HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Salimi Muhammad Baindowi
[email protected]

DATA BUKU
Nama /Judul Buku : Hukum Hak Asasi Manusia
Penulis /Pengarang : PUSHAM UII
Penerbit
Indonesia

: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam

Tahun Terbit

: 2008

Kota Terbit

: Yogyakarta

Bahasa Buku


: Bahasa Indonesia

Jumlah Halaman : xxiv + 405 hlm
ISBN Buku

: 979-84960-3-4

A. EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK
ASASI MANUSIA
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia sematamata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena
diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif,
melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia
Sejak bangkitnya sistem negara modern serta penyebaran industri
dan kebudayaan Eropa ke seluruh dunia, telah berkembang serangkaian
kebiasaan dan konvensi yang unik mengenai perlakuan manusiawi
terhadap orangorang asing. Konvensi itu, yang diberi nama “Hukum
Internasional mengenai Tanggungjawab Negara terhadap Pelanggaran
Hak-Hak Orang Asing”, dapat dianggap mewakili perhatian awal yang
besar terhadap promosi dan perlindungan hak asasi manusia di tingkat

internasional. Para pendiri hukum internasional, khususnya Francisco de
Vitoria (1486-1546), Hugo Grotius (1583-1645) dan Emmerich de Vattel
(1714-1767), sedari awal menyadari bahwa semua orang, baik orang
asing maupun bukan, berhak atas hak-hak alamiah tertentu, dan
karenanya, mereka menekankan pentingnya memberi perlakuan yang
pantas kepada orang-orang asing.
Tetapi baru pada abad ke-19 mulai menyingsing dengan jelas minat
dan perhatian internasional terhadap perlindungan hak-hak warga negara.
Perdamaian Westphalia (1648), yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun
dan yang menetapkan asas persamaan hak bagi agama Katolik Roma dan
Protestan di Jerman, telah membuka jalan ke arah itu. Satu setengah abad
kemudian, sebelum Perang Dunia II, beberapa upaya yang patut dicatat
sebagai tonggak-tonggak penting, walaupun pada pokoknya tidak
berkaitan, dalam upaya menggalakkan perhatian terhadap warga negara
melalui sarana hukum internasional mulai membentuk apa yang dewasa
ini dinamakan
“Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”. Tonggaktonggak penting itu antara lain, doktrin perlindungan negara terhadap
orang asing, intervensi
kemanusiaan, penghapusan perbudakan,
pembentukan Komite Palang Merah Internasional (1863), pembentukan

Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) melalui Perjanjian Versailles.
Norma, doktrin, dan kelembagaan hukum internasional yang lahir pada
periode pasca Perang Dunia II yang melahirkan hukum hak asasi manusia
internasional.

B. PRINSIP-PRINSIP HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM HAK
ASASI MANUSIA INTERNASIONAL
Beberapa prinsip telah menjiwai hak-hak asasi manusia internasional.
Prinsip-prinsip terdapat di hampir semua perjanjian internasional dan
diaplikasikan
ke
dalam
hak-hak
yang
lebih
luas.
Prinsip
kesetaraan,pelarangan
diskriminasi
dan

kewajiban
positif
yang
dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak
tertentu.

1. Prinsip Kesetaraan
Hal yang sangat fundamental dari hak asasi manusia kontemporer
adalah ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki
kesetaraan dalam hak asasi manusia. Masalah muncul ketika seseorang
berasal dari posisi yang berbeda tetapi diperlakukan secara sama. Jika
perlakuan yang sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini
akan terjadi terus menerus walaupun standar hak asasi manusia telah
ditingkatkan. Karena itulah penting untuk
mengambil
langkah
selanjutnya guna mencapai kesetaraan. Tindakan afirmatif mengizinkan
negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu
yang tidak terwakili
2. Prinsip Diskriminasi

Pelarangan terhadap diskriminasi adalah salah satu bagian penting
prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada
perlakuan yang diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan
untuk mencapai kesetaraan).
3. Kewajiban Positif untuk Melindungi Hak-Hak Tertentu
Menurut hukum hak asasi manusia internasional, suatu negara tidak
boleh
secara
sengaja
mengabaikan
hak-hak
dan
kebebasankebebasan.Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif
untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan
kebebasan- kebebasan.
C. INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA
.
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Instrumen internasional yang ada saat ini diawali dengan pembentukan
Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB) pada tahun 1945 dan kerja Komisi Hak

Asasi Manusia PBB (suatu komisi fungsional di bawah Dewan Ekonomi dan
Sosial PBB) dalam merumuskan tabulasi hak dan kebebasan dasar
manusia yang dapat diterima.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah
elemen
pertama dari Peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia
Internasional (International Bill of Rights), yakni suatu tabulasi hak dan
kebebasan f undamental. Kovenan-kovenan internasional menetapkan ta
bulasi hak yang mengikat secara hukum dan Protokol Tambahan pada
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta kedua komite
yang memantau penerapan setiap Kovenan menyediakan mekanisme
bagi penegakan hak-hak tersebut.
2. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP)
Pada intinya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Poitik (KIHSP)
menyatakan dengan istilah-istilah yang mengikat secara hukum paruh
pertama dari DUHAM. Sebaliknya, Kovenan Internasional tentang Hak,

Ekonomi,
Sosial dan Budaya (KIHESB) menguraikan hak-hak yang
tercantum pada paruh kedua DUHAM.

Akan lebih mudah untuk memahami dampak dari Kovenan tersebut
dengan melihat beberapa contoh hak. Untuk menunjukkan lingkup dan
penerapan tiap hak atau kebebasan, adalah penting untuk
mempertimbangkan kerja badan-badan pemantau perjanjian internasional
dan regional. Beberapa hak akan diidentifikasikan untuk dibahas yaitu
kebebasan untuk menyampaikan pendapat, hak untuk menentukan
nasib sendiri, hak untuk hidup dan kebebasan beragama.
D. HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam
diskursus politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Kita bisa menemuinya
dengan gamblang dalam perjalanan sejarah pembentukkan bangsa ini, di
mana perbin
cangan mengenai hak asasi manusia menjadi bagian
daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah
memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan harkat dan martabat
manusia yang lebih baik. Pecikan pikiran tersebut dapat dibaca dalam
surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”,
karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus
Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh
Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia

Menggugat” dan Hatta dengan judul
”Indonesia Merdeka” yang
dibacakan di depan pengadilan Hindia
Belanda. Percikan- percikan
pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan itu, yang terkristalisasi
dengan kemerdekaan Indonesia, menjadi sumber inspirasi
ketika
konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Disinilah terlihat bahwa para pendiri
bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai
fondasi bagi negara.
Pada waktu menyusun konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945,
terjadi perdebatan mengenai apakah hak
warga negara perlu
dicantumkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar? Soekarno dan
Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu
dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi.Sebaliknya,MohammadHatta
dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya
mencantumkan
pasalmengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar.
Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut merupakan tonggak
penting dalam diskursus hak asasi manusia di Indonesia, yang memberi
pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode
selanjutnya
Periode reformasi merupakan periode yang sangat “friendly” terhadap
hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde Baru yang
melancarkan “black-campaign” terhadap isu hak asasi manusia. Presiden
B.J. Habibie dan DPR sangat t erbuka dengan tuntutan reformasi, maka
sebelum proses amandemen konstitusi b ergulir, presiden lebih dulu

mengajukan Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di Dewan Perwakilan
Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September
1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undangundang
tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
E. INSTRUMEN NASIONAL POKOK HAK ASASI MANUSIA
Sejarah mencatat bahwa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)

1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950360 yang
pernah berlaku selama sekitar 10 tahun (1949–1959), justru memuat
pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang lebih banyak dan lebih
lengkap dibandi ngkan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 sering disebut sebagai angin
segar bagi jaminan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia,
meskipun pada waktu itu Undang-Undang Dasar 1945 masih dianggap
cukup memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia.
Hak -Hak yang Diatur dan Dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 yaitu: Hak untuk hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan
Keturunan, Hak untuk Mengembangkan Diri, Hak untuk Memperoleh
Keadilan, Hak atas Kebebasan Pribadi, Hak atas Rasa Aman, Hak atas
Kesejahteraan, Hak untuk Turut Serta dalam Pemerintahan, Hak
Perempuan, dan Hak Anak.

F. MEKANISME PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA NASIONAL
1. Mahkamah Konstitusi
Perkembangan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia telah
dipengaruhi oleh perubahan politik setelah kejatuhan Presiden S oeharto
tahun 1998. Sidang Istimewa MPR bulan November 1998, misalnya,

menghasilkan Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
dan disusul dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 t
entang Hak Asasi Manusia. Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi
manusia dicantumkan pula dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar 1945 (tahun 2000), meskipun terdapat kemiripan rumusan antara
hasil amandemen konstitusi dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 dan Ketetapan No. XVII/ MPR/1998.
2. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Lembaga nasional hak asasi manusia merupakan sebuah badan yang
menangani persoalan-persoalan hak asasi manusia, terutama dalam
kerangka memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Secara

internasional institusi ini dimaksudkan sebagai rekan kerja Komisi HAM
PBB di tingkat nasional. Maka, sebagaimana Komisi HAM PBB – lembaga
nasional hak asasi manusia merupakan salah satu mekanisme
pemajuan/perlindungan hak asasi manusia. Di Indonesia, lembaga
nasional tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM), yang pada awal berdirinya dibentuk berdasarkan Keppres No. 50
tahun 1993 dan dalam perkembangannya diperkuat dengan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga
independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas
penyelenggaraan perlindungan anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (yang selanjutnya akan disebut
dengan KPAI) dibentuk untuk merespon berbagai laporan tentang adanya
kekerasan, penelantaran dan belum terpenuhinya hak-hak dasar anak di
Indonesia. Keputusan politik untuk membentuk KPAI juga tidak dapat
dilepaskan dari dorongan dunia internasional. Komunistas internasional
menyampikan keprihatinan mendalam atas kondisi anak di I ndonesia.
Banyaknya kasus pekerja anak, anak dalam area konflik, pelibatan anak
dalam konflik senjata (childs soldier) seperti yang terjadi di Aceh,
tingginya angka putus sekolah, busung lapar, perkawinan di bawah umur,
trafficking, dan lain sebagainya telah memantik perhatian komunitas
internasional untuk
menekan pemerintah Indonesia agar membuat
lembaga khusus yang bertugas memantau kondisi perlindungan anak di
Indonesia.
4. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau sering disingkat sebagai
Komnas Perempuan adalah sebuah institusi hak asasi manusia yang
dibentuk oleh negara untuk merespon isu hak-hak perempuan sebagai
hak asasi manusia, khususnya isu kekerasan terhadap perempuan.
Karena mandatnya yang spesifik terhadap isu kekerasan terhadap
perempuan dan pelanggaran hak-hak perempuan maka ada yang
mengkategorikan Komnas Perempuan sebagai sebuah insitusi hak asasi
manusia yang
spesifik,berbeda dengan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) yang bersifat lebih umum mencakupi seluruh
aspek dari hak asasi manusia.
5. Komisi Ombudsman Nasional (KON)
Penulisan Komisi Ombudsman Nasional di luar pembagian komisi
nasional pada sub-bab C di atas adalah karena secara formal,
terbentuknya Komisi Ombudsman Nasional tidak didasari secara khusus
oleh semangat untuk melindungi, menegakkan dan memenuhi hak-hak
asasi warga negara Indonesia. Kemunculan Komisi Ombudsman Nasional

lebih didasari oleh semangat reformasi yang bertujuan menata kembali
perikehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam rangka melakukan
reformasi birokrasi yang telah mandeg selama puluhan tahun.
Semangat untuk melakukan reformasi birokrasi inilah yang sangat
terasa dan pada saat dimunculkannya Komisi Ombudsman Nasional
sedang menjadi pembicaraan meluas di kalangan masyrakat. Walaupun
tidak serta merta t ujuan perlindungan hak asasi manusia tidak ada,
namun secara formal dibentuknya Komisi Ombudsman Nasional lebih
dikarenakan tuntutan reformasi birokrasi.
G. PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA
Memburuknya situasi keamanan dan hak asasi manusia di Timor Timur
pasca jajak pendapat tahun 1999 menarik perhatian dunia internasional,
khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mengambil tindakan
yang dianggap perlu untuk memulihkan keadaan tersebut. Menurut
laporan Komisi Penyidik Pelanggaran (KPP) Hak Asasi Manusia untuk Timor
Timur telah terjadi beberapa pelanggaran berat hak asasi manusia di
antaranya adalah pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan,
penghilangan paksa, kekerasan berbasis gender, pemindahan penduduk
secara paksa dan pembumihangusan.
Dewan Keamanan PBB (DK PBB) kemudian mengeluarkan Resolusi
Nomor 1264 Tahun 1999 yang isinya mengecam pelanggaran berat hak
asasi manusia yang terjadi pasca jajak pendapat di Timor-Timur,
penyerangan terhadap personil kemanusiaan nasional dan internasional,
dan menderitanya rakyat sipil akibat pemindahan paksa secara besarbesaran. Oleh karena itu DK PBB meminta para pelaku pelanggaran berat
hak asasi manusia tersebut mempertanggungjawabkan tindakannya di
muka pengadilan.
Menyikapi Resolusi DK PBB tersebut yang merupakan bentuk desakan
dunia internasional dan demi untuk melindungi kepentingan nasional yang
lebih besar lagi, Pemerintah Indonesia akhirnya setuju untuk membentuk
Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan mengundangkan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 Nopember 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia sebagai pengganti PERPU Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia karena PERPU ini oleh DPR dianggap tidak
relevan.
1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia berdasarkan
Undang Nomor 26 Tahun 2000

Undang-

Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia adalah pengadilan khusus
terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia. Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 sendiri tidak mendefinisikan pengertian istilah
“pelanggaran berat hak asasi manusia”, melainkan hanya menyebut
kategori kejahatan yang merupakan pelanggaran berat hak asasi
manusia, yakni: kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
genosida.