ASUPAN ZAT GIZI, PELAKSANAAN PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN (PMT), SERTA PERUBAHAN BERAT BADAN PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KECAMATAN MAKASSAR JAKARTA TIMUR TAHUN 2014. (STUDI KASUS)

TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KECAMATAN MAKASSAR JAKARTA TIMUR TAHUN 2014.

  Program Studi D3 Gizi Fakultas Kesehatan Universitas MH. Thamrin Alamat korespondensi: Prodi D3 Gizi Fakultas Kesehatan Universitas MH. Thamrin, Jln. Raya Pondok Gede No. 23

  

ASUPAN ZAT GIZI, PELAKSANAAN PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN

(PMT), SERTA PERUBAHAN BERAT BADAN PADA PASIEN

  

(STUDI KASUS)

Anastasya 1 , Ratih Agustin Prikhatina 2 1,2

  • – 25 Kramat Jati Jakarta Timur 13550. Telp: 085778400890, email:

  

ABSTRAK

  Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium

  

tuberculosis ). Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran karakteristik, asupan zat gizi (energi, protein,

  lemak, karbohidrat, dan zinc), dan pelaksanaan Pemberian Makanan Tambahan (PMT), serta perubahan berat badan pada pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kecamatan Makassar Jakarta Timur pada tahun 2014. Penelitian dilakukan pada pasien Tuberkulosis Paru (TB Paru) di Puskesmas Kecamatan Makassar Jakarta Timur . Rancangan penelitian ini menggunakan cross-sectional dan bersifat deskriptif analitik. Sampel yang diambil yaitu dengan teknik

  

Purposive Sampling dengan jumlah sampel sebanyak 6 orang. Studi kasus ini disusun dengan metode NCP (Nutrition

  Kata kunci : Asupan Zat Gizi; PMT ; TB Paru PENDAHULUAN

  Tuberkulosis Paru (TB Paru) menempati ranking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Sebagian besar kematian terjadi di negara berkembang yaitu sebesar 98% dan kematian yang muncul terjadi di Asia (Sudoyo, 2009). Kasus tuberkulosis paru ini memiliki prevalesi sebesar 95%. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus

  • – kasus tuberkulosis paru yang baru. Menurut data yang ada di Puskesmas Kecamatan Makassar yaitu angka penjaringan suspek TB Paru pada tahun 2013 sebanyak 340 kasus dengan jumlah pasien TB Paru BTA Positif sebanyak 52 kasus (15,24%) dan proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara semua Pasien TB Paru yang tercatat atau diobati adalah sebesar 57,63% .
  • – rata hasil perhitungan IMT pasien tuberkulosis paru pada saat sebelum masuk rumah sakit adalah 14,7 yang berarti pasien mengalami kekurangan berat badan tingkat berat.
  • – 54 tahun sebesar 147.061 kasus. Pada wanita, prevalensi tuberkulosis paru lebih rendah dan peningkatannya kurang tajam dibandingkan dengan pria. Hal ini disebabkan karena prevalensi pada wanita mencapai maksimum pada usia 40 – 50 tahun dan kemudian berkurang. Pada pria, prevalensinya terus meningkat sampai usia 60 tahun selain itu, besarnya prevalensi tuberkulosis paru pada laki – laki dikarenakan laki – laki lebih banyak yang merokok dibandingkan wanita (Crofton, 2002).

  Banyak faktor yang dapat mendorong terjadinya TB Paru. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2010), penderita tuberkulosis paru paling banyak terdapat pada kelompok usia produktif, yaitu umur 15

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oktarina yang dilakukan pada tahun 2004 di RSUP Persahabatan, status gizi pasien yang masuk rumah sakit dengan diagnosa tuberkulosis paru mengalami kekurangan berat badan tingkat berat. Hal ini ditandai dengan rata

  Berdasarkan data asupan energi pasien tuberkulosis paru menunjukkan bahwa terdapat 47,05% yang memiliki asupan energi baik (asupan ≥80%) dan 52,95 % memiliki asupan energi kurang (asupan <80%).

  Sedangkan sebagian besar asupan protein pasien tuberkulosis paru terdapat 88,23% memiliki asupan p rotein baik (asupan ≥80%) dan 11, 76% memiliki asupan protein kurang ( asupan <80%) (Rini,2008).

  Berdasarkan data asupan energi pasien tuberkulosis paru menunjukkan bahwa terdapat 47,05% yang memiliki asupan energi baik (asupan ≥80%) dan 52,95 % memiliki asupan energi kurang (asupan <80%).

  Sedangkan sebagian besar asupan protein pasien tuberkulosis paru terdapat 88,23% memiliki asupan protein baik (asupan ≥80%) dan 11, 76% memiliki asupan protein kurang ( asupan <80%) (Rini,2008).

  Care Process). Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa asupan zat gizi responden TB paru yaitu asupan energi kurang, asupan protein kurang, asupan lemak baik, asupan karbohidrat kurang, dan asupan zinc kurang. Pelaksanaan Pemberian Makanan Tambahan berupa susu bubuk full cream yang diberikan kepada responden kurang efektif dan efisien karena dengan jumlah yang diberikan tidak dapat meningkatkan asupan zat gizi terutama asupan protein dan zinc. Disarankan untuk petugas di Puskesmas dapat merujuk pasien TB Paru ke Poli Gizi agar pasien mendapatkan konseling gizi sehingga asupan zat gizi pasien meningkat.

  • – anak. Berdasarkan informasi tersebut maka peneliti ingin mengetahui gambaran karakteristik, asupan zat gizi (energi, protein, lemak, karbohidrat, dan zinc), dan pelaksanaan Pemberian Makanan Tambahan (PMT), serta perubahan berat badan pada pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kecamatan Makassar Jakarta Timur.

  Makanan tambahan adalah makanan yang kebutuhan akan zat

  Os tinggal di lingkungan yang padat penduduk, di sebuah rumah kontrakan dengan fentilasi udara dan penerangan yang kurang sehingga keadaan rumah menjadi lembab.

  Pada penelitian ini dilakukan pada 6 kasus pasien TB Paru dan semua berjenis kelamin laki-laki. Kasus pertama yaitu Os berusia 33 tahun dengan pendidikan SD,bekerja sebagai pegawai sekolah dengan pendapatan ≥ 2.200.000. Sebelumnya memiliki riwayat sejak usia 11 tahun dan berhenti merokok sejak didiagnosa TB Paru.

  Analisis univariat adalah analisa karakteristik tiap variable untuk melihat frekuensi dan persentase dari variabel dependen, terdiri atas analisa untuk data kategorik dan numerik. Data yang didapat akan disusun dengan menggunakan metode NCP (Nutrition Care Process).

  Juni 2014. Penelitian ini memiliki kriteria inklusi yaitu berusia 18 – 65 tahun, penderita Tuberkulosis Paru tidak mempunyai penyakit penyerta yang mungkin mempengaruhi status gizi, berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium memiliki sputum BTA positif dan negatif dan bersedia diwawancara. Sedangkan kriteria ekslusi dapat dilihat saat pengumpulan data antara lain mengalami kemunduran daya ingat, mengalami kesulitan berkomunikasi dan sedang sakit parah, sehingga dapat menghambat jalannya penelitian.

  Desain penelitian ini merupakan studi potong lintang (cross sectional) dengan menggunakan data primer. Penelitian dilakukan pada tanggal 3

  METODE

  α2 yang berperan dalam sirkulasi seng di dalam darah. Defisiensi seng menurunkan aksi fagositosis makrofag dan kadar sel T dalam darah. Kadar sel dalam plasma darah menurun saat fase intensif OAT. Kejadian ini dihubungkan dengan penggunaan seng oleh makrofag untuk membunuh Mycobacterium tuberculosis , peningkatan absorbsi seng ke jaringan dan eliminasi seng melalui urin oleh etambutol (Pratomo, 2012).

  Seng beperan dalam sintesis asam nukleta (DNA), deferensiasi limfosit dan potensiasi makrofag. Infeksi TB mengakibatkan redistribusi seng dari plasma ke jaringan akibat penurunan produksi protein makroglobulin-

TINJAUAN PUSTAKA

  • – zat gizinya (Depkes,1977). Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk pasien TB Paru di Puskesmas Kecamatan Makassar diadakan sejak tahun 2006. PMT yang diberikan awalanya berasal dari Lembaga Sosial Amerika World Food Programme yang bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI dan dari Puskesmas Kecamatan Makassar. Namun, sejak tahun 2009 Pemberian Makanan Tambahan hanya berasal dari Puskesmas Kecamatan Makassar saja berupa susu bubuk.

  Pada penderita TB Paru yang mengalami sesak nafas, lemak dapat diberikan lebih tinggi karena lemak tidak akan menaikan kadar CO 2 dalam darah. Jika penderita TB Paru tidak mengalami sesak nafas, lemak diberikan sedang yaitu 20 – 25% dari total kebutuhan energi (Almatsier, 2009). Pada penderita tuberkulosis paru asupan karbohidrat rendah, hal ini dikarenakan umumnya penderita tuberkulosis paru mengalami sesak nafas. Jika asupan karbohidrat tinggi, maka kadar CO 2 dalam darah akan meningkat sehingga penderita tuberkulosis paru akan mengalami sesak nafas yang bertambah parah.

  Pada pasien tuberkulosis paru asupan energi harus diperhatikan, terutama pada pasien yang mengalami kekurangan berat badan. Pasien tuberkulosis paru harus mendapatkan asupan energi yang tinggi yaitu 35 – 40 kkal per kilogram berat badan ideal. Asupan energi ini digunakan untuk mencapai berat badan ideal pada pasian tuberkulosis paru (Saskia, 2002). Pada pasien tuberkulosis paru asupan protein yang tinggi sangat diperlukan untuk menggantikan sel

  Selain status gizi, kebiasaan merokok juga memiliki resiko 2,3 kali terkena tuberkulosis. Hal ini dikarenakan merokok dapat meningkatkan resiko infeksi melalui mekanismenya merubah struktur saluran pernafasan dan menurunkan respon imun tubuh seseorang (Crofton,2002).

  Kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan dan daya tahan tubuh serta respon imunologik terhadap penyakit. Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara status gizi dan kejadian tuberkulosis paru. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prabu (2004) menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita tuberkulosis paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih.

  Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2005). Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang teutama menyerang parenkim paru (Brunner & Suddarth, 2002).

  Puskesmas kecamatan Makassar memiliki klinik pasien tuberkulosis paru yang dibuat khusus untuk menangani pasien tuberkulosis paru baik dewasa maupun anak

  • – 8 Juni 2014. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien dewasa yang menderita tuberkulosis paru di wilayah Puskesmas Kecamatan Makassar Jakarta Timur. Sampel pada penelitian ini adalah semua pasien yang sedang menjalani pengobatan di puskesmas pada bulan Januari –
  • – sel yang rusak dan meningkatkan kadar serum albumin yang rendah. Jumlah asupan protein yang dianjurkan untuk pasien tuberkulosis paru adalah sesuai dengan diet energi tinggi protein tinggi yaitu 2,0 – 2,5 gram per kilogram berat (Almatsier,2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

  Os memiliki tetangga yang juga menderita TB Paru. Saat pertama kali melakukan pengobatan hasil pengukuran berat badan pasien 51 kg dengan tinggi badan 163 cm.

  Setelah mengikuti pengobatan selama 6 bulan secara rutin dan mengkonsumsi PMT yang diberikan dari puskesmas, berat badan Os naik 9,8 kg menjadi 60,8 kg. Kenaikan berat badan ini juga dikarenakan pasien telah melewati fase awal pengobatan dan telah berada pada fase lanjutan. Pada saat sakit nafsu makan Os menurun sehingga asupan makan juga ikut menurun. Hal ini terjadi pada awal pengobatan, karena obat yang diberikan menyebabkan mual. Setelah 2 bulan fase pengobatan intensif, nafsu makan Os kembali meningkat. Os makan pada pagi dan malam hari. Tetapi Os sering kali hanya mengkonsumsi satu jenis protein saja misalnya protein nabati saja atau protein hewani saja dalam satu kali makan. Status gizi yang dimiliki pasien masih termasuk kategori normal yaitu 22,86 kg/m 2 . Asupan zat gizi Os dapat dilihat dari persentase asupan protein (65,71%) dan zinc (71,04%) berada dalam kategori kurang. Hal ini disebabkan karena Os memiliki kebiasaan hanya mengkonsumsi satu jenis protein saja misalnya protein nabati saja atau protein hewani saja dalam satu kali makan, dan kurang mengkonsumsi makanan sumber zinc seperti daging, seafood, susu, biji – bijian dan kacang – kacangan. Pemberian Makanan Tambahan yang diberikan oleh Puskesmas berupa susu bubuk diminum 2x sehari oleh Os. Hal ini menunjukkan PMT yang dikonsumsi jumlahnya tidak cukup untuk meningkatkan asupan protein dan zinc Os..

  Diagnosa gizi pada penelitian ini terdiri dari domain intake, domain klinis dandomain perilaku. Domain intake dari kasus ini yaitu asupan protein tidak adekuat (NI.5.7.1) berkaitan dengan pasien sering kali hanya mengkonsumsi satu jenis protein saja misalnya protein nabati saja atau protein hewani saja dalam satu kali makan ditandai dengan asupan protein 65,71% jika dibandingkan dengan kebutuhan. Sedangkan domain klinis yaitu Perubahan nilai lab terkait gizi (NC.2.2) berkaitan dengan pasien didiagnosa menderita TB Paru ditandai dengan hasil pemeriksaan dahak awal BTA +++. Dan domain perilaku adalah kualitas hidup yang buruk (NB.2.5) berkaitan dengan kurangnya kesadaran pasien akan bahaya merokok ditandai dengan pasein sudah mulai merokok sejak usia 11 tahun dan baru berhenti merokok setelah didiagnosa menderita TB Paru.

  Kasus kedua yaitu berusia 32 tahun dengan pendidikan SMA,bekerja sebagai tukang bangunan dengan pendapatan < 2.200.000. Sebelumnya memiliki riwayat sejak usia 18 tahun dan berhenti merokok sejak didiagnosa TB Paru. Os tinggal di lingkungan padat penduduk di sebuah rumah kontrakan. Os tinggal bersama dengan 5 anggota keluarga lainnya. Keadaan rumah Os agak lembab, karena kurangnya fentilasi udara dan terlalu banyak anggota keluarga yang tinggal dalam rumah tersebut. Tetangga Os juga ada yang menderita TB Paru. Saat pertama kali melakukan pengobatan hasil pengukuran berat badan Os 39 kg dengan tinggi badan 161 cm. Setelah mengikuti pengobatan selama 6 bulan secara rutin dan mengkonsumsi PMT yang diberikan dari puskesmas, berat badan Os naik 5,6 kg menjadi 44,9 kg. Kenaikan berat badan ini juga dikarenakan Os telah melewati fase awal pengobatan dan telah berada pada fase lanjutan. Walaupun berat Os naik, akan tetapi status gizi yang dimiliki Os masih termasuk kategori kurang yaitu 17,33 kg/m 2 . Pada kasus kedua, Os memiliki persentase asupan karbohidrat (61,25%) dan zinc

  (60,15%) berada dalam kategori kurang. Hal ini disebabkan karena Os lebih sering makan di luar, sehingga jumlah sumber karbohidrat yang dikonsumsi tidak dapat dikontrol sesuai atau tidak dengan kebutuhan dan Os jarang mengkonsumsi makanan sumber zinc kacangan. Pada saat sakit nafsu makan Os juga menurun sehingga asupan makan juga ikut menurun.

  Pemberian Makanan Tambahan yang diberikan oleh Puskesmas berupa susu bubuk diminum 2x sehari oleh Os. PMT tersebut ternyata tidak hanya dikonsumsi Os tetapi juga dikonsumsi oleh istrinya. Hal ini menyebabkan PMT yang dikonsumsi jumlahnya tidak cukup untuk meningkatkan asupan zinc Os.

  Ada 3 domain pada kasus ini, antara lain domain

  intake yaitu asupan karbohidrat tidak adekuat (NI.5.7.1)

  berkaitan dengan pekerjaan pasien sebagai tukang bangunan yang membutuhkan energi lebih banyak ditandai dengan asupan karbohidrat 61,25% jika dibandingkan dengan kebutuhan. Domain klinis yaitu perubahan nilai lab terkait gizi (NC.2.2) berkaitan dengan pasien didiagnosa menderita TB Paru ditandai dengan hasil pemeriksaan dahak awal BTA +++. Domain perilaku yaitu kualitas hidup yang buruk (NB.2.5) berkaitan dengan kurangnya kesadaran pasien akan bahaya merokok ditandai dengan pasein sudah mulai merokok sejak usia 18 tahun dan baru berhenti merokok setelah didiagnosa menderita TB Paru.

  Kasus ketiga yaitu pasien masih berusia 18 tahun dengan pendidikan SMA,bekerja sebagai teknisi dengan pendapatan < 2.200.000. Pasien tidak memiliki riwayat merokok, akan tetapi pasien tinggal di sebuah rumah yang tidak terlalu besar dengan 5 orang anggota keluarga lainnya. Selain itu, tetangga depan rumah ada yang menderita penyakit TB Paru bahkan ada yang sampai meninggal karena tidak ditangani dengan baik. Saat pertama kali melakukan pengobatan hasil pengukuran berat badan pasien 69 kg dengan tinggi badan 175 cm. Setelah mengikuti pengobatan selama 3 bulan secara rutin dan mengkonsumsi PMT yang diberikan dari puskesmas, berat badan pasien naik 2,8 kg menjadi 71,8 kg. Kenaikan berat badan ini juga dikarenakan pasien masih dalam fase awal pengobatan. Walaupun berat pasien hanya naik sedikit, akan tetapi status gizi yang dimiliki pasien masih termasuk kategori lebih yaitu 23,46 kg/m 2 . Hal ini dikarenakan asupan makan pasien berlebihan terutama asupan lemak, dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan bersantan dan goreng-gorengan serta makanan yang manis. Selama menjalani pengobatan psien tidak mengalami penurunan nafsu makan sama sekali dan dapat makan seperti biasa Pada kasus ketiga, pasien memiliki persentase asupan protein (48,25%), karbohidrat (69,75%) dan zinc (74,41%) berada dalam kategori kurang, sedangkan asupan lemak (151,58%) berada dalam kategori lebih.

  Hal ini disebabkan karena pemberian makanan tambahan yang diberikan oleh Puskesmas berupa susu tidak dikonsumsi sesuai aturan oleh pasien dengan alasan pasien takut gemuk sehingga mengurangi asupan makanan tetapi pasien justru suka mengkonsumsi makanan yang bersantan dan digoreng

  • – goreng sehingga asupan lemak lebih.

  Domain yang terdapat pada kasus ini hanya ada 2 yaitu domain intake dan domain klinis. Domain intake berkaitan dengan pasien mengurangi makan karena tahu berat badannya naik ditandai dengan asupan protein 48,25% dan karbohidrat 69,75% jika dibandingkan dengan kebutuhan. kelebihan asupan lemak (NI.5.6.2) berkaitan dengan pasien suka makan makanan yang bersantan dan digoreng – goreng ditandai dengan asupan lemak 151,58% jika dibandingkan dengan kebutuhan. Sedangkan domain klinis perubahan nilai lab terkait gizi (NC.2.2) berkaitan dengan pasien didiagnosa menderita TB Paru ditandai dengan hasil pemeriksaan dahak BTA +++.

  Kasus keempat yaitu pasien masih berusia 36 tahun dengan pendidikan SMA,bekerja sebagai pegawai swasta den gan pendapatan ≥ 2.200.000. Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak usia 13 tahun dan setelah didiagnosa menderita TB Paru masih terus merokok dengan jumlah 3 batang per hari jenis filter. Selain itu, pasien tinggal di sebuah rumah zabersama dengan 4 orang anggota keluarga lainnya. Rumah pasien berada di dalam gang yang sangat sempit. Keadaan ini menyebabkan rumah kurang mendapat cahaya matahari, sehingga keadaan rumah agak lembab . Saat pertama kali melakukan pengobatan hasil pengukuran berat badan pasien 52 kg dengan tinggi badan 178 cm. Setelah mengikuti pengobatan selama 3 bulan secara rutin dan mengkonsumsi PMT yang diberikan dari puskesmas, berat badan pasien naik 4,9 kg menjadi 56,9 kg. Kenaikan berat badan ini juga dikarenakan pasien telah melewati fase awal pengobatan dan telah berada pada fase lanjutan. Walaupun kenaikan berat badan pasien cukup tinggi, akan tetapi status gizi yang dimiliki pasien masih termasuk kategori kurang yaitu 17,95 kg/m 2 . Hal ini disebabkan asupan makan pasien masih rendah sehingga harus diringkatkan agar berat badan dapat bertambah lagi dan dapat mempercepat proses penyembuhan.

  • – 3 x sehari. Walaupun berat pasien hanya naik sedikit, akan tetapi status gizi yang dimiliki pasien masih termasuk kategori normal yaitu 21,28 kg/m
  • 2 . Pada kasus kelima, semua asupan zat gizi pasien berada dalam kategori kurang yang dapat dilihat dari persentase asupan energi (58,85%), protein (40,57%), lemak (73,81%), karbohidrat (58,29%) dan zinc (57,61%). Hal ini disebabkan karena Tn. M mengalami penurunan nafsu makan akibat mengkonsumsi obat OAT yang menimbulkan rasa mual. Pemberian Makanan Tambahan yang dilakukan oleh pihak Puskesmas ternyata kurang efektif untuk meningkatkan asupan Tn. M, padahal Tn. M sudah mengkonsumsi susu yang diberikan Puskesmas secara teratur 2x sehari.

      Pada kasus keempat, pasien memiliki persentase asupan protein (69,95%), dan zinc (67,24%) berada dalam kategori kurang, sedangkan asupan lemak (134,54%) berada dalam kategori lebih. Hal ini disebabkan karena pasien sering kali hanya mengkonsumsi satu jenis protein saja misalnya protein nabati saja atau protein hewani saja dalam satu kali makan dan juga senang mengkonsumsi makanan yang bersantan dan digoreng - goreng. Pemberian Makanan Tambahan yang dilakukan oleh pihak Puskesmas ternyata kurang efektif untuk meningkatkan asupan protein, padahal sudah mengkonsumsi susu yang diberikan Puskesmas secara teratur 3x sehari.

      Domain intake pada kasus ini adalah asupan protein tidak adekuat (NI.5.7.1) berkaitan dengan pasien sering kali hanya mengkonsumsi satu jenis protein saja misalnya protein nabati saja atau protein hewani saja dalam satu kali makan ditandai dengan asupan protein 69,95% jika dibandingkan dengan kebutuhan. Domain klinis yaitu perubahan nilai lab terkait gizi (NC.2.2) berkaitan dengan pasien didiagnosa menderita TB Paru berkaitan dengan hasil pemeriksaan dahak BTA Negatif. Domain perilaku yaitu kualitas hidup yang buruk akan bahaya merokok ditandai dengan pasein sudah mulai merokok sejak usia 13 tahun dan setelah didiagnosa menderita TB Paru tetap masih merokok.

      Kasus kelima yaitu pasien masih berusia 36 tahun dengan pendidikan SMA,bekerja sebagai On Board

      Transjakarta dengan pendapatan ≥ 2.200.000. Pasien

      memiliki kebiasaan merokok sejak usia 18 tahun dan berhenti setelah didiagnosa menderita TB Paru. Saat pertama kali melakukan pengobatan hasil pengukuran berat badan pasien 60 kg dengan tinggi badan 168 cm. Setelah mengikuti pengobatan selama 3 bulan secara rutin dan mengkonsumsi PMT yang diberikan dari puskesmas, berat badan pasien hanya naik 1,0 kg menjadi 61 kg. Kenaikan berat badan pasien yang masih sedikit,dikarenakan saat sakit nafsu makan pasien menurun karena efek samping mual yang didapat dari OAT yang diminum pasien. Pada saat pengambilan data ini, pasien masih tidak nafsu makan, pasien makan 2 – 3x sehari dengan porsi yang sedikit dan minum susu 2

      Domain intake adalah asupan energi tidak adekuat (NI.1.4) berkaitan dengan pasien masih tidak nafsu makan karena efek samping obat yang menyebabkan mual ditandai dengan asupan energi 58,85%, asupan protein 40,57%, asupan lemak 73,81%, dan asupan karbohidrat 58,29% jika dibandingkan dengan kebutuhan. Domain klinis adalah perubahan nilai lab terkait gizi (NC.2.2) berkaitan dengan pasien didiagnosa menderita TB Paru ditandai dengan hasil pemeriksaan dahak BTA +. Domain perilaku yaitu kualitas hidup yang buruk (NB.2.5) berkaitan dengan kurangnya kesadaran pasien akan bahaya merokok ditandai dengan pasein sudah mulai merokok sejak usia

    • – 9,8 kg.

      Petugas puskesmas dapat merujuk pasien TB Paru ke Poli Gizi agar pasien mendapatkan konseling gizi sehingga asupan zat gizi pasien meningkat. Untuk pelaksanaan PMT sebaiknya lebih diperhatikan agar dapat berjalan efektif dan efisien, karena PMT berupa susu bubuk dengan jumlah yang diberikan belum dapat meningkatkan asupan zat gizi, dan dari segi biaya juga kurang ekonomis.

      Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.

      Sudoyo, Aru W. , dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

      Programming – Rationale and Practice, 2002.

      Prabu. Infeksi Umum Jilid I. Widya Medika. Jakarta, 2004. Saskia de Pee and Nils Grede. Food and Nutrition in TB

      Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta, 2010

      Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2010.

      Jakarta, 2002. Depkes RI. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 1 Cetakan ke 9 . Depkes RI. Jakarta, 2005.

      Almatsier, Sunita. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2009. Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 1 . Jakarta, 2002. Crofton, John. Tuberkulosis Klinis. Widya Medika.

      SARAN

      17 tahun dan baru berhenti merokok setelah didiagnosa menderita TB Paru.

      Asupan zat gizi responden TB paru yaitu asupan energi kurang, asupan protein kurang, asupan lemak baik, asupan karbohidrat kurang, dan asupan zinc kurang. Pelaksanaan Pemberian Makanan Tambahan berupa susu bubuk full cream yang diberikan kepada responden kurang efektif dan efisien karena degan jumlah yang diberikan tidak dapat meningkatkan asupan zat gizi terutama asupan protein dan zinc. Seluruh responden TB kenaikan berat badan beragam, sesuai dengan fase pengobatan responden. Responden yang berada pada fase pengobatan awal berat badannya naik 1 – 2,8 kg, sedangkan responden yang berada pada fase pengobatan lanjutan kenaikan berat badannya lebih tinggi yaitu 3,9

      Namun, ada 1 orang responden yang masih merokok dengan jumlah 3 batang per hari jenis filter.

      2.200.000 per bulan. Responden TB Paru memiliki kebiasaan merokok sebelum menderita TB Paru dan berhenti merokok setelah didiagnosa menderita TB paru.

      Karakteristik pasien TB Paru di Puskesmas Kecamatan Makassar adalah umur berada pada kategori dewasa (26 – 45 tahun), berjenis kelamin laki – laki, pendidikan akhir tamat SD dan SMA, berprofesi sebagai pegawai swasta, dan berpendapatan rendah < Rp.

      KESIMPULAN

      Diagnosa gizi kasus keenam antara lain domain intake yaitu asupan protein tidak adekuat (NI.5.7.1) berkaitan dengan pasien sering kali hanya mengkonsumsi satu jenis protein saja misalnya protein nabati saja atau protein hewani saja dalam satu kali makan ditandai dengan asupan protein 53,70% jika dibandingkan dengan kebutuhan. Selain itu, kelebihan asupan lemak (NI.5.6.2) berkaitan dengan Pasien suka makan makanan yang bersantan, ikan asin, gorengan dan suka mengemil ditandai dengan asupan lemak 161,92% jika dibandingkan dengan kebutuhan. Domain Klinis yaitu perubahan nilai lab terkait gizi (NC.2.2) berkaitan dengan pasien didiagnosa menderita TB Paru ditandai dengan hasil pemeriksaan dahak BTA +++. Domain perilaku adalah kualitas hidup yang buruk (NB.2.5) berkaitan dengan kurangnya kesadaran pasien akan bahaya merokok ditandai dengan pasein sudah mulai merokok sejak usia 17 tahun dan baru berhenti merokok setelah didiagnosa menderita TB Paru.

      Pada kasus keenam, pasien memiliki persentase asupan protein (53,70%) dan zinc (50,15%) berada dalam kategori kurang dan asupan lemak (161,92%) berada dalam kategori lebih. Hal ini disebabkan karena pasien suka makan makanan yang bersantan, ikan asin, gorengan dan suka mengemil. Selain itu, pasien sering kali hanya mengkonsumsi satu jenis protein saja misalnya protein nabati saja atau protein hewani saja dalam satu kali makan. Pemberian Makanan Tambahan yang dilakukan oleh pihak Puskesmas ternyata kurang efektif untuk meningkatkan asupan protein pasien, padahal pasien sudah mengkonsumsi susu yang diberikan Puskesmas secara teratur 2x sehari.

      Kasus keenam yaitu pasien berusia 52 tahun dengan pendidikan SMA, pasien sudah tidak bekerja (pensiunan) dengan pendapatan < 2.200.000. Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak usia 17 tahun dan berhenti setelah didiagnosa menderita TB Paru. Saat pertama kali melakukan pengobatan hasil pengukuran berat badan pasien 45 kg dengan tinggi badan 170 cm. Setelah mengikuti pengobatan selama 3 bulan secara rutin dan mengkonsumsi PMT yang diberikan dari puskesmas, berat badan pasien naik 3,9 kg menjadi 48,9 kg. Kenaikan berat badan pasien cukup tinggi, karena berada pada fase lanjutan pengobatan. Walaupun kenaikan berat badan pasien cukup tinggi, akan tetapi status gizi yang dimiliki pasien masih termasuk kategori kurang yaitu 16,9 kg/m 2 . Hal ini menandakan bahwa pasien harus meningkatkan asupan makan agar berat badan naik dan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan.

    DAFTAR PUSTAKA

      Yuniarti, Rini. Gambaran Tingkat Pengetahuan Gizi, Perubahan Berat Badan pada Pasien

      Asupan Energi dan Protein, serta Pelaksanaan Tuberkulosis di Puskesmas Kecamatan Makassar Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dengan Jakarta Timur . Jakarta, 2008.