KONTRIBUSI ARKEOLOGI PERKOTAAN TERHADAP masalah

KONTRIBUSI ARKEOLOGI PERKOTAAN TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI PERKOTAAN DALAM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN KOTA
Arkeologi Perkotaan adalah sub disiplin ilmu arkeologi yang mengkhususkan diri
pada kajian masa lalu kota-kota dan tempat tinggal manusia jangka panjang yang sering
kali meninggalkan bekas atau catatan masa lalu yang kaya(Grimes,1995:139-145). Secara
pragmatis, pandangan masyarakat terhadap ilmu arkeologi akan selalu berorientasi kepada
masa lalu dan sejarah dengan objek kajian berupa artefak, arca, fossil,dll. Pada
perkembangannya ilmu arkeologi, terutama di eropa telah menjadi ilmu yang berorientasi ke
masa depan yang dipelopori oleh para arkeolog Inggris pada tahun 1919. Paradigma arkeologi
yang berorientasi ke masa depan kebanyakan mengkaji perkotaan atau permukiman manusia,
oleh karena itu maka disebut arkeologi perkotaan(urban archaeology).
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki seseorang atau ahli arkeologi perkotaan.
Mengingat banyaknya situs arkeologi atau cagar budaya(heritage) yang terletak di kawasan
perkotaan Indonesia, maka seharusnya ilmu arkeologi perkotaan menjadi penting dalam
keberlanjutan kota di Indonesia. Pada dasarnya pembangunan dan perencanaan kota di
Indonesia kebanyakan menjadi otoritas bagi para planner dan arsitek perkotaan yang dalam
proses penyusunannya sangat sedikit melibatkan ahli sejarah kota tersebut. Dalam sudut
pandang sosial-kebudayaan, sejarah sebuah kota menjadi penting karena menyangkut identitas
dan jati diri sebuah kota. Wujud nyata berbagai peristiwa sejarah perkotaan biasanya diwakili
oleh sebaran bangunan tua(bangunan cagar budaya) yang berada di kawasan lama sebuah

kota. Paradigma arkeolog perkotaan secara pragmatis akan selalu berupaya melestarikan
berbagai bangunan tua tersebut demi menjaga identitas dan jati diri dari sebuah kota. Hal ini
akan bertentangan dengan paradigma para planner dan arsitek dalam proses pembangunan dan
perencanaan sebuah kota yang selalu berpandangan visioner dan mengarah pada modernisasi
dengan prinsip efisiensi dalam setiap aspek perkotaanya.
Adanya fenomena tersebut dalam proses perencanaan dan pembangunan perkotaan
di Indonesia, dan tidak adanya ahli arkeologi perkotaan maka diperlukan sinergi antara ahli
sejarah sosial-budaya, dan arkeologi dengan para planner dan arsitek yang mempunyai
paradigma yang berbeda. Sinergi yang baik antara kedua pihak tersebut menjadi penting
untuk meminimalisasi terjadinya konflik kepentingan dan sebagai upaya menjaga identitas
dan jati diri setiap kota di Indonesia. Pentingnya aspek historis dalam perkembangan
perkotaan dikarenakan cikal bakal sebuah “kota” adalah permukiman. Singkat kata, Lewis
Mumford melalui bukunya The City in History(1961) mengatakan bahwa “kota” adalah
perubahan dari gua ke perkempungan. Hal tersebut sangat relevan dengan kajian arkeologi,
dimana manusia purba(prasejarah) selalu hidup nomaden(berpindah-pindah) dan setelah
mengenal teknologi alat batu(zaman neolitikum) manusia mulai menetap secara komunal
yang membentuk perkampungan.
Dalam analisis lokasional, perkempangun awal dalam peradaban manusia selalu terletak
di daerah yang subur dan mempunyai persediaan air yang cukup(pinggiran sungai). Dalam
permukiman awal, manusia masih dominan dengan kegiatan pertaniannya sehingga mumford

berpendapat bahwa daerah perkotaan yang kemudian terbentuk dan daerah desa
pedalamannya merupakan bagian dari satu kesatuan yang penting bagi kelangsungan hidup
manusia dan binatang yang pada nantinya akan mendorong produksi pertanian(Gallion, 1986).
Pada perkembangannya, seiring majunya teknologi alat batu(neolitikhum) yang beralih menjadi
teknologi logam(bronze age) yang pada akhirnya akan mengarah pada teknologi

besi(zaman besi) membuat perkampungan menjadi semakin padat oleh penduduk dan
terjadilah “proses pengkotaan”.
Adanya proses kronologi munculnya kota yang dipahami arkeolog, dan konsepkonsep visioner perkotaan yang dipahami oleh planner atau arsitek maka seharusnya kedua
ahli ilmu tersebut layaknya saling bersinergi untuk membangun perkotaan di Indonesia.
Tidak selayaknya dewasa ini, ilmu sejarah dan sosial hanya dipandang sebagai pelengkap
dalam bagian latar belakang sebuah laporan pertanggung jawaban ataupun dokumen
perencanaan sebuah kota semata. Menurut pengalaman penulis, di Indonesia masih terjadi
tumpang tindih kepentingan dalam berbagai proyek penyusunan perencanaan
pembangunan kota dan pihak ilmu sosial-budaya cenderung dianggap sebagai pelengkap
dalam sebuah dokumen saja. Melihat fenomena tersebut, maka pemahaman arkeologi dan
sejarah perkotaan menjadi penting agar jati diri setiap kota di Indonesia tidak hilang karena
modernisasi. Dalam hal ini penulis akan membahas kontribusi arkeologi perkotaan bagi
pertumbuhan ekonomi perkotaan khususnya di Indonesia.
Dalam konteks ekonomi, pengembangan ekonomi diversifikasi ekonomi yang tidak

terlalu bergantung pada produksi makanan, maka dapat memungkinkan untuk menarik
penduduk ke dalam bursa tenaga kerja yang telah tersedia lapangan kerja dalam beragam
bentuk. Fenomena tersebut mengubah perkampungan menjadi “kota” yang menuntut dasardasar ekonomi dan politik yang kompleks. Menurut Catanese(1988) perencana kota
biasanya akan menghadapi kondisi fisik, ekonomi, sosial, dan politik yang sudah
membudaya sejak lama dan oleh karena itu maka planner seharusnya tetap memelihara
segala sesuatu yang baik tentang sebuah kota, sementara berupaya merencanakan
pertumbuhan di dalamnya. Pada dasarnya tipologi kota di Indonesia terdiri dari Kota
Tradisional, Kota dagang pra-kolonial, dan Kota Modern1. Berdasarkan tipologi tersebut,
perkembangan kota tradisional di Indonesia menunjukkan evolusi dari kota tradisional
menjadi kota kolonial terutama dalam hal kebudayaan dan tata bangunannya. Dalam
perspektif hukum pranata perencanaan, perkembangan kota di Indonesia dibagi menjadi
kota masa VOC; kota masa awal urbanisasi; kota masa perbaikan lingkungan; kota masa
revolusi; dan kota masa pembangunan berencana(1960-1970; 1970-1985; 1985-sekarang).
Melihat kronologi perkembangan kota di Indonesia yang sedemikian rupa, maka
dapat dikatakan perencanaan dan pembangunan kota yang melibatkan aspek historis
perkotaan menjadi penting bagi perkotaan di Indonesia. Kontribusi nyata aspek historis
perkotaan, khususnya arkeologi perkotaan yang telah terjadi saat ini di Indonesia adalah
melalui kegiatan pariwisata. Menurut penulis, dalam hal ini kegiatan pariwisata adalah
sebagai alat prasarana(tools) dengan objeknya adalah sebaran situs budaya dan
arkeologi perkotaan yang memberikan cerita tersendiri akan sebuah kota terhadap

para wisatawan. Kegiatan pariwisata sejarah perkotaan tersebut saat ini sudah sangat
berkembang di eropa khususnya United Kingdom, sementara untuk di Indonesia belum
menjadi suatu perhatian khusus. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki banyak wisata alam
dan secara ekonomi biaya perawatan bangunan bersejarah memerlukan biaya perawatan
yang cukup mahal, sehingga lebih praktis dan menguntungkan apabila mengembangkan
wisata alam semata.
Dalam New Urban Agenda terbaru, nampaknya kegiatan pariwisata menjadi basis
tumpuan kelangsungan perekonomian kota pada saat ini. Pemerintah Indonesia dalam hal ini
segera melakukan kerjasama dengan Bekraf dan berbagai kajian KSPN(Kawasan Strategis
1 Kota Tradisional adalah kota yang terbentuk dan dibangun oleh penguasa saat mendirikan pusat
kerajaan(Yogyakarta dan Surakarta).

Pariwisata Nasional) dengan Kemenpar dan Kemendikbud untuk berbagai objek wisata.
Dalam perspektif pariwisata kajian KSPN juga dilakukan dalam kawasan perkotaan di
Indonesia, tetapi dalam hal ini tidak semua kota menjadi kajian KSPN. Hanya kota-kota
tradisional yang kental budaya(Surakarta, Yogyakarta, Cirebon) saja yang menjadi kajian
KSPN, sehingga dala kota-kota ini kegiatan pariwisata sejarah sangat memungkinkan
dilakukan. Secara konteks ekonomi, kota-kota di Indonesia yang masih memiliki keraton
dengan kebudayaan tradisionalnya yang kuat dapat dikatakan sebagai kota dengan
keunggulan komparatif. Wisatawan domestik ataupun mancanegara secara perilakuekonomi, akan lebih memilih mengunjungi kota-kota tersebut apabila mereka ingin berwisata

sejarah dan kebudayaan di Indonesia(preference).
Penulis dalam hal ini akan memaparkan kasus mengenai pariwisata sebagai
kontribusi dan peranan arkeologi perkotaan terhadap pertumbuhan perekonomian Kota
Surakarta. Berikut adalah jumlah objek wisata dan sarana perhotelan di Kota Surakarta,
beserta jumlah kunjungan wisatawan hingga tahun 2009:

Dalam perspektif ekonomi perkotaan, Kota Surakarta memiliki keunggulan tersendiri sebagai
sebuah kota tradisional yang masih mempertahankan kebudayaan. Kondisi tersebut, tidak
berlaku di semua kota di Indonesia. Kota-kota besar di Indonesia, khususnya ibu kota provinsi

dan kabupaten akan selalu mengarahkan pembangunannnya secara visioner. Hal inilah
yang secara langsung mengancam keberadaan situs dan kawasan heritage dalam kota
tersebut yang pada umumnya tidak terlalu ditekankan fungsi keberadaannya, sehingga nilai
ekonomis dan kegunaan dari bangunan tersebut yang lebih ditekankan. Khusus untuk Kota
Surakarta, kontribusi arkeologi perkotaan melalui upaya pelestarian bangunan sejarah dan
komunitas sejarah kota(Soerakarta Heritage Society) nampaknya telah berperan besar
dalam pertumbuhan ekonomi Kota Surakarta walaupun tidak secara signifikan. Berikut
adalah peta pertumbuhan ekonomi Kota Surakarta dan perbandingan pertumbuhan ekonomi
Kota Surakarta terhadap pertumbuhan ekonomi nasional:


Dari paparan peta diatas, pertumbuhan ekonomi tertinggi di Surakarta terdapat di wilayah
barat kota, sedangkan kawasan heritage perkotaannya kebanyakan berada di pusat kota. Dalam
perspektif ekonomi, penulis mengacu pada teori bid rent yang dimana sangat menekankan nilai
ekonomi suatu lahan. Teori bid rent atau penawaran sewa pada intinya adalah kemampuan
seseorang atau perusahaan untuk membayar sewa lahan paling tinggi yang biasanya terletak di
pusat kota. Adanya berbagai bangunan bersejarah yang mempunyai nilai penting di pusat kota,
dan perilaku perusahaan yang berprinsip pada teori bid-rent dalam

menawar lahan di pusat perkotaan secara langsung akan mengancam alih fungsi bangunan
dan lahan yang membahayakan bagi keberlangsungan bangunan bersejarah itu sendiri.
Adanya perilaku perekonomian perkotaan yang membahayakan keberlangsungan
bangunan bersejarah sebuah kota tersebut, maka diperlukan sinergi antara ahli arkeologi
sejarah kota dengan ahli perencanaan kota. Hal inilah yang menurut penulis menjadi nilai
penting dan kontribusi ilmu arkeologi perkotaan dalam perencanaan pembangunan kota di
Indonesia, para arkeolog diharapkan mampu memberi pandangan dalam segi sosial-budaya
yang menjadi penting bagi identitas perkotaan. Pandangan arkeologi perkotaan yang
dominan dengan pola pikir sosial-budaya jika berhasil dipadukan dengan pola pikir visionerteknis para planner dan arsitek, pada nantinya akan menghasilkan sebuah perencanaan
pembangunan perkotaan yang seimbang dalam setiap aspek pembangunan teknis
dan sosial budayanya. Hal inilah yang menurut penulis menjadi point penting dalam
rangka mengurangi Indeks Gini(ketimpangan masyarakat) dan menaikkan angka IPM

negara Indonesia.
Dalam konteks kasus perkotaan Kota Surakarta, secara kelembagaan dan
pembiayaan tampaknya seluruh bangunan cagar budaya telah ditetapkan secara hukum dan
telah jelas kepemilikan lahannya. Kondisi seperti inilah yang mendukung perencanaan
pembangunan kota berbasis pariwisata sejarah perkotaan. Adanya sinergi pemkot yang
sadar akan pentingnya keberlangsungan bangunan cagar budaya di perkotaan, dan
penetapan hukum bangunan secara teknis akan sangat membantu para arkeolog dalam
melindungi berbagai bangunan dan kawasan bersejarah dari ancaman modernisasi. Hal
inilah yang menurut penulis menjadi nilai tambah peran arkeolog jika disertakan dalam
perencanaan pembangunan yang menjadi otoritas para planner perkotaan. Pandanngan
planner yang beroientasi pada modernisasi dan efisiensi setiap aspek perkotaan tanpa
memperhartikan filsofi bangunan atau sebuah kota dapat diseimbangkan oleh pemikiran
arkeolog perkotaan, sehingga pembangunan dan perencanaan sebuah kota dapat
berlangsung secara seimbang dalam setiap aspeknya.

DAFTAR PUSTAKA:
Baugher, Sherene dkk, 2017. Urban Archaeology, Municipal Government and Local Planning.
United Kingdom: Springer.

Catenese, A.J., dan Snyder,J.C., 1988. Urban Planning. New York: McGraw Hill.

Gallion, A.B. dan Eisner, Simon, 1992. Pengantar Perancangan Kota: Desain dan
Perencanaan Kota. Terjemahan Sussongko.Jakarta: Erlangga.
McCann Philip. 2013. Modern Urban and Regional Economics. United Kingdom: Oxford
University Press.
O’Sullivan, Arthur. 2012. Urban Economics Eight Edition. United States of America: Mc Graw
Hill.