Strategi Korporasi Menghadapi Unjuk Rasa

Strategi Korporasi
Menghadapi Unjuk Rasa dan Konflik Horizontal
oleh : STANISLAUS RIYANTA
email : stanislausriyanta@gmail.com
Salah satu tantangan berat bagi korporasi adalah menghadapi masalah sosial. Kerap
kali masalah sosial seperti unjuk rasa dan konflik horizontal datang tiba-tiba sehingga
melumpuhkan operasional korporasi. Unjuk rasa bisa dilakukan oleh pihak internal seperti
karyawan, bisa juga dilakukan oleh pihak eksternal seperti masyarakat sekitar. Konflik
horizontal bisa mengganggu korporasi jika dalam konflik tersebut ternyata korporasi
dianggap sebagai oposisi salah satu pihak. Masalah sosial bagi korporasi sering dianggap
sepele, namun dampak masalah sosial bisa mengakibatkan korporasi tidak berdaya.
Unjuk rasa yang terjadi pada korporasi secara umum disebabkan oleh tiga hal.
Pertama adalah masalah ketenagakerjaan. Masalah klasik yang terjadi pada ketenagakerjaan
berkaitan dengan pendapatan dan status kekaryawanan. Pendapatan biasanya berkaitan
dengan gaji pokok yang tidak sesuai standard, THR, dan uang lembur. Status kekaryawanan
yang sering menjadi permasalahan berkaitan dengan status kontrak yang lamanya melebihi
aturan sehingga tidak diangkat sebagai karyawan tetap, dan pemutusan hubungan kerja yang
dianggap tidak sesuai aturan.
Tenaga kerja alih daya (outsourcing) yang tidak sesuai dengan regulasi banyak terjadi
di Indonesia. Nasib tenaga kerja alih daya yang terkatung-katung memicu rasa ketidakadilan
dan solidaritas sehingga menciptakan daya pemersatu untuk melawan perusahaan. Dan

biasanya yang menjadi sasaran unjuk rasa dari kasus tenaga kerja alih daya ini adalah
perusahaan yang menggunakan jasanya. Perusahaan pengelola tenaga kerja alih daya justru
sering bersembunyi dan melemparkan masalah ke penerima jasa. Tidak jarang perusahaan
pengelola tenaga kerja memprovokasi karyawannya untuk menuntut hak yang lebih ke
perusahaan penerima jasa tenaga kerja alih daya.
Masalah kedua yang sering menjadi bahan untuk unjuk rasa adalah berkaitan dengan
lingkungan. Masalah lingkungan yang kompleks termasuk di dalamnya tanggung jawab
sosial korporasi terhadap masyarakat di sekitarnya. Limbah dan pencemaran sebagai dampak
operasional korporasi termasuk salah satu masalah lingkungan penyebab unjuk rasa.
Masalah ketiga adalah lahan. Permasalahan lahan banyak terjadi di korporasi yang
bergerak di bidang infrastruktur, pertambangan, perkebunan, HTI, dan bidang lain yang
memerlukan lahan luas untuk aktivitasnya, termasuk pabrik otomotif. Tata ruang dan tata
wilayah yang masih belum baik di Indonesia membuat banyak kepentingan dan mafia lahan
bermunculan. Tidak jarang masyarakat pemilik lahan dan korporasi justru diadu domba.
Permasalahan lahan ini sering kali memicu konflik horizontal yang dampaknya luar biasa
seperti kasus konflik lahan di daerah Lampung.

Deteksi Dini dan Cegah Dini
Unjuk rasa dan konflik horizontal tidak muncul tiba-tiba. Aksi unjuk rasa dan konflik
horizontal pada tahap pertama akan didahului oleh noise. Keluhan-keluhan, rasa


ketidakpuasan, atau kritikan di arus bawah ini menjadi penanda bahwa ada sesuatu masalah.
Korporasi sering menganggap remeh adanya noise, terutama korporasi yang merasa sudah
besar dan mempunyai sistem pengamanan dan jaringan dengan aparat keamanan yang besar.
Pengabaian inilah yang menyebabkan penguatan noise menjadi voice.
Voice sebagai implikasi ketidakpuasan dilakukan lebih kuat daripada noise. Dalam
tahap ini ketidakpuasan atau permasalahkan sudah terlihat jelas misalnya melalui laporan,
aduan, atau komplain secara tertulis. Voice sudah terjadi secara sistematis dan terbuka. Jika
tahapan voice tidak dikelola dengan baik maka yang terjadi adalah aksi unjuk rasa. Di tingkat
umum masyarakat, voive bisa menjadi konflik horizontal.
Korporasi sebagai lembaga seharusnya mampu melakukan deteksi dini
atas noise dan voice. Jika noise dan voice bisa dideteksi sejak dini maka langkah-langkah
pencegahan bisa lebih mudah dilakukan dibandingkan jika sudah terjadi aksi unjuk rasa. Aksi
unjuk rasa, apalagi yang sudah disusupi oleh pihak luar, melibatkan banyak kepentingan.
Penanganan menjadi rumit, perlu pihak ketiga karena korporasi sudah tidak dipercaya lagi,
Ujung-ujungnya dalah biaya penanganan yang cukup tinggi.
Hubungan vertikal di korporasi yang baik akan memudahkan deteksi dini dan cegah
dini atas unjuk rasa. Penanganan noise dan voice secara cepat akan mencegah unjuk rasa
terjadi. Biaya pencegahan lebih kecil daripada biaya penanganan unjuk rasa.


Kerentanan Korporasi
Ancaman unjuk rasa dan konflik horizontal mempunyai korelasi dengan kerentanan
korporasi. Dalam menghadapi ancaman, korporasi harus memperhatikan 3 faktor dari
kerentanan yaitu daya tarik, kemudahan diserang, dan dampak. Dengan mengecilkan daya
tarik, kemudahan diserang, dan dampak maka unjuk rasa dan konflik horizontal akan sulit
terjadi pada korporasi. Minimal jika sudah terjadi maka akan lebih mudah untuk ditangani.

a. daya tarik
Semakin tinggi daya tarik korporasi maka akan semakin tinggi peluang unjuk rasa dan
konflik horizontal terjadi. Unjuk rasa yang ditunggangi oleh pihak ketiga seperti organisasi
politik akan mengarah pada korporasi yang sudah mempunyai nama besar. Hal ini
mempunyai tujuan untuk menaikkan nilai popularitas pelaku,
Selain itu daya tarik korporasi dimainkan oleh pelaku untuk berhadapan dengan
media masa. Korporasi besar akan sangat terganggu citranya jika ada unjuk rasa. Citra
korporasi, terutama bagi perusahaan terbuka, sangat mempengaruhi nilai saham. Daya tarik
ini akan menjadi permainan para pelaku unjuk rasa guna mewujudkan kepentingannya.
Salah satu upaya untuk mencegah unjuk rasa dan konflik horizontal adalah dengan
memperkecil daya tarik, walaupun hal ini sangat sulit terjadi terutama bagi perusahaan go
publik. Langkah minimal bagi korporasi adalah dengan membagi risiko dan sektor bisnis
kepada anak perusahaan sehingga daya tarik korporasi akan terbagi. Masalah di anak

perusahaan sebaiknya diselesaikan di tingkat anak perusahaan, campur tangan induk
perusahaan (holding company) justru akan dimanfaatkan oleh pelaku unjuk rasa untuk
memudahkan kepentingannya tercapai.

b. kemudahan diserang
Jangan membayangkan istilah “kemudahan diserang” seperti dalam suatu peperangan
saja. Korporasi yang mempunyai celah-celah “sasaran tembak” maka nilai kemudahan
diserangnya akan tinggi. Contoh dari faktor kemudahan diserang ini adalah aspek legalitas
yang lemah atau adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi.
Sistem kontrak kerja yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku akan menjadi
celah bagi pelaku unjuk rasa untuk menyerang perusahaan. Selain unjuk rasa, pihak oposisi
juga bisa melakukan perlawanan hukum. Pelanggaran hukum lainnya seperti pencemaran
lingkungan atau penyerobotan lahan juga menjadi makanan empuk bagi oposisi
korporasi. Satu-satunya jalan untuk meminimalkan nilai kemudahan diserang adalah dengan
mentaati aturan dan perundangan yang berlaku.
Selain dari sistem legalitas, korporasi perlu membangun sistem pengamanan yang
baik agar tidak mudah diserang. Sistem pengamanan secara fisik seperti adanya tembok dan
security guard masih belum cukup untuk menghadapi ancaman unjuk rasa. Korporasi harus
melengkapi sistem pengamanan dengan social protection, yaitu sistem pengamanan sosial
yang terbangun karena adanya hubungan baik antara korporasi dengan entitas disekitarnya.

Masyarakat yang mempunyai hubungan baik dengan korporasi akan menjadi ujung
tombak dalam deteksi dini dan cegah dini atas ancaman korporasi. Social protection harus
dibangun secara berkelanjutan dan dilakukan dengan tulus. Investasi sosial ini tidak bisa
dipetik hasilnya dalam waktu dekat, tapi dalam jangkan panjang dampaknya akan sangat
besar.

c. dampak
Unjuk rasa dan konflik horizontal pasti akan membawa dampak bagi korporasi.
Dampak yang timbulkan bisa macam-macam seperti dampak operasional dan dampak sosial,
yang semuanya akan berujung pada cost. Korporasi harus mempunyai strategi dan skenario
untuk melakukan deteksi dini, pencegahan dini, dan penanganan unjuk rasa / konflik
horizontal.
Simulasi tanggap darurat dan sistem business continuity process (BCP) yang baik dan
teruji akan meminimalkan dampak jika terjadi gangguan terhadap korporasi. Contohnya
adalah adanya unjuk rasa dan mogok kerja yang bertujuan ingin mengentikan operasional.
Jika perusahaan mempunyai skenario BCP yang baik maka jika terjadi unjuk rasa operasional
tetap dapat berjalan. Strategi BCP ini tentu sudah dikuasai oleh masing-masing korporasi.

Tanggap Strategi
Untuk menghadapi ancaman unjuk rasa dan konflik horizontal pada korporasi maka

perlu disiapkan rencana tanggap startegi. Rencana tersebut sebaiknya terdiri dari empat
langkah minimal yaitu : pencegahan, persiapan, tanggap darurat dan pemulihan.
Pencegahan terhadap ancaman unjuk rasa dan konflik horizontal dapat dilakukan pada
saat potensi ancaman tersebut pada tahap voice dan noise. Penanganan yang cepat dan
responsif atas noise dan voice dapat efektif mencegah unjuk rasa. Selian itu penaganan sejak
dini akan menutup adanya pihak-pihak lain yang ingin memperkeruh suasana.

Langkah persiapan dilakukan jika noice dan voice tidak bisa tertangani. Persiapan
yang haris dilakukan misalnya menyiapkan mediator/negosiator, sistem pengamanan, BCP,
logistik, perekaman kejadian dan lain-lain. Persiapan dilakukan terutama untuk mencegah
kepanikan. Selain itu dengan persiapan yang matang akan memperkecil dampak dari ujunk
rasa dan konflik horizontal yang terjadi pada korporasi.
Tangap darurat adalah langkah korporasi pada saat menghadapi unjuk rasa dan
konflik horizontal. Pada fase tanggap darurat peran dari mediator / negosiator dan aparat
keamanan sangat penting. Logistik dan tindaka BCP dijalankan agar operasional tetap
berjalan jika memungkinkan. Tindakan tanggap darurat sangat penting untuk mennetukan
apakah unjuk rasa dan konflik horizontal akan membesar atau tidak.
Fase pemulihan adalah saat tanggap darurat penanganan unjuk rasa dan konflik sosial
selesai. Fase ini sangat penting terutama untuk memperbaik sistem penyebab adanya unjuk
rasa dan konflik sosial. Fase pemulihan dilakukan juga untuk menghilangkan trauma.


Penutup
Salah satu pendadakan strategis yang dialami oleh korporasi adalah unjuk rasa dan
konflik horizontal. Langkah deteksi dini dan pencegahan dini dapat dilakukan selama potensi
ancaman tersebut pada tahap noise dan voice. Ancaman unjuk rasa dan konflik horizontal
berkorelasi dengan kerentanan korporasi. Semakin kecil kerentanan korporasi maka akan
sulit terjadi unjuk rasa dan konflik sosial.
Langkah tanggap strategi dalam empat fase yaitu pencegahan, persiapan, tanggap
darurat, dan pemulihan. Dengan langkah ini diharapkan korprasi tidak gagap dan panik dalam
menghadapi pendadakan strategis. Masalah sosial seperti unjuk rasa dan konflik horizontal
tidak bisa diprediksi.
Hal terbaik yang bisa dilakukan oleh korporasi adalah menyiapkan diri dengan
memperkecil kerentanan dan mempersiapkan langkah strategi untuk mencegah, menghadapi,
dan memulihkan situasi.

*) Stanislaus Riyanta, analis intelijen dan keamanan korporasi, alumnus Program
Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia