BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Gambaran Tingkat Depresi pada Lansia di Desa Ulunuwih Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah

  2.1 Konsep Lansia

  2.1.1 Definisi Lansia Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi di mulainya sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis (Nugroho, 2008). Sedangkan menurut Hurlock (1999), lansia atau usia tua adalah suatu periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah ”beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat.

  Menurut UU Kesehatan No. 23 tahun 1992, pasal 19 ayat 1 “Manusia lanjut usia (Growing old) adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya” (Fatimah, 2010).

  Usia lanjut dapat dikatakan usia emas, karena tidak semua orang dapat mencapai usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan keperawatan, baik yang bersifat promotif maupun preventif, agar ia dapat menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia.

  7 Pada usia lanjut proses penuaan terjadi secara alamiah seiiring dengan penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan dan keadaan fungsional yang efektif (Maryam, 2008).

  2.1.2 Batasan-Batasan Lansia Umur yang di jadikan patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60 sampai 65 tahun. Menurut WHO ada empat tahap batasan umur yaitu usia pertengahan (middle age) antara 45 sampai 59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60 sampai 74 tahun, dan usia lanjut usia (old) antara 75 sampai 90 tahun, serta usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008).

  Di indonesia, batasan lanjut usia adalah 60 tahun ke atas. Hal ini di pertegas dalam Undang-Undang No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 (Nugroho, 2008).

  Menurut pendapat Nugroho (2008), dinyatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai seorang lanjut usia atau jompo setelah yang bersangkutan umur 55 tahun. Depkes RI (2003, dalam Pangastuti, 2008) menggolongkan lansia dalam tiga kategori, yaitu: lansia dini (55-64 tahun), lansia (65-70 tahun), dan lansia resiko tinggi (lebih dari 70 tahun).

  2.1.3 Teori-Teori Proses Menua

  2.1.3.1 Teori “Genetic clock” Menurut teori ini menua telah terprogram secara spesifik untuk spesies- spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti selnya) suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar, jadi menurut konsep ini bila jam kita itu berhenti akan meningagl dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir yang katastrofal (Darmojo, 2006).

  Konsep “genetic clock” didukung oleh kenyataan bahwa ini merupakan cara menerangkan mengapa pada beberapa spesies terlihat adanya perbedaan harapan hidup yang nyata.

  2.1.3.2 Mutasi somatik (teori Error Catastrople) Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menganalisis faktor- faktor penyebab terjadinya proses menua adalah faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Sekarang sudah umum diketahui bahwa radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur, sebaliknya menghindari terkenanya radiasi atau terkena zat kimia yang bersifat karsinogenik atau toksik, dapat memperpanjang umur.

  Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut.

  2.1.3.3 Rusaknya sistem imun tubuh Mutasi yang berulang atau berubahnya protein pascatranslasi, dapat menyebabnya bekurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun (Goldstein, 1989).

  Hasilnya dapat pula berupa reaksi antigen/antibodi yang luas mengenai jaringan-jaringan beraneka ragam, efek menua jadi akan menyebabkan reaksi histoinkontabilitas pada banyak jaringan.

  2.1.3.4 Teori menua akibat metabolisme Pengurangan ”intake” kalori pada rodentia mud akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur. Perpanjangan umur karena penururan jumlah kalori tersebut, antara lain disebabkan karena penurunan jumlah kalori tersebut, antara lain disebabakan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang merangsang proliferasi sel, misalnya insulin, dan hormon pertumbuhan.

  2.1.3.5 Kerusakan akibat radikal bebas Radikal bebas (RB) dapat terbentuk di alam bebas, dan didalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan didalam rantai pernafasan didalam mitokondria (Oen, 1993). Tidak stabilnya radikal bebas atau kelompok atom mengakibatkan oksidasi oksigen bahan bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak bisa regenerasi.

  2.1.4 Perubahan-Perubahan yang terjadi pada Lansia Contantinides (1994), mengatakan bahwa proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2008).

  2.1.4.1 Perubahan perubahan fisik

  1. Perubahan sel Sel menjadi lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukurannya, berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10% (Nugroho, 2008).

  2. Sistem persarafan Terjadi penurunan berat otak sebesar 10-20%, cepatnya menurun hubungan persarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya stres, mengecilnya saraf panca indera, serta kurang sensitifnya tehadap sentuhan. Pada sistem pendengran terjadi presbiakusis (gangguan dalam pendengaran) hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap bunyi- bunyi atau nada-nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata,

  otoklerosis akibat atrofi membran timpani, serta biasanya pendengaran bertambah

  menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa/stres (Nugroho, 2008).

  3. Sistem penglihatan Timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk sferis (bola), kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak, meningkatnya ambang, pengalaman sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapangan pandang, serta menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau.

  4. Sistem kardiovaskuler Terjadi penurunan elastisitas aorta, katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun, kurangnya elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk atau dari duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun, mengakibatkan pusing mendadak, serta meningginya tekanan darah akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah dan perifer.

  5. Sistem pengaturan Temperatur tubuh terjadi hipotermi secara fisiologis akibat metabolisme yang menurun, keterbatasan reflex menggigil dan tidak dapat memproduksi panas akibatnya aktivitas otot menurun.

  6. Sistem respirasi Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun, ukuran alveoli melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang, kemampuan untuk batuk berkurang, serta kemampuan kekuatan otot pernafasan menurun.

  7. Sistem gastrointestinal Terjadi kehilangan gigi akibat periodontal disease, kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk, indra pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah terhadap rasa manis, asin, asam, atau pahit, esophagus melebar, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, serta melemahnya daya absorbs.

  8. Sistem reproduksi Terjadi penciutan ovary dan uterus, penurunan lendir vagina, serta atrofi payudara, sedangkan pada laki-laki, testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur, kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia asal kondisi kesehatan baik.

  9. Sistem perkemihan Terjadi atrofi nefron dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, otot- otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria.

  10. Sistem endokrin Terjadi semua penurunan produksi hormon, mencakup penurunan aktivitas tiroid, BMR, daya pertukaran zat, produksi aldosteron, progesterone, estrogen, dan testosteron.

  11. Sistem integumen Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit kasar dan bersisik karena kehilangan proses kreatinisasi, serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis, rambut menipis berwarna kelabu, rambut dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, pudar dan kurang bercahaya, serta kelenjar keringat yang berkurang jumlah dan fungsinya.

  12. Sistem muskuluskeletal Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh, kifosis, pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sclerosis, serta atrofi serabut otot.

  2.1.4.2. Perubahan mental Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental yaitu, pertama-tama perubahan fisik khususnya organ perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas dan lingkungan).

  2.1.4.3 Perubahan psikososial 1) Pensiun nilai seseorang sering di ukur oleh produktivitasnya, dikaitkan dengan peran dalam pekerjaanya, 2) Merasakan atau sadar akan kematian, 3)

  Perubahan dalam cara hidup yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih sempit, 4) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan, 5) Penyakit kronis dan ketidakmampuan, 6) Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial sehingga timbul depresi, 7) Gangguan saraf panca indera timbul kebutaan dan ketulian, 8) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan, 9) Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman dan keluarga.

  2.1.4.4 Perubahan spiritual

  Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya, dan lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari.

  2.1.5 Program Kesehatan Pada Lansia Pada umunya para lanjut usia (lansia) yang berumur 71 ke atas mudah terkena depresi. Oleh karena itu, program pembinaan kesahatan lanjut usia merupakan upaya kesehatan pengembangan dapat dilakukan dengan berbagai cara (Pujiyono, 2007), sebagai berikut:

  a. Upaya Promotif Kegiatan promotif dilakukan kepada lanjut usia, keluarga ataupun masyarakat di sekitarnya, antara lain berupa penyuluhan tentang perilaku hidup sehat, gizi untuk lanjut usia, proses degeneratif seperti katarak, presbikusis dan lain-lain. Upaya peningkatan kebugaran jasmani, pemeliharaan kemandirian serta produktivitas masyarakat lanjut usia.

  1) Perilaku Hidup Sehat Perilaku hidup sehat adalah sekumpulan perilaku yang dipraktekan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya. Menurut Winslow (2010), PHBS erat kaitanya dengan pemberdayaan masyarakat karena bidang garapanya adalah membantu masyarakat yang seterusnya bermuara pada pemeliharaan, perubahan, atau peningkatan perilaku positif dalam bidang kesehatan. Perilaku hidup bersih dan sehat ini sesuai dengan visi Promosi Kesehatan dan dapat di praktekan pada masing-masing tatanan. Gaya hidup sehat untuk lansia yang terpenting seperti tidak merokok, melakukan aktivitas 30 menit sehari, personal higiene, mengatur kesehatan lingkungan seperti rumah sehat dan membuang kotoran pada tempatnya.

  2) Gizi untuk Lanjut Usia Konsumsi makan yang cukup dan seimbang akan bermanfaat bagi lanjut usia untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan penyakit kekurangan gizi, yang seyogyanya telah dilakukan sejak muda dengan tujuan agar tercapai kondisi kesehatan yang prima dan tetap produktif di hari tua. Hidangan gizi seimbang adalah makanan yang mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur.

  b. Upaya Preventif Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyakit dan komplikasinya akibat proses degeneratif. Kegiatan berupa deteksi dini dan pemantauan kesehatan lanjut usia yang dapat dilakukan di kelompok lanjut usia (posyandu lansia) atau Puskesmas dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS) lanjut usia.

  c. Upaya Kuratif Kegiatan pengobatan ringan bagi lanjut usia yang sakit bila dimungkinkan dapat di lakukan di kelompok lanjut usia atau Posyandu lansia. Pengobatan lebih lanjut ataupun perawatan bagi lanjut usia yang sakit dapat dilakukan di fasilitas pelayanan seperti Puskesmas Pembantu, Puskesmas ataupun di Pos Kesehatan Desa. Bila sakit yang diderita lanjut usia membutuhkan penanganan dengan fasilitas lebih lengkap, maka dilakukan rujukan ke Rumah Sakit setempat. d. Upaya Rehabilitatif Upaya rehabilitatif ini dapat berupa upaya medis, psikososial, edukatif maupun upaya-upaya lain yang dapat semaksimal mungkin mengembalikan kemampuan fungsional dan kepercayaan diri lanjut usia.

  2.2 Konsep Depresi

  2.2.1 Definisi Depresi Depresi merupakan suatu gangguan mood. Mood adalah suasana perasaan yang meresap dan menetap yang dialami secara internal dan yang mempengaruhi perilaku seseorang dan persepsinya terhadap dunia (Sadock & Sadock, 2007). Depresi adalah salah satu bentuk gangguan jiwa pada alam perasaan (afektif), mood yang ditandai kemurungan, kesedihan, kelesuan, kehilangan gairah hidup, tidak ada semangat, dan merasa tidak berdaya, perasaan bersalah atau berdosa, tidak berguna dan putus asa (Yosep, 2007).

  Secara sederhana dapat dikatakan bahwa depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan, suatu perasaan tidak ada harapan lagi. DR Jonatan Trisna menyimpulkan bahwa depresi adalah suatu perasaan sendu atau sedih yang biasanya disertai dengan diperlambatnya gerak dan fungsi tubuh. Mulai dari perasaan murung sedikit sampai pada keadaan tak berdaya (Pranowo, 2004).

  Depresi juga merupakan kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan kesedihan yang amat sangat, perasaan yang tidak berarti dan bersalah, menarik diri dari orang lain, dan tidak dapat tidur, kehilangan selera makan, hasrat seksual tidak ada, dan minat serta kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan (Jhon Wiley, 2004).

  2.2.2 Gejala-Gejala Depresi Gejala-gejala depresi dalam buku David (2004), adalah sebagai berikut:

  a). Gambaran emosi berupa: Mood depresi, sedih atau murung, iritabilitas, ansietas, anhedonia, kehilangan minat, kehilangan semangat, ikatan emosi berkurang, menarik diri dari hubungan interpersonal, preokupulasi dengan kematian.

  b). Gambaran kognitif berupa: Mengkritik diri sendiri, perasaan tidak berharga, rasa bersalah, pesimis, tidak ada harapan, putus asa, perhatiannya mudah teralih, konsentrasi buruk, tidak pasti dan ragu-ragu berbagai obsesi, keluhan somatik (terutama pada orang tua), gangguan memori, waham dan halusinasi.

  c). Gambaran vegetatif berupa: Lesu, tidak ada tenaga, insomnia atau hipersomnia, anoreksia atau hipereksia, penurunan berat badan atau penambahan berat badan, retardasi psikomotor, agitasi psikomotor, libido terganggu, variasi durnal yang sering.

  Adapun gejala klinis depresi dalam buku Hawari (2013), disebutkan bahwa: 1) Afek disforik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun, tidak semangat, merasa tidak berdaya, perasaan bersalah, berdosa menyesalan, 2) Nafsu makan menurun, 3) Berat badan menurun, 4) Konsentrasi dan daya ingat menurun, 5) Gangguan tidur: insomnia (sukar/tidak dapat tidur) atau sebaiknya hipersomnia (telalu banyak tidur). Gangguan ini sering kali disertai dengan mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan, misalnuya mimpi orang yang telah meninggal, 6) Agitasi atau retardasi psikomotor (gaduh, gelisah, atau lemah tak berdaya), 7) Hilangnya rasa senang, semangat dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi, kreativitas menurun, produktivitas juga menurun, 8) Gangguan seksual (libido menurun), 9) Pikiran-pikiran tentang kematian, bunuh diri.

  2.2.3 Penyebab Depresi Untuk menemukan penyebab depresi kadang-kadang sulit sekali karena ada sejumlah penyebab dan mungkin beberapa diantaranya bekerja pada saat yang sama. Namun dari sekian banyak penyebab dapatlah dirangkumkan sebagai berikut: a. Karena kehilangan

  Kehilangan merupakan faktor utama yang mendasari depresi. Archibald menyebut empat macam kehilangan: pertama, kehilangan abstrak: kehilangan harga diri, kasih sayang, harapan atau ambisi. Kedua, kehilangan sesuatu yang kongkrit: rumah, mobil, protet, orang atau bahkan binatang kesayangan. Ketiga, kehilangan hal yang bersifat khayal: tanpa fakta mungkin tapi ia merasa tidak disukai atau dipergunjingkan orang. Keempat, kehilangan sesuatu yang belum tentu hilang: menunggu hasil tes kesehatan, menunggu hasil ujian,dll

  b. Reaksi terhadap stres Delapan puluh lima persen depresi ditimbulkaan oleh stres dalam hidup.

  c. Terlalu lelah atau capek Karena terjadi pengurasan tenaga baik secara fisik maupun emosi. d. Gangguan atau serangan dari kuasa kegelapan.

  e. Reaksi terhadap obat Beberapa ahli juga memberikan penjelasan mengenai penyebab depresi.

  Faktor-faktor penyebabnya terdiri dari faktor biologi, faktor genetik dan faktor psikososial. Dimana ketiga faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Tarigan, 2009).

  a. Faktor Biologi Dalam penelitian biopsikologi, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood.

  Beberapa peneliti juga menemukan bahwa gangguan mood melibatkan patologik dan sistem limbiks serta ganglia basalis dan hypothalamus.

  b. Faktor Genetik Data genetik menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan mood adalah genetik. Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat, pada anak kembar monozigot adalah 50 %, sedangkan dizigot 1–25%.

  c. Faktor Psikososial Mungkin faktor inilah yang banyak diteliti oleh ahli psikologi. Faktor psikososial yang menyebabkan terjadinya depresi antara lain: 1) Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan: suatu pengamatan klinik menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan sering mendahului episode gangguan mood. 2) Faktor kepribadian Premorbid: Tidak ada satu kepribadian atau bentuk kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap depresi. Semua orang dengan ciri kepribadian manapun dapat mengalami depresi, walaupun tipe-tipe kepribadian seperti oral dependen, obsesi kompulsif, histerik mempunyai risiko yang besar mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya.

  3) Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik: Freud menyatakan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa kemarahan pasien depresi diarahkan kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk melepaskan diri terhadap objek yang hilang. Depresi sebagai suatu efek yang dapat melakukan sesuatu terhadap agresi yang diarahkan kedalam dirinya.

  Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan mengakibatkan mereka putus asa.

  4) Ketidakberdayaan yang dipelajari: Di dalam percobaan, di mana binatang secara berulang-ulang dihadapkan dengan kejutan listrik yang tidak dapat dihindarinya, binatang tersebut akhirnya menyerah dan tidak mencoba sama sekali untuk menghindari kejutan selanjutnya. Mereka belajar bahwa mereka tidak berdaya. 5) Teori Kognitif: Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada depresi

  Asikal H.S. dalam Tarigan (2008) Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada depresi yang disebut sebagai triad kognitif, yaitu: a) Pandangan negatif terhadap masa depan, b) Pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh, pemalas, tidak berharga, c) Pandangan negatif terhadap pengalaman hidup.

  2.2.4 Tingkatan Depresi Ada beberapa tingkatan depresi menurut Kusumanto (2010), diantaranya:

  a. Depresi Ringan Sementara, alamiah, adanya rasa pedih perubahan proses fikir komunikasi sosial dan rasa tidak nyaman.

  b. Depresi Sedang 1) Afek: murung, cemas, kesal, marah, menangis. 2) Proses fikir: perasaan sempit, berfikir lambat, kurang komunikasi verbal, komunikasi non verbal meningkat. 3) Pola komunikasi: bicara lambat, kurang komunikasi verbal, komunikasi non verbal meningkat. 4) Partisipasi sosial: menarik diri tidak mau melakukan kegiatan, mudah tersinggung.

  c. Depresi Berat 1) Gangguan afek: pandangan kosong, perasaan hampa, murung, inisiatif berkurang, 2) Gangguan proses fikir, 3) Sensasi somatik dan aktivitas motorik: diam dalam waktu lama, tiba-tiba hiperaktif, kurang merawat diri, tidak mau makan dan minum, menarik diri, tidak peduli dengan lingkungan.

  Pada umumnya, yang rentang terkena depresi adalah orang cacat dan lanjut usia (lansia), dengan tingkat depresi rata-rata depresi berat. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap bahwa perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan yang disertai perasaan sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata dan berkurangnya aktivitas (Tarigan, 2009).

  2.2.5 Dampak Depresi Pada usia lanjut depresi yang berdiri sendiri maupun yang bersamaan dengan penyakit lain hendaknya ditangani dengan sungguh-sungguh karena bila tidak diobati dapat memperburuk perjalanan penyakit dan memperburuk prognosis.

  Pada depresi dapat dijumpai hal-hal seperti di bawah ini (Mudjaddid, 2003):

  a. Depresi dapat meningkatkan angka kematian pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler b. Pada depresi timbul ketidakseimbangan hormonal yang dapat memperburuk penyakit kardiovaskular. (Misal: peningkatan hormon adrenokortikotropin akan meningkatkan kadar kortisol).

  c. Metabolisme serotonin yang terganggu pada depresi akan menimbulkan efek trombogenesis.

  d. Perubahan suasana hati (mood) berhubungan dengan gangguan respons imunitas termasuk perubahan fungsi limfosit dan penurunan jumlah limfosit.

  e. Pada depresi berat terdapat penurunan aktivitas sel natural killer.

  f. Pasien depresi menunjukkan kepatuhan yang buruk pada program pengobatan maupun rehabilitasi.

  Depresi pada lansia yang tidak ditangani dapat berlangsung bertahun- tahun dan dihubungkan dengan kualitas hidup yang jelek, kesulitan dalam fungsi sosial dan fisik, kepatuhan yang jelek terhadap terapi, dan meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat bunuh diri dan penyebab lainnya (Unutzer, 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi pada lansia menyebabkan peningkatan penggunaan rumah sakit dan outpatient medical services (Blazer, 2003).

  Depresi mayor pada lansia setelah masa follow-up yang lebih lama menunjukkan perjalanan yang kronik pada beberapa penelitian (Blazer, 2003).

  Penelitian-penelitan menunjukkan bahwa orang-orang yang pernah memiliki suatu episode depresi mayor cenderung memiliki episode tambahan. Lansia mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih dari depresi dan memiliki waktu untuk relapse yang lebih singkat daripada orang-orang yang lebih muda (Gallo & Gonzales, 2001).

  2.2.6 Penatalaksanaan Depresi Pada Lansia Penatalaksanaan yang adekuat menggunakan kombinasi terapi psikologis dan farmakologis disertai pendekatan multidisiplin yang menyeluruh. Terapi diberikan dengan memperhatikan aspek individual harapan-harapan pasien, martabat (dignity) dan otonomi/kemandirian pasien. Problem fisik yang ada bersama-sama dengan penyakit mental harus diobati. 1) Terapi fisik

  a. Obat (Farmakologis) Secara umum semua jenis obat antidepresan sama efektivitasnya.

  Pengobatan dimulai dengan dosis separuh dosis dewasa, lalu dinaikkan perlahan- lahan sampai ada perbaikan gejala. Beberapa kelompok anti depresan adalah

  Trisiklik, SSRI'S (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitors), MAOI's (Monoamine Oxidase Inhibitors ) dan Lithium.

  b. Terapi Elektrokonvulsif (ECT) 2) Terapi Psikologik

  a. Psikoterapi: Psikoterapi Individu dan kelompok paling efektif dilakukan bersama-sama dengan pemberian anti depresan. Perlu diperhatikan teknik psikoterapi dan Kecocokan antara pasien dengan terapis sehingga pasien merasa lebih nyaman, lebih percaya diri dan lebih mampu mengatasi persoalannya sendiri.

  b. Terapi Kognitif: bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu negatif (persepsi diri, masa depan, dunia, diri tak berguna, tak mapu, dsb) ke arah pola pikir yang netral atau yang positif.

  c. Terapi Keluarga: problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan penyakit depresi, sehingga dukungan/support terhadap pasien sangat penting.

  Proses penuaan mengubah dinamika keluarga, ada perubahan posisi dari dominasi menjadi dependen pada orang usia lanjut. Tujuan dari terapi terhadap keluarga pasien yang depresi adalah untuk meredakan perasaan frustrasi dan putus asa, mengubah dan memperbaiki sikap/struktur dalam keluarga yang menghambat proses penyembuhan pasien.

  d. Penanganan ansietas: teknik yang umum dipakai adalah program relaksasi progresif baik secara langsung dengan infra struktur (psikolog atau terapis okupasional) atau melalui tape recorder. Teknik ini dapat dilakukan dalam praktek umum sehari-hari.

  3) Komorbiditas Komorbiditas didefinisikan sebagai adanya dua atau lebih gangguan psikiatrik atau gangguan psikiatrik dengan penyakit fisik lain pada seorang pasien pada waktu yang sama. Komorbiditas mempunyai implikasi terhadap diagnosis, terapi, dan prognosis. Contoh sakit kepala, putus asa, retardasi psikomotor agak sulit untuk dikaitkan apakah ini suatu problem organik atau mungkin suatu keadaan depresi? Kapan dan bagaimana memulai terapi antidepresan pada pasien dengan penyakit fisik berat? Jelas bahwa kondisi komorbiditas akan memperburuk kualitas hidup dan menghambat penyembuhan pasien. Menurut Katona dalam Depkes RI (2001), menyatakan kejadian depresi berat meningkat pada pasien dengan penyakit medik/fisik. Sementara depresi akan memperkuat gejala fisik. Kemorbiditas juga meningkatkan hendaya fungsional/disabilitas.

  Kondisi-kondisi Kemorbiditas yang sering dijumpai Menurut Depkes RI (2009), adalah: a) Gangguan depresi dan stroke, b) Gangguan depresi dan diabetes mellitus, c) Gangguan depresi dan infark miokard/penyakit jantung koroner, d) Gangguan depresi dan penyakit parkinson, e) Gangguan depresi dan penyakit lain (Alzheimer, Huntington, dll).

  2.2.7 Geriatric Deprssion Scale (GDS) Pentingnya mendeteksi depresi semakin disadari apalagi depresi yang terjadi pada lansia sulit diketahui. Untuk itu, alat pendeteksi depresi dibuat untuk memudahkan professional kesehatan mendeteksi gejala depresi. Nama instrument pendeteksi ini adalah Geriatri Depresion Scale (GDS). Alat skrining ini terdiri dari 30 pertanyaan yang akan dijawab oleh klien. Para klien hanya menjawab dengan jawaban Ya atau Tidak pada setiap pertanyaan yang diajukan yang terdiri dari pertanyaan positif dan pertanyaan negatif. Kemudian digunakan untuk mengetahui tingkat depresi yang dibedakan menjadi: depresi ringan dengan jumlah total skornya adalah 1-10, depresi menengah atau sedang dengan jumlah total skor 11-20, dan depresi berat dengan jumlah total skor 21-30. Namun apabila tidak terdapat satu gejala depresi pun maka dikatakan normal atau tidak ada gejala depresi. GDS ini dibuat oleh Brink dan Yesavage pada tahun 1982 dan telah diadopsi dan dibakukan oleh Dep.Kes.RI (2000) dan sudah dilakukan uji reliabilitas di beberapa tempat di Indonesia. Dalam penelitian Christine 2010, reliabiitas untuk koesioner depresi pada lansia yang telah dilakukan pada lansia di Kelurahan Padang Budan Kecamatan Medan Baru adalah (r=0,819). Dalam penelitian Ericha 2013, uji reliabilitas tingkat depresi pada lansia di komunitas masyarakat di JEMBER didapatkan hasil (r=0,746).

  Instrumen ini telah diuji reliabilitasnya dengan hasil yang tinggi, baik antar psikiater dengan psikiater (r = 0,95) maupun antar psikiater dan dokter non psikiater di indonesia (r = 0,94). Uji sensitifitas alat ukur ini cukup tinggi yaitu 97,4% dan spesifitas sebesar 87,5% (Iskandar & Setyonegoro dalam Marchira, 2004). GDS juga bisa digunakan untuk mengkaji tingkat depresi lansia yang berada di institusi. Hal ini sudah diuji oleh Parmelee et al, 1989 pada lansia di panti dan kompleks rumah khusus lansia yang berjumlah 806 bahwa nilai pada tiap pernyataan yang jumlahnya 30, semuanya valid dan reliabel.

  Geriatri Depresion Scale (GDS) dapat digunakan pada lansia dengan

  gangguan kognitif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

  Lopez, Quan dan Carvazal tahun 2010 bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan bagi penderita gangguan kognitif ataupun tidak dalam penggunaan GDS ini. Pada penelitian Cornett tahun 2009 GDS dipakai untuk membedakan tingkat kerusakan kognitif pada lansia mulai dari lansia dengan tanpa gangguan kognitif, lansia dengan perubahan kognitif sedang, demensia tipe alzeimer dan demensia vascular. Walaupun hasilnya menyatakan bahwa GDS baik yang terdiri dari 30 pertanyaan maupun 15 pertanyaan secara umum tidak dapat membedakan jenis demensia, namun peneliti ini menggunakan GDS pada responden lansia dengan berbagai tingkat demensia. Hal ini membuktikan bahwa GDS dapat digunakan untuk lansia tanpa gangguan kognitif dan dengan gangguan kognitif.

  Pada penelitian yang dilakukan oleh Adam et al tahun 2004, mereka mengelompokkan setiap pernyataan di GDS menjadi 5 klasifikasi besar.

  Klasifikasinya yaitu perasaan depresi (dysporia), cemas, gangguan kognitif/memori, agitasi (gejolak emosi), dan tiga serangkai (dimensi) menarik diri, apatis dan semangat (MAS). Klasifikasi dysporia punya subklasifikasi lagi yang dikelompokkan ke dalam putus asa. Pengelompokan ini dibuat agar pengukuran lebih akurat dan jelas. Hal ini memudahkan para peneliti dalam menggali gejala mana yang lebih dominan (Adam, et al 2004) sehingga bisa memilih pengobatan yang sesuai dengan gejala yang ada.

  Pernyataan yang termasuk kedalam klasifikasi dysporia adalah pernyataan nomor 1, 3, 4, 5, 16, 21, 23, 25 dan 29, klasifikasi dysporia secara umum menggambarkan perasaan sedih, tertekan (depresi), putus asa, dan kosong. Sedangkan subklasifikasi dysporia yaitu putus asa ada pada pernyataan nomor 2,

  10, 17, dan 22. Secara umum klasifikasi ini menggambarkan keputusasaan, ketidakberdayaan, dan perasaan tidak berharga. Ide untuk bunuh diri merupakan tujuan akhir setelah menjalani hidup yang tidak bergairah dan tidak bersemangat dari orang depresi dengan keputusasaan dan ketidakberdayaan (Adam, et al, 2004). Sehingga orang depresi yang berusaha untuk bunuh diri memiliki gejala- gejala yang dominan pada klasifikasi ini. Lalu pernyataan nomor 13, 18 dan 27 termasuk ke dalam klasifikasi cemas. Selanjutnya yang termasuk klasifikasi gangguan kognitif memori adalah nomor 9, 14, 19, 26 dan 30. Lalu klasifikasi yang termasuk dalam gejala agitasi yaitu nomor 8, 11 dan 24. Dan yang termasuk klasifikasi terakhir yaitu MAS adalah nomor 7, 6, 12, 15, 20, dan 28. Di dalam MAS ini secara umum digambarkan pengalaman dan prilaku yang dipengaruhi oleh umur, kelemahan fisik dan masalah kesehatan.