Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Gaya Kepemimpinan

  1.1 Definisi Gaya Kepemimpinan Jones (2007) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai cara seorang pemimpin yang dipersepsikan oleh karyawan dalam memberikan arahan, melaksanakan rencana, dan memotivasi pegawai. Kets de Vries (2001 dalam Kippenberger, 2002) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai kumpulan cara yang dipengaruhi oleh perilaku dan kepribadian pemimpin dalam memengaruhi anggota kelompok menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan bersama. Dari beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu cara pemimpin dalam memengaruhi anggota kelompok menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan bersama yang dipersepsikan oleh anggota kelompok tersebut.

1.2 Jenis Gaya Kepemimpinan

  Gaya kepemimpinan dibagi berdasarkan pengelompokannya menurut beberapa ahli. Likert, Hersey dan Blanchard, dan Lewin mengelompokkan gaya kepemimpinan menjadi 3 jenis yang berbeda, yaitu:

  7

1.2.1 Gaya Kepemimpinan menurut Likert

  Sistem pembagian gaya kepemimpinan ini dikembangkan oleh Rensis Likert. Likert (1967 dalam Kippenberger, 2002) menguraikan empat gaya kepemimpinan untuk menggambarkan hubungan, keterlibatan, dan peran pemimpin dan anggota dalam pengaturan organisasi, yaitu Exploitative-

  Authoritative, Benevolent-Authoritative, Consultative, dan Participative (dapat dilihat pada Tabel 2.1).

  Gaya kepemimpinan Exploitative-Authoritative berakar pada teori klasik. Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin cenderung menggunakan ancaman, ketakutan, dan hukuman untuk memotivasi para anggota. Pemimpin berada di bagian atas hirarki dalam membuat semua keputusan dan biasanya tidak menyadari masalah yang dihadapi oleh orang-orang di tingkat yang lebih rendah di organisasi. Keputusan dikenakan pada anggota, dan motivasi ditandai dengan ancaman. Perintah hanya dikeluarkan dari atasan. Akibatnya, para anggota cenderung memusuhi tujuan organisasi dan mungkin terlibat dalam perilaku yang bertentangan dengan tujuan-tujuan tersebut (Likert, 1967 dalam Kippenberger, 2002).

  Gaya kepemimpinan Benevolent-Authoritative memiliki pengendalian yang kurang mengikat dibandingkan Exploitative-Authoritative. Gaya kepemimpinan

  Benevolent-Authoritative didasarkan pada porsi hukuman dan imbalan yang

  seimbang. Wilayah pengambilan keputusan diperluas dengan memungkinkan anggota untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan, tetapi dibatasi oleh kerangka yang diberikan kepada mereka dari manajemen tingkat atas. Hal ini menciptakan banyak komunikasi ke bawah (anggota-anggota) dengan sedikit komunikasi ke atas (anggota-pemimpin). Pemimpin di atas merasa memiliki tanggung jawab lebih berat terhadap tujuan organisasi dibandingkan anggota di bagian bawah, yang merasa memiliki tanggung jawab yang sangat sedikit. Dalam perasaan terhadap tanggung jawab hal ini dapat mengakibatkan konflik dan sikap negatif dengan tujuan organisasi (Likert, 1967 dalam Kippenberger, 2002).

  Gaya kepemimpinan Consultative berdasarkan pada teori yang sangat erat kaitannya dengan manusia dan hubungan terhadap sesama. Pemimpin memotivasi anggota melalui imbalan dengan sedikit hukuman, dan sangat sedikit keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan tujuan. Anggota di tingkatan yang lebih rendah memiliki kebebasan untuk membuat keputusan tertentu yang akan mempengaruhi pekerjaan mereka. Manajemen tingkat atas masih memiliki kontrol atas kebijakan dan keputusan umum yang mempengaruhi organisasi. Pemimpin akan berbicara dengan anggota mereka tentang masalah dan rencana aksi sebelum mereka menetapkan tujuan organisasi. Komunikasi dalam sistem ini mengalir baik ke bawah dan ke atas, meskipun komunikasi ke atas lebih terbatas. Ini menciptakan efek yang lebih baik kepada hubungan anggota dan memungkinkan mereka untuk menjadi lebih kooperatif. Anggota dengan tingkatan lebih rendah dipandang sebagai konsultan untuk keputusan yang dibuat dan lebih bersedia untuk menerima mereka karena keterlibatan mereka. Kepuasan anggota lebih tinggi dibandingkan gaya kepemimpinan Benevolent-Authoritative (Likert, 1967 dalam Kippenberger, 2002).

  Likert (1967 dalam Kippenberger, 2002) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan Participative adalah bentuk yang paling efektif. Gaya kepemimpinan ini mendorong partisipasi dalam membuat keputusan dan menetapkan tujuan melalui komunikasi horizontal yang mengalir bebas dan memanfaatkan kreativitas dan keterampilan anggota. Pemimpin sepenuhnya menyadari masalah yang ada di tingkat yang lebih rendah di organisasi. Semua tujuan organisasi diterima oleh semua orang karena mereka diatur melalui partisipasi kelompok. Terdapat tanggung jawab dan akuntabilitas yang tinggi terhadap tujuan organisasi oleh semua anggota. Pemimpin memotivasi anggota melalui penghargaan finansial dan partisipasi dalam penetapan tujuan. Kepuasan anggota berada di tingkat yang tertinggi dari tiga gaya kepemimpinan sebelumnya.

Tabel 2.1 Pembagian gaya kepemimpinan menurut Likert

  Komponen Exploitative- Benevolent- Consultative Participative

  Authoritative Authoritative

  Pemberian Rasa takut dan Imbalan dan Imbalan Partisipasi motivasi ancaman hukuman grup Komunikasi Satu arah Satu arah Dua arah Dua arah

  (terbatas) Pengambilan Sentralisasi Sentralisasi Desentralisasi Desentralisasi keputusan (terbatas)

  Sumber: Likert (1967 dalam Kippenberger, 2002)

1.2.2 Gaya Kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard

  Gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard (1997, dalam Nursalam, 2009) dikelompokkan menjadi empat kategori utama, yaitu Instruksi, Konsultasi, Partisipatif, dan Delegasi (dapat dilihat pada Tabel 2.2). Gaya kepemimpinan Instruksi memiliki karakteristik khusus dimana tugas kerja yang diberikan oleh pemimpin berada dalam keadaan tinggi namun rendah dalam hal hubungan pekerjaan. Komunikasi yang dilakukan oleh pemimpin berjalan sejarah dari pemimpin ke anggota. Pengambilan keputusan berada pada pemimpin dan peran anggota dalam pengambilan keputusan tersebut sangat minimal. Pemimpin banyak memberikan pengarahan atau instruksi yang spesifik serta mengawasi dengan ketat.

  Gaya kepemimpinan Konsultasi memiliki karakteristik tugas kerja yang tinggi dan juga hubungan pekerjaan yang tinggi. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan anggota. Peran pemimpin dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan cukup besar. Gaya kepemimpinan Partisipatif menerapkan pemberian tugas yang rendah namun disertai hubungan pekerjaan yang tinggi. Pemimpin dan anggota bersama-sama memberi gagasan dalam pengambilan keputusan. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan anggota (Hersey & Blanchard, 1997 dalam Nursalam, 2009).

  Gaya kepemimpinan Delegasi memiliki karakteristik rendah hubungan dan rendah tugas pekerjaan. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan anggota hanya saat diperlukan. Diskusi sering dilakukan antara pemimpin dan anggota dalam pemecahan masalah serta anggota diberi delegasi untuk mengambil keputusan (Hersey dan Blanchard, 1997 dalam Nursalam, 2009).

  Kepemimpinan Instruksi memiliki karakteristik khusus dimana tugas kerja yang diberikan oleh pemimpin berada dalam keadaan tinggi namun rendah dalam hal hubungan pekerjaan. Komunikasi yang dilakukan oleh pemimpin berjalan searah dari pemimpin ke anggota. Pengambilan keputusan berada pada pemimpin dan peran anggota dalam pengambilan keputusan tersebut sangat minimal. Pemimpin banyak memberikan pengarahan atau instruksi yang spesifik serta mengawasi dengan ketat.

  Gaya kepemimpinan Konsultasi memiliki karakteristik tugas kerja yang tinggi dan juga hubungan pekerjaan yang tinggi. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan anggota. Peran pemimpin dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan cukup besar.

  Gaya kepemimpinan Partisipatif menerapkan pemberian tugas yang rendah namun disertai hubungan pekerjaan yang tinggi. Pemimpin dan anggota bersama- sama memberi gagasan dalam pengambilan keputusan. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan anggota (Hersey dan Blanchard, 1997 dalam Nursalam, 2009).

  Gaya kepemimpinan Delegasi memiliki karakteristik rendah hubungan dan rendah tugas pekerjaan. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan anggota hanya saat diperlukan. Diskusi sering dilakukan antara pemimpin dan anggota dalam pemecahan masalah serta anggota diberi delegasi untuk mengambil keputusan (Hersey dan Blanchard, 1997 dalam Nursalam, 2009).

Tabel 2.2 Pembagian gaya kepemimpinan menurut Hersey-Blanchard

  Komponen Instruksi Konsultasi Partisipasi Delegasi Tugas Tinggi Tinggi Rendah Rendah Hubungan Rendah Tinggi Tinggi Rendah Komunikasi Searah Dua arah Dua arah Dua arah

  Pimpinan Pimpinan dan Pengambilan Pimpinan

  Pimpinan (dominan) dan anggota Keputusan dan anggota anggota (dominan)

  Sumber: Hersey dan Blanchard (1997, dalam Nursalam 2009)

1.2.3 Gaya Kepemimpinan menurut Lewin

  Lewin (1939 dalam Marquis & Huston, 2010) mengelompokkan gaya kepemimpinan menjadi tiga kategori utama, yaitu: Otoriter, Demokratis, dan

  Laissez-faire (dapat dilihat pada Tabel 2.3). Gaya kepemimpinan otoriter

  memiliki karakteristik dimana wewenang mutlak dan tanggung jawab berada pada pemimpin. Pengambilan keputusan organisasi selalu dibuat oleh pemimpin.

  Pengawasan terhadap sikap, perilaku, atau kegiatan para anggota dilakukan secara ketat. Pemimpin tidak menyediakan kesempatan bagi anggota untuk memberikan saran, pertimbangan atau pendapat untuk organisasi. Tugas-tugas kepada anggota diberikan secara instruktif oleh pemimpin. Pemimpin memberikan hadiah dan hukuman untuk memotivasi anggota. Pemimpin menilai cara memimpin yang efektif adalah dengan memberikan perintah secara instruktif dan mengawasi secara ketat (Whitehead, Weiss & Tappen, 2007).

  Gaya kepemimpinan demokratis memiliki karakteristik dimana wewenang pemimpin tidak bersifat mutlak. Pemimpin menilai setiap anggota berkompetensi dan dapat bertanggung jawab dalam tugas yang diberikan. Pengambilan keputusan dibuat bersama antara pemimpin dan anggota (Whitehead, Weiss & Tappen, 2007). Pengawasan dilakukan secara wajar. Banyak kesempatan disediakan kepada anggota untuk menyampaikan saran dan pertimbangan. Pemimpin dibantu anggota mengelompokkan tugas bersama-sama. Komunikasi suportif yang membangun dan berkelanjutan digunakan untuk memotivasi karyawan. (Marquis & Huston, 2010).

  Kata “Laissez-faire” berasal dari bahasa Prancis yang berarti “membiarkan” (orang-orang) “melakukan” (yang terbaik) (Barnhart & Robert, 1988). Gaya kepemimpinan laissez-faire memiliki karakteristik dimana pelaksanaan pekerjaan dilakukan lebih banyak oleh anggota. Keputusan dan kebijakan organisasi lebih banyak dibuat oleh anggota. Pemimpin membiarkan anggota memotivasi timnya sesuai keinginan. Pemimpin melakukan pengawasan dengan tingkatan rendah terhadap para anggota (Whitehead, Weiss & Tappen, 2007). Pemimpin memfasilitasi anggota untuk melakukan umpan balik kepada tim tanpa harus berkonsultasi kepada pemimpin. Pemimpin memberikan kebebasan kepada para anggota untuk memilih tugas yang akan dilakukan Secara umum, pemimpin menilai cara yang efektif adalah dengan membiarkan para anggota bekerja secara independen (Marquis & Huston, 2010).

Tabel 2.3 Pembagian gaya kepemimpinan menurut Lewin

  Komponen Otokratis Demokratis Laissez-faire Pengambilan Pemimpin Pemimpin dan Anggota Keputusan anggota Umpan Balik Tidak ada Ada Anggota Motivasi Hadiah dan Komunikasi Anggota hukuman Suportif Pembagian Tugas Pemimpin Pemimpin dan Anggota anggota Sumber: Lewin (1939 dalam Marquis & Huston, 2010)

  Peneliti memutuskan untuk memilih teori kepemimpinan Lewin (1939 dalam Marquis & Huston, 2010) sebagai teori dasar dalam penelitian karena teori ini dirancang untuk dapat diterapkan secara universal dan lebih jelas sehingga memudahkan peneliti dalam mengelompokkan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala ruangan.

2. Burnout

  2.1 Definisi Burnout Menurut Maslach dan Jackson (1986), burnout adalah sindroma kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian diri yang dapat terjadi pada seseorang di dalam pekerjaannya. Kelelahan emosional mengacu pada penurunan bahkan hilangnya sumber kekuatan emosional tanpa diketahui penyebabnya.

  Depersonalisasi mengacu pada perkembangan sikap yang negatif dan kecenderungan untuk menjauh dari lingkungan. Penurunan pencapaian diri adalah kecenderungan untuk mempercayai bahwa tujuan dalam pekerjaannya tidak tercapai, yang ditunjukkan oleh perasaan ketidakcukupan dan rasa harga diri profesional yang rendah.

  Pines dan Aronson (1988) mendefinisikan burnout sebagai kondisi kelelahan fisik, emosional dan mental yang disebabkan oleh keterlibatan jangka panjang terhadap situasi yang menuntut. Kelelahan fisik ditunjukkan oleh energi yang rendah, kelelahan kronis, kelemahan dan keluhan psikosomatis lainnya.

  Kelelahan emosional melibatkan perasaan tidak berdaya, putus asa dan perasaan terjebak. Kelelahan mental mengacu pada perkembangan sikap negatif kepada seseorang, pekerjaan dan kehidupan.

  Menurut Brill (1984), burnout adalah kondisi disfungsional yang hebat yang berhubungan dengan pekerjaan tanpa menunjukkan kondisi psikopatologi khusus.

  Burnout berjalan dalam kurun waktu tertentu dalam suatu situasi kerja dan tidak

  akan teratasi tanpa pertolongan dari luar. Stres akibat pemberhentian kerja dan penderitaan ekonomi tidak termasuk sebagai burnout. Burnout dapat terjadi pada setiap jenis pekerjaan selama tidak berada di luar konteks pekerjaan. Selain itu, seseorang yang mengalami burnout tidak dikategorikan sebagai seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan. Seseorang yang mengalami penurunan performa kerja yang sementara dan dapat pulih kembali juga tidak dianggap mengalami

  burnout.

  adalah fenomena multidimensional, yang tidak seperti depresi,

  Burnout burnout berikatan dengan lingkungan kerja. Selain itu, burnout dibedakan dengan

  stres kerja, burnout lebih mengacu pada kegagalan adaptasi sebagai hasil dari stres kerja yang menetap. Burnout juga dibedakan dengan sindroma kelelahan kronik. Burnout terkait dengan pekerjaan dan berhubungan erat dengan sindroma mental, sementara sindroma kelelahan kronik bersifat umum dan ditunjukkan oleh kelelahan yang tak dapat dijelaskan dan gejala fisik lainnya (Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

  Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa burnout adalah sindroma kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian diri yang dapat terjadi pada seseorang dalam pekerjaannya.

  2.2 Dimensi Burnout Maslach dan Jackson (1986) menyatakan bahwa burnout memiliki tiga dimensi utama, yaitu kelelahan, penurunan pencapaian pribadi, dan depersonalisasi . Kelelahan yang dimaksud adalah perasaan lelah yang hebat terhadap lingkungan pekerjaan. Seseorang yang mengalami burnout akan mengalami penurunan semangat saat memulai pekerjaan, saat sedang bekerja, dan seusai bekerja. Mereka akan merasa frustrasi, tertekan, dan mengalami kebuntuan dalam pekerjaannya. Masalah makan dan tidur yang memperburuk kondisi juga akan ditemui. Kelelahan yang dikategorikan ke dalam burnout cenderung berlangsung dalam waktu yang lama.

  Dimensi kedua dari burnout adalah penurunan pencapaian pribadi yang ditandai dengan perasaan penurunan kemampuan diri di lingkungan kerja, perasaan tidak berdaya, perasaan pengaruh negatif terhadap orang lain, kehilangan kebahagiaan saat bekerja, merasa semua tugas yang diberikan menjadi berat dan tidak selesai. Ketika anggota merasa tidak efektif saat bekerja, maka rasa percaya diri akan berkurang. Mereka merasa belum mencapai banyak hal berharga dalam pekerjaannya (Maslach & Jackson, 1986).

  Dimensi ketiga adalah depersonalisasi yang ditandai dengan sikap sinis, hilangnya empati, sikap memperlakukan klien dengan tidak utuh, penarikan diri dari hubungan terhadap penerima jasa ataupun rekan kerja. Anggota yang mengalami burnout merasa tidak ada yang mampu untuk mengerti ataupun membantunya, sehingga mereka memiliki kecenderungan untuk menyelesaikan semua masalah tersebut sendirian. Ketika seorang anggota merasakannya, mereka cenderung merasa bersalah terhadap keputusan di masa lalu dan khawatir atas masalah yang dialami saat ini (Maslach & Jackson, 1986).

2.3 Manifestasi Burnout

  Manifestasi burnout dikelompokkan menjadi empat kategori utama, yaitu afektif, kognitif, perilaku, dan motivasi (Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

  Secara umum, manifestasi afektif yang muncul pada seseorang yang mengalami

  burnout adalah suasana hati yang suram dan tertekan. Sumber kekuatan emosional

  akan perlahan menurun karena terlalu banyak berfokus pada pekerjaan dalam waku yang lama. Tanda lainnya dari manifesasi afektif adalah adanya agresi dan kecemasan. Seseorang yang mengalami bunout memiliki toleransi frustrasi yang rendah, mudah tersinggung, dan menunjukkan sikap bermusuhan, tidak hanya kepada pengguna jasa pelayanan, namun juga kepada kolega dan pemimpinnya. (Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

  Perubahan kognitif yang signifikan pada saat seseorang mengalami burnout adalah perasaan keputusasaan dan ketidakberdayaan. Seseorang akan kehilangan makna dalam pekerjaannya. Setelah merasa gagal dalam memperbaikinya, mereka mulai merasakan kebuntuan. Perasaan kegagalan tersebut terjadi bersamaan dengan perasaan ketidakmampuan dalam bekerja dan juga hubungan sosial yang buruk di lingkungan pekerjaan. Keterampilan kognitif tertentu seperti ingatan dan perhatian akan terganggu dan membuat proses berpikir menjadi lebih kaku dan terpisah-pisah. Salah satu gejala yang paling khas dari burnout pada tingkat interpersonal adalah penurunan keterlibatan dengan penerima jasa. Manifestasi gangguan kognitif burnout tercermin dari sikap sinis, negatif, pesimis, dan kurang empati. Pada tingkat organisasi, anggota yang mengalami burnout merasa tidak dihargai oleh atasan mereka ataupun oleh rekan kerja. Mereka kehilangan kepedulian terhadap organisasi dan menurunkan rasa percaya terhadap rekan- rekan dan pemimpinnya (Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

  Manifestasi perilaku seseorang yang mengalami burnout adalah penarikan psikologis dan perilaku koping maladaptif. Secara umum, tidak terdapat hubungan antara burnout dengan kebiasaan konsumsi kopi, rokok, alkohol, dan zat adiktif. Di tingkat organisasi, manifestasi yang paling nyata dari burnout adalah penurunan kehadiran kerja tanpa alasan yang jelas dan penurunan performa kerja.

  (Maslach, 1976, dalam Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

  Di tingkat intrapersonal, motivasi intrinsik seseorang yang mengalami akan menurun secara perlahan, diikuti oleh penurunan semangat,

  burnout

  antusiasme, dan idealisme. Anggota yang mengalami burnout merasa bahwa tidak ada hal apapun yang bisa membuat mereka bersemangat saat bekerja.

  Kekecewaan terhadap pekerjaan akan meningkat. Pada tingkat interpersonal, salah satu ciri khas dari burnout adalah penurunan hubungan dengan penerima jasa (Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

  2.4 Pencegahan dan Penanganan Burnout Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menangani

  burnout antara lain: 1) memulai hari kerja dengan perasaan rileks, 2) menerapkan

  pola makan yang sehat, 3) berolahraga secara teratur, 4) mengatur pola tidur, 5) mengurangi hal-hal yang menimbulkan stress kerja, 6) mengurangi aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan di akhir pekan, 7) mengembangkan kreativitas di dalam dan luar pekerjaan dan 8) berkonsultasi dengan ahli kejiwaan jika diperlukan (Maslach & Leiter, 1997 dalam Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

  Efektivitas manajemen stres sebagai penanganan burnout masih dikembangkan oleh para ahli. Beberapa ahli sulit untuk menarik kesimpulan karena studi evaluasi menggunakan sampel, prosedur, kerangka waktu, instrumen pengukuran, dan metode pelatihan yang berbeda. Beberapa studi juga mengalami kekurangan metodologis seperti kurangnya kelompok kontrol dan jumlah peserta yang kecil sehingga memerlukan banyak pengembangan (Kraft, 2006). Di sisi lain, kelelahan sebagai gejala inti burnout dapat dikurangi dengan latihan menggunakan teknik koping adaptif, teknik relaksasi dan restrukturisasi kognitif (Schabracq, Winnuubst & Cooper, 2003).

  Meskipun demikian, dimensi penurunan pencapaian diri dan depersonalisasi sulit untuk berubah. Hal ini dikarenakan teknik yang digunakan untuk mengatasi

  burnout hanya berfokus untuk mengurangi kemunculan gejala alih-alih pada

  perubahan sikap depersonalisasi atau peningkatan keterampilan profesional yang menetap. Aktivitas kelompok pendukung sosial tampaknya tidak memiliki dampak positif dalam mengatasi aspek kelelahan pada burnout. Meskipun begitu, program ini dievaluasi secara positif dan tingkat efektivitasnya akan terus ditingkatkan (Swider & Zimmerman, 2010).

Dokumen yang terkait

Analisis Kepuasan Perawat Dalam Pelaksanaan Kolaborasi Perawat-Dokter Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

0 0 13

Lampiran 1 FORMULIR PERSETUJUAN MENJADI PESERTA PENELITIAN Pengaruh Latihan Fleksibilitas Terhadap Perubahan Tekanan Darah Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisa Di Klinik Ginjal Dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 30

Penilaian Higiene dan Sanitasi Penjualan Makanan Pecel dan Pemeriksaan Salmonella di Kecamatan Medan Helvetia 2015

0 3 15

Perkembangan Psikososial Remaja Pasca Erupsi Gunung Sinabung di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

0 0 36

BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Remaja 2.1.1 Defenisi Remaja - Perkembangan Psikososial Remaja Pasca Erupsi Gunung Sinabung di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

0 1 13

Pengendalian Nyeri (Pain Control) pada Pasien Kanker Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 33

Pengendalian Nyeri (Pain Control) pada Pasien Kanker Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 21

Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Motivasi Mahasiswa Sarjana Keperawatan Kelas Reguler Menjalani Pendidikan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

0 1 34

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Motivasi Mahasiswa Sarjana Keperawatan Kelas Reguler Menjalani Pendidikan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

0 0 19

Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan

0 0 25