100795850 Pembalajaran PKN SD. pdf
BAB I SELAYANG PANDANG PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
A. Pengertian
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang studi yang bersifat multifaset dengan konteks lintas bidang keilmuan, namun secara filsafat keilmuan ia memiliki ontology pokok ilmu politik, khususnya konsep “political democracy” untuk aspek “duties and rights of citizen” (Chreshore:1886). Dari ontologi pokok inilah berkembang konsep “civics”, yang secara harfiah diambil dari bahasa Latin “civicus” yang artinya warga negara pada jaman Yunani kuno, yang kemudian diakui secara akademis sebagai embrionya “civic education”, yang selanjutnya di Indonesia diadaptasi menjadi “pendidikan kewarganegaraan” (PKn).
Secara epistemologis, PKn sebagai suatu bidang keilmuan merupakan pengembangan dari salah satu dari lima tradisi “social studies” yakni “citizenship transmission” (Barr, Barrt, dan Shermis:1978). Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu “body of knowledge” yang dikenal dan memiliki paradigma sistemik yang didalamnya terdapat tiga domain “citizenship education” yakni: domain akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural” (Winataputra:2003). Ketiga domain itu satu sama lain memiliki saling keterkaitan struktural dan fungsional yang diikat oleh konsepsi “civic virtue and culture” yang mencakup “civic knowledge, civic disposition, civic skills, civic confidence, civic commitment, dan civic competence” (CCE:1998).
Oleh karena itu, ontologi PKn saat ini sudah lebih luas dari pada embrionya, sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas sosiokultural PKn bersifat multidimensional. Sifat multidimensionalitas inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi sebagai
pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak azasi manusia, dan pendidikan demokrasi. Bagi negara kita, Indonesia, arah pengembangan PKn tidak boleh keluar dari landasan ideologis Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan operasional Undang-undang Sisdiknas yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 20 tahun 2003. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu bentuk dari domain kurikuler PKn. Sesuai dengan namanya, PKn merupakan mata pelajaran dalam kurikulum SD, sebagai mata kuliah dalam program pendidikan tenaga kependidikan, PKn mempunyai misi sebagai pendidikan nilai Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan dan sebagai “subject-specific pedagogy” atau pembelajaran materi subjek untuk guru PKn, sebagai mata pelajaran di SD, PKn mempunyai misi sebagai pendidikan nilai Pancasila dan kewarganegaraan untuk warga negara muda usia SD.
Pembelajaran PKn di SD adalah pengembangan kualitas warga negara secara utuh, dalam aspek-aspek:
o Kemelek-wacanaan kewarganegaraan (civic literacy), yakni pemahaman peserta didik sebagai warga negara
tentang hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia serta menyesuaikan perilakunya dengan pemahaman dan kesadaran itu;
o Komunikasi sosiokultural kewarganegaraan (civic engagement), yakni kemauan dan kemampuan peserta
didik sebagai warga negara untuk melibatkan diri dalam komunikasi sosial-kultural sesuai dengan hak dan kewajibannya.
o Pemecahan masalah kewarganegaraan (civic skill and participation), yakni kemauan, kemampuan, dan
keterampilan peserta didik sebagai warga negara dalam mengambil prakarsa dan/atau turut serta dalam pemecahan masalah sosialkultur kewarganegaraan di lingkungannya.
o Penalaran kewarganegaraan (civic knowledge), yakni kemampuan peserta didik sebagai warga negara untuk
berpikir secara kritis dan bertanggungjawab tentang ide, instrumentasi, dan praksis demokrasi konstitusional Indonesia.
o Partisipasi kewarganegaraan secara bertanggung jawab (civic participation and civic responsibility), yakni
kesadaran dan kesiapan peserta didik sebagai warga Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, terdapat
pasal yang mengatur tentang Pendidikan Kewarganegaraan untuk tingkat satuan pendidikan. Negara untuk berpartisipasi aktif dan penuh tanggung jawab dalam berkehidupan demokrasi konstitusional. PKn untuk sekolah sangat erat kaitannya dengan dua disiplin ilmu yang erat dengan kenegaraan, yakni Ilmu Politik dan Hukum yang terintegrasi dengan humaniora dan dimensi keilmuan lainnya yang dikemas secara ilmiah dan pedagogis untuk kepentingan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, PKn di tingkat persekolahan bertujuan untuk mempersiapkan para peserta didik sebagai warga negara yang cerdas dan baik (to be smart dan good citizen ). Warga negara yang dimaksud adalah warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan rasa kebsangsaan dan cinta tanah air.
Pembelajaran PKn di SD lebih dititikberatkan pada penghayatan dan pembiasaan diri untuk berperan sebagai warga negara yang demokratis dalam konteks Indonesia. Untuk itu guru PKn harus menjadi model warga negara yang demokratis sehingga menjadi teladan bagi peserta didiknya. Bertolak dari berbagai pertimbangan, maka untuk pembelajaran PKn di SD tersebut seyogianya diorganisasikan sebagai berikut.
o Pada jenjang SD kelas rendah (lower primary), yakni rentang kelas 1-3, pengorganisasian materi pendidikan
kewarganegaraan menerapkan pendekatan terpadu
(integrated) dengan fokus model pembelajaran yang berorientasi pada pengalaman (experience oriented) dengan
pengorganisasian lingkungan yang meluas (expanding environment/ community approach) . Tujuan akhir dari pendidikan kewarganegaraan di kelas rendah ini adalah untuk menumbuh kembangkan kesadaran dan pengertian awal tentang pentingnya kehidupan bermasyarakat secara tertib dan damai. Melalui pembiasaan para peserta didik dikondisikan untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai anggota keluarga, warga sekolah, dan warga masyarakat di lingkungannya secara cerdas dan baik (good and smart citizen). Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil bermain (learning through gaming), belajar sambil berbuat (learning by doing), dan belajar melalui interaksi sosial- kultural di lingkungannya (enculturation and socialization).
memanfaatkan
pola
o Pada jenjang SD kelas tinggi (upper primary) (4-6) pengorganisasian materi pembelajaran pendidikan
kewarganegaraan sama dengan jenjang kelas 1-3 yakni menerapkan pendekatan terpadu (integrated) dengan model pembelajaran yang berorientasi pada pengalaman (experience oriented) dengan pola pengorganisasian lingkungan meluas (expanding environment/community approach) dengan visi utama sebagai pendidikan nilai dan moral demokrasi (democracy value and moral education). Perbedaannya, pada jenjang SD kelas tinggi, pembelajaran sudah mulai dikenalkan mata pelajaran yang terpisah. Guru SD sebagai guru kelas membelajarkan lima mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, PKn) secara terpisah. Namun, dianjurkan pula untuk beberapa kompetensi dasar, agar guru menerapkan pendekatan tematik (integrated) sesuai dengan memperhatikan prinsip kontekstual, aktualitas, dan kebutuhan peserta didik. Untuk itu maka
substansi pendidikan kewarganegaraan di kelas tinggi dipilih dan diorganisasikan secara terorkestrasi (orchestrated) dengan menekankan pada tumbuh- kembangnya lebih lanjut kesadaran, pengertian, tentang pentingnya kehidupan bermasyarakat secara tertib dan damai dan mulai tumbuhnya tanggungjawab kewarganegaraan (civic responsibility). Para peserta didik dikondisikan, difasilitasi, dan ditantang untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai anggota keluarga, warga sekolah, dan warga masyarakat di lingkungannya yang cerdas dan baik. Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil bermain (learning through gaming), belajar sambil berbuat (learning by doing), dan belajar melalui pembiasaan serta interaksi sosial-kultural di lingkungannya (enculturation and socialization) termasuk di lingkungan bermain. Tujuan akhir dari pendidikan kewarganegaraan di SD
adalah menumbuh kembangkan kepekaan, ketanggapan, kritisasi, dan kreativitas sosial dalam konteks kehidupan bermasyarakat secara tertib, damai, dan kreatif. Para peserta didik dikondisikan untuk selalu bersikap kritis dan berperilaku kreatif sebagai anggota keluarga, warga sekolah, anggota masyarakat, warga negara, dan ummat manusia di lingkungannya yang cerdas dan baik. Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil berbuat (learning by doing), belajar memecahkan masalah sosial (social problem solving learning), belajar melalui perlibatan sosial (socioparticipatory learning), dan belajar melalui interaksi sosial-kultural sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat.
Untuk mempermudah kajian dan analisis PKn dalam mencapai tujuannya, maka para mahasiswa perlu mengenal sejumlah dimensi Pendidikan Kewarganegaraan yang ada di Indonesia seperti yang berkembang di negara lain memiliki multidimensional, artinya bahwa program PKn bukan hanya Untuk mempermudah kajian dan analisis PKn dalam mencapai tujuannya, maka para mahasiswa perlu mengenal sejumlah dimensi Pendidikan Kewarganegaraan yang ada di Indonesia seperti yang berkembang di negara lain memiliki multidimensional, artinya bahwa program PKn bukan hanya
Pasal 37 ayat (1) bahwa “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.”
Domain yang dikembangkan dalam pembelajaran PKn dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
1. Domain PKn sebagai program kurikuler merupakan program PKn yang dirancang dan dibelajarkan kepada peserta didik pada jenjang satuan pendidikan tertentu. Melalui domain ini, proses penilaian dimaksudkan untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap program pembelajaran dan program pembangunan karakter. Namun diakui oleh para pakar bahwa pencapaian program PKn dalam domain kurikuler belumlah optimal karena masih adanya kelemahan dalam dimensi kurikuler, seperti masalah landasan, pengorganisasian kurikulum, buku pelajaran, metodologi, dan kompetensi guru.
2. Domain PKn sebagai program akademik merupakan program kajian ilmiah yang dilakukan oleh komunitas akademik PKn menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah konseptual dan operasional guna menghasilkan generalisasi dan teori untuk membangun batang tubuh keilmuan PKn. Kajian ini lebih memperjelas bahwa PKn bukan semata-mata sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah melainkan pendidikan disiplin ilmu yang memiliki tugas komprehensif dalam arti bahwa 2. Domain PKn sebagai program akademik merupakan program kajian ilmiah yang dilakukan oleh komunitas akademik PKn menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah konseptual dan operasional guna menghasilkan generalisasi dan teori untuk membangun batang tubuh keilmuan PKn. Kajian ini lebih memperjelas bahwa PKn bukan semata-mata sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah melainkan pendidikan disiplin ilmu yang memiliki tugas komprehensif dalam arti bahwa
terkait dengan pengembangan struktur ilmu pengetahuan dan body of knowledge .
yang
3. Domain PKn sebagai program sosiokultural pada hakikatnya tidak banyak perbedaan dengan program kurikuler dilihat dari aspek tujuan, pengorganisasian kurikulum dan materi pembelajaran. Perbedaan terutama pada aspek sasaran, kondisi, dan karakteristik peserta didik. Program PKn ini dikembangkan dalam konteks kehidupan masyarakat dengan sasaran semua anggota masyarakat. Tujuannya lebih pada upaya pembinaan warga masyarakat agar menjadi warga Negara yang baik dalam berbagai situasi dan perkembangan zaman yang senantiasa
Indonesia pernah menyelenggarakan PKn melalui program sosial kultural pada masa pemerintahan Orde Baru, yakni melalui berbagai program penataran P4. Program ini sekarang sudah tidak ada lagi karena dipandang telah menyimpang dari tujuan, sehingga tidak efektif lagi, sedangkan kalau dipandang dari sudut kepentingan berbangsa dan bernegara, terutama dalam pembangunan karakter bangsa, PKn melalui program sosial kultural ini sangat penting. Oleh karena itu, program PKn dalam dimensi sosiokultural pada pasca dibubarkannya BP7 dan penghentian program penataran P4 perlu direvitalisasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pembangunan karakter warga negara Indonesia yang baik.
berubah. Bangsa
B. Pengembangan Konsep, Nilai, Moral dan Norma Dalam PKn
1. Konsep
Konsep merupakan pokok pengertian yang bersifat abstrak yang menghubungkan orang dengan kelompok Konsep merupakan pokok pengertian yang bersifat abstrak yang menghubungkan orang dengan kelompok
ditunjukkan oleh simbol. Konsep “rakyat” merupakan sebutan umum untuk sekelompok penghuni wilayah suatu negara yang ada dalam pemerintahan negara tertentu.
Konsep “demokrasi” merupakan sebutan abstrak tentang sistem kekuasaan pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Contohnya, tampak bahwa
konsep bersifat abstrak dalam pengertian yang berkaitan bukan hanya dengan contoh tertentu melainkan dengan konteks. Konsep dapat dianggap sebagai suatu model kelompok benda yang terpikirkan. Konsep “buruh”, misalnya, dapat dipandang sebagai kesan mental tentang semua yang memiliki ciri umum pekerja.
Konsep bukanlah verbalisasi melainkan kesadaran yang bersifat abstrak tentang atribut umum dari suatu kelas. Konsep merupakan kesadaran mental internal yang mempengaruhi perilaku yang tampak. Konsep-konsep yang digunakan dalam proses pembelajaran dapat diperoleh dari konsep disiplin ilmu atau dari konsep yang telah biasa digunakan di lingkungan kehidupan siswa atau masyarakat setempat. Namun, sebagai ilustrasi dan contoh, sejumlah konsep dasar yang sering digunakan dalam pembelajaran PKn dapat diidentifikasi sebagai berikut: pemerintah, negara, bangsa, negeri, wilayah, pembangunan, negara berkembang, negara sedang berkembang, negara tertinggal, pengambilan keputusan, moral, nilai, karakter, perasaan, sikap, solidaritas, kekuasaan, kekuatan rakyat, kelas penguasa, kelompok penekan, nasionalisme, moral, perilaku, tindakan moral, kata hati, empati, kekuasaan, wewenang, politik, partai politik, pemilu, konstitusi.
2. Nilai
Menurut Frankel (1978), nilai (value) adalah konsep (concept), seperti umumnya konsep, maka nilai sebagai konsep tidak muncul dalam pengalaman yang dapat
diamati melainkan ada dalam pikiran orang. Nilai dapat diartikan kualitas dari sesuatu atau harga dari sesuatu yang diterapkan pada konteks pengalaman manusia. Nilai dapat dibagi atas dua bidang, yakni nilai estetika dan nilai etika. Estetika terkait dengan masalah keindahan atau apa yang dipandang indah (beautiful) atau apa yang dapat dinikmati oleh seseorang. Sedangkan etika terkait dengan tindakan/perilaku/ akhlak (conduct) atau bagaimana seseorang harus berperilaku. Etika terkait dengan masalah moral, yakni pertimbangan reflektif tentang mana yang benar (right) dan mana yang salah (wrong). Nilai bukanlah benda atau materi. Nilai adalah standar atau kriteria bertindak, kriteria keindahan, kriteria manfaat, atau disebut pula harga yang diakui oleh seseorang dan oleh karena itu orang berupaya untuk menjunjung tinggi dan memeliharanya. Nilai tidak dapat dilihat secara konkrit melainkan tercermin alam pertimbangan harga yang khusus yang diakui oleh individu. Raths (dalam Fraenkel, 1978) mengidentifikasi tiga aspek kriteria untuk melakukan penilaian, yakni perlu ada pilihan (chooses), penghargaan (prizes), dan tindakan (acts); Pertama, tindakan memilih hendaknya dilakukan secara bebas dan memilih dari sejumlah alternatif dan melakukan memilih hendaknya dilandasi oleh hasil pemikiran yang mendalam, artinya setelah memperhitungkan berbagai akibat dari alternatif tersebut; Kedua, ada penghargaan atas apa yang telah dipilih dan dikenal oleh masyarakat; Ketiga, melakukan tindakan sesuai dengan pilihannya dan dimanfaatkan dalam kehidupan secara terus menerus. Selain dengan kriteria di atas, ada sejumlah indikator untuk menentukan nilai, yakni dilihat dari tujuan, maksud, sikap, kepentingan, perasaan, keyakinan, aktivitas, dan keraguan.
Namun, dalam konteks tertentu nilai dapat diidentifikasi dari keadaan dan kegunaan atau kemanfaatan bagi kehidupan umat manusia. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan hasil pertimbangan baik atau tidak Namun, dalam konteks tertentu nilai dapat diidentifikasi dari keadaan dan kegunaan atau kemanfaatan bagi kehidupan umat manusia. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan hasil pertimbangan baik atau tidak
“Nilai adalah suatu kepercayaan/keyakinan (belief) yang bersumber pada sistem nilai seseorang, mengenai apa yang patut atau tidak patut dilakukan seseorang atau mengenai
apa yang berharga dan apa yang tidak berharga”.
3. Norma
Norma adalah kaidah atau peraturan yang pasti dan bila dilanggar mengakibatkan sanksi. Norma disebut pula dalil yang mengandung nilai tertentu yang harus dipatuhi oleh warga masyarakat di dalam berbuat, bertingkah laku, untuk menciptakan masyarakat yang aman, tertib, dan teratur. Secara umum, norma biasanya bersanksi, yakni ancaman atau akibat yang akan diterima apabila norma itu tidak dilaksanakan. Sedikitnya ada empat jenis norma, ialah: norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama, dan norma hukum. Dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Norma kesopanan atau disebut pula norma sopan santun. Norma ini dimaksudkan untuk menjaga atau menciptakan keharmonisan hidup bersama dan sanksinya berasal dari masyarakat berupa celaan atau pengucilan; (2) Norma kesusilaan atau disebut pula moral/akhlak. Norma ini dimaksudkan untuk menjaga kebaikan hidup pribadi atau Norma adalah kaidah atau peraturan yang pasti dan bila dilanggar mengakibatkan sanksi. Norma disebut pula dalil yang mengandung nilai tertentu yang harus dipatuhi oleh warga masyarakat di dalam berbuat, bertingkah laku, untuk menciptakan masyarakat yang aman, tertib, dan teratur. Secara umum, norma biasanya bersanksi, yakni ancaman atau akibat yang akan diterima apabila norma itu tidak dilaksanakan. Sedikitnya ada empat jenis norma, ialah: norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama, dan norma hukum. Dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Norma kesopanan atau disebut pula norma sopan santun. Norma ini dimaksudkan untuk menjaga atau menciptakan keharmonisan hidup bersama dan sanksinya berasal dari masyarakat berupa celaan atau pengucilan; (2) Norma kesusilaan atau disebut pula moral/akhlak. Norma ini dimaksudkan untuk menjaga kebaikan hidup pribadi atau
Dengan kata lain, sanksi yang diterima oleh orang yang melangggar norma hukum lebih pasti atau tegas, jelas, dan nyata. Lebih pasti yang dimaksud bahwa sanksi hukum sudah ditentukan berapa lama hukuman yang harus dijalani oleh pelanggar hukum karena telah ada kitab undang- undang yang mengatur. Tegas berarti norma hukum dapat memaksa siapa saja yang melanggarnya melalui aparatur penegak hukum. Norma hukum diperlukan karena: (1) Tidak semua kepentingan atau tata tertib telah dilindungi atau diatur oleh norma agama, norma moral, dan norma sopan santun. Misalnya, norma sopan santun tidak mengatur bagaimana penduduk/warga negara harus membayar utang pitutang. Demikian pula, norma kesusilaan tidak mengatur hal-hal tentang pajak, upah, lalu lintas dan lain-lain; (2) Sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan dan kesusilaan bersifat psikis dan abstrak, sedangkan sanksi terhadap norma hukum bersifat fisik dan konkrit; (3) Pada norma hukum, sifat pemaksaannya sangat jelas dan dapat dipaksakan oleh aparatur Negara, sedangkan norma kesusilaan tidak dapat dipaksakan oleh Dengan kata lain, sanksi yang diterima oleh orang yang melangggar norma hukum lebih pasti atau tegas, jelas, dan nyata. Lebih pasti yang dimaksud bahwa sanksi hukum sudah ditentukan berapa lama hukuman yang harus dijalani oleh pelanggar hukum karena telah ada kitab undang- undang yang mengatur. Tegas berarti norma hukum dapat memaksa siapa saja yang melanggarnya melalui aparatur penegak hukum. Norma hukum diperlukan karena: (1) Tidak semua kepentingan atau tata tertib telah dilindungi atau diatur oleh norma agama, norma moral, dan norma sopan santun. Misalnya, norma sopan santun tidak mengatur bagaimana penduduk/warga negara harus membayar utang pitutang. Demikian pula, norma kesusilaan tidak mengatur hal-hal tentang pajak, upah, lalu lintas dan lain-lain; (2) Sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan dan kesusilaan bersifat psikis dan abstrak, sedangkan sanksi terhadap norma hukum bersifat fisik dan konkrit; (3) Pada norma hukum, sifat pemaksaannya sangat jelas dan dapat dipaksakan oleh aparatur Negara, sedangkan norma kesusilaan tidak dapat dipaksakan oleh
4. Moral
Istilah moral berasal dari bahasa Latin, mores, yaitu adat kebiasaan. Istilah ini erat dengan proses pembentukan kata, ialah: mos, moris, manner, manners, morals. Dalam bahasa Indonesia kata moral hampir sama dengan akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau hati nurani yang dapat menjadi pembimbing tingkah laku lahir dan batin manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu, moral erat kaitannya dengan ajaran tentang sesuatu yang baik dan buruk yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Dalam konteks etika, setiap orang akan memiliki perasaan apakah yang dilakukan itu benar atau salah, baik atau jelek? Pertimbangan ini dinamakan pertimbangan nilai moral (moral values). Pertimbangan nilai moral merupakan aspek yang sangat penting khususnya dalam pembentukan warga negara yang baik sebagai tujuan pendidikan kewarganegaraan.
Tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang dianut dan ditampilkan secara sukarela diharapkan dapat diperoleh melalui proses pendidikan. Hal ini dilakukan sebagai transisi dari pengaruh lingkungan masyarakat hingga menjadi otoritas di dalam dirinya dan dilakukan berdasarkan dorongan dari dalam dirinya. Tindakan yang baik yang dilandasi oleh dorongan dari dalam diri inilah yang diharapkan sebagai hasil pendidikan nilai dalam pendidikan kewarganegaraan. Secara yuridis-formal, pendidikan nilai, moral, dan norma di Indonesia dilaksanakan melalui pendidikan kewarganegaraan yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945) sebagai landasan konstitusional, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagai Tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang dianut dan ditampilkan secara sukarela diharapkan dapat diperoleh melalui proses pendidikan. Hal ini dilakukan sebagai transisi dari pengaruh lingkungan masyarakat hingga menjadi otoritas di dalam dirinya dan dilakukan berdasarkan dorongan dari dalam dirinya. Tindakan yang baik yang dilandasi oleh dorongan dari dalam diri inilah yang diharapkan sebagai hasil pendidikan nilai dalam pendidikan kewarganegaraan. Secara yuridis-formal, pendidikan nilai, moral, dan norma di Indonesia dilaksanakan melalui pendidikan kewarganegaraan yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945) sebagai landasan konstitusional, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagai
UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pada bagian Pembukaan alinea keempat memberikan dasar pemikiran tentang tujuan negara. Salah satu tujuan negara tersebut dapat dikemukakan dari pernyataan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Apabila dikaji, maka tiga kata ini mengandung makna yang cukup dalam. Mencerdaskan kehidupan bangsa mengandung pesan pentingnya pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Dalam kehidupan berkewarganegaraan, pernyataan ini memberikan pesan kepada para penyelenggara negara dan segenap rakyat agar memiliki kemampuan dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku secara cerdas baik dalam proses pemecahan masalah maupun dalam pengambilan keputusan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan.
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas sebagai landasan operasional penuh dengan pesan yang terkait dengan pendidikan kewarganegaraan. Pada Pasal 3 ayat (2) tentang fungsi dan tujuan negara dikemukakan bahwa: Pendidikan
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Selanjutnya, pada Pasal 37 ayat (1) dikemukakan bahwa kurikulum
nasional
berfungsi berfungsi
dikemukakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: “... b. pendidikan kewarganegaraan; ...”. Sedangkan pada bagian penjelasan Pasal 37 dikemukakan bahwa “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.”
Adanya ketentuan tentang pendidikan kewarganegaraan dalam UU Sisdiknas sebagai mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi menunjukkan bahwa mata pelajaran ini menempati kedudukan yang strategis dalam mencapai tujuan pendidikan nasional di negara ini. Adapun arah pengembangannya
difokuskan pada pembentukan peserta didik agar menjadi manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
hendaknya
Arah pengembangan pendidikan nasional pada era reformasi mengacu pada UU Sisdiknas yang dioperasionalkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Sejalan dengan kebijakan otonomi pendidikan, maka pengembangan kurikulum sekolah tidak lagi dibebankan kepada pemerintah pusat sebagaimana terdahulu melainkan diserahkan kepada masing-masing satuan pendidikan. Pemerintah pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional hanya menyediakan standar nasional yakni berupa standar isi dan standar kompetensi lulusan sementara
kurikulum dilaksnakan oleh setiap satuan pendidikan sesuai dengan jenjang dan jenisnya. Sebagai landasan kurikulernya, pendidikan kewarganegaraan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah mengacu pada Permendiknas Nomor
pelaksanaan pengembangan
22 dan 23 Tahun 2006 masing-masing tentang SI dan SKL. Berlakunya ketentuan tentang otonomi pendidikan membawa implikasi bagi setiap satuan pendidikan 22 dan 23 Tahun 2006 masing-masing tentang SI dan SKL. Berlakunya ketentuan tentang otonomi pendidikan membawa implikasi bagi setiap satuan pendidikan
C. Dimensi Pembelajaran PKn
Dimensi pembelajaran yang diperlukan adalah pembelajaran yang dapat mempersiapkan warga negara yang mampu hidup dalam masyarakat demokratis. Dengan kata lain, perlu ada sejumlah alternatif model pembelajaran PKn yang mampu mengantarkan dan mengisi masyarakat demokratis. Dalam masa transisi atau proses perjalanan bangsa menuju masyarakat madani (civil society), pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah dan mata kuliah di perguruan tinggi perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang sedang berubah. Tuntutan dan tantangan masyarakat yang selalu berubah ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh lingkungan sekitar yang pada gilirannya berpengaruh pula terhadap kehidupan bangsa dalam konteks yang lebih luas.
Proses pembangunan karakter bangsa (national character building ) yang sejak proklamasi kemerdekaan RI telah mendapat prioritas tidak steril pula dari pengaruh perubahan ini sehingga perlu direvitalisasi agar sesuai dengan arah dan pesan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada hakekatnya proses pembentukan karakter bangsa diharapkan mengarah pada penciptaan suatu masyarakat Indonesia yang menempatkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai titik sentral. Dalam proses itulah, pembangunan karakter bangsa kembali dirasakan sebagai kebutuhan yang sangat mendesak yang harus Proses pembangunan karakter bangsa (national character building ) yang sejak proklamasi kemerdekaan RI telah mendapat prioritas tidak steril pula dari pengaruh perubahan ini sehingga perlu direvitalisasi agar sesuai dengan arah dan pesan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada hakekatnya proses pembentukan karakter bangsa diharapkan mengarah pada penciptaan suatu masyarakat Indonesia yang menempatkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai titik sentral. Dalam proses itulah, pembangunan karakter bangsa kembali dirasakan sebagai kebutuhan yang sangat mendesak yang harus
Tugas PKn dengan paradigma yang direvitalisasi adalah mengembangkan pendidikan demokrasi yang mengemban tiga fungsi pokok, yakni mengembangkan kecerdasan warganegara (civic intelligence), membina tanggung jawab warganegara (civic responsibility) dan mendorong partisipasi warganegara (civic participation). Kecerdasan warganegara yang dikembangkan untuk membentuk warganegara yang baik bukan hanya dalam dimensi rasional dan intelektual semata melainkan juga dalam dimensi spiritual, emosional dan sosial sehingga paradigma baru PKn bercirikan multidimensional. Untuk mengembangkan masyarakat yang demokratis melalui pendidikan kewarganegaraan diperlukan suatu strategi dan pendekatan pembelajaran khusus yang sesuai dengan paradigma PKn yang baru. Sebelum mengembangkan model pembelajaran yang dimaksud, terlebih dahulu perlu dikemukakan dahulu tentang konsep warga negara yang demokratis. Oleh karena itu, bab ini akan membahas secara berturut-turut dua topik utama, yakni: (1) Warga negara demokratis dan (2) Pembelajaran PKn untuk warga negara demokratis Dengan menganalisis kehidupan warga negara yang demokratis dan bagaimana pembelajaran untuk membentuk warga negara yang demokratis dalam paradigm PKn yang baru, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan : (1) memahami kebutuhan kualitas WNI yang demokratis; dan (2) membelajarkan PKn untuk kewarganegaraan yang demokratis. Selain itu, menguasai paradigma baru PKn baik tentang kualitas warga negara yang demokratis maupun pembelajaran untuk mengembangkan warga negara yang demokratis penting bagi calon guru dan atau guru-guru pemula yang sering mengalami kesulitan dalam memilih dan menyusun materi serta menentukan model pembelajaran yang cocok untuk pokok bahasan tertentu.
Khusus bagi calon guru dan guru pemula diharapkan agar sedapat mungkin memperbanyak latihan dalam menerapkan model pembelajaran PKn dengan paradigma baru. Dengan memahami dan menguasai materi ini diharapkan anda akan terbantu dan tidak mengalami kesulitan lagi dalam menguasai materi dan membelajarkan PKn yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat saat ini. Dengan demikian, kemampuan anda dalam menerapkan model pembelajaran PKn menjadi semakin kaya dan implikasi lebih lanjut, para siswa akan semakin menyenangi belajar PKn karena gurunya memiliki kemampuan yang memadai. Pada bagian pendahuluan telah dikemukakan bahwa kebutuhan akan adanya revitalisasi paradigma PKn saat ini sudah mendesak. Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan ke arah terbentuknya masyarakat demokratis yang sesungguhnya sesuai dengan pesan dan misi gerakan reformasi dalam segala bidang terutama bidang politik dan hukum. Namun, pembentukan masyarakat demokratis tidaklah mudah terutama bagi masyarakat yang memiliki pengalaman pada masa lampau yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang tidak demokratis atau undemocratic democracy. Dapat dikatakan bahwa membentuk masyarakat demokratis itu perlu direncanakan. Artinya masyarakat demokratis tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan perlu dipersiapkan karena demokrasi adalah karakter atau watak yang dapat terbentuk melalui suatu proses. Alexis de Toqueville, negarawan Perancis yang hijrah ke Amerika Serikat, menyatakan “The habits of the mind, as well as „habits of the heart‟, the dispositions that inform the democratic ethos, are not
inherited.” (Branson, 1999:2) Artinya, kebiasaan pikiran dan juga „kebiasaan hati‟ yakni watak yang menginformasikan
demokrasi tidak diturunkan. Dengan kata lain, seorang demokrat belum tentu melahirkan seorang anak yang demokrat apabila anak itu tidak belajar demokrasi. Untuk menjadi seorang demokrat perlu proses pendidikan dan demokrasi tidak diturunkan. Dengan kata lain, seorang demokrat belum tentu melahirkan seorang anak yang demokrat apabila anak itu tidak belajar demokrasi. Untuk menjadi seorang demokrat perlu proses pendidikan dan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena persyaratannya begitu tinggi maka sering dikatakan pula bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mahal.
berpartisipasi
aktif
Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat. Menimbang dasar pikiran dan tujuan PKn di atas, selayaknya pembelajaran PKn dapat membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan intelektual yang memadai serta pengalaman praktis agar memiliki kompetensi dan efektivitas dalam berpartisipasi.
Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian kita dalam mempersiapkan pembelajaran PKn di kelas, yakni bekal pengetahuan materi pembelajaran dan metode atau pendekatan pembelajaran. Hal terakhir ini merupakan titik yang masih lemah untuk mengantarkan para peserta didik menjadi warga Negara yang demokratis. Pembelajaran partisipatif yang berbasis portofolio (portfolio
based learning ) merupakan alternatif utama guna mencapai tujuan PKn tersebut. Namun, sebelum membahas lebih jauh tentang model pembelajaran PKn yang berbasis portofolio Anda perlu pula mengenali materi pembelajarannya. Materi PKn dengan revitalisasi paradigmanya dikembangkan dalam bentuk standar nasional PKn, yakni standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang pelaksanaannya berprinsip pada implementasi kurikulum terdesentralisasi. PKn dengan revitalisasi paradigma bertumpu pada kemampuan dasar kewarganegaraan (civic competence) untuk semua jenjang SD/MI; SMP/MTs; dan SMA/MA. Kemampuan dasar tersebut selanjutnya diuraikan atau dirinci dalam bentuk sejumlah kemampuan disesuaikan dengan tingkat/jenjang sekolah sejalan dengan tingkat perkembangan para siswa. Kemampuan diuraikan dalam bentuk butiran standar kompetensi dan kompetensi dasar sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri nomor 22 tentang Standar Isi (SI) dan 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Portofolio adalah suatu kumpulan pekerjaan siswa dengan maksud tertentu dan terpadu yang diseleksi menurut panduan-panduan yang ditentukan. Panduan-panduan ini beragam tergantung pada mata pelajaran dan tujuan penilaian portofolio. Portofolio dalam pembelajaran PKn merupakan kumpulan informasi/data yang tersusun dengan baik yang menggambarkan rencana kelas siswa berkenaan dengan suatu isu kebijakan publik yang telah diputuskan untuk dikaji oleh mereka, baik dalam kelompok kecil maupun kelas secara keseluruhan. Portofolio kelas berisi bahanbahan seperti pernyataan-pernyataan tertulis, peta, grafik, photografi, dan karya seni asli. Bahan-bahan ini menggambarkan:
1. Hal-hal yang telah dipelajari siswa berkenaan dengan suatu masalah yang telah mereka pilih.
2. Hal-hal yang telah dipelajari siswa berkenaan dengan
alternatif-alternatif pemecahan terhadap masalah tersebut.
3. Kebijakan publik yang telah dipilih atau dibuat oleh siswa untuk mengatasi masalah tersebut.
4. Rencana tindakan yang telah dibuat siswa untuk digunakan dalam mengusahakan agar pemerintah menerima kebijakan yang mereka usulkan.
Dengan demikian, portofolio merupakan karya terpilih kelas siswa secara keseluruhan yang bekerja secara kooperatif membuat kebijakan publik untuk membahas pemecahan terhadap suatu masalah kemasyarakatan. Dalam
menilai portofolio, “karya terpilih” merupakan istilah yang sangat penting. Bahan penilaian harus menjadi akumulasi dari segala sesuatu yang dapat ditemukan para siswa pada
topik mereka bukan hanya seksi penayangan dan bukan pula seksi pendokumentasian. Portofolio harus memuat bahan- bahan yang menggambarkan usaha terbaik siswa dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya, serta mencakup pertimbangan terbaiknya tentang bahan-bahan mana yang paling penting. Pembelajaran PKn yang berbasis portofolio memperkenalkan kepada para siswa dan mendidik mereka dengan beberapa metode dan langkah-langkah yang digunakan dalam proses politik atau kebijakan publik. Pembelajaran ini bertujuan untuk membina komitmen aktif para siswa terhadap kewarganegaraan dan pemerintahannya dengan cara: membekali pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi secara efektif; membekali pengalaman praktis yang dirancang untuk mengembangkan kompetensi dan efektivitas partisipasi, dan mengembangkan pemahaman akan pentingnya partisipasi wargan negara.
Pembelajaran ini akan menambah pengetahuan, meningkatkan keterampilan, dan memperdalam pemahaman siswa tentang bagaimana bangsa Indonesia, yakni kita semua, dapat bekerja sama mewujudkan masyarakat yang lebih baik. Pembelajaran ini bertujuan untuk membantu siswa belajar bagaimana cara mengungkapkan pendapat, bagaimana cara menentukan tingkat pemerintahan dan lembaga pemerintah manakah yang paling tepat dan layak untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi oleh mereka, dan bagaimana cara mempengaruhi penetapan-penetapan kebijakan pada tingkat Pembelajaran ini akan menambah pengetahuan, meningkatkan keterampilan, dan memperdalam pemahaman siswa tentang bagaimana bangsa Indonesia, yakni kita semua, dapat bekerja sama mewujudkan masyarakat yang lebih baik. Pembelajaran ini bertujuan untuk membantu siswa belajar bagaimana cara mengungkapkan pendapat, bagaimana cara menentukan tingkat pemerintahan dan lembaga pemerintah manakah yang paling tepat dan layak untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi oleh mereka, dan bagaimana cara mempengaruhi penetapan-penetapan kebijakan pada tingkat
Dalam usaha mencapai tugas-tugas pembelajaran ini ditempuh melalui enam tahap kegiatan sebagai berikut:
• Tahap I : Mengidentifikasi masalah kebijakan publik di masyarakat.
• Tahap II : Memilih satu masalah untuk kajian kelas • Tahap III
: Mengumpulkan informasi masalah yang akan dikaji oleh kelas
• Tahap IV : Membuat portofolio kelas • Tahap V
: Menyajikan portofolio
• Tahap VI : Refleksi terhadap pengalaman belajar Dalam pembelajaran PKn yang berbasis portofolio, kelas
dibagi ke dalam empat kelompok. Setiap kelompok bertanggung jawab untuk membuat satu bagian portofolio kelas. Setiap kelompok memiliki tugas yang berbeda namun mulai kelompok pertama sampai keempat harus saling terkait (sekuensial) dan merupakan satu kesatuan. Adapun tugas mereka dapat diuraikan sebagai berikut:
o Kelompok portofolio Satu: Menjelaskan Masalah. Kelompok portofolio satu ini bertanggung jawab untuk
menjelaskan masalah yang telah dipilih untuk dikaji oleh kelas. Kelompok ini pun harus menjelaskan mengapa masalah tersebut penting dan mengapa lembaga pemerintahan tersebut harus menangani masalah tersebut.
o Kelompok Portofolio Dua: Menilai kebijakan alternatif yang diusulkan untuk memecahkan masalah. Kelompok ini
bertanggung jawab untuk menjelaskan kebijakan saat ini dan/atau kebijakan alternatif yang dirancang untuk memecahkan masalah.
o Kelompok Portofolio Tiga: Membuat satu kebijakan publik yang akan didukung oleh kelas. Kelompok ini bertanggung
jawab untuk membuat satu kebijakan publik tertentu yang disepakati untuk didukung oleh mayoritas kelas serta melakukan justifikasi terhadap kebijakan tersebut.
o Kelompok Portofolio Empat: Membuat suatu rencana tindakan agar pemerintah mau menerima kebijakan kelas.
Kelompok ini bertanggung jawab untuk membuat suatu rencana tindakan yang menunjukkan bagaimana warga Negara dapat mempengaruhi pemerintah untuk menerima kebijakan yang didukung oleh kelas. Bahan-bahan dalam portofolio memuat dokumentasi terbaik yang telah dikumpulkan oleh kelas dan kelompok dalam meneliti masalah. Bahan-bahan dalam portofolio itu pun hendaknya memuat bahan-bahan tulis tangan asli dan/atau karya seni asli para siswa.
Dengan demikian, model pembelajaran PKn yang berbasis portofolio yang diharapkan dapat menjadi wahana dalam mengantarkan pelaksanaan kehidupan berdemokrasi. Namun untuk penerapan di SD, guru perlu melakukan proses penyederhanaan lagi, disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak usia SD.***
BAB II
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
A. Karakteristik Materi PKn
Hanna dan Lee (1962) pernah mengemukakan bahwa “content” untuk program pembelajaran Social Studies
termasuk PKn yang dapat diadopsi dari berbagai sumber. Sedikitnya ada tiga sumber yang mudah diidentifikasi, yakni:
1. Informal content” yang dapat ditemukan dalam kegiatan masyarakat tempat para siswa berada, seperti kegiatan anggota pemadam kebakaran, ekspedisi pendaki gunung, kegiatan anggota DPR dalam membuat dan mengesahkan undangundang, dan lain-lain.
2. The formal disciplines of the pure or semisocial sciences, meliputi geografi penduduk, sejarah, ilmu politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi sosial, jurisprudensi, filsafat dan etika serta bahasa. Menurut Hanna dan Lee, tiga disiplin pertama, geografi penduduk, sejarah, dan ilmu politik, “… have traditionally been the major reservoir for social studies content”. Namun, secara umum, formal
content yang diadopsi dari ilmu-ilmu sosial utamanya terjadi pada awal abad ke-20. Pada masa itu, belum ada pemikiran or ientasi “content” selain yang bersifat formal content . Baru pada pertengahan abad ke- 20, “social studies content ” banyak tergantung pada peristiwa terkini (current events ) dan hal yang penting menurut siswa (pupil interest ).
3. Ketiga, the responses of pupils ialah tanggapan-tanggapan siswa baik yang berasal dari “informal content” (events) maupun dari “formal disciplines” (studies). Gagasan Hanna
and Lee akan menjadi bahan yang berharga bagi pengembangan “content” PKn dengan catatan perlu ada
seleksi disesuaikan dengan visi, misi dan karakteristik PKn. Misalnya, tiga disiplin ilmu sosial utama dalam social studies , meliputi geografi, sejarah dan ilmu politik, maka seleksi disesuaikan dengan visi, misi dan karakteristik PKn. Misalnya, tiga disiplin ilmu sosial utama dalam social studies , meliputi geografi, sejarah dan ilmu politik, maka
Furman (1962:89) mengingatkan guru, bahwa dalam mengembangkan program PKn hendaknya mengacu pada tiga sasaran, yakni: (1) to serve the needs of children ( melayani kebutuhan siswa); (2) to serve the needs of society (melayani kebutuhan masyarakat); and (3) to understand and utilize the intellectual discipline called the social sciences (memahami dan memanfaatkan disiplin ilmu yakni disiplin ilmu-ilmu sosial). Saran dari Furman ini pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan gagasan dari Hanna dan Lee di atas, bahwa “content” untuk PKn hendaknya memperhatikan
kebutuhan siswa, masyarakat dan disiplin ilmu-ilmu sosial. Hanya saja gagasan Furman lebih spesifik dan operasional yang diarahkan kepada tugas guru untuk mengembangkan program pembelajaran di kelas. Furman menjelaskan lebih lanjut bahwa guru harus mengetahui dan mengerti betul tentang siswa di kelas, baik kecakapannya, kebutuhannya, kepentingannya, masalah
yang dihadapi maupun pertumbuhan dan perkembangan serta latar belakang keluarganya. Guru pun perlu memahami kebutuhan dan harapan masyarakat sekitar tempat siswa tinggal. Masyarakat mungkin mengharapkan agar anak-anak belajar menjadi warga negara yang baik, yakni anggota masyarakat di tingkat lokal, nasional dan global. Para siswa hendaknya belajar menjadi warga negara yang produktif di daerahnya, berguna (useful) bagi bangsanya, dan berpikir kewarganegaraan (civicminded) ketika hidup dalam konteks global.
Meskipun demikian, kecenderungan yang telah mendorong pada pemikiran orientasi siswa dan masyarakat sebagai trend baru hendaknya tidak meninggalkan sasaran pokok, yakni disiplin ilmu sosial dan kondisi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karena itu, guru pun perlu memahami dan memanfaatkan disiplin ilmu-ilmu sosial
sebagai “content” untuk mengembangkan program PKn. Namun, perlu mendapat perhatian pula bahwa kegiatan sebagai “content” untuk mengembangkan program PKn. Namun, perlu mendapat perhatian pula bahwa kegiatan
dapat disimpulkan bahwa materi “content” PKn, dengan merujuk pada gagasan “content” dan sasaran dalam social studies , hendaknya mempertimbangkan hal-hal yang bersifat informal content (the need of society) , formal disciplines (social sciences) , dan (the responses of pupils/the needs of children) dengan mempertimbangkan pula kebutuhan siswa, masyarakat, dasar negara, cita-cita, dan tujuan nasional sebagaimana yang dinyatakan dalam UUD 1945. Selain itu, Kosasih Djahiri (1979) pernah menegaskan bahwa materi PKn hendaknya lebih menitikberatkan pada pembinaan watak, pemahaman dan penghayatan nilai dan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, pembinaan siswa untuk melihat kenyataan, fokus belajar pada konsep yang benar menurut dan sesuai dengan Pancasila.
Untuk mendefinisikan “fakta” sesungguhnya tidaklah semudah yang sering kita bayangkan. Masih terdapat
berbagai pendapat dan tafsiran yang cukup beragam. Namun, beberapa ahli Social Studies (Michaelis, 1980; Banks, 1984; Sunal and Haas, 1993; Jarolimek and Parker, 1993) mendefiniskan fakta dengan indikator yang tidak banyak perbedaan. Michaelis (1980) mengartikan sebagai berikut:
“Facts are statements of information that include concepts, but they apply only to a specific situation .” Banks (1984)
mendefinisikan fakta dalam konteks kajian etnis, bahwa “Facts are low-level, specific empirical statement about