Desain Parodi Iklan Televisi pdf

Desain Parodi Iklan Televisi
Sebuah Sajian Performance dan Pendidikan

Muchammad Bayu Tejo Sampurno
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
m.bayutejo@gmail.com

Abstrak
Dunia yang selalu berkembang diiringi pula dengan perkembangan di
bidang lainnya, antara lain teknologi, seni, dan pendidikan. Terdapat
permasalahan bagaimana pengkategorisasian yang diberikan dalam
kaitannya dengan bidang kesenian, menyebabkan seni semakin tidak
dianggap keberadaannya. Kenyamanan yang dirasakan oleh guru rasanya
tidak sebanding dengan label ‘pahlawan tanpa tanda jasa’. Hal tersebut
dikarenakan dari pemikiran linier yang sangat erat hubungannya dengan
pengkategorisasian dan kenyamanan. Kembali pada perbincangan
mengenai perkembangan dalam berbagai bidang, teknologi merupakan
salah satu bidang yang berkembang pesat. Maka, tidak ada salahnya jika
guru mencoba mencari metode baru dalam pembelajaran dengan
memanfaatkan salah satu ‘hasil’ teknologi yang sering dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Iklan yang seringkali dimasukkan dalam ranah nonseni yang merupakan acara televisi menampilkan seni olah peran yang

kompleks yang sebenarnya mampu menjadi metode pembelajaran yang
efektif dan efisien bagi seni pertunjukan dengan desain parodialnya.
Katakunci: parodi, iklan, televisi, seni, pertunjukan

Abstract
World are always growing accompanied by developments in other fields,
such as technology, arts, adn education. There are problem of how
categorization is given in relation to the field of art, that causes art is not
considered of its existence. Comfort of perceived by the teacher feels is
can’t comparable with the label ’unsung hero’. That is because of the linear
thinking which is very closely related to the categorization of art and its
comfort. Back on the discussion of the development in various fields,
technology in one area that growing rapidly. Thus, there is no harm if
teachers try to find a new method of learning by utilizing one of the 'results'
of technology that is often encountered in everyday life. Ads, that are often
included in the realm of non-art is a television show featuring art of the
complex role or as a performance that is actually capable of becoming
effective and also efficient learning methods for performing arts with their
parodial design.
Keywords: parody, advertisement, television, art, performance


Muchammad Bayu Tejo Sampurno (Universitas Gadjah Mada)

1

1. Pendahuluan
Pendidikan merupakan sebuah sistem dalam proses pemindahan pengetahuan yang
memerlukan bantuan atau perantara oleh pihak lain sebagai mediator. Pada jaman
konvensional, terdapat buku yang menjadi sumber primer dalam membantu peran pendidik
guna memberikan pemahaman kepada khalayak. Di dalam era kekinian, media dan sumber
pemahaman tersebut berkembang. Media statis berupa buku tersebut diaplikasikan dalam
bentuk yang dinamis, yang lebih memberikan daya tarik bagi khalayak. Tujuannya pasti,
yaitu agar khalayak lebih mudah untuk menangkap apa yang menjadi isi pesan atau materi
pengetahuan yang ingin disampaikan. Salah satu bentuk sumber belajar yang dinamis
adalah melalui media televisi, yang di dalamnya terdapat sajian hiburan. Salah satu media
yang dapat dikreasikan sedemikian rupa adalah pengkonversian teks melalui media iklan.
Iklan atau periklanan didefinisikan sebagai kegiatan berpromosi melalui media massa
(Wibowo, 2003:5). Sedikit berbicara mengenai iklan, dewasa ini kemunculan berbagai jenis
iklan semakin marak di televisi dimana perusahaan-perusahaan telah memilih iklan di televisi
sebagai salah satu ‘corong’ pencitraan produknya. Televisi sebagai media beriklan terbukti

merupakan media komunikasi yang paling efektif dan efisien sebagai media untuk informasi
produk dan citra perusahaan. Kelebihan-kelebihan dan kekuatan teknologis yang dimilikinya,
memungkinkan tercapainya tingkat efektifitas dan efisiensi yang diharapkan oleh suatu
perusahaan atau lembaga lainnya. Salah satu keunggulan televisi adalah mampu
memperlihatkan kelebihan dari segala macam produk yang diiklankan melalui desain
penyampaian masing-masing perusahaan. Kaitannya dengan pendidikan, telah kita ketahui
bersama bahwa iklan merupakan sebuah tanda yang di dalamnya terdapat pesan, dan pasti
terdapat unsur pendidikan dalam iklan. Iklan sebagai sebuah performance atau pertunjukan,
karena sesuai dengan konteks pertunjukan yang didasarkan pada peran dan fungsinya, seni
pertunjukan lebih dekat disebut sebagai media komunikasi. Iklan dalam desainnya juga
mampu digunakan sebagai media pembelajaran seni pertunjukan yang sangat efektif.
Sejalan dengan itu, maka wilayah seni pertunjukan sebagai media komunikasi antara kreator
(seniman) dan apresiator (penonton atau audiens), antara pelaku seni dan penikmat seni,
menjadi sesuatu yang ditafsirkan oleh keduanya. Maka, terdapat kaitan erat antara iklan
sebagai sebuah seni pertunjukan dan dunia pendidikan baik pesan yang ada dalam iklan
sampai cara penyampaian iklan yang dapat dijadikan sumber acuan bagi pembelajaran seni
pertunjukan. Namun, terdapat masalah yang mendasar dalam iklan televisi yang kini sangat
beragam, mulai dari kurangnya masyarakat memandang iklan sebagai media pendidikan
dalam kaitannya sebagai seni pertunjukan sampai minimnya eksplorasi kreasi pendidik
dalam pembelajaran seni pertunjukan tradisional kepada khalayak dikarenakan kurangnya

eksplorasi akan konsep seni pertunjukan. Pandangan skeptis mengenai seni pertunjukan

2

Desain Parodi Iklan Televisi: Sebuah Sajian Performance dan Pendidikan

yang selalu berupa tarian, musik, drama atau teater, namun tidak pernah sebuah iklan
dipandang sebagai ranah dari seni pertunjukan. Iklan dikelompokkan dalam sebuah ranah
tersendiri, yaitu ranah ekonomi atau komersil, yang menunjukkan bahwa sebuah iklan sarat
dengan unsur promosi atau komersil tanpa melihat unsur seni yang terdapat di dalam iklan
tersebut, dan bahkan unsur seni dalam iklan seakan menjadi roh, jiwa, dari iklan tersebut,
namun tidak ada yang menyadari keberadaannya, atau tidak ada yang menyadari di mana
letak seni dalam iklan. Hal tersebut sama halnya dengan baliho, yang lebih dikenal oleh
sebagian besar masyarakat sebagai media promosi ketimbang salah satu dari produk seni
rupa.

2. Posisi Iklan dalam Seni yang Terbatas
Berbicara mengenai seni, secara tidak sadar pikiran terbang bebas dan turut
memperlihatkan apa yang seharusnya ada dalam seni, antara lain kesenangan, kenikmatan,
imajinasi, kreasi, inovasi, emosi, dan ekspresi. Lalu pada akhirnya hal-hal tersebut-lah yang

akan membawa individunya ke dalam situasi yang menyatakan ‘seni itu bebas’, dan
pernyataan-pernyataan sejenis, yang intinya bahwa tidak ada batas, dan bahkan linieritaspun agak dilarang dalam seni. Seni menuntut pelakunya untuk selalu gelisah yang pada
akhirnya berimbas pada penemuan dan penciptaan karya-karya baru untuk dinikmati.
Dewasa ini, seiring dengan masifnya perkembangan zaman, baik secara langsung
maupun tidak langsung, seni juga ikut mengalami perkembangan. Seni bukan lagi berada
dalam wilayah yang bersifat elitis dan esoteris, namun sudah sebagai siasat untuk
menciptakan

persepsi

kehidupan

sehari-hari.1

Kembali

ke

perkembangan


seni,

perkembangan yang dimaksud bukan hanya pada gaya atau aliran, namun juga pada
pemahaman para pelaku seni mengenai apa yang dimaksud seni itu sendiri, yang pada
kesempatan kali ini difokuskan pada pelaku seni dalam bidang pendidikan atau biasa disebut
dengan guru seni, atau seniman guru. Beberapa kasus yang marak terjadi di Indonesia
adalah bagaimana para guru mengkotak-kotakkan bidang-bidang seni, dan tidak memaksa
dirinya untuk ikut ‘keluar’ dari kenyamanannya dalam kaitannya dengan bidang-bidang seni.
Para guru seakan nyaman dengan apa yang dipelajarinya saat menempuh pendidikan
dahulu. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, konsep-konsep teori yang didapatnya dulu, di
masa kini telah berkembang atas dasar penelitian maupun pengalaman yang menyebabkan
berubahnya sebuah konsep teori. Seperti yang telah dikemukakan pada bahasan
sebelumnya mengenai pengkategorisasian yang terkesan ngawur dan asal-asalan yang
mana hal tersebut justru malah mempersempit esensi seni dalam kehidupan kita. Mari
direnungkan bersama, bagaimana pentingnya seni dalam kehidupan; dimana dalam setiap
1

Lihat Bambang Sugiharto, Untuk Apa Seni?, Bandung: Matahari, 2013, 30-35.

Muchammad Bayu Tejo Sampurno (Universitas Gadjah Mada)


3

detik dalam hidup terdapat ‘seni’ yang mengiringinya. Dalam kata lain, seni sangat penting
keberadaannya dalam hidup kita.
Berbicara mengenai seni pertunjukan, Menurut Soedarsono, seni pertunjukan adalah
seni yang hilang dalam waktu yang hanya bisa kita nikmati apabila seni tersebut sedang
dipertunjukan (Sujarno, 2003:1). Seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu
keadaan dimana seni pertunjukan itu tumbuh dalam lingkungan-lingkungan ethnik yang
berbeda satu sama lain (Sedyawati, 1981:52). Masyarakat kita yang agraris dan tradisional
menemukan seni pertunjukan sebagai wahana ekspresi yang efektif dan sangat fungsional.
Maka, dapat dikatakan bahwa seni pertunjukan waktu itu adalah wahana ekspresi
komunikasi kultur yang tepat dan berguna untuk menjaga keseimbangan, equilibrium
masyarakat (Kayam, 1981:109). Lalu bagaimana dengan seni pertunjukan masa kini? Patut
digarisbawahi dalam pernyataan mengenai seni pertunjukan di atas, terdapat beberapa kata
kunci yang dapat dijadikan pedoman dalam pembahasan ini, yaitu ‘wahana ekspresi’,
‘fungsional’, dan ‘ekspresi komunikasi’. Seni pertunjukan apapun bentuknya merupakan
media komunikasi, yang memiliki progresivitas dalam menciptakan ragam dan format sajian
untuk


mendekatkan

diri

dan

berkomunikasi

dengan

masyarakat

pendukungnya.

Progresivitas pertunjukan sebagai media komunikasi dapat diamati dengan ‘pelebaran
wilayah pertunjukan’ yang sebelumnya telah dirinci secara antropologis, di antaranya oleh
Victor Turner (The Anthropology of Performance,1986), Willa Apple dan Richard Schechner
(By Mean of Performance, 1990), dan Richard Schechner (Performance Theory, 1988). Dari
ketiga kajian tersebut, pertunjukan pada prinsipnya dibagi menjadi empat kategori, yakni; (1)
ritual (hal-hal yang menyangkut upacara keagamaan); (2) performance arts (seni

pertunjukan); (3) event of culture (hal-hal yang menyangkut peristiwa budaya), dan; (4)
entertainment (dunia hiburan). Di dalam kajian masa kini, dapat kita lihat bahwa pertunjukan
dapat mencerminkan dari salah satu kategori di atas. Seni pertunjukan merupakan seni
plastis atau seni kemasan dengan bobot estetik yang cukup diperhitungkan dan memiliki
multidimensi seni, misalnya teater atau drama, tari, musik , seni rupa, sastra dan
sebagainya. Lalu sedikit lebih mengarah pada kaitan antara seni pertunjukan dan iklan;
selanjutnya seni pertunjukan yang menghibur (to entertain), dengan sifatnya yang
menghibur, seni pertunjukan berkembang pesat dengan orientasinya yang lebih pada profit,
namun juga disajikan secara cuma-cuma sebagai pelengkap kegiatan yang sifatnya lebih
pada market-oriented pada masyarakat kota (industri), dan leisure time pada masyarakat
desa, maka dirasa tidak ada perbedaan antara iklan dan seni pertunjukan, keduanya dapat
berjalan bersamaan sebagai sebuah kesatuan. Ruang dan waktu bentuk pertunjukan seperti
ini tidak terbatas. Oleh karenanya, media televisi sangat melirik bentuk pertunjukan yang
bersifat hiburan, ringan, dan marketable, dalam bentuk iklan.

4

Desain Parodi Iklan Televisi: Sebuah Sajian Performance dan Pendidikan

Dunia kita saat ini secara tidak sadar telah dikepung oleh media yang hadir dari

berbagai sisi dan penjuru sudut. Setiap langkah kita diiringi oleh ekspresi media yang lahir
seiring dengan kemajuan teknologi dan kemajuan pemikiran sosok-sosok yang menjadi
pelaku di dalamnya. Dunia objektif yang dihadapi manusia itu tidak terjangkau, tidak terlihat,
dan tak terbayangkan. Oleh karenanya manusia menciptakan sendiri dunia di pikirannya
dalam upaya memahami dunia objektif. Karena itu pula perilaku manusia dalam sebuah
media tidak didasarkan pada kenyataan yang sesungguhnya, melainkan berdasarkan pada
kenyataan ciptaannya sendiri (Rivers, dkk., 2004:29). Gambaran tentang lingkungan semu
adalah gambaran isi media yang tak berbeda dengan bentuk-bentuk pertunjukan sebagai
ekspresi manusia saat ini, yang bermaksud menggambarkan dunia objektif. Berkaitan
dengan hal tersebut, dalam kajian media dan seni pertunjukan akan dikhususkan menyoroti
media televisi yang secara umum sebenarnya menayangkan mata acara yang erat kaitannya
dengan pertunjukan. Sebagaimana pertunjukan menurut Bill Parcells dalam performance
studies, yang dicatat oleh Schechner mengidentifikasi adanya delapan macam bentuk
pertunjukan. Bentuk-bentuk pertunjukan tersebut meliputi; pertunjukan dalam kehidupan
sehari-hari (everyday life), seni, olah raga dan hiburan populer, bisnis (kerja), teknologi,
seks, ritual (sakral dan sekuler), dan drama (teater) (Schechner, 2002: 25). Kedelapan jenis
pertunjukan tersebut merupakan isi media televisi kita saat ini yang dikemas oleh pelaku
media sesuai dengan interpretasi mereka.
Antara media televisi dan seni pertunjukan memang terjadi perbedaan wilayah. Akan
tetapi secara umum keduanya menjadi suatu “pertunjukan” yang memiliki hakekat sama,

yaitu “ditonton oleh banyak orang”. Dengan ditonton dan diapresiasi oleh masyarakat,
mereka menjadi suatu bentuk sumber komunikasi yang memberikan pesan bagi khalayak
masing-masing. Hal inilah yang menyebabkan pertautan antara media dan seni pertunjukan
menjadi erat kaitannya. Televisi adalah sumber daya terbuka bagi semua orang dalam
masyarakat industri dan semakin mengalami pertumbuhan di negara-negara berkembang.
Televisi juga merupakan sumber bagi pengetahuan tentang dunia, dan berdampak pada
ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, di mana kita
merepresentasikan dunia, realitas yang dijalani, dan secara imajiner merekonstruksi
kehidupan

secara

keseluruhan.2

Permasalahannya

muncul

ketika

media

televisi

dikategorikan sebagai pembujuk seperti yang dikatakan oleh Drew Pearson, bahwa “selain
reporter, masih banyak pembohong lain dalam media televisi yang memiliki maksud-maksud
untuk membujuk khalayak” (Rivers, dkk., 2004: 231). Bujukan media televisi adalah bujukan
semu yang tidak setiap orang dapat menjangkaunya, baik dari sisi ekonomi, sosial, politik,
2

Periksa Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, terj. Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2011, 275-276.
Muchammad Bayu Tejo Sampurno (Universitas Gadjah Mada)

5

maupun kultur. Bujukan-bujukan tersebut secara keseluruhan menawarkan gaya hidup ideal
seseorang untuk dapat dikatakan sebagai manusia kekinian. Dunia yang semu (psedou
world) dan bukan pula hayalan yang ditawarkan televisi menjadi elemen-elemen simbolik
dari suatu masyarakat beragam kelas

yang terangkum dalam pikiran media untuk

mempengaruhi masyarakat (pemirsa). Sementara seni pertunjukan yang digarap oleh sosok
seniman dengan media panggung pertunjukan lebih menawarkan nilai-nilai yang diyakini
oleh suatu kelompok masyarakat yang memandang fenomena-fenomena sebagai sesuatu
yang harus dijawab dalam sebuah karya pertunjukan. Ketika kedua bentuk disatukan, media
televisi dan seni pertunjukan, mereka mejadi saling membutuhkan. Media televisi
membutuhkan pertunjukan sebagai isi dari apa yang ingin disampaikan kepada masyarakat
dan pertunjukan membutuhkan media televisi sebagai media untuk menyebarluaskan pesanpesan yang ada dalam pertunjukan tersebut. Kepentingan yang sama dimiliki oleh media
dan seni pertunjukan dalam memberikan pesan. Dengan pengalaman dan pikiran para
pelaku media, jenis-jenis pertunjukan direkonstruksi untuk turut membangun kehidupan
berkaitan dengan pikiran-pikiran sosial dan budaya masyarakatnya.
Terdapat banyak ragam pandangan yang didasarkan pengalaman dan pikiran sosok
manusia yang dituangkan dalam media saat ini. Pengalaman dan pikiran individu manusia
yang dituangkan dalam media itu sekarang dianggap sebagai kreativitas manusia. Ragam
kreativitas selanjutnya merupakan bagian dari budaya masyarakat yang oleh media
disebarluaskan

menjadi

suatu

bentuk

pikiran-pikiran

dengan

makna

baru

yang

kepentingannya untuk mempengaruhi atau memberikan informasi dari apa yang menjadi
gagasan kreativitasnya. Sekalipun antara media televisi dan seni pertunjukan memiliki
hakekat yang sama, keduanya berbeda orientasi secara ideal. Idealisasi seni pertunjukan
dapat menawarkan makna atas nilai-nilai kultural yang menjadi bagian penting hidup suatu
masyarakat atas hubungan yang tidak berdasarkan untung rugi secara finansial. Berbeda
halnya dengan media televisi kita saat ini yang lebih berorientasi pada prinsip-prinsip
libertarian. Prinsip ini di antaranya menjadikan media sebagai hiburan dan barang dagangan.
Seperti ditengarai oleh Pauline Kael (dalam Rivers, 2004: 181), bahwa televisi sering
menampilkan acara promosi dengan para selebritis untuk menjual apa saja dan itupun masih
diselingi dengan iklan-iklan lainnya.
Berdasarkan paparan di atas, kebanyakan dari kita menganggap iklan masuk dalam
ranah yang terpisah dari seni, yaitu dalam ranah komersil. Namun, jika ditelaah lagi, iklan
sarat akan unsur-unsur seni terutama seni pertunjukan dalam penyampaiannya kepada
penonton. Juga kaitannya dengan fungsi seni yang salah satunya adalah sebagai media
berkomunikasi atau penyampaian pesan, iklan televisi telah dirasa mampu dengan baik
mengemban tugas tersebut. Maka akan kita sebut berikutnya, iklan televisi merupakan salah

6

Desain Parodi Iklan Televisi: Sebuah Sajian Performance dan Pendidikan

satu sajian seni pertunjukan yang kurang disadari keberadaannya dalam seni, yang
sebenarnya justru memiliki kompleksitas dalam fungsi. Lagi, mengenai iklan sebagai seni,
sering dibicarakan mengenai fungsi seni sebagai media ekspresi. Di dalam iklan tentu
terdapat aspek tersebut yang terletak pada saat artis mengekspresikan dirinya dalam peran
yang dijalaninya dalam sebuah drama atau cerita dalam iklan dengan pesan penyampaian
informasi mengenai suatu produk. Tidak jarang kita temui bentuk iklan yang malah tidak
menampilkan produknya secara gamblang, namun tersirat. Komunikasi dalam iklan juga
tersampaikan sama halnya dengan komunikasi antara seniman dan penonton pada karya
seni lain seperti seni lukis, musik, tari, misalnya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka iklan
sangat dapat dikatakan sebagai seni pertunjukan, paling tidak terdapat unsur-unsur seni
pertunjukan di dalamnya.

3. Desain Parodi Iklan Televisi: Mengapa?
Bangsa Indonesia identik dengan bangsa yang kaya akan budaya, dimana jika ditarik
sebuah garis lurus, maka kebudayaan erat halnya dengan kesenian, dan kesenian erat
halnya dengan kesenangan, serta kesenangan erat halnya dengan kegembiraan, kelucuan.
Maka dari itu tidak dapat dipungkiri lagi bahwasanya masyarakat lebih ‘menerima’ dengan
sebuah penyampaian atau suatu hal yang didalamnya terdapat unsur humor. Humor dalam
istilah akademis disebut dengan parodi, karena di dalam parodi terdapat unsur humor yang
kompleks dimana terdapat pula unsur lain yang seakan ‘memperindah’ tampilan parodi
tersebut. Di dalam parodi terdapat ruang kritik untuk mengungkapkan satu ketidakpuasan
atau bisa juga sekedar ungkapan rasa humor belaka. Konsep pendekatan parodi mampu
membuat iklan lebih menarik dimana aspek humor yang menonjol membuat penonton lebih
mengingatnya (Shimp, 2003:536). Dengan mengangkat hal-hal sosial atau budaya dan lain
sebagainya yang ada di sekitar masyarakat inilah yang membuat konsumen tertarik untuk
melihat iklan parodial dari awal sampai akhir yang kemudian akan memberikan awareness
kepada para konsumen. Daya tarik parodi yang menghibur mampu mempengaruhi emosi
penonton dan menempatkannya sebagai konsumen dalam kerangka berpikir yang
menguntungkan produsen. Riset menunjukkan bahwa cita-cita visual parodi yang
disuguhkan melalui televisi melompati proses logika otak dan langsung disampaikan ke
pusat emosi pada otak dan menciptakan dampak emosi yang kuat (Monle, dkk., 2004:267).

Muchammad Bayu Tejo Sampurno (Universitas Gadjah Mada)

7

Gambar 1. Kedudukan desain parodi dalam sebuah pertunjukan (sumber: penulis, 2014)
Seni pertunjukan dalam desain parodi iklan merupakan penghadiran karya seni dapat
disebut sebagai representasi, karena dalam prosesnya seniman bersinggungan dengan
kenyataan

objektif

di

Representasionalisme

luar

adalah

dirinya

atau

pandangan

kenyataan

bahwa

seni

dalam

dirinya

merupakan

sendiri3.

suatu

cara

merepresentasikan sesuatu. Di dalam iklan terdapat simbol-simbol yang dapat dikaji makna
yang terkandung di dalamnya, hal tersebut juga terdapat pada seni pertunjukan, maka
semakin ditekankan bahwa iklan merupakan sebuah sajian seni pertunjukan. Berbicara
mengenai simbol, dalam bahasa lain simbol-simbol yang berinteraksi itu sebagai sebuah
pertunjukan

dapat

disebut

sebagai

teks

yang

dikomposisikan

dalam

pertunjukan

(composition in performance). Desain dalam parodi iklan merupakan sebuah simulasi yang
disampaikan melalui simbol-simbol yang didalamnya terdapat hiperrealitas, sebuah realitas
yang dilebih-lebihkan. Hiperrealitas adalah konsep yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard,
sebuah konsep dimana realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari
produksi dan permainan tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya, dimana hiperrealitas
menciptakan suatu kondisi dimana kepalsuan bersatu dengan keaslian, masa lalu berbaur
dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas,
dusta bersenyawa dengan kebenaran.4 Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan
sebagai sebuah simulasi bagi penikmatnya yang disebut dengan simulakrum. Simulasi
adalah suatu proses dimana representasi atas dasar tanda-tanda realitas, dimana tandatanda tersebut justru menggantikan objek itu sendiri, dimana representasi itu menjadi hal
yang lebih penting dibandingkan objek tersebut. Simulasi hadir bukan untuk melukiskan
realitas yang diwakilkannya, tetapi mereka hadir hanya untuk mengacu pada dirinya sendiri
dan melampaui realitas aslinya. Menurut Baudrillard, simulasi tersebut menghasilkan
simulakra, yang tersusun atas serakan citra tanpa realitas. Iklan ini menunjukkan
hiperrealitas bisa digunakan sebagai media kreatif kritik. Hiperrealitas iklan ini menguraikan
3

Periksa Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB, 2000, 76.
Periksa Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
Yogyakarta:Jalasutra, 2003, 49-50;52;65;135.
4

8

Desain Parodi Iklan Televisi: Sebuah Sajian Performance dan Pendidikan

simulasi dari simulakra, dan justru membuktikannya tidak bertentangan dengan plesetan.
Iklan dengan desain parodi menyampaikan komunikasi, ekspresi, dan metode penyampaian
yang

memberikan

kebebasan

kepada

masing-masing

penonton

untuk

menginterpretaikannya, juga membiarkan mereka untuk mengkaji secara detail. Artis yang
berperan dalam parodi iklan tersebut sama halnya dengan seniman seni pertunjukan.
Bahkan, di dalam iklan si artis tersebut dituntut bekerja kompleks sebagai pekerja seni.
Telah dijabarkan di atas mengenai apa yang disampaikan oleh iklan, atau apa yang
terkandung dalam iklan televisi. Di dalam bagian tersebut, lebih baiknya kita mencoba
berpikir zig-zag, non-linier. Paradigma akademik di dunia pendidikan nasional dibuat linier;
linieritas jadi pijakan sekaligus sebagai filter penyaring terhadap segala sesuatu yang nonlinier, padahal natura kreativitas di bidang apapun selalu bergerak zig-zag dimana kreativitas
hanya dapat terjadi ketika ada dinamika non-linier, mengkombinasikannya, mengaitkan
dengan hal berbeda, menginterpretai dengan persepsi yang berdeda dengan orang
kebanyakan, maka jadilah sesuatu hal yang baru.5 Karena sebagai guru seni, seuai dengan
salah satu aspek yang ada dalam seni yaitu kreatif, maka guru seni pun harus kreatif
terutama dengan hal yang berkaitan dengan tugasnya sebagai pentransfer ilmu. Dengan
berpikir demikian, kita sebagai penikmat, penonton, dan tentunya guru mampu mendapatkan
interpretasi berbeda dari suatu objek yang dilihat, dan khusus bagi guru, diharapkan mampu
berpikir out of the box dalam kaitannya sebagai sumber primer dari kegiatan transfer
pengetahuan. Seperti yang telah dipaparkan pada awal bahasan, biasanya sumber belajar
utama bagi siswa adalah buku. Tanpa kita sadari, sebenarnya di era modern saat ini
teknologi berada pada posisi teratas. Oleh karenanya tidak ada salahnya apabila guru
mencoba menggunakan televisi sebagai salah satu teknologi sebagai sumber belajar siswa.
Pemikiran berbeda ditunjukkan dengan menjadikan iklan yang notabene sering disebut oleh
kebanyakan orang sebagai media komersil, untuk dijadikan sumber belajar bagi peserta
didik, terutama dalam kaitannya dengan pembelajaran seni pertunjukan. Hal tersebut dapat
dilakukan karena banyaknya unsur seni pertunjukan yang ada dalam iklan terutama iklan
dengan penyampaian parodial. Dengan belajar pada iklan parodi dan juga desain parodi
iklannya, seorang siswa pertunjukan akan dapat memahami secara kompleks apa arti peran
dalam sebuah ekspresi sampai komunikasi. Di dalam iklan parodi, terdapat artis yang harus
mampu menyampaikan pesan secara tersirat. Maka dengan mengamati dan mengkaji
pertunjukan yang disajikan dalam bentuk iklan tersebut siswa dapat memahami bagaimana
artis memainkan perannya dan dapat mengerti bagaimana cara penyampaian pesan dalam
bentuk drama teatrikal berbentuk parodi. Pembelajaran menggunakan media televisi
5

Disampaikan oleh M Dwi Marianto pada “Seminar Nasional Pendidikan Seni – Reorientasi Pendidikan
Seni di Indonesia”, Rabu 15 Oktober 2014 di Universitas Negeri Surabaya.
Muchammad Bayu Tejo Sampurno (Universitas Gadjah Mada)

9

termasuk efektif, karena arti penting televisi yang tidak bisa disempitkan ke dalam makna
tekstual karena pada dasarnya televisi ditempatkan dan dipertahankan di dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari (Barker, 2011:306), sehingga dalam penerimaan oleh penonton
menjadi lebih mudah.

4. Kesimpulan
Seni pertunjukan merupakan media komunikasi masyarakat yang memiliki fungsi lebih
pada penyadaran budaya. Sebagai media komunikasi, seni pertunjukan memberikan
informasi kearifan lokal yang secara lisan masih menjadi budaya kebanyakan masyarakat
pendukungnya. Simbol-simbol yang menjadi alat komunikasi dalam seni pertunjukan sebagai
media komunikasi adalah simbol-simbol yang dapat memberikan pengetahuan atas budaya
lokal berdasarkan kesepakatan masyarakatnya. Demikian halnya jika kita bandingkan antara
media saat ini terutama televisi dengan seni pertunjukan. Perbedaan yang mencolok adalah
isi tampilan dan makna tampilan yang dikemukakan dua media tersebut. Televisi, oleh
karena sifatnya yang sangat berorientasi pada pasar, kapital maka isinya lebih
menyenangkan pemirsanya sebagai sebuah hiburan. Berbeda dengan media seni
pertunjukan, sekalipun menampilkan kesenangan dan hiburan namun tetap memegang nilainilai yang berlaku di masyarakatnya. Pada sisi lain, komunikasi yang dibangun oleh media
televisi adalah komunikasi dalam konteks massa, berbeda dengan seni pertunjukan yang
sering diartikan agak terbatas sebagai media komunikasi dalam konteks publik. Sejalan
dengan itu, seni sebagai media berkomunikasi dan media berekspresi terdapat pula dalam
iklan. Iklan televisi dengan desain parodi memiliki kompeksitas pertunjukan yang pantas
dijadikan media pembelajaran olah peran dalam ranah pendidikan seni pertunjukan masa
kini.

5. Pustaka
Barker, C., 2011, Cultural Studies: Teori dan Praktek, terj. Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Kayam, U., 1981, Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan.
Monle, L., dkk., 2004, Prinsip-prinsip Periklanan dalam Perspektif Global, Jakarta: Prenada.
Piliang, Y. A., 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
Yogyakarta: Jalasutra.
Rivers, W. L., dkk., 2004, Media Massa dan Masyarakat Modern, Terj. Haris Munandar dan
Dudy Priatna, Jakarta: Prenada Media.
Schechner, R., 2002, Performance Studies: An Introduction, New York: Routledge.

10

Desain Parodi Iklan Televisi: Sebuah Sajian Performance dan Pendidikan

Sedyawati, E., 1981, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan.
Shimp, T. A., 2003, Periklanan Promosi, Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu,
Jakarta: Erlangga.
Sugiharto, B., 2013, Untuk Apa Seni?, Bandung: Matahari.
Sujarno, dkk., 2003, Seni Pertunjukan Tradisional (Nilai, Fungsi dan Tantangannya),
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian Dan
Pengembagan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
Sumardjo, J., 2000, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB.
Wibowo, W., 2003, Sihir Iklan: Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Urban
Kosmopolit, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
6. Biodata Penulis
Muchammad Bayu Tejo Sampurno, S.Pd., lahir di Jakarta, 7 Nopember 1992. Lulus Sarjana
Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2013 dengan predikat
cumlaude. Sejak 2010-sekarang bekerja sebagai terapis bagi anak berkebutuhan khusus
menggunakan terapi seni. Saat ini sedang menyelesaikan program master (S2) pada
Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada. Alamat e-mail: m.bayutejo@gmail.com, Hp: 085743300703.

Muchammad Bayu Tejo Sampurno (Universitas Gadjah Mada)

11