DAMPAK MATERIALISME HISTORISME TERHADAP (1)

DAMPAK MATERIALISME HISTORIS DALAM MARXISME
TERHADAP SOSIALISME DAN AGAMA

Abstrak
Diinspirasi oleh pembubaran acara buku yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok intoleran, penulis ingin memberikan sebuah
pemahaman tentang ajaran marxisme, khususnya berkaitan
perbedaan ajaran marxisme dengan sosialisme dan pandangan
marxisme terhadap agama. Penulis membatasi pada dua pokok
tersebut dikarenakan hal ini menjadi inti dari konsekuensi
pandangan materialisme sejarah dari filsafat Marxime. Dua hal
tersebut juga menjadi bahan perdebatan di kalangan masyarakat
yang masih dihinggapi oleh pikiran alam bawah sadar Orde Baru.
Kata kunci: Marxisme, agama, sosialisme, materialisme historis Tübingen,
Proudhon, Brauer

1. Pengantar
Pada pertengah bulan Juni tahun 2014, terjadi pembubaran acara bedah buku Tan
Malaka yang dilakukan oleh kelompok-kelompok “pembela” agama di Indonesia.
Pembubaran acara bedah buku berjudul “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi
Indonesia” karya Harry A. Poeze ini ditengarai sebagai usaha untuk

menumbuhkembangkan kembali paham komunisme di Indonesia. Hal tersebut
membuktikan bahwa masyarakat Indonesia masih belum beranjak dari alam
bawah sadar Orba tentang paham Marxisme. Ini tidak lain dari hasil represi
komunikasi yang diterapkan oleh penguasa Orde Baru di masa itu.
Hingga kini, Orba adalah menjadi bagian dari masa lampau. Indonesia pasca-1998
adalah Indonesia dengan wajah baru. Namun, alam bawah sadarnya masih alam
bawah sadar Orba. Terutama dalam ranah intelektual, cara masyarakat Indonesia
mendefinisikan "komunisme" masih pada tahap doxa: anti-Tuhan. Sudut pandang
tersebut sudah mewakili kenaifan masyarakat Indonesia ketika berwacana dalam

1

locus Marxisme. Dengan demikian, sekiranya perlu adanya sebuah pengantar
tentang pemikiran kiri yang baik sedang berkembang sekarang maupun sejarahnya
Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan pandangan masyarakat awam tentang
marxisme yang seringkali dikaitkan dengan ajaran sosialisme. Meskipun hal ini
merupakan sesuatu yang tak terhindarkan dalam wacana pemikiran kontemporer
baik formal maupun informal. Di sini penulis akan membatasi kepada dua pokok
inti ajaran marxisme: perbedaannya dengan sosialisme (baik proto maupun
kontemporer) dan pandangan ateistik marxisme. Kedua hal tersebut dibahas

karena merupakan konsekuensi logis dari filsafat materialisme historis yang
menjadi tulang punggung ajaran marxisme.

2. Sosialisme ≠ Marxisme
Ada kecenderungan laten di masyarakat Indonesia akibat pengkaburan
pemahaman yang dilakukan oleh orba tentang komunisme dan sosialisme. Paham
komunisme maupun paham sosialisme kedua-keduanya utopis namun secara
intrinsik tidak sama. Komunisme adalah keadaan masyarakat yang stateless (tidak
berkelas). Di dalam komunisme, masyarakat hidup berdampingan dalam satu
komunitas tunggal yang tidak diganggu oleh baik hierarki kekuasaan, budaya,
maupun agama. Bagi Karl Marx, komunisme adalah cita-cita kaum proletar atau
cita-cita akhir dalam suatu masyarakat intra sejarah. Proses terwujudnya
masyarakat komunis dalam sejarah harus melewati berbagai tahapan dalam
prosesnya. Tahapannya yakni dari Kapitalisme, kemudian kediktatoran proletariat,
lalu pada akhirnya menjadi komunisme.
Sosialisme adalah gagasan utopis tentang kesetaraan individu di mana tiap-tiapnya
hidup berdampingan dalam satu wadah. Komunisme adalah sisi ekstrim dari
sosialisme. Berbeda dengan komunisme, sosialisme dalam perkembangannya
masih mengakui adanya peran negara dan agama. Sosialisme menekankan aspek
emansipatoris individu di dalam komunitas atau negaranya sehingga terwujud

suatu masyarakat yang berkeadilan sosial. Di dalam sosialisme, fungsi negara
seyogyanya menjadi penjamin hak-hak individu di setiap masyarakat dan juga
penjamin terciptanya masyarakat adil dan makmur (welfare state). Tidak
2

diragukan lagi jika sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” terinspirasi oleh gagasan sosialisme. Namun kiri di sini
tidak melulu diartikan sebagai orang yang berpaham komunisme.
Kemunculan paham sosialisme dapat ditilik jauh sebelum adanya marxisme itu
sendiri, baik pra maupun pasca revolusi Prancis. Para pemikir sosialis awal seperti
Robert Owen (1771—1858), Henri de Saint-Simon (1760—1825), dan Charles
Fourier (1772—1837) telah menelurkan ide-ide tentang suatu corak masyarakat
yang berkeadilan walaupun sebatas fantasi utopis. Dapat dikatakan, pemikiran
mereka dikategorikan sebagai aliran proto-sosialisme atau sosialisme utopis.
Setelah itu, mulai berdatangan gelombang intelektual di Prancis pasca-revolusi
yang beraroma sosialisme radikal seperti Pierre-Joseph Proudhon (1809—1865),
Louis Auguste Blanqui (1805—1881), Karl Marx (1818—1883), dan Friedrich
Engels (1820—1895). Tokoh-tokoh pasca-revolusi Prancis cenderung lebih
agitatif dan revolusioner dalam memperjuangkan sosialismenya. Mereka
membawa gagasan sosialisme pada tahap ekstrim dimana kepemilikan pribadi

(private ownership) dianggap sebagai biang kerok terhambatnya realisasi ideal
masyarakat sosialis. Proudhon misalnya, dengan dictum-nya “La propriété, c'est
le vol!” atau “properti adalah hasil curian!” menyatakan bahwa keberadaan hak
kepemilikan pribadi merupakan celah yang dimanfaatkan tirani kapitalis untuk
memerkosa nilai kerja suatu individu yang berpartisipasi di dalam suatu
komunitas. Walaupun Proudhon tidak menentang kepemilikan pribadi secara total,
Proudhon menganggap setiap individu dibekali oleh hak milik yang asasi.
Proudhon lebih menempuh jalan damai ketimbang melakukan upaya-upaya
revolusioner seperti yang dilakukan Blanqui. Proudhon menyerukan usaha-usaha
sindikat buruh dalam mengupayakan kembalinya hak milik pribadi mereka
sehingga menciptakan suatu kondisi kemerataan kepemilikan pribadi masingmasing individu di dalamnya. Hal inilah yang membedakan sosialisme Proudhon
dengan komunisme Marx. Komunisme Marx menekankan aksi-aksi provokatif
kelas pekerja yang konsolidatif agar terciptanya revolusi proletariat.

3

Proudhon juga lebih lanjut lagi mempertanyakan fungsi otoritas pemerintah dalam
suatu masyarakat sebagaimana ia tulis di dalam bukunya, Les Confessiones d’un
Revolutionnaire (Proudhon, 1849). Di situ Proudhon membawa gagasan
sosialisme itu jauh hingga ke arah anarkisme atau anti-pemerintah. Mikhail

Bakunin, seorang aktivis dari Rusia mengambil sisi anarkisme dari sosialisme
Proudhon. Tidak heran jika banyak kalangan menilai Proudhon sebagai bapaknya
anarkisme. Marx

muda juga terinspirasi oleh gagasan sosialisme ekstrim

Proudhon tatkala berada di Prancis. Namun, pada akhirnya Marx menolak
anarkisme maupun sosialisme Proudhon yang dianggapnya obscure (tidak jelas).
Keduanya terlibat saling kritik semenjak itu. Proudhon menganggap komunisme
Marx tidak layak untuk diperjuangkan karena pada akhirnya tidak lebih baik
daripada sistem kapitalisme itu sendiri. Komunisme, dalam kacamata Proudhon,
mengancam semangat kebebasan individu seperti halnya kapitalisme.1
Marx juga menjalin persahabatan dengan Friedrich Engels hingga akhir hayatnya.
Bersama Engels, Marx mengembangkan pemikiran yang kini disebut dengan
marxisme. Opus Karl Marx dan Friedrich Angels berjudul Das Kapital (1867)
menggambarkan bagaimana kapitalisme (proto-kapitalisme) nantinya akan
menuju kehancurannya sendiri. Setelah masyarakat kapitalis tumbang akibat
revolusi proletariat, kelas pekerja (proletar) merebut kembali sarana produksi
milik kelas pemodal (borguise) dan nantinya akan berakhir pada kediktatoran
proletariat. Namun, kediktatoran proletariat pun tidak stabil sehingga beralih ke

masyarakat komunal dimana masyarakat hidup secara kolektif tanpa adanya
kepemilikan pribadi. Alat-alat produksi kini milik bersama dan tidak lagi di
tangan segelintir orang. Singkatnya hidup dalam masyarakat yang berkesadaran
kolektif. Semuanya digambarkan secara ilmiah melalui proses dialektis sejarah
yang materialistik. Akan tetapi, proses tersebut tidaklah automaton atau berjalan
secara alami dengan sendirinya. Aspek praxis diperlukan agar terciptanya gerak
1 Komunisme adalah suatu keadaan masyarakat tanpa kelas sedangkan marxisme adalah
framework atau pemikiran (nous) tentang komunisme itu sendiri. Dengan demikian, marxisme
adalah ideologi, sedangkan komunisme adalah tujuan marxisme. Dua definisi isme tersebut selalu
saling bertukaran silih berganti. Namun, sejak zaman kontemporer khususnya pasca revolusi
Bolshevisme di Rusia, komunisme mengacu pada negara yang menggunakan ideologi marxisme—
walaupun Karl Marx tidak pernah mengidealkan suatu negara tertentu.

4

sejarah menuju komunisme karena bertolak dari tesis 11 mengenai Feuerbach:
“Dengan begitu, pada tahun 1848, terbitlah Communiste Manifesto, yang
menyerukan kelas pekerja agar bangkit dalam revolusi proletariat demi
mewujudkan vektor gerak perubahan historis yang dicita-citakan itu.
Sejak itu, marxisme mengalami divergensi baik terhadap paham sosialisme

maupun paham anarkisme. Meskipun anarkisme dan marxisme dalam satu
lindung rahim—yaitu sosialisme, namun kedua paham tersebut berjalan terpisah
seiring perkembangannya. Kita juga dapat melihatnya di dalam sejarah, dimana
terdapat ruang kompromi antara kedua paham tersebut. Gagasan sosialisme
sendiri masih berjalan namun terabsorbsi oleh ide liberalisme sejak awal abad-20.
Paham ini semakin mencuat seiring dengan reaksi terhadap kultur industri yang
mendominasi sejak akhir abad-19 di Eropa[CITATION Ada04 \p 166 \l 1057 ].
Sosial liberalisme—atau sebagaimana biasanya disebut, telah membuat dikotomi
tegas dengan liberalisme klasik. Kedua ideologi tersebut sepakat dalam kebebasan
individu namun berbeda dalam prinsip ekonominya.
Paham ekonomi yang libertarian (liberalisme klasik) menganut sistem ekonomi
bebas pasar atau disebut dengan Laissez-faire economy. Sistem ekonomi pasar
bebas memberikan keleluasaan bagi pasar untuk berkembang tanpa campur tangan
pemerintah di dalamnya. Dalam hal ini, regulasi pemerintah terhadap pasar
diminimalisir seminimal mungkin. Paham sosialis-liberal memperjuangkan
walfare state atau kemakmuran kolektif melalui distribusi kekayaan negara seadiladilnya untuk khalayak. Paham ini dapat dirasakan hingga kini di negara yang
menggunakan sistem ekonomi campuran seperti negara-negara Eropa pada
umumnya. Dalam sistem ekonomi tersebut, negara memberikan ruang bagi
kewirausahaan anggota masyarakatnya, namun negara turut andil dalam
menentukan kebijakan-kebijakannya ekonomi di dalamnya. Sektor publik dalam

negara yang berideologikan sosialisme mendapat perhatian yang besar. Kebijakankebijakan yang umumnya kita temui dari negara yang menganut sosialisme
dewasa ini adalah; mengefektifkan kebijakan pajak, penataan pelayanan publik
masyarakat secara maksimum, dan memberlakukan regulasi ketat terhadap pasar.

5

Di masa kini, hampir semua negara-negara maju di Eropa mengadopsi sistem
ekonomi yang berpijak pada paham sosialisme.
Perkembangan definisi komunisme, pada akhirnya difokuskan pada teori
ekonomi. Uni Soviet, yang merupakan ‘negara komunis’ itu sendiri mengadopsi
sistem ekonomi

“sosialisme”.2 Berbeda dengan Amerika Serikat yang

memfokuskan pada demokrasi yang kapitalistis, Uni Soviet menggunakan asas
ekonomi yang sentralistik, dimana negara (state) adalah pusat bagi segala
penghayatan hidup masyarakat.
Sejak abad 20, marxisme juga telah terabsorbsi ke dalam paham-paham baik
liberalisme maupun anarkisme. Pasca gagalnya revolusi proletariat 1848, warisan
Karl Marx mengenai perspektif deterministik historisnya tentang kehancuran

kapitalisme membuat kalangan marxisme di Eropa mulai memeriksa ulang
pondasi-pondasi utama ajaran marxisme. Walaupun menemukan momentumnya
pasca revolusi Bolshevik di Rusia pada 1912, tetapi masih banyak beberapa hal
yang belum terjawab—atau setidaknya masih belum didialektikakan oleh
marxisme. Di masa kontemporer, pandangan Marxisme masih menemukan
relevansinya walaupun dihadapkan pada batasan-batasan yang belum pernah
dihadapi sebelumnya seperti relasi buruh dan pemilik industri, relevansi teori nilai
lebih (surplus value theory) di masa industri modern, dan juga jawaban marxisme
terhadap fenomena kolonialisme dan isu-isu seputar dunia ketiga. Keberadaan
pemikiran teori kritis Mazhab Frankfurt yang diwakili Theodor Adorno dan Max
Horkheimer juga memperkaya khasanah studi-studi Marxian di masa kontemporer
tanpa harus berpegang secara ketat dengan materialisme historis marxisme yang
dialektis.
Periode pasca industri di abad 20 menjadi perhatian utama bagi kajian ekologi,
humaniora, dan posmodernisme. Tidak terkecuali marxisme yang berusaha
mencari anasir-anasir struktur kekuasaan yang dihubungkan dengan relasi-relasi
produksi milik si kapitalis. Tidaklah heran jika marxisme di abad 20 berintegrasi
dengan pemahaman-pemahaman ekologis, sosiologis, dan bahkan kritik sastra
2 Bandingkan dengan komunisme yang dikritik oleh Proudhon pada halaman 5.


6

yang termasuk di dalam cabang-cabang ilmu estetika lainnya. Dalam lukisan
misalnya, Uni Soviet mempopulerkan lukisan bergaya realisme sosial (social
realism) sebagai potret alamiah (mimesis) konflik-konflik internal di dalam
realitas sosial suatu masyarakat yang benar-benar nyata. Dalam film, Sergej
Eisenstein, seorang sineas yang Marxis, menemukan padanan dialektika dalam
sistem editing film yang bernama montase (Montage).
Singkatnya, para marxis kontemporer sudah tidak berpijak—atau bahkan
meninggalkan—gaya dialektika historis yang menjadi backbone ajaran Marxisme.
Begitu juga dengan oposisi ajaran marxisme terhadap agama, walaupun masih
dianut oleh kebanyakan marxis, namun sumbangsih marxisme (khususnya di
negara-negara berkembang pasca kolonialisme) direduksi menjadi sekedar
instrumen pembebasan. Dengan demikian, marxisme berusaha mengartikulasikan
gagasan-gagasan emansipatorisnya dengan wacana pembebasan negara-negara
dunia ketiga khususnya negara-negara di Asia dan Afrika. Kaum intelektual di
abad 20 menggandeng marxisme dengan sosialisme3 demi merealisasikan cita-cita
kebebasan mereka. Di masa itulah, pengaburan sosialisme dan marxisme menjadi
nyata dan serba konjektur karena hanya melayani fungsi yang sama yaitu
membebaskan. Tidak heran jika Orde Baru menggolongkan keduanya ke dalam

satu wadah, yaitu komunisme. Aktivis-aktivis politik kontemporer yang relijius
seperti Desmond Tutu di Afrika Selatan, Malcolm X di Amerika Serikat, Ayatollah
Taleghani di Iran dan bahkan Hadji Misbach di Indonesia tidak sungkan-sungkan
tatkala berkolaborasi dengan pemikiran-pemikiran kiri seperti komunisme atau
sosialisme. Selama ajaran itu sifatnya membebaskan, kaum intelektual dan aktivis
di dunia ketiga akan menemukan sekutu barunya.

3. Agama Dalam Perspektif Marxisme
Pengaruh pandangan Karl Marx mengenai agama tidak dapat dilepaskan oleh
pengaruh gerakan liberalisasi teologi di masa romantisisme Jerman yang sedang
bergema di waktu itu. Romantisisme Jerman sangat dipengaruhi dengan kerangka
3 Padahal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat garis tegas antara paham sosialisme
dan paham marxisme atau komunisme (hal. 2-4)

7

berpikir historisisme yang berpuncak pada filsafat Hegel (hegelian). Dalam
kerangka berpikir Hegelian, sejarah tidak dipandang sebagai proses tertutup, tapi
proses terbuka melalui mekanisme dialektis dan rasional. Gerakan liberalisasi
teologi ini menginspirasi didirikannya mazhab teologi Tübingen yang diprakarsai
oleh seorang hegelian bernama Ferdinand Christian Baur (1972—1860). Di dalam
mazhab Tübingen, penafsiran agama kristen dibebaskan oleh kaidah-kaidah tafsir
yang klasik dan memungkinkan adanya penafsiran historis dan rasional terhadap
kitab suci. Gaya penafsiran ini memunculkan metode Biblical Criticism, atau
kritisisme Injil. Mazhab Tübingen tumbuh berkembang menjadi gerakan teologi
arus radikal di Jerman. Hal ini dapat dipahami apabila kita melihat pokok
pemikiran para tokoh liberal protestan seperti Bruno Bauer (1809—1882) dan
David Strauss (1808—1874).
Secara global, pengaruh mazhab Tübingen tidak hanya mempengaruhi para teolog
intra Jerman. Para teolog Tübingen juga memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap teolog-teolog liberal di Eropa seperti Bolland dari Belanda, Rudolf Steck
di Swiss, dan John M Robertson di Inggris [CITATION Oma12 \p 16-17 \l 1057 ].
Dapat dikatakan bahwa sejak didirikannya mazhab Tübingen, kajian-kajian
seputar Injil (biblical studies) masuk di dalam kategori pembahasan hermeneutik
ilmiah dan rasional.
Dalam pemikiran Strauss, misalnya, bahwa terdapat ayat-ayat yang kontradiktif
satu sama lainnya di dalam injil [CITATION Oma12 \p 27 \l 1057 ]. Strauss juga
menyoroti tentang rentang waktu injil kanonik kristen dengan masa hidup Kristus
yang

cukup jauh sehingga

otentisitas

injil

dapat

dipertanyakan.Dalam

argumennya, Strauss berpendapat bahwa injil-injil tersebut tidak dikenal hingga
abad kedua. Pada periode sebelumnya, Friedrich Schleiermacher (1768—1834)—
seorang teolog yang dikenal sebagai “Bapak teologi liberal modern” yang juga
berasal dari mazhab Tübingen, bahkan menyimpulkan bahwa tulisan Mathius
dalam bahasa ibrani bukanlah sebuah injil yang lengkap seperti yang ada
sekarang. Hal itu disebabkan karena Injil asli yang ditulis oleh Matius itu
hanyalah kumpulan pernyaaan-pernyataan Kristus. Semua paparan argumentasi

8

terkait investigasi historisnya riwayat Yesus Kristus tertuang dalam karya
kontroversialnya berjudul Das Leben Jesu (Riwayat Hidup Sang Kristus).
Kontroversi ini semakin memanas ketika Strauss diangkat sebagai kepala studi
Teologi Universitas Zurich.4
Begitu pula dengan Bruno Bauer, seorang teolog dari tradisi mazhab Tübingen
lainnya, yang berpendapat bahwa injil perjanjian baru yang beredar di masa kini
adalah injil yang disadur dari filsafat Stoicisme Yunani Kuno maupun Romawi
[CITATION Oma12 \p 26 \l 1057 ]. Akibatnya, menurut Bauer, kisah atau
periwayatan tentang Kristus pun berakhir menjadi simpang siur dan sukar
dibersihkan atau dipurifikasi. Yesus Kristus tidak lebih dari karakter mitos yang
disejarahkan dalam tradisi Neoplatonisme. Agama kristen, sebagaimana yang
diyakini Bauer, lahir di Alexandria dan di Roma. Agama kristen diciptakan oleh
kesadaran diri (selbbetvusztsein). Para penulis injil sengaja membuat cerita itu
dengan kesadaran diri. Kesadaran diri, seperti yang dikutip Marx adalah sumber
inspirasi para penulis Injil dalam authorship mereka:
Bruno Bauer mengakui bahwa bukan lagi Roh Kudus
yang mendiktekan penulis-penulis Injil, tetapi ‘kesadaran
diri sendiri’ yang tak terbatas itulah yang mendikte para
penulis tersebut.
(Marx, 1845)

Sebagaimana yang diketahui dalam sejarah, Bauer adalah salah satu pemuka
teolog yang memasung gaya dekonstruktif dalam melakukan kritik terhadap
perjanjian baru.5 Argumentasi Brauer cukup membuat kaum teolog di Jerman
menjadi gerah di masa itu. dalam Konflik Bauer tidak hanya dengan para teolog
Jerman, tetapi ikut mendapat kritikan tajam dari David Strauss.Hal ini semakin
diperparah dengan afiliasi Brauer dengan kaum Hegelian muda yang radikal
4 Untuk lebih lanjut lihat artikel Douglas R. McGaughey, “On D.F. Strauß and the 1839 Revolution
in Zurich”.
5 Selengkapnya, lihat http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Bruno_Bauer (2 November
2014)

9

seperti Max Stirner, Karl Marx, Friedrich Engels dan kaum sosialis lainnya. Dari
tahun 1842 hingga 1849, Bauer termasuk dalam salah satu tokoh yang aktif dalam
jurnal-jurnal politik serta bergelut dalam riset historis terhadap aufklarung (masa
fajar budi atau pencerahan). Dengan “Kesadaran Diri tak terbatasnya”-nya itu,
Brauer lebih semakin kontras terhadap pemikiran para teolog-teolog konservatif
yang dianggap berhaluan Hegelian kanan atau konservantif, bahkan terhadap
Strauss sekalipun. Kedekatan Bauer dengan Marx dan Engels sedikit banyaknya
memberikan andil besar terhadap pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels
tentang agama itu sendiri. Namun pada akhirnya jalinan pertemanan mereka
merenggang semenjak Bauer mulai berani mangambil sikap kritis terhadap
hegelian radikal kiri pada khususnya dan gerakan-gerakan sosialisme radikal pada
umumnya. Sikapnya itu kelak yang menginspirasi Marx dan Engels untuk
dijadikan sebagai objek kritikannya di dalam The Holy Family (1844) dan
German Ideology (ditulis sekitar 1845—46).6
Meskipun Brauer berani dalam melakukan serangan gencar terhadap kondisi
Prusia yang semakin konservatif saat itu, Brauer tetap berada dalam bayangbayang filsafat Hegelian. Berbeda dengan Marx, dan kaum sosialis radikal saat
itu, hal-hal yang dogmatis seperti agama dan hal-hal metafisik lainnya cenderung
dipinggirkan dalam pergulatan dunia intelektual. Hal ini disebabkan oleh
pengaruh fajar budi (aufklarung) pasca revolusi Prancis tahun 1789. Walaupun
Marx dan Engels juga menggunakan titik tolak filsafat Hegel sebagai mode
pemikirannya—yaitu dialektika, akan tetapi mereka hanya menggunakan filsafat
materialisme sebagai acuan utamanya.
Dalam disertasi doktoralnya tentang Epikuros, 7 tampak sekali pengaruh pemikiran
materialisme sebagai kerangka pemikirannya serta sekaligus juga menjawab
inkonsistensi filsafat Hegel yang serba kontradiktif terhadap keadaan Prusia saat
itu. Marx muda melihat: mengapa masyarakat yang nyata, yaitu masyarakat
6 Lihat Stanford Encyclopedia of Philosophy tentang Bruno Bauer,
http://plato.stanford.edu/entries/bauer/ (2 November 2014).
7 Epikuros, filsuf materialis di zaman Yunani akhir yang mendirikan mazhab epikureanisme,
sebuah mazhab filsafat yang menekankan kebahagiaan sesungguhnya adalah kebahagiaan yang
bebas dari rasa sakit fisik (aponia) dan rasa sakit psikis (ataraxia).

10

Prussia, berkebalikan dari masyarakat yang bebas dan rasional seperti yang
dipikirkan Hegel?[CITATION Mag99 \p 47-48 \l 1057 ] Dari situlah filsafat Marx
menjadi praxis, berlawanan dengan Hegel yang serba teoritis. Materialisme
dipahami sebagai objek yang nyata (real) ketimbang idealisme Hegel yang
mengambang secara abstrak. Karena materialisme secara epistemologis
menekankan superioritas faktor-faktor materi di atas spiritual dalam metafisika.
Dengan

demikian,

sosok

Tuhan

pun

dinafikan

sebagai

konsekuensinya[CITATION Bag96 \p "593, "Materialisme"" \l 1057 ].
Tampak jelas, bahwa ateisme di dalam ajaran Marxisme yang diprakarsai Marx
dan Angels adalah konsekuensi logis dari cara berpikir materialistis.
Selain dekonstruksi Bauer tentang agama kristen yang berbekas di dalam diri
Marx belia, Ludwig Feuerbach yang paling menginspirasi Marx dalam
pemahaman ateistiknya. Feuerbach, yang merupakan seorang ateis tulen,
menyerang filsafat Hegel dengan cukup tajam. Di dalam Das Wesen des
Christentums (Hakikat Agama Kristen) (1841), Feuerbach memutarbalikkan dasar
pikiran idealisme Hegel dengan menyatakan bahwa studi humanisme harus
berasal dari “manusia sejati” yang hidup di “dunia materi,” bukan—seperti yang
diyakini Hegel—dari yang “sungguh-sungguh real (nyata)” sebagai sumber dari
yang göttlich (ketuhanan) [CITATION Har02 \p 53 \l 1057 ]. Jadi, menurut
Feuerbach, satu-satunya realitas yang tidak terbantahkan adalah pengalaman
inderawi manusia. Dengan begitu hanya ada satu titik tolak filsafat yang valid,
yaitu manusia inderawi [CITATION Mag99 \p 68 \l 1057 ].
Di dalam kritik atas agama—khususnya filsafat Hegel, Feuerbach berpendapat
bahwa agama baginya tidak lebih sebagai proyeksi manusia. Feuerbach ingin
mengatakan bahwa Tuhan adalah objek ciptaan manusia yang ia sembah sendiri.
Dalam kasus ini, manusia terasing dari dirinya sendiri dan manusia terkesan oleh
ciptaannya itu (agama) sehingga lupa jika itu adalah proyeksinya sendiri terhadap
hakikat manusia yang sempurna. Oleh karena itu, manusia, menurut Feuerbach,
hanya dapat mengakhiri keterasingannya jika ia mampu meniadakan agama.
Manusia harus mampu menolak kepercayaan pada sosok Tuhan yang dengan
11

segala ke-maha-anNya itu agar semua ke-maha-an itu kembali kepada manusia itu
sendiri. Manusia harus menghilangkan agama itu agar mampu merealisasikan
potensi-potensinya. Dengan kata lain, Feuerbach berpendapat bahwa “teologi
harus menjadi antropologi.”8 [CITATION Mag99 \p 68-71 \l 1057 ].
Dengan Feuerbach, Marx dapat semakin memantapkan pijakan pemikirannya
pada filsafat materialisme. Namun, ada beberapa keberatan yang diajukan oleh
Marx berkaitan dengan pemikiran materialistis Feuerbach. Terdapat beberapa
kelemahan dari filsafat materialisme Feuerbach: 1). Materialisme Feuerbach tidak
menyejarah (historis) karena sesuatu dilihat dari aspek-aspek alamiahnya saja. 2).
Materialisme Feuerbach non-dialektis, sehingga cenderung naturalistik dan
mekanistik [CITATION DNA63 \p 28 \l 1057 ]. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa Marx dan Engels hanya mengambil saripati filsafat materialisme
Feuerbach yang tradisional dan mencampakkan beban relijius etisnya [CITATION
Har02 \p 57 \l 1057 ].
Dengan begitu, materialisme Marx memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh
berbagai paham materialisme lainnya: materialisme historis. Materialisme historis
menggunakan “pisau” dialektikanya untuk membedah hakikat historis suatu
masyarakat dalam perspektif yang materialistik. Cara ini berbeda dengan apa yang
dilakukan oleh Hegel dimana sejarah dikupas secara dialektik dengan bertolak
pada pandangan idealistik tentang proses roh “kesadaran Diri” yang subjektif
menuju roh yang kembali pada dirinya sendiri dan menjadi objektif.
Konsekuensi dari materialisme historis dalam Marxisme adalah melihat segala
gejala-gejala historis muncul akibat dari pertentangan kelas. Dengan demikian,
Marx melihat bahwa faktor utama dalam perjalanan sejarah adalah faktor
ekonomis, antara kelas yang menguasai sumber-sumber produksi dan kelas yang
tidak memilikinya. Berbeda dengan Feuerbach, Marx melihat agama hanyalah
tanda keterasingan manusia dan bukan sebagai dasar keterasingannya. Agama

8 Untuk selengkapnya, lihat di Franz Magnis-Suseno (1999), Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme
Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Pada Bab IV.

12

hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri
[CITATION Mag99 \p 73 \l 1057 ].

4. Kesimpulan
Setelah melihat analisa-analisa yang dipaparkan sebelumnya, terlihat garis tegas
antara pemikiran marxisme yang sudah melenceng dari pemikiran sosialisme awal
dan juga menjauhi pandangan ateistik Feuerbach. Dapat dikatakan bahwa
konsekuensi dari Marxisme yang mengadopsi materialisme sejarah sangat besar.
Dengan materialisme historisnya yang menyejarah tersebut, segala aspek dilihat
dari faktor-faktor materialismenya, yaitu ekonomi. Dari poin ini, bentuk (mode)
“sosialisme” yang diperkenalkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels bersifat
ilmiah dan deterministik. Engels menganggap dialektika versi materialisme
historis seilmiah Darwin yang meneliti perkembangan evolusi organisme dan juga
menjadi “hukum alam” yang menentukan sejarah seperti halnya hukum alam
fisika milik Newton [CITATION Mag99 \p 218-219 \l 1057 ]. Dengan
determinisme materialisme historis, Marx meramalkan akan keruntuhan
kapitalisme yang niscaya dan datang dari dirinya sendiri.
Hal demikian yang membuat ajaran marxisme mengalami divergensi dengan
paham-paham sosialisme yang hanya berutopia pada cita-cita masyarakat yang
serba kolektif dan berkeadilan tanpa adanya perumusan teoritis yang serba rigor
dan dialektis seperti Marxisme. Begitu juga kaitannya perspektif marxisme
terhadap agama, ateisme Feuerbach hanya berkonsentrasi pada keterasingan
manusia terhadap sosok paripurna namun melupakan aspek historis dari manusia
itu sendiri. Bagi Feuerbach, agama adalah sumber keterasingan manusia terhadap
dirinya dan memproyeksikannya dalam bentuk “sosok Tuhan” dengan serba kemaha-annya. Namun, Marx menyoroti tentang manusia yang digambarkan oleh
Feuerbach sebagai manusia yang abstrak dan tidak menyejarah. Melalui perspektif
materialisme historisnya, Marx mengungkapkan motif ekonomi yang berada di
balik tabir utama bangunan atas sejarah9. Oleh karena itu, tidak seperti Feuerbach
9 Bangunan atas, atau superstruktur dalam istilah marxian adalah variabel-variabel yang bukan
merupakan aspek fundamental pada keberlangsungan sejarah. Karena materialisme historis
bertumpu pada lemah-kuatnya faktor ekonomisebagai pondasi utamanya, dengan begitu, aspek-

13

yang menganggap problem utama adalah agama, Marx menganggap problem
utama adalah penguasaan faktor-faktor ekonomi di dalam sejarah yang berada di
tangan suatu kelompok tertentu. Dengan berakhirnya kesenjangan ekonomi
melalui aksi-aksi praxis yang revolusioner, berakhir juga kelas-kelas yang ada
dalam struktur kemasyarakatan beserta kepemilikan pribadi, dan otomatis berakhir
juga eksistensi agama dalam kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Adams, I. (2004). Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik dan Masa
Depannya. (A. Noerzaman, Penerj.) Yogyakarta: QALAM.
Aidit, D. N. (1963). Tentang Marxisme. Jakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham.
Bagus, L. (1996). Kamus Filsafat (1st ed.). Jakarta: Gramedia.
Bruno Bauer. (t.thn.). Diakses November 2014, 2, dari Stanford Encyclopedia of
Philosophy: http://plato.stanford.edu/entries/bauer/
Hashem, O. (2012). Marxisme dan Agama. Yogyakarta: Rausyanfikr Institut.
Magnis-Suseno, F. (1999). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marx, K. (t.thn.). The Holy Family Chapter VI 3. Diakses November 1, 2014, dari
marxist.org: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/holyfamily/ch06_3_f.htm
Prabowo, H. (2002). Perspektif Marxisme. Yogyakarta: Jendela Grafika.

aspek lainnya seperti pendidikan, seni, politik, agama dan lainnya berlaku sebagai bangunan
atasnya atau bergantung sepenuhnya terhadap faktor ekonomi.

14