TELEVISI NASIONAL DAN TREN MAHASISWA

TUGAS VII
MATA KULIAH
Kajian Mandiri
Topik;
Analisis Tren Pola Konsumsi Pembaca Media Cetak dan media televisi pada
mahasiswa di Kota Medan. Beri contoh kasus dan penerapan teori komunikasi
DOSEN PENGASUH:
Hj. Rahmanita Ginting, MA, Ph.D
“TELEVISI NASIONAL DAN TREN MAHASISWA”
(Mengamati Gaya Mahasiswa Medan)

Oleh
ILHAMSYAH
NPM: 1320040021

PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2015


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 3
A. Latar Belakang ................................................................................................... 3
B. Permasalahan Pembatasan Masalah ................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 5
A. Kebudayaan Populer .......................................................................................... 5
B. Teori Norma Budaya .......................................................................................... 6
C. Komunikasi Massa, Kebudayaan, Masyarakat dan Efeknya. ............................ 7
D. Tren Gaya dan Setting Media ............................................................................ 8
E. Tren Mahasiswa Medan ..................................................................................... 9
1.

Pakaian Mahasiswa Medan ............................................................................ 9

2.

Kuliner dan Mahasiswa Medan. ................................................................... 10


3.

Berbahasa nya Mahasiswa Sekarang ............................................................ 11

BAB III KESIMPULAN ............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 14

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tren Gaya yang merupakan identitas khas pribadi dan atau kelompok, muncul
dan berkembang ditengah masyarakat yang terbentuk atas dasar stratifikasi sosial.
Pribadi atau Kelompok dalam kelas sosial tertentu akan memiliki tren gaya yang
khusus atau khas.
Cara melihat yang sangat sederhana untuk “mengendus” tren gaya ini, kita
lihat saja dari barang-barang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Cara berpakaian, berprilaku, berkomunikasi atau berinteraksi. Ini merupakan simbol
identitas. Dan Ketika berbicara mengenai tren gaya remaja, mahasiswa termasuk
didalamnya. Kelompok mahasiswa memiliki perbedaan dari kelompok lainnya yang
non mahasiswa.

Oleh karena gaya hidup merupakan simbol identitas suatu kelas sosial
tertentu, yang dapat tersebar serta menyebar sebagai simbol identitas. Maka tulisan
ini melihat bersebarnya simbol tersebut melalui komunikasi massa yang sudah pasti
dapat menembus batas-batas kelas sosial. Pada saat yang bersamaan tren gaya hidup
sebagai suatu kebudayaan massa, bisa jadi kehilangan eksklusivitas hanya kelas
sosial tertentu.

B. Permasalahan Pembatasan Masalah
Peran media massa menampilkan tren gaya, sangat luar biasa terbuka dan
seolah membolehkan siapa saja mengikutinya. Untuk itu, tulisan ini ingin mencermati
secara sederhana bagaimana media massa dan tren gaya dikalangan mahasiswa
berlangsung singkron. Bagaimana secara umum keterlibatan dan sumbangsih media
massa terhadap tren gaya mahasiswa. Selain menjelaskan serta – kalau dapatmenggambarkan bagaimana media massa berperan dalam membentuk pola dan gaya
hidup mahasiswa dalam hal pergaulan, cara berpakaian, dan dalam mengikuti proses
belajar di kampus.
Media massa yang ingin dilihat perannya adalah televisi nasional yang ada di
Indonesia, beserta konten konten yang penulis anggap dapat dijadikan variabel
pengubah.
Untuk bahan pengamatan, Medan adalah kota yang paling mungkin untuk
dijadikan objek oleh penulis. Baik mahasiswanya, maupun Televisi Nasional yang

dapat di saksikan.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Kebudayaan Populer
Dalam konteks kebudayaan populer, masyarakat menjadi sama kelas dan
tingkatan. Siapa saja dapat memiliki dan menggunakan budaya itu sendiri, dari strata
manapun ia berasal, mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial yang
memiliki budaya tertentu, yang dicitrakan oleh kebudayaan massa tersebut memalui
media televisi. Tidak bersentuhan langsung namun memiliki pengaruh.
Dengan Persebaran informasi dan jaringan komunikasi yang semakin luas
didukung ilmu pengetahuan dan teknologi modern, pengaruh media massa kini tidak
terbatas di arena-arena sosial yang terbuka dan bersifat umum menurut Sihabudin
(1998:57).
Mengenai tak berbatas ini, Sihabudin (1998:57) berpandangan bahwa melalui
siaran radio dan televisi, televisi global, antene parabola, dan internet pengaruh
kebudayaan asing bisa menyusup ke kamar tidur, menembus dinding-dinding tembok
rumah. Tidaklah mengherankan kalau siaran televisi dan media massa lainnya tidak
mengenal batas lingkungan sosial politik, kebudayaan maupun geografis,

mengundang reaksi kuat dikalangan masyarakat umum.
Kampus tempat berkumpulnya kaum muda dari berbagai kalangan adalah
sebuah cerminan masyarakat yang terus berkembang. Segala model rambut ada di

kampus, mulai dari warna pirang, rambut gimbal sampai kegondrong. Celana koyak
koyak sampai pakaian eksekutif muda juga ada di kampus. Termasuk tren ala ibu ibu
pergi kondangan, sampai pakaian ala tante tante banyak terlihat dikampus.
Televisi Nasional mempertontonkan yang disebut diatas. Cerita cinta yang
indah-indah, tanpa Latar kehidupan yang digali secara mendalam. kesukses dan
prestasi adalah sesuatu yang instant dan seketika. Tidak ada masalah ekonomi, Keluar
masuk rumah dan mobil mewah. Sang pria dicitrakan pria idaman sedang sosok yang
tampan gesit, wanitanya, dilukiskan dengan lembut, cantik manja. Dunia ini tanpa
masalah yang rumit sama sekali.

B. Teori Norma Budaya
The Cultural Norms Theory McQuail dan Windahl (1984:68) Menyatakan
bahwa media tidak berpengaruh langsung terhadap individu-individu melainkan juga
mempengaruhi kebudayaan, pengetahuan, norma-norma, dan nilai-nilai suatu
masyarakat. Semuanya ini membentuk citra, ide-ide, evaluasi dimana audiens
menentukan tingkah lakunya sendiri.

Media Massa menurut Teori ini memiliki antara lain, pertama, pesan-pesan
komunikasi massa dapat memperkokoh pola-pola budaya yang berlaku, kedua, media
dapat menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentagan dengan pola budaya
yang ada, ketiga mass media dapat merubah norma-norma budaya yang berlaku
dimana perilaku individu-individu dalam masyarakat dirubah sama sekali.

Menurut teori ini, tingkah laku sexual seseorang, didasari pandangan yang
disajikan oleh media dan pandangan media itu sendiri dengan cara tidak sengaja,
tentang apa yang normal, mana yang disetujui atau yang tidak disetujui.
Pandangan ini lah yang kemudian menurut Hartman dan Husband (1974)
dapat dimasukkan oleh individu-individu ke dalam konsepsi mereka sendiri, ( dalam
McQuail dan Windahl (1984:68).
Efek Media, merupakan hal yang diinginkan komunikator. Dengan Efek-efek
bersifat segera dan temporer; yang berkaitan dengan perubahan sikap, pengetahuan
serta tingkah laku inividu. Secara keseluruhan, efek-efek tersebut ada hubungannya
dengan pemikiran tentang suatu propaganda dengan tujuan tujuan beragam, bisa
motivasional, informasional atau lainnya.

C. Komunikasi Massa, Kebudayaan, Masyarakat dan Efeknya.
Menurut Malik dalam Sihabudin (1999:3), media telah menjadi semacam

tirani kognitif yang terus memiskinkan elemen-elemen budaya tradisionil, terutama
yang berlandaskan agama. Fenomena kolonialisme budaya lewat media massa
semakin membuktikan kenyataan itu.
Sebagai contoh, acara “Buah Bibir” yang dipandu Debra Yatim menarik untuk
disimak. Program ini secara sistematis menayangkan kasus-kasus kehidupan

keluarga, yaitu kasus isteri dipukul suami, suami gemar serong, hidup melajang,
perilaku seks menyimpang (gay dan Lesbian), dan sebagainya.
Menurut Jones dalam Singarimbun (1997:210) Film, musik, radio, bacaan,
dan TV mengajarkan kepada mereka bahwa seks itu romantis, merangsang, dan
menggairahkan. Salah satu tren gaya hidup yang ditawarkan media.

D. Tren Gaya dan Setting Media
Kemampuan media untuk menyorot dan menyebarluaskan sesuatu termasuk
budaya, terkadang dipercaya sebagai realitas semata. Padahal, bisa sangat mungkin –
anggap saja realitas - media memainkan dan menciptakan realitas sosial.
Menurut Lull (1998:87) program-program televisi komersial pada jam utama,
para produsen, operator jaringan televisi, eksekutif stasiun, dan para pemasang iklan
semuanya mencoba meneliti dan pada akhirnya menerka apa yang akan ditonton oleh
khalayaknya.

Menurut Jatman (1997: 127), media telah menciptakan estetikanya sendiri. Ia
tidak hanya dianggap sebagai agen kebudayaan, tetapi ia adalah kebudayaan. Artinya
ketika kebiasaan kaum elit dalam hal ini adalah para publik figur masuk dalam media
ia disebut sebagai pop cultur. Lebih jauh Armando (1998:162) berpendapat bahwa
media turut menset agenda kehidupan konsumen termasuk mempengaruhi apa yang

dianggap penting dan tidak penting, apa yang halal, dan haram, apa yang bisa
dinikmati dan tidak, melalui pembiasan.

E. Tren Mahasiswa Medan
Pada bahasan ini, tren gaya yang dimaksud antara lain; cara berbicara, cara
berpakaian,

makanan

yang

kita

makan


dan

cara

kita

menyiapkan

dan

mengkonsumsinya, serta detail lain yang membentuk kehidupan mahasiswa seharihari.
1. Pakaian Mahasiswa Medan
Pemandangan dengan baju ketat, rok pendek diatas lutut, bagian perut terlihat,
sepatu tinggi terkadang pakai tali, Celana bolong, rambut di semir bahkan warna
warni, menurut mereka yang berhasil ditanyai seketika, adalah suatu hal yang wajarwajar saja, Soal pakaian yang bermerk tidak terlalu menjadi penting, yang penting
gaya. Menurut mereka juga pergi kekampus berarti juga bergaya, artinya berdandan
sesuai dengan pakaian, celana, alas kaki, potongan rambut yang lagi tren sekarang.
Dari beberapa yang dijumpai, mereka mengungkapkan bahwa informasi
ataupun tren berpakaian didapat melalui televisi saat mereka menyaksikan Film,

sinetron, atau infotainment, cerita sinetron tidak menjadi satu satunya fokus tontonan,
model rambut, pakaian, dan asesoris yang dipakai pemeran dalam sinetron, film atau
telenovela juga menjadi perhatian dan menjadi bahan perbincangan.

Disamping sinetron, tren berpakaian didapat dari sela sela pemutaran
Sinetron, yaitu iklan, sebagaimana Ibrahim (1997:174) berpendapat bahwa Dalam hal
berpakaian, iklan komersial berperan dalam memanipulasi kekaburan simbol pada
sebuah aktivitas. Penulis mengambil contoh ikllan Minyak Wangi, seorang laki laki
memakai pengharum badan, pria itu tidak hanya mendapatkan wanginya sebagai nilai
guna atau nilai pakai, namun ia dapat lebih dari itu dalam iklan. Tiba tiba saja turun
bidadari cantik dari langit, dan puluhan wanita cantik menghampirinya, ini
mempertontonkan kesan mewah dan glamour yang didapat dari sekedar pengharum
badan. Jadilah seperangkat kesan gaya hidup mewah tertentu menjadi tren.
2. Kuliner dan Mahasiswa Medan.
Fast food sepertinya telah menjadi kebiasaan dominan pada mahasiswa di
Medan. Budaya konsumsi yang terjadi di kalangan mahasiswa dewasa ini telah
mendorong pesatnya perkembangan bisnis nasi serba tujuh ribu, ini dampak positif
bagi perkembangan UKM.
Kesukaan manusia modern untuk mengkonsumsi barang komoditas telah
menjadi hal yang berlaku umum dikalangan mahasiswa, yang tentunya dalam ukuran

/ standar bagi mahasiswa.
Makan minum ditempat nongkrong yang apik sudah menjadi kebiasaan
mahasiswa sekarang, bahkan wabah ini bukan hanya terjadi pada mahasiswa, arisan
keluarga sampai pada pesta pernikahan pun sudah bergeser ke tempat tempat privat
yang sangat komersial, mengabaikan hal hal yang dianggap konservatif, dirumah.

Representasi kemewahan yang diantarkan televisi nasional melalui sinetron tadi telah
memunculkan kalimat, “jadi barang tu”.
3. Berbahasa nya Mahasiswa Sekarang
Bahasa adalah sebuah institusi sosial yang dirancang, dimodifikasi, dan
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kultur atau subkultur yang terus berubah.
Karenanya, bahasa dari suatu subkultur berbeda dengan bahasa dari subkultur yang
lain, (Montgomery, 1986) dalam Devito (1998:157). Mahasiswa sebagai salah satu
subkultur yang ada di dalam masyarakat, tentunya dalam hal berbahasa ada kekhasan.
Mahasiswa sebagai subkultur memiliki bahasa khas yang biasanya digunakan
sehari hari. Mahasiswa umumnya berusia muda, komunikasi dikalangan mahasiswa
umumnya menggunakan kosa kata yang terkadang formil atau lazimnya bahasa
Indonesia, tapi tidak sedikit mahasiswa menggunakan kosa kata atau tuturan dialek
kedaerahan masing masing. Tidak sedikit juga sekarang ini yang meniru gaya bahasa
dalam iklan, film, dan sinetron. Muncullah istilah Alay, kepo dan lainnya
Menurut Hedbig (1979) dalam Lull (1998:93) Remaja berada pada posisi
paling depan dari sebuah arus besar putaran informasi, mereka juga merupakan
pengutip sekaligus perakit kebudayaan yang paling aktif menjelajahi lingkungan
mereka, khususnya arena-arena simbolik untuk mencari bahan-bahan guna merakit
identitas mereka dan mengekspresikan keyakinan dan nilai mereka sebagai gaya
budaya.

Mahasiswa dalam berkomunikasi seringkali bersandar pada realitas yang ada
pada media, pada konteks konteks diluar perkuliahan yang formil. Sedangkan saat
berkomunikasi dengan dosen umumnya mereka berbahasa dengan formil, artinya
mahasiswa masih bisa menempatkan atau memahami konteks sosial dalam
berkomunikasi, dengan siapa mereka berkomunikasi.
Mahasiswa yang berhasil dijumpai, pada umumnya menyatakan senang
dengan kegiatan menyerap kosa kata yang tampil lewat media massa khusus televisi
untuk kemudian digunakan pada konteks konteks yang tepat. Ini memberi arti bahwa
media cukup kuat dalam membantuk realitas yang terjadi di kalangan mahasiswa.
Menurut Leksono (1998:199) Bahasa yang dipergunakan mempengaruhi apa
yang dilihat sebagai real, tetapi bahasa sendiri tidak mempunyai tempat di dalam
yang real. Itu sebabnya bahasa lebih daripada sekedar alat komunikasi. Bahasa adalah
suatu kegiatan sosial yang terkonstruksikan dan terikat pada kondisi sosial tertentu.

BAB III

KESIMPULAN
Televisi Nasional, langsung atau tidak langsung, besar ataupun kecil dalam
hal pengaruh, memiliki peran penting untuk menempatkan suatu objek baru pilihan
yang dapat serta merta dijadikan pujaan publik. Pribadi dengan sifat dan sikap yang
luar biasa. Pahlawan pahlawan menurut konsep Kapitalistik sangat mudah
bermunculan dengan settingan media.
Perangkat negara yang seharusnya mampu mengendus gelagat dari
pemberangusan budaya lokal – KPI- belum cukup peka menjalankan tugasnya
sebagai garda terdepan pemantau konten Televisi.
Sangat mustahil gara gara tulisan ini lalu terfikir untuk membuat lembaga
pemantau sinetron indonesia. Lagi lagi literasi media masih perlu digaungkan lagi,
demi masa depan budaya yang luhur, Budi dan daya.
Semoga tulisan yang amburadul dan sangat jauh dari sempurna ini dapat
memenuhi kriteria sebagai tugas yang diberikan kepada saya, semoga.

DAFTAR PUSTAKA
Armando, Ade. 1998. Wanita Sebagai Objek Seksual dalam Media: komponen
Penting dalam Pembentukan “Kulutur Single”. Dalam buku. Media dan
Wanita. Kontruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru.Editor:
Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto. Penerbit. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Depari, Eduard dan MacAndrews, Colin. 1991. Peranan Komunikasi Massa Dalam
Pembangunan. Gajah Mada Univerisity Press. Yogjakarta.
Ibrahim, Idi Subandy. 1997. Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam
“Masyarakat Komoditas” Indonesia. Penerbit. Mizan. Bandung.
Ibrahim, Idi Subandy. 1997. Hegemoni Budaya. Penerbit Yayasan Bentang Budaya.
Yogjakarta.
Jatman, Darmanto. 1997. Pluralisme Media dalam Era Imagology: Interaksi Budaya
Media dengan
Budaya Etnik. Dalam buku Ecstasy gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam “Masyarakat
Komoditas” Indonesia. Penerbit. Mizan. Bandung.
Leksono, Karlina. 1998. Bahasa Untuk Perempuan: Dunia Tersempitkan. Dalam
buku. Media dan Wanita. Kontruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik
Orde Baru.Editor: Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto. Penerbit. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Lull, James. 1998. Media Komunikasi Kebudayaan Suatu Pendekatan Global. Alih
bahasa: A. Stiawan Abadi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Oetomo, Dede. 1991. Homoseksual di Indonesia. Prisma. No. 7 Tahun XX, Juli 1991.
LP3ES. Jakarta.
Sihabudin, Ahmad. 1999. Gaya Hidup Masyarakat Dan Penciptaan Bahasa
Kelompok. Majalah Ilmiah “Sociae Polites”. No. 10. Agustus 1999. FISIP.
Universitas Kristen Indonesia Jakarta.
Sihabudin, Ahmad. 1998. Implikasi Era Informasi Terhadap Gaya Hidup dan
Budaya Massa. Majalah Ilmiah “Sociae Polites”. No. 6. Agustus 1998. FISIP.
Universitas Kristen Indonesia Jakarta.

Sihabudin, Ahmad, 1999. Respon Umat Islam Terhadap Tantangan dan Himpitan
dalam Era Informasi. Mimbar Ilmiah. No. 33 Tahun. VIII. Universitas Islam
Jakarta.
Singarimbun, Masri. 1997. Menjadi Modern, Semakin Serba Boleh. Dalam buku
Ecstasy gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam “Masyarakat Komoditas”
Indonesia. Penerbit. Mizan. Bandung.