakan letusan yang terbesar sejak 1872.
Tabel 1.1 Sejarah Letusan Gunung Merapi
Tahun


Keterangan

3000 – 250 tahun yang
lalu

33 kali letusan, di antaranya merupakan letusan besar

1768, 1822, 1849,
1872 (abad 19), dan
1930 – 1931 (abad 20)

Terjadi beberapa letusan, pada abad ke-20 minimal 28 letusan,
letusan terbesar pada tahun 1931.

2010

Peningkatan aktivitas mulai terlihat pada September 2010, dan
pada 20 September Merapi menaikan statusnya menjadi
“Waspada”. Kenaikan status berdasarkan penigkatan aktivitas

seismik, yaitu gempa fase banyak dengan 38 kejadian/hari,
Gempa Vulkanik 11 kejadian/hari, dan Gempa Guguran 3
kejadian/hari.
21 Oktober satus Merapi menjadi “Siaga” Kenaikan status
berdasarkan penigkatan aktivitas seismik, yaitu gempa fase
banyak dengan 150 kejadian/hari, Gempa Vulkanik 17 kejadian/
hari.
25 Oktober, status merapi menjadi “Awas”. dengan kondisi
akan segera meletus, Kenaikan status berdasarkan penigkatan
aktivitas seismik, yaitu gempa fase banyak dengan 588
kejadian/hari, Gempa Vulkanik 80pa vulkanik, 194 kejadian/hari
Gempa guguran, dengan laju deformasi 42cm/hari. Radius
aman ditetapkan di luar 10 km dari puncak Merapi
Pada 26 Oktober, pukul 17:02 terjadi letusan pertama, Letusan
bersifat ekplosif disertai dengan awan panas dan dentuman.
3 November, terjadi rentetan awan panas yang dimulai pukul
11:11 WIB.
3-4 November, menunjukan proses pertumbuhan kubah lava
yang mencapai volume 3.5 juta m3 . 5 November, terjadi
penghancuran kubah lava yang menghasilkan awan panas

hingga 15 km dari puncak ke kali Gendol.
13 November, intensitas erupsi menurun, dan radius aman juga
dirubah yaitu Sleman 20 km, magelang 15 km, Boyolali 5 km,
dan klaten 10 km.
3 Desember pukul 09:00 WIB, status aktivitas G.Merapi
diturunkan dari”AWAS” menjadi ”SIAGA”.
Ancaman berikutnya adalah lahar hujan produk erupsi Merapi
yang mencapai 150 juta m3. Sekitar 35% produk letusan G,
Merapi tersebut masuk ke K.Gendol berupa aliran piroklasik
dan sisanya tersebar di sungai-sungai lainnya yang berhulu di
lereng G. Merapi, seperti Kali Wiro, Kali Senowo, Kali Trising
dan Kali Apu. Setelah Erupsi pertama tanggal 26 Oktober
hingga kini apa bila terjadi hujan di puncak G. Merapi, terjadi
banjir lahar di sungai yang berhulu di G.Merapi.

Sumber: Baseline Gunung Api Indonesia

3

Universitas Pertahanan Indonesia


Pasca ditetapkannya status Merapi pada 25 Oktober 2010 menjadi
AWAS, erupsi terjadi pada hari berikutnya yakni 26 Oktober 2010. Erupsi
tersebut menyebabkan 44 orang meninggal dunia dan ribuan orang harus
mengungsi dari kediamannya yang ditetapkan sebagai Kawasan Rawan
Bencana (KRB). Sejak tanggal 26 Oktober – 4 November Merapi terus
memuntahkan awan panas dan lahar dingin dengan luasan zona bahaya
berada di 10 km dari puncak Merapi. Berdasarkan Laporan Tanggap
Darurat Merapi Yogyakarta 2010, pengungsi tersebar di beberapa titik,
terbagi ke dalam 4 kabupaten di 2 provinsi, yaitu Yogyakarta dan Jawa
Tengah dengan jumlah pengungsi terbesar terdapat di Kabupaten
Sleman.
1. Kabupaten Sleman, Yogyakarta – jumlah pengungsi sejumlah 13.626
jiwa tersebar di 7 titik pengungsian
2. Kabupaten Magelang, Jawa Tengah – jumlah pengunsi 34.190 jiwa
yang tersebar di 58 titik pengungsian
3. Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah – jumlah pengungsi 900 jiwa yang
tersebar di 20 titik pengungsian
4. Kabupaten Klaten, Jawa Tengah – jumlah pengungsi 4.677 jiwa yang
tersebar di 4 titik pengungsian

Timbulnya korban jiwa dan pengungsi akibat erupsi Merapi tersebut
mengindikasikan perlu diselenggarakannya manajemen bencana dengan
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana. Pengurangan risiko
bencana ini merupakan aksi utama yang diusung dalam Hyogo
Framework for Action 2005-2015. HFA ini mendorong implementasi dan
kerjasama berbagai sektor dalam pengupayaan pengurangan risiko
bencana. Kerangka pengurangan risiko bencana ini kemudian merubah
paradigma penanggulangan bencana dari yang bersifat responsif ke
preventif.

Dengan

adanya

perubahan

paradigma

ini,


maka

penanggulangan bencana menjadi lebih bersifat partisipatif. Semua
pemangku kepentingan dalam hal kebencanaan berkoordinasi dalam
mengurangi risiko bencana, tidak terkecuali masyarakat.
4

Universitas Pertahanan Indonesia

Masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang paling utama
dalam menghadapi bencana. Hal ini dikarenakan masyarakat dapat
berperan sebagai pelaku dan korban jika terjadi bencana. Oleh karena itu,
pelibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana sangatlah penting.
Hal ini terkait dengan kunci penting dalam manajemen kebencanaan yaitu
pendekatan M to M, artinya pendekatan yang berhulu (awal) dari manusia
dan berakhir (hilir) manusia pula (Ma’arif, 2011). Pendekatan ini
merupakan akar inspirasi pelibatan masyarakat dalam pengurangan
bencana dengan konsep yang disebut community based disaster risk
reduction (PRBBK) atau pengurangan bencana berbasis komunitas
(PRBBK).

Peranan masyarakat dalam penanggulangan bencana tertuang
dalam UU 24 Tahun 2007. Dalam Pasal 1 ayat 21 dijelaskan bahwa
kegiatan penanggulangan bencana

merupakan tanggung jawab setiap

orang yang berkaitan dengan bencana, “Setiap orang adalah orang
perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum”. Dengan
demikian, peran komunitas dalam masyarakat merupakan salah satu
komponen

penting

dalam

keberhasilan

penanggulangan

bencana.


Terlebih lagi, kebijakan penanggulangan bencana telah mengalami
pergeseran dari yang bersifat top-down menjadi bottom-up.
Berbagai
berpartisipasi

komunitas
dalam

dalam

penanggulangan

penanggulangan

bencana

bencana
telah


yang

banyak

bermunculan. Komunitas-komunitas tersebut bergerak di berbagai bidang
dan berpartisipasi dalam fase-fase penanggulangan bencana. Salah satu
organisasi komunitas yang berpartisipasi dalam penanggulangan bencana
adalah Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI). RAPI adalah organisasi
kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang komunikasi radio antar
penduduk yang ikut serta dalam membantu pemerintah dan masyarakat
dalam informasi penanggulangan alam dan bencana sosial. Hal ini
tertuang dalam maksud, tujuan, dan kegiatan RAPI pada pasal 4 dalam
AD/ART RAPI:

5

Universitas Pertahanan Indonesia

1. Menunjang program Pemerintah dalam pembangunan Nasional,
membantu memelihara keamanan Negara, ketertiban masyarakat
serta membina penggunaan Perangakat Komunikasi Radio Antar
Penduduk.
2. Membantu Pemerintah dalam bantuan komunikasi cadangan dan
menyelenggarakan

bantuan

komunikasi

radio

dalam

hal

penanggulangan bencana alam, marabahaya, wabah penyakit, serta
bantuan komunikasi lainnya.
3. Membantu

pemerintah,

organisasi,

dan

masyarakat

yang

membutuhkan bantuan komunikasi radio pada kegiatan sosial serta
bantuan teknis komunikasi.
4. Membina ketaatan anggota terhadap Peraturan Perundang-Undangan
dan Peraturan Organisasi.
5. Membina anggota dalam hal berkomunikasi radio dengan baik, benar,
dan bertanggungjawab.
6. Meningkatkan keterampilan anggota dalam memberikan bantuan
komunikasi radio dan pengabdian masyarakat luas.
7. Meningkatkan kualitas sumber daya anggota terutama dalam hal
kepemimpinan

dan

manajemen

organisasi

serta

operasi

penanggulangan bencana.
8. Meningkatkan sarana dan prasarana untuk kemudahan berkomunikasi
anggota.
Berdasarkan maksud, tujuan, dan kegiatan RAPI tersebut, terlihat
jelas posisi RAPI dalam penanggulangan bencana yaitu menyediakan
bantuan komunikasi dalam keadaan darurat. Dalam hal ini, RAPI bergerak
pada fase tanggap darurat bencana dengan memberikan informasi yang
bersifat real-time. Seperti yang diketahui, data dan informasi merupakan
faktor terpenting dalam dalam pengambilan keputusan sebagai unsur
dalam menentukan kebijakan strategis operasional. Pada saat tanggap
darurat dan pasca bencana, diperlukan respon tanggap darurat yang
cepat dan tepat berdasarkan kondisi terkini di lokasi bencana. Ketepatan
respons ditentukan oleh adanya data dan informasi yang dibangun dari
6

Universitas Pertahanan Indonesia

lokasi bencana sehingga sumberdaya yang ada dapat dimobilisasi sesuai
dengan kebutuhan di lokasi bencana. Berdasarkan Perka BNPB no 10
Tahun 2008 mengenai Komando Tanggap Darurat Bencana, informasi
awal kejadian bencana diperoleh melalui sumber antara lain pelaporan,
media massa, instansi/lembaga terkait, masyarakat, internet, dan
informasi lain yang dapat dipercaya. Dalam hal ini, RAPI dapat bertindak
sebagai salah satu sumber informasi kejadian bencana yang berasal dari
masyarakat.
Peranan RAPI saat tanggap darurat bencana terlihat dari studi
kasus terdahulu yakni pada bencana tsunami Aceh Desember 2004. RAPI
dengan

potensi

sumberdaya

yang

dimilikinya,

dengan

ketentuan

pemerintah dan tujuan pendirian organisasi, memberikan kontribusi dan
peran dalam bantuan komunikasi radio. Saat terjadi tsunami di Aceh,
semua sistem dan sarana telekomunikasi dan sumberdaya listrik di kota
Banda Aceh rusak dan tidak berfungsi. Kemudian seorang anggota RAPI,
JZ 01 BKO, dengan perangkat KRAP-nya terus mengkomunikasikan data
dan informasi terkini saat tanggap darurat bencana kepada posko RAPI,
sehingga dapat dilakukan respons yang tepat saat tanggap darurat
bencana (www.rapi.or.id).
Berbagai permasalahan terjadi saat bencana melanda sehingga
penanganan pada saat tanggap darurat merupakan hal yang krusial.
Berbagai dampak yang terjadi akibat erupsi Merapi di Yogyakarta 2010
pada tanggap darurat tertera pada penelitian terdahulu yang berjudul
“Tanggap Darurat Bencana (Studi Kasus: Tanggap Darurat Bencana
Gunung Api Merapi Kabupaten Sleman 2010)” oleh Haris.

Pada

penelitian tersebut dipaparkan mengenai penyelenggaraan tanggap
darurat bencana erupsi Merapi di Kabupaten Sleman pada tahun 2010.
Hasil penelitian menyarankan bahwa perlu adanya organisasi tanggap
darurat bencana tingkat komunitas/desa. Sedangkan pada penelitian ini,
akan dibahas mengenai peranan RAPI dalam penanggulangan bencana
erupsi Merapi Yogyakarta 2010 pada saat prabencana, tanggap darurat,

7

Universitas Pertahanan Indonesia

dan pascabencana dilihat dari perspektif pengurangan risiko bencana
berbasis komunitas.
1.2 Perumusan Masalah
Susunan organisasi Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI)
bersifat bertingkat yang terdiri atas (1) Organisasi RAPI tingkat Nasional
disebut RAPI Nasional; (2) Organisasi RAPI tingkat Provinsi disebut RAPI
Provinsi;

(3)

Organisasi

RAPI

tingkat

Kab/Kota

disebut

RAPI

Kabupaten/Kota; (4) Organisasi RAPI tingkat Kecamatan/Distrik disebut
RAPI Kecamatan/Distrik. Kegiatan Organisasi RAPI diselenggarakan dari
level distrik hingga pusat dengan mengadakan musyawarah dari level
lokal hingga nasional. Sedangkan anggota RAPI terdapat di seluruh
provinsi di Indonesia, tidak terkecuali Kabupaten Sleman.
Saat terjadi bencana erupsi Merapi 2010, terdapat kerusakan
perangkat IT di Yogyakarta, di antaranya:
Tabel 1.2 Kerusakan Perangkat IT
No

Jenis Perangkat/

Vol

Unit

Keterangan lokasi

Barang
1

Perangkat CCTV
(CCTV, wireless LAN,
Router Tower &
kelengkapannya).

3

Lokasi Kaliadem, Sembada Clan
Tritus

2

Perangkat repeater radio
komunikasi

3

Freq

Freq Bayu, Praja, Buah

3

Perangkat link repeater
radio komunikasi

3

Freq

Freq Bayu, Praja, Buah

4

Perangkat sirine tanda
bahaya

4

Lokasi Kalitengah, Tritis,
Kaliurang Barat, Kaliurang
Timur

5

Perangkat online system
kecamatan dan jaringan
lokal (LAN)

4

Kec

Turi, Pakem, Cangkringan,
Ngemplak

6

Perangkat online desa

8

Desa

Purwobinangun,

8

Universitas Pertahanan Indonesia

dan hotspot area
7

Hargobinangun,
Umbulharjo, Glagaharjo

Perangkat online lokasi
dan hotspot area

9

Lokasi SD Tarakanita Tritis, Barak
Purwobinangun, SD
Glagaharjo, Barak
Glagaharjo, Elemen
komunitas

Sumber: Laporan tanggap darurat bencana Kabupaten Sleman 2010 dalam Haris

Berdasarkan data pada tabel 2, dapat dilihat bahwa beberapa alat
sistem peringatan dini serta radio komunikasi mengalami kerusakan.
Dengan demikian, arus komunikasi dan informasi selama bencana dapat
terganggu.

Terlebih

lagi,

berdasarkan

data

sebelumnya

yang

menyebutkan bahwa terdapat banyaknya korban mengungsi di Kabupaten
Sleman (13.626 jiwa yang tersebar di 7 titik pengungsian). Berdasarkan
rumusan masalah tersebut, maka dihasilkan beberapa pertanyaan
penelitian, yaitu:
1. Bagaimanakah peranan RAPI dalam masa pra-bencana, tanggap, dan
pasca-bencana erupsi Merapi 2010?
2. Bagaimanakah peranan RAPI dalam implementasi PRBBK studi kasus
Sleman, Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang
telah dibahas pada sub-bab sebelumnya, maka terdapat tiga tujuan yang
akan dicapai pada penelitian ini:
1. Menjelaskan peranan RAPI sebagai instrumen media informasi
bencana pada saat pra-bencana, tanggap darurat, dan pasca-bencana
studi kasus erupsi Merapi 2010.
2. Menjelaskan implementasi RAPI dalam PRBBK.
1.4 Manfaat Penelitian

9

Universitas Pertahanan Indonesia

Secara

teoritis,

manfaat

dari

penelitian

ini

adalah

untuk

menjelaskan implementasi PRBBK dalam RAPI sebagai organisasi
kemasyarakatan

yang

efektif

dalam

penanggulangan

bencana.

Sedangkan secara praktis, berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat
signifikansi peranan RAPI dalam manajemen bencana sehingga dapat
menjadi salah satu masukan kebijakan dalam implementasi PRBBK di
Indonesia.
1.5 Pembatasan Masalah
Penelitian ini akan dilakukan dengan batasan masalah sebagai
berikut:
1. Analisis mengenai peranan RAPI dalam fase pra-bencana, tanggap
darurat, dan pasca- bencana.
2. Implikasi peranan RAPI dalam media informasi bencana sebagai
bagian dari PRBBK.

10

Universitas Pertahanan Indonesia

1.6 Kerangka Penelitian
Skema di bawah ini menjelaskan garis besar (kerangka) struktur
penelitian yang memberikan gambaran utuh penelitian ini dan hubungan
antara tiap unsur penelitian.

Judul Penelitian

1 Tesis

Pertanyaan
Penelitian Utama

Tujuan Penelitian
Tesis

Level Objek
Penelitian

“Peranan RAPI Sebagai Media Informasi Bencana, Studi Kasus
RAPI Yogyakarta Dalam Erupsi Merapi 2010”

1.Apakah peranan RAPI sebagai instrumen media informasi
bencana pada saat prabencana, tanggap darurat, dan
pascabencana?
2.Bagaimanakah implementasi PRBBK dalam RAPI?

1. Menjelaskan peranan RAPI sebagai instrumen media
informasi bencana.
2. Menjelaskan implementasi PRBBK dalam RAPI

Level Pemerintah
BPBD Kab Sleman

Level
Masyarakat

Level
Komunitas

Metode
Penelitian

Metode kualitatif:
Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara
mendalam ke komunitas, masyarakat dan para pemangku
kebijakan penanggulangan bencana.

Desain Bab
Laporan Tesis

Bab 1 Pengenalan terhadap permasalahan dan konteks
penelitian
Bab 2 Tinjauan teori, konsep, dan kerangka pemikiran
Bab 3 Metode penelitian
Bab 4 Analisis hasil penelitian dan pembahasan
Bab 5 Kesimpulan dan saran

Gambar 1 Kerangka Penelitian

11

Universitas Pertahanan Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Media Informasi dan Komunikasi Dalam Bencana
2.1.1 Peranan Penting Komunikasi
Komunikasi memiliki peranan penting dalam penyampaian
informasi dari satu pihak ke pihak yang lain. Dalam manajemen
bencana, informasi dan komunikasi memiliki peranan penting dalam
semua fase bencana. Komunikasi dalam bencana berperan dalam
menyampaikan informasi terkait bencana, baik dari fase prabencana,
tanggap darurat, sampai fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam
informasi dan komunikasi itu sendiri, terdapat enam tahap dalam
proses penerimaan informasi (McGuire dalam Coppola: 1968):
1. Keterpaparan terhadap pesan
2. Perhatian terhadap pesan
3. Pemahaman terhadap pendapat dan kesimpulan yang terdapat
dalam pesan
4. Menghasilkan pesan

5. Menerima pesan
6. Integrasi informasi (yang memungkinkan adanya ingatan akan
pesan yang disampaikan)
Berdasarkan tahapan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
seseorang dapat belajar pemahaman terhadap pesan yang diperoleh.
Setelah memahami pesan tersebut, seseorang akan melakukan
menggunakan

pengalaman

masa

lalunya

untuk

mengevaluasi

informasi baru yang diperoleh. Setelah melakukan perbandingan
informasi lama dan informasi baru, kemudian akan terjadi integrasi
struktur pengetahuan seseorang. Integrasi pengetahuan ini yang
bertujuan untuk mengubah sikap seseorang terhadap suatu hal.
Sedangkan sikap terdiri dari tiga komponen (Coppola & Malloney:
2009), yaitu kognitif (pendapat atau keyakinan seseorang terhadap

12

Universitas Pertahanan Indonesia

suatu hal), afektif (perasaan seseorang terhadap suatu hal), dan
perilaku (perilaku seseorangg terkait suatu hal).
2.1.2 Informasi dan Komunikasi Dalam Manajemen Bencana
Dalam penanggulangan bencana, tujuan utama komunikasi
dalam penyebaran informasi terkait dengan bencana adalah untuk
meningkatkan kapasitas dan mengurangi kerentanan masyarakat
terhadap bencana. Informasi dan komunikasi berperan penting dalam
manajemen bencana, baik pada prabencana, tanggap darurat,
maupun pascabencana. Komunikasi mengenai informasi bencana
tersebut merupakan proses edukasi publik.
Menurut Copolla & Mallponey (2009), terdapat tiga tujuan utama
dalam edukasi publik mengenai informasi kebencanaan, antara lain:
1. Meningkatkan kesadaran publik akan risiko ancaman bencana
2. Memandu atau membuat suatu pedoman publik yang mencakup:
-

Pengurangan risiko pada saat prabencana

-

Kesiapsiagaan pada saat prabencana

-

Tanggap darurat

-

Pascabencana yang meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi

3. Peringatan dini kepada publik
Berdasarkan tiga tujuan utama tersebut, dapat dikategorikan
peranan informasi dan komunikasi bencana dari tahap mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi-rekonstruksi bencana.
a. Mitigasi bencana
Dalam

tahap

mitigasi

bencana,

peranan

informasi

dan

komunikasi adalah untuk meningkatkan kesadaran publik akan
keterpaparan risiko bencana yang mereka hadapi. Komunikasi
dilakukan dengan sasaran publik setempat mengenai ancaman dan
kerentanan atau kapasitas yang mereka miliki dalam menghadapi
bencana. Informasi mengenai sejarah kebencanaan yang pernah
terjadi di tempat masyarakat tinggal juga dikomunikasikan dengan
tujuan pembelajaran. Dengan melakukan komunikasi tersebut, berarti
proses edukasi bencana telah dilaksanakan. Dengan demikian,
13

Universitas Pertahanan Indonesia

kesadaran publik mengenai risiko bencana yang mereka hadapi dapat
meningkat.
Dengan meningkatnya kesadaran publik tersebut, maka publik
atas inisiatifnya sendiri akan melakukan mitigasi bencana, baik secara
struktural maupun non-struktural. Mitigasi struktural dilakukan sebagai
upaya untuk mencegah dan/atau mengurangi risiko bencana dengan
melakukan penyesuaian pembangunan infrastruktur baik dari segi
bangunan, jalan umum, bendungan, jembatan, dll. Sedangkan mitigasi
nonstruktural

dapat

dilakukan

dengan

penilaian

risiko

(risk

assessment), penilaian kerentanan (vulnerability assessment), ataupun
dengan melakukan pemetaan terhadap risiko bencana (risk mapping)
yang mereka hadapi. Hasil dari penilaian dan pemetaan tersebut
kemudian diinformasikan dan dikomunikasikan kepada masyarakat
setempat dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran publik akan
risiko yang mereka hadapi.
Meskipun komunikasi yang dilakukan atas upaya mitigasi
struktural dan non-struktural dapat dilakukan, upaya-upaya tersebut
tidak dapat menjamin peningkatan kesadaran publik. Hal tersebut
dikarenakan

risiko

kesimpangsiuran

komunikasi

serta

yang

banyaknya

muncul

yaitu

terdapat

komunikator

yang

berusaha

menyampaikan pesan. Oleh karena itu, untuk menghindari rintangan
yang sosial dan psikologi yang berat, proses komunikasi harus
dilakukan dengan akurat, terpercaya, dan seefektif mungkin (Morgan
et al dalam Coppolla).
b. Kesiapsiagaan
Pada fase kesiapsiagaan, edukasi publik yang dilakukan
bertujuan untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai
tindakan-tindakan yang dapat dilakukan sesaat sebelum bencana
terjadi. Edukasi mengenai kesiapsiagaan masyarakat bertujuan untuk
mengurangi kemungkinan timbulnya korban saat terjadi bencana dan
juga untuk mengelola konsekuensi yang timbul akibat bencana.

14

Universitas Pertahanan Indonesia

Kesiapsiagaan dapat diupayakan dengan adanya sistem
peringatan

dini

memperingatkan
kemungkinan

yang

baik.

publik

Peringatan

tentang

peningkatan

atau

diumumkan

perubahan
terjadinya

risiko

untuk

mengenai

bencana

tertentu.

Peringatan dini juga memuat instruksi otoritatif tentang tindakan yang
tepat harus diambil segera dalam respon bencana. Sistem peringatan
dinin harus dirancang untuk mencapai semua lapisan masyarakat
dalam masyarakat, terlepas dari lokasi atau waktu meskipun dalam
keadaan bencana. Peringatan dini harus bekerja secara multisistem;
bekerja sama dengan berbagai mitra publik, swasta, dan nonpemerintah, untuk meningkatkan kemungkinan sistem mencapai target
publik.
c. Tanggap darurat
Coppola (2009) menyatakan bahwa edukasi publik yang
dilakukan

dalam

tanggap

menginformasikan masyarakat

darurat

merupakan

upaya

untuk

akan tindakan-tindakan di tengah-

tengah dan setelah peristiwa bahaya. Sebagai contoh,

individu

diinstruksikan bagaimana mengenali indikator bencana dan tahu apa
yang harus mereka lakukan saat terjadi bencana, termasuk cara yang
tepat untuk berpartisipasi dalam evakuasi. Kategori pendidikan publik
ini juga mencakup langkah-langkah yang memberdayakan masyarakat
untuk memberikan layanan tanggapan pertama terhadap keluarga,
teman, tetangga, dan diri mereka sendiri.
d. Rehabilitasi-rekonstruksi
Informasi

yang

digunakan

untuk

edukasi

publik

pada

rehabilitasi-rekonstruksi difokuskan pada mengajarkan masyarakat
yang terkena bencana bagaimana membangun kembali kehidupan
mereka. Informasi dan komunikasi pada tahap rehabilitasi-rekonstruksi
juga mencakup data-data bantuan yang dibutuhkan oleh para korban,
jumlah korban, serta kerugian yang terjadi. Data tersebut berguna
untuk pemerintah, lembaga swasta, atau organisasi internasional yang

15

Universitas Pertahanan Indonesia

bermaksud untuk memberikan kontribusi dalam membantu proses
rehabilitasi dan rekonstruksi (Coppola, 2009).
2.1.3 Faktor Kunci Komunikasi Dalam Manajemen Bencana
Pesan dalam edukasi bencana harus dirancang dalam kerangka
yang mengakomodir bermacam-macam cara sehingga target edukasi
dapat memperoleh informasi secara umum dan khusus yang berkaitan
dengan bahaya dan risiko. Setiap komunitas memiliki criteria yang
berbeda yang dipengaruji oleh sarana, budaya, jaringan sosial, dan
faktor lainnya. Terdapat tiga faktor yang harus dipertimbangkan caracara mencapai target dan cara-cara menyampaikan pesan kepada
mereka

(Coppola,

2009),

yaitu

pengaturan

(settings),

saluran

(channels), dan metode (methods).
a. Pengaturan (setting)

Setting adalah faktor pertama yang digunakan komunikator
untuk membingkai pesan kesiapsiagaan. Seperti yang tertera pada
namanya, setting adalah situasi di mana terjadi komunikasi. Ada tiga
faktor yang membedakan setting, yaitu:
1. Waktu (pagi, siang, sore, malam, Senin – Minggu, musim dingin,

musim panas, dll)
2. Lokasi (rumah, tempat kerja, sekolah, di dalam mobil, dalam
transportasi, kantor, pusat komunitas, dll)
3. Situasi (misalnya, selama makan malam, sementara berkumpul

dengan teman-teman atau rekan-rekan, saat berbelanja, saat
menghadiri pertemuan sekolah, dll)
Kunci untuk memilih setting adalah tidak hanya menentukan di
mana dan kapan waktu terbaik untuk dapat mencapai target audiens,
tetapi juga di mana dan kapan kemungkinan besar mereka akan
memperhatikan, menerima, memahami, dan bertindak atas pesan
disampaikan. Tempat dan waktu terbaik adalah saat kredibilitas pesan
yang disampaikan dapat terbangun. Namun demikian, seringkali
proses edukasi terjadi pada waktu, tempat, atau situasi yang tidak

16

Universitas Pertahanan Indonesia

ideal. Oleh karena itu, saluran (channel) komunikasi juga harus
dipertimbangkan.
b. Saluran (channel)

Channel adalah rute atau mekanisme di mana pesan
disampaikan. Dalam setiap kategori channel, komunikator dapat
mencapai target audiens melalui banyak sub-channel individu yang
berbeda. Lima saluran (channel) pesan utama, dan contoh-contoh subsaluran dalam setiap kategori, tercantum sebagai berikut:
1. Interpersonal channels
2. Group channels
3. Organizational and community channels
4. Mass media channels
5. Interactive digital media channels
c. Metode
Transfer pesan dari komunikator kepada penerima dilakukan
melalui

satu

atau

lebih

metode. Sebuah

metode

komunikasi

merupakan item yang aktual, tindakan, penghubung, atau peristiwa
yang digunakan oleh komunikator untuk menarik perhatian penerima,
dan untuk menginformasikan kepada penerima tentang perubahan
perilaku yang diperlukan (atau bagaimana untuk mengakses informasi
tersebut).
Sama halnya dengan pemilihan setting dan channel, pemilihan
metode harus memenuhi pertimbangan akses, kepentingan, dan gaya
belajar para penerima informasi. Berdasarkan penggunaan media,
berikut ini adalah beberapa metode yang dapat dilakukan untuk
komunikasi dan edukasi bencana:
a. Siaran langsung di acara-acara kesiapsiagaan, atau rekaman
wawancara
b. Tajuk pada peristiwa kesiapsiagaan
c. Menceritakan dalam cerita atau program berita
d. Program televisi dengan subyek Kesiapsiagaan
e. Iklan Layanan Masyarakat
17

Universitas Pertahanan Indonesia

f. Iklan majalah, artikel, atau pesan
g. Editorial Koran
h. Kolom di koran dan majalah
i. Siaran pers
j. Konferensi pers
k. Pengumuman on-air
Sedangkan menurut media eletronik yang digunakan, berikut
ini adalah kelebihan dan kekurangan salah satu media edukasi dan
informasi bencana, yaitu radio:
Tabel 2.1 Kelebihan & Kekurangan Radio

Radio
Kelebihan
Jangkauan luas.
Dapat disampaikan dengan
berbagai format.
Dapat saja biaya rendah atau
justru bebas biaya.
Dapat interaktif dengan panggilan
masuk.
Penggunaan script dapat memberi
kesanbahwa pesan disampaikan
secara langsung oleh host radio.
Tepat waktu dan berulang-ulang.
Literasi tidak masalah.

Kekurangan
Bisa jadi biaya mahal
Tidak ada visual.
Kontrol penempatan Sedikit atau
tidak ada.
Iklan Layanan Masyarakat
cenderung dimainkan selama offhours.
Mungkin hanya menjangkau
audiens yang spesifik.
Terbatas ke daerah penerimaan
radio.
Retensi penonton Terbatas.

Sumber: Coppola, 2009

2.2 Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK)
2.2.1 Konsep komunitas
Dalam Critical Guidelines: Community Based Disaster Risk
Management (ADPC, 2006) diseutkan bahwa komunitas adalah satu
terminologi yang dapat memiliki makna yang luas yang meliputi:
a. Komunitas dapat didefinisikan secara geografi yaitu sekelompok /
kumpulan rumah tangga, desa kecil, atau kota.
18

Universitas Pertahanan Indonesia

b. Komunitas dapat didefinisikan oleh kesamaan pengalaman, seperti
kepentingan

kelompok-kelompok

tertentu,

kelompok

etnis,

kelompok profesional, kelompok bahasa, kelompok yang terletak di
daerah rawan bencana tertentu, dll.
c. Komunitas

dapat

didefinisikan

berdasarkan

sektor,

seperti

komunitas petani, komunitas nelayan, komunitas bisnis, dll.
d. Komunitas dapat digunakan untuk merujuk kepada kelompok yang
terdampak oleh bencana dan kelompok yang dapat membantu
dalam mitigasi bahaya dan pengurangan kerentanan.
Dalam tujuan PRBBK, sebuah komunitas dapat berarti satu
kelompok yang memiliki satu atau lebih hal-hal yang sama, seperti
tinggal di lingkungan yang sama, terpapar risiko bencana yang sama,
atau terdampak bencana yang sama. Masalah-masalah umum,
perhatian, dan harapan berkenaan dengan bencana juga dapat
menjadi hal serupa yang dimiliki oleh suatu komunitas. Namun
demikian, masing-masing individu yang terdapat dalam komunitas
tersebut dapat saja memiliki kerentanan dan kapasitas yang berbeda.
Sebagian dapat memiliki kerentanan yang lebih tinggi atau sebagian
dapat memiliki kapasitas yang lebih tinggi daripada yang lainnya.
2.2.2 Pelibatan Komunitas Dalam Pengurangan Risiko Bencana
Keterlibatan

komunitas

sangat

penting

dalam

proses

pembangunan karena beberapa pertimbangan praktis berikut (ADPC,
2006):
a. Tidak ada yang mengerti peluang dan hambatan lokal suatu
komunitas lebih baik dari diri mereka sendiri. Oleh karena itu
mereka perlu dilibatkan dalam identifikasi dan resolusi masalah
kerentanan bencana.
b. Tidak ada yang lebih tertarik dalam memahami urusan lokal
daripada masyarakat itu sendiri yang kelangsungan hidup dan
kesejahteraannya dipertaruhkan. Oleh karena itu, informasi harus
dihasilkan

dengan

cara

dan

bahasa

yang

dipahami

oleh

masyarakat.
19

Universitas Pertahanan Indonesia

c. Beberapa studi dan penelitian yang berkembang menunjukkan
bahwa manajemen risiko dan respon bencana telah gagal
mengatasi kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, mengabaikan
potensi dan kapasitas sumber daya lokal, dan dalam beberapa
kasus justru meningkatkan kerentanan masyarakat. Hal ini
berdampak pada tercapainya konsesus global antara praktisi
manajemen risiko bencana untuk lebih memberi perhatian pada
program manajemen risiko bencana berbasis komunitas. Hal ini
berarti bahwa orang-orang yang rentan terhadap risiko akan terlibat
aktif dalam perencanaan

dan pelaksanaan langkah-langkah

manajemen risiko bencana bersama dengan entitas lokal, provinsi,
dan nasional melalui kemitraan.
2.2.3 Aktor-Aktor dalam PRBBK
Dalam PRBBK, terdapat beberapa pemangku kepentingan dan
pelaku/aktor. Secara umum, aktor-aktor dalam PRBBK dapat dibagi ke
dalam dua kelompok besar, yaitu insiders dan outsiders (ADPC, 2006).
Istilah insiders merujuk pada individu-individu, organisasi-organisasi,
dan

pemangku

kepentingan

yang

berada

dalam

komunitas.

Sedangkan istilah outsiders merujuk pada sektor-sektor dan lembagalembaga yang berada di luar komunitas dan ingin mengurangi
kerentanan serta meningkatkan kapasitas suatu komunitas dalam
manajemen risiko bencana.
Di antara insiders , terdapat apa yang disebut community disaster
risk management organization (CDRMO). CDRMO ini merupukan focal
point dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. CDRMO
dengan bantuan anggota dan komitenya memfasilitasi implementasi
langkah-langkah pengurangan risiko bencana. Selain dari CDRMO,
setiap individu, keluarga, organisasi, bisnis, dan pelayanan publik
dalam komunitas memiliki peran dalam pengurangan risiko bencana
karena semua pihak berpotensi terdampak bencana. Implementasi
beberapa aksi merupaka hal esensial untuk efektivitas manajemen
bencana. CDRMO harus dapat memobilisasi pria, wanita, petani,
20

Universitas Pertahanan Indonesia

nelayan, buruh, pemuda dan individu lainnya dengan kebutuhan
khusus. Dalam rangka membangun hubungan kerja, CDRMO harus
mengakui perbedaan persepsi, kepentingan dan metodologi, serta
memfasilitasi konsensus tentang target, strategi dan metodologi antara
berbagai pemangku kepentingan di masyarakat.
Outsiders terdiri atas departemen dan lembaga pemerintah, LSM,
PBB, sektor swasta, dan lembaga luar lainnya. Peranan mereka
adalah untuk mendukung upaya komunitas dalam mengurangi
kerentanan mereka serta meningkatkan kapasitas mereka untuk
jangka panjang. Mereka dapat melakukan hal tersebut melalui
penyediaan teknis, material, serta dukungan politik dan finansial.
Lembaga-lembaga luar tersebut dapat memulai proses sebagai bagian
dari agenda mereka atau komunitas dapat menghubungi mereka untuk
menerima dukungan. Sumber daya keuangan yang melimpah,
pengaruh ahli teknis dan politik dapat menempatkan mereka dalam
posisi dominan yang berhadapan dengan komunitas, sehingga mereka
mungkin cenderung untuk mendorong meneruskan agenda mereka
daripada prioritas masyarakat. Namun, upaya pengendalian oleh
lembaga luar atas proses pengambilan keputusan masyarakat dapat
mengganggu kapasitas komunitas. Dengan demikian, lembaga luar
harus sangat berhati-hati dan peka terhadap peningkatan kapasitas
komunitas.

21

Universitas Pertahanan Indonesia

Gambar 2.1 Pemangku Kepentingan dan Aktor Dalam PRBBK
Sumber: ADPC, 2010

2.2.4 Prinsip-Prinsip PRBBK
Para praktisi dan pejabat harus menentukan prinsip-prinsip untuk
memandu aksi-aksi mereka. Prinsip-prinsip tersebut menyediakan
kerangka kerja untuk perencanaan dan aksi sehingga jika kondisi yang
dihadapi berbeda dari yang tersirat oleh indikator, maka mereka dapat
menggunakan prinsip-prinsip tersebut untuk merancang alat mereka
sendiri untuk PRBBK. Prinsip-prinsip berikut adalah asas yang
terdapat dalam Kode Etik PRBBK (ADPC, 2006):
Level 1. Etika, Prinsip nilai ini berhubungan dengan dasar
keyakinan/kepercayaan bersama dan kepentingan organisasi serta
mandate pelaksanaan PRBBK. Secara metafor, prinsip level 1
diibaratkan dengan etika produksi pangan. Prinsip-prinsip yang
terdapat dalaml level ini meliputi prinsip memperhatikan hak dasar,
penyebaran informasi mengenai risiko, penyebaran informasi penilaian
risiko, dan kolaborasi.
Level 2 Prinsip Strategi. Prinsip ini memperhatikan arah
kebijakan PRBBK mengenai informasi yang akan disebarkan yang
didasarkan pada prinsip-prinsip etika. Secara metaphor, level 2 dapat
22

Universitas Pertahanan Indonesia

diibaratkan dengan panduan gizi dalam konsumsi pangan. Prinsipprinsip pada level ini meliputi prinsip pertimbangan strategis,
kepercayaan vs pengendalian, serta memperhatikan komitmen dan
kompetensi staf/pegawai.
Level 3 Prinsip Taktis. Prinsip ini berhubungan dengan tindakan
praktis dari prinsip-prinsip strategis. Secara metaphor, level 3 dapat
diibaratkan sebagai buku resep masakan. Melalui buku resep ini
didapatkan panduan bagaimana untuk mengadopsi strategi yang
disepakati dengan pertimbangan staf atau

implikasi keuangan, dll.

Prinsip-prinsip pada level ini meliputi prinsip pertimbangan taktis, data
dasar, pengukuran indikator terukur dan indikator non-terukur,
pengukuran

persyaratan

minimum,

indikator

yang

relevan,

perbaharuan indikator dalam konteks perubahan yang dinamis, serta
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana.
Level 4 Prinsip Implementasi. Prinsip ini berkenaan dengan
semua level sebelumnya: nilai etika, strategi, dan taktis. Secara
metaphor, level 4 dapat diibaratkan seperti menikmati makanan di
sebuah restoran, lalu memberikan pujian kepada juru masak atau
memberikan keluhan sebagai evaluasi. Tindakan ini merupakan
tindakan monitoring dan evaluasi. Prinsip-prinsip yang terdapat pada
level ini meliputi indikator adaptasi budaya dan efek samping.

Gambar 2.2 Piramida prinsip-prinsip PRBBK
Sumber: ADPC, 2006

23

Universitas Pertahanan Indonesia

2.2.5 Indikator Hasil PRBBK
Setelah melakukan tahapan proses PRBBK, maka diperoleh
beberapa indikator hasil dari terselenggaranya PRBBK (ADPC, 2006):
1. Community Based Organization (CBO)
Tujuan

CBO

adalah

untuk

membangun,

meningkatkan,

mempertahankan mekanisme organisasi pada level komunitas
untuk mengimplementasikan kegiatan PRBBK. CBO terdiri dari
masyarakat lokal di tingkat komunitas. Indikator kunci untuk
efektivitas CBO meliputi:
a. Pemimpin yang sah
b. Kelompok yang teridentifikasi
c. Kelompok teridentifikasi dan peran yang luas
2. Community Disaster Risk Reduction Fund
Tujuan dari CDRRF adalah untuk memastikan ketersediaan
sumber daya untuk pelaksanaan PRBBK dan langkah-langkah
kesiapsiagaan. Sedangkan indikator kunci untuk efektivitas CDRRF
meliputi:
a. Mekanisme pendanaan lokal
b. Pendanaan dimobilisasi oleh CBO
c. CBO mengelola rekening
d. Kriteria untuk alokasi dana telah disepakati
e. Staf dilatih mengenai pengelolaan keuangan
f. Laporan dari kontribusi anggota komunitas
g. Laporan kontribusi dari sumber lain
h. Kriteria yang disepakati untuk pencairan dana untuk orangorang yang rentan.
3. Community Hazard, Vulnerability, Capacity Map (HVCM)
Tujuan dari Community Hazard, Vulnerability, Capacity Map ini
adalah

membentuk

dasar

untuk

pelaksanaan

PRBBK

dan

pembelajaran masyarakat. Indikator kunci untuk efektivitas aspek
ini meliputi:
a. Peta ancaman bencana tersedia
24

Universitas Pertahanan Indonesia

b. Identifikasi risiko kelompok rentan
c. Tingkat kemiskinan diidentifikasi dan dipetakan.
d. Individu dan keluarga lebih aktif dalam mencari informasi

tentang bahaya, kerentanan dan kesiapsiagaan bencana dan
pengurangan risiko dari CBO dan otoritas lokal / LSM.
e. Data Penilaian Risiko dipublikasikan

4. Community Disaster Risk Management Plan
CDRMP bertujuan untuk memastikan tindakan kolektif oleh
komunitas untuk pengurangan risiko bencana melalui mobilisasi
lokal sumber daya. Indikator kunci untuk efektivitas aspek ini
meliputi:
a. Penghasilan

dari

kelompok

sasaran

meningkat

karena

pengurangan dan kontrol atas guncangan yang disebabkan oleh
bencana.
b. Konsumsi

kelompok

sasaran

pada

kegiatan

reproduksi

meningkat; mis pembelian peralatan mata pencaharian, (mesin
bahan baku sapi, kerbau, perahu, traktor)
c. Konsumsi kelompok sasaran pada fasilitas hidup dan kebutuhan
meningkat; mis pakaian, transportasi, makanan, TV, kulkas,
kipas angin, dan lain-lain.
d. Konsumsi kelompok sasaran pada pendidikan anak dan
kesehatan keluarga meningkat.
5. CBO Training System
Sistem pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
teknis dan organisasi dari organisasi kemasyarakatan dan komite
PRBBK pada pertolongan pertama, pencarian dan penyelamatan,
manajemen evakuasi, manajemen operasi bantuan darurat dan
manajemen penampungan, penilaian kerusakan dan kebutuhan,
dan rekonstruksi. Indikator kunci efektivitas meliputi:
a. Pembangunan pusat pelatihan PRBBK
b. Terdapat staf
c. Alokasi dana dalam APBD
25

Universitas Pertahanan Indonesia

d. Laporan pelatihan
e. Salinan manual pelatihan
f. Salinan jadwal pelatihan masyarakat
g. Laporan survei masyarakat
h. Kurikulum program pelatihan
6. Community Drill System
Tujuan dari hasil ini adalah untuk memastikan kesiapan komunitas
untuk melakukan respon bencana. Indikator efektivitas meliputi:
a. Kerjasama yang lebih pada level keluarga dan komunitas untuk

saling membantu saat respon bencana.
b. Orang-orang mengikuti prosedur yang disepakati dan langkah-

langkah dalam keadaan darurat.
c. Korban jiwa berkurang karena bantuan tanggap darurat
ditingkatkan.
7. Community Learning System
Tujuan dari aspek ini adalah meningkatkan pemahaman individu,
keluarga dan komunitas tentang bahaya, bencana, kerentanan,
pengurangan

risiko

dan

kesiapsiagaan.

Indikator

efektivitas

meliputi:
a. Kelompok sasaran mengikuti praktik konstruksi ketangguhan
terhadap ancaman bencana.
b. Kegiatan ramah lingkungan diadopsi oleh anggota kelompok
sasaran.
c. Kelompok sasaran mengikuti praktik menghadapi ancaman.
d. Kelompok sasaran telah meningkatkan level pendapatan karena
telah menghindari kerugian yang disebabkan bencana.
e. Kelompok sasaran memiliki keselamatan kesehatan karena
praktik-praktik higienis yang lebih baik dalam situasi pascabencana.
f. Tingkat stress sasaran kelompok berkurang karena kesiapan
yang lebih baik dan praktik respon yang efektif.

26

Universitas Pertahanan Indonesia

8. Community Early Warning System

Tujuan dari sistem peringatan dini berbasis komunitas adalah untuk
berkontribusi

terhadap

keselamatan

masyarakat

dengan

memfasilitasi tindakan pencegahan. Indikator kunci efektivitas
meliputi:
a. Individu, anggota keluarga dan komunitas mengambil tindakan
pencegahan yang tepat untuk menghindari dampak bencana.
b. Kelompok sasaran mempercayakan percaya kepada peran
positif lembaga-lembaga keagamaan dan sosial. Hal ini
ditunjukkan dengan meletakkan peringatan dini dalam tempat
ibadah seperti kuil, masjid, gereja, sekolah dll.
2.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan tinjauan teori pada sub-bab sebelumnya, maka
disusun kerangka pemikiran sebagai landasan dan acuan peneliti dalam
melakukan studi dengan topik media komunikasi bencana berbasis
komunitas

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran

27

Universitas Pertahanan Indonesia

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Sumber Data/Subjek/Objek Penelitian
3.1.1 Sumber Data
Sumber-sumber data pada penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
subjek yang akan diteliti, dan data sekunder adalah data yang
diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaaan maupun diperoleh dari
lembaga atau institusi tertentu (Suyanto & Sutinah, 2005).
Pengumpulan data primer diperoleh dari hasil wawancara
mendalam (in depth interview) yang semi-terstruktur dan dilakukan
kepada para pejabat dan anggota RAPI Sleman Yogyakarta.
Sedangkan

data-data

sekunder

diperoleh

dari

BPBD

Sleman

mengenai data-data keterlibatan RAPI pada tanggap darurat Merapi
2010. Data sekunder juga diperoleh dari instansi militer yang terlibat
dalam kegiatan tanggap darurat erupsi Merapi 2010 dan masyarakat
setempat yang terlibat langsung dalam bencana.
3.1.2 Subjek Penelitian
Subjek

penelitian

adalah

sesuatu

yang

sangat

penting

kedudukannya di dalam penelitian, subjek penelitian harus ditata
sebelum peneliti siap untuk mengumpulkan data, dan dapat berupa
benda, hal atau orang (Arikunto, 2007). Dengan kata lain, subjek
penelitian adalah sesuatu yang melekat pada objek yang akan diteliti.
Pada penelitian ini, subjek penelitian terdiri dari narasumber dan
responden yang berada di Kabupaten Sleman. Narasumber berasal
dari organisasi komunitas RAPI Sleman, instansi pemerintahan BPBD
Sleman,

dan

instansi

militer

Kabupaten

Sleman.

Sedangkan

responden yang dijadikan subjek penelitian adalah sampel dari
masyarakat Sleman.

28

Universitas Pertahanan Indonesia

3.1.3 Objek Penelitian
Objek penelitian adalah sesuatu yang menjadi pemusatan pada
kegiatan penelitian, atau dengan kata lain segala sesuatu yang
menjadi sasaran penelitian (Sugiyono, 2002). Pada penelitian ini, yang
menjadi sasaran atau objek penelitian adalah peranan RAPI dalam
tanggap darurat erupsi Merapi 2010 dan implementasi PRBBK dalam
RAPI.
3.1.4 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian mengenai peranan RAPI sebagai media informasi
bencana pada fase tanggap darurat pada erupsi Merapi 2010
dilakukan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Hal ini diputuskan
dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Sleman memiliki kerawanan
yang paling tinggi akan risiko erupsi Merapi dan memiliki jumlah
pengungsi terbanyak pada saat itu. Sedangkan mengenai waktu
penelitian, peneliti akan melakukan penelitian pada September 2013.
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Jenis Penelitian
Pada penelitian ini, digunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, tindakan,
peranan dll, secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk katakata dan naratif pada suatu konteks khusus yang alamiah. Metode
induktif dengan teknik deskriptif-analitik digunakan dalam melihat
peranan RAPI Sleman dalam manajemen bencana erupsi Merapi
2010.
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan tujuan untuk menunjang
penelitian yang dilakukan. Untuk data primer, teknik pengumpulan data
yang dilakukan yaitu melalui wawancara mendalam dengan subjek
29

Universitas Pertahanan Indonesia

penelitian. Wawancara mendalam ini bertujuan untuk memperoleh
informasi mengenai peranan RAPI dalam manajemen bencana.
Kemudian pengumpulan data sekunder dilakukan melalui dokumen
dan data sekunder yang diperoleh dari subjek penelitian lainnya yaitu
instansi kebencanaan daerah, BPBD Sleman. Data yang diperoleh
kemudian melalui prose validasi dengan triangulasi. Triangulasi
dilakukan dengan melibatkan expert judgement, dalam hal ini diwakili
oleh BPBD setempat dan instansi militer yang terlibat aktif pada
tanggap darurat Merapi 2010. Masyarakat Kabupaten Sleman juga
dilibatkan dalam proses triangulasi. Hal tersebut dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam
mengenai fenomena yang sedang diteliti (Salim, 2001). Pada konteks
penelitian, triangulasi dilakukan untuk tujuan mendapat pemahaman
mendalam mengenai peranan RAPI dalam bencana erupsi Merapi
pada tahun 2010.
3.2.3 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis melalui pendekatan kualitatif
dengan dilakukan melalui tiga alur kegiatan yaitu reduksi data,
penyajian

data

dan

penarikan

kesimpulan/verifikasi

(Miles

&

Huberman, 1992). Data kualitatif yang akan dianalisa dalam hal ini
adalah data peranan RAPI Sleman pada manajemen/penanggulangan
bencana erupsi Merapi 2010. Data primer dan sekunder memiliki
kedudukan yang sama pentingnya dengan fungsi crosscheck

atau

konfirmasi satu sama lain. Tahap selanjutnya setelah data diperoleh
yaitu analisis data. Pada penelitian ini dilakukan analisis data dengan
teknik deskriptif-analitik.

30

Universitas Pertahanan Indonesia

Daftar Pustaka
Coppola, Damon P & Erin K Maloney. 2009. Communicating Emergency
Preparedness: Strategies for Creating a Disaster Resilient Publik.
Boca Raton: CRC Press
ADPC.

2006. Critical Guideline: Community-Based Disaster Risk

Management. Bangkok: ADPC
Haris, Fitra. 2011. Tanggap Darurat Bencana (Studi Kasus: Tanggap
Darurat Bencana Gunung Api Merapi Kabupaten Sleman Tahun
2010). Depok: Universitas Indonesia
Murphy, Dennis M. 2006. “The Role of Information and Communication in
Disaster Response: An Overview”.
Zapata, Ricardo. 2007. Information on Disaster Risk Management: Case
Study of Five Countries, Summary Report. Mexico City: UN & IDB
Nogroho, Kharisma dan Kwan Men Yon. 2011. Pengurangan Risiko
Bencana Berbasis Komunitas di Indonesia: Gerakan, Pelembagaan,
dan Kelanjutan.
Suprapto, et al. 2012. Baseline Kegunungapian Indonesia. Jakarta: BNPB
Abarquez, Imelda dan

Zubair Murshed. Community-Based Risk

Management: Field Practicioner’s Handbook. 2004. ADPC: Bangkok
Kurniawan, Lilik et al. 2011. Indeks Rawan Bencana Indonesia. Jakarta:
Direktorat Pengurangan Risiko Bencana BNPB
-------. 2012. “Sebaran Kejadian Bencana”. Data & Informasi Bencana
Indonesia BNPB diunduh dari http://dibi.bnpb.go.id pada 10 Januari
2013.

31

Universitas Pertahanan Indonesia

Ma’arif, Syamsul. 2011. “Hidup Harmoni Dengan Resiko Bencana”.
Buletin

online

edisi

September-Oktober

2011

diunduh

dari

http://bulletin.penataanruang.net pada 12 Januari 2013.
Friis, Malene et al. 2010. Establishing Community Based Early Warning
System : Practitioner’s Handbook. Kathmandu: Mercy Corps Nepal
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta : Rineka Cipta
Suyanto, B., & Sutinah. (2005). Metode Penelitian Sosial. Jakarta:
Prenada Media
Irawan, Prasetya. 2007. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu
Sosial. Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung:
Alfabeta
----- . 2013. “Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Kominfo, ORARI, dan
RAPI – 2013” diunduh dari www.rapi.or.id pada 1 Juli 2013
-----.

2013.

“Konsultan

Australia

Lirik

RAPI”

diunduh

dari

www.atjehpress.com pada 1 Juli 2013
------. 2011. “RAPI Dalam Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko
Bencana Aceh” diunduh dari www.rapiaceh.com pada 1 Juli 2013
Djuni. 2009. “Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK)
atau Community Based Disaster Reduction (CBDR)” diunduh dari
www.mpbi.org pada 2 Juli 2013.
------. 2013. “Jambore Radio Antar Penduduk Indonesia” diunduh dari
www.postel.go.id pada 4 Juli 2013

32

Universitas Pertahanan Indonesia

Dokumen Resmi:
Undang-Undang Republik Indonesia No 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana
Perka BNPB Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pedoman Komando
Tanggap Darurat
Perka BNPB Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Pedoman Relawan
Penanggulangan Bencana
AD/ART RAPI Hasil Musyawarah Nasional 2011

33

Universitas Pertahanan Indonesia