MATERI KULIAH ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI1

  Darwis A.Soelaiman Materi Kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi

BAB I ETIKA

1. Pengertian Etika

  Etika adalah bagian filsafat axiology yang membahas mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Etika berkenaan dengan hidup baik, menjadi orang yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup kita. (Robert C.Solomon).

  Kata etika berasal dari kata Yunani ethos yang berarti sifat atau adapt. Jadi etika adalah masalah sifat pribadi, dan juga sekali gus merupakan sifat keseluruhan segenab masyarakat (ethos masyarakat). Jadi etika adalah bagian dan pengertian dari ethos, usaha untuk mengerti tata aturan social yang menentukan dan membatasi tingkah laku kita, khususnya tata aturan yang fundamental seperti larangan membunuh, mencuri, dan perintah untuk “menghormati orang tua” atau “menghormati hak-hak orang lain” yang disebut moralitas.

  

Selain sebagai cabang filsafat, etika dpandang pula

sebagai sebuah ilmu, yaitu ilmu yang membahas tentang

perbuatan atau perilaku manusia dari sudut pandangan baik

atau buruk (jahat). Ethics, the study and philosophy of

human conduct, with emphasis on the determination of

wright or wrong; one of the normative sciences.(Popkin

and Stroll, Philosophy Made Simple, 1959)

Etika adalah sebagai ilmu yang normatif berisi norma

atau nilai-nilai yang dapat dipergunakan dalam kehidupan

sehari-hari. Dengan kata lain etika berkenaan dengan nilai

baik atau buruk mengenai perilaku atau perbuatan manusia.

Istilah lain dari etika ialah: moral, susila, budi pekerti, dan

akhlak. Istilah-istilah itu seringkali dipergunakan dalam

pengertian yang sama.

  Kata etika menunjuk kepada 2 hal:

  2. Nilai-nilai kehidupan kita yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku kita. Adalah kenyataan bahwa kita bertingkah laku sesuai dengan hokum-hukum, adat dan harapan-harapan yang kompleks dan terus berubah. Kita perlu mempelajari etika sebagai disiplin ilmu, karena mengerti etika adalah bagian dari etika kita, yaitu berbuat dengan alasan. Orang perlu mengetahui alasannya mengapa seseorang berbuat sesuatu dan juga orang harus berani mengatakan tidak bila melakukan perbuatan yang salah. Jadi studi etika mengajar kita menghargai sistem alasan secara keseluruhan. Mengerti apa yang kita kerjakan berikut aslasannya, dalam etika sama pentingnya dengan berbuat itu sendiri. Jadi perlu kita pelajari etika sebagai ilmu agar kita mengerti dan dapat menjelaskan mengapa kita berbuat sesuatu, dan tidak cukup kita hanya mempunyai etika dan berbuat sesuai dengan hukum dan nilai-nilai kehidupan yang kita setujui atau kita pandang baik.. Persoalan-persoalan etika adalah persoalan-persoalan kehidupan manusia. Kita tidak bertingkah laku semata-mata menurut naluri atau dorongan hati. Kita bertujuan dan bercita-cita. Kita menyesuaikan diri dengan pola-pola tingkah laku social yang dapat diterima. Kita memuji tindakan-tindakan tertentu seperti kemurahan hati dan keberanian, sebaliknya kita mencela sifat egois, dan kekecutan hati atau penakut. Kita mempunyai nilai-nilai pribadi, namun kita dapat menerima prinsip-prinsip umum tertentu seperti kebahagiaan. Tetapi apakah kebahagiaan itu? Tujuan dan kegiatan apa yang memungkinkan adanya kebahagiaan? (Mengenai kebahagiaan akan dibahas kemudian). Jadi penting kita berbuat hal-hal yang benar sungguhpun belum tentu kita selalu setuju dengan konsep yang benar itu.

2. Etika dan moralitas

  

Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pada

pendekatan kritis dalam melihat nilai atau norma moral

serta masalah-masalah yang timbul berkaitan dengannya.

Dapat dikatakan bahwa etika merupakan refleksi kritis dan

rasional mengenai nilai baik atau buruk perilaku hidup

manusia (baik sebagai individu maupun sebagai

kelompok), atau refleksi kritis dan rasional mengenai ajaran

moral atau moralitas.

Antara etika dengan moralitas mempunyai fungsi yang

sama, yaitu memberi arah atau orientasi kepada kita

  

Keduanya memberikan pedoman bertingah laku. Bedanya

ialah bahwa moralitas memberikan kita norma atau

petunjuk konkrit tentang bagaimana kita harus hidup,

sedangkan etika hanya memberikan refleksi kritis terhadap

norma itu. Moralitas langsung mengatakan kepada kita:

“Beginilah caranya anda harus berbuat”, sedangkan etika

justru mempersoalkan pertanyaan sbb: “Apakah saya harus

berbuat dengan cara itu?” “Mengapa harus dengan cara

itu?”

Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita

harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai itu

terkandung dalam ajaran berbentuk nasihat, petuah,

pepatah, peraturan dan semacamnya yang diwariskan

secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan

tertentu mengenai bagaimana manusia harus hidup secara

baik atau ia benar-benar menjadi manusia yang baik.

(Burhanuddin salam, 1997:3).

Etika merupakan sikap kritis seseorang atau kelompok

masyarakat dalam melaksanakan moralitas atau ajaran

moral itu. Karena itu moralitas bisa saja sama, tetapi sikap

etis antara seorang dengan orang lain atau antara satu

masyarakat dengan masyarakat lain dapat berbeda.

Pertanyaan etika yang menuntut sikap kritis dan rasional

terhadap moralitas, misalnya: Mengapa saya harus berbuat

begini dan tidak begitu? Mengapa saya harus selalu jujur?

Apakah saya harus jujur dalam segala situasi? Apakah yang

bernilai tinggi itu benar-benar baik?

Etika berperan membantu manusia untuk bertindak

  

setiap tindakan manusia selalu lahir dari keputusan pribadi

yang bebas. Karena itu kebebasan dan tanggung jawab

adalah dasar penting bagi pengambilan keputusan dan

tindakan yang bersifat etis. Dalam hal ini maka bukan

hanya akal tetapi kata hati manusia memainkan peran yang

sangat penting.

  Moralitas ciri khas manusia (Bertens, 1998 : 11)

Banyak perbuatan manusia berkaitan dengan baik atau

buruk, tetapi tidak semua, karena ada juga perbuatan yang

sifatnya netral dari segi etis. Semua bangsa mempunyai

pengalaman mengenai baik dan buruk, tetapi tidak selalu

ada pendapat yang sama mengenai apa yang dianggap baik

atau buruk. Pengertian baik dan buruk itu merupakan

sesuatu yang bersifat umum.Dengan kata lain moralitas

merupakan fenomena manusiawi yang bersifat universal.

Moralitas hanya terdapat pada manusia, tidak terdapat pada

makhluk lain. Hanya manusia yang memiliki kesadaran

moral. Jadi moralitas merupaskan ciri khas manusia.

Hukum moral merupakan imbauan pada kemauan

manusia. Manusia harus mau dulu sebelum melakukan

sesuatu, Hukum moral mewajibkan manusia, sedangkan

keharusan moral adalah kewajiban. Moralitas selalu

mengandalkan adanya kebebasan.

3. Etika deskriptif dan Etika Normatif

  

Ada dua macam etika, yaitu etika deskriptif dan etika

normatif. Etika deskriptif berbicara mengenai fakta apa

adanya, yaitu mengenai nilai atau pola perilaku manusia

yang terkait dengan situasi dan realitas konkrit yang

membudaya, misalnya tentang sikap orang dalam

menghadapi hidup ini, dan tentang kondisi-kondisi yang

memungkinkan manusia bertindak secara etis. Sedangkan

etika normatif berusaha menetapkan sikap dan pola

perilaku yang seharusnya (yang ideal) dimiliki oleh

manusia. Etika normatif berbicara mengenai norma-norma

yang menuntun tingkah laku manusia dan mengenai

bagaimana seharusnya bertindak sesuai dengan norma-

norma itu. Dengan etika manusia diajak untuk berbuat baik

dan meninggalkan yang tidak baik.

  

Kedua macam etika tersebut pada hakekatnya berperan

menuntun manusia untuk mengambil sikap dalam

hidupnya. Bedanya, kalau etika deskriptif memberikan

fakta sebagai dasar untuk menentukan sikap, maka etika

normatif memberikan penilaian sekali gus memberikan

norma sebagai dasar untuk menentukan sikap dan tindakan

yang akan dilakukan.

Dalam hidup kita, norma yang akan dijadikan pedoman

bertindak itu bermacam-macam, namun dapat dibagi atas

dua macam, yaitu norma khusus dan norma umum. Norma

khusus adalah aturan yang berlaku dalam bidang kehidupan

yang khusus, misalnya menganai aturan bermain dalam

olahraga, peraturan dalam bertamu ke rumah sakit, dan

  

universal, yang dapat dibagi atas 3 macam, yaitu: norma

sopan santun, norma hukum, dan norma moral.

  

Norma sopan santun adalah norma yang mengakur

perilaku yang bersifat lahiriah, misalnya tatacara bertamu,

tata cara makan, dsb. Norma sopan santun bersifat lahiriah

dan terdapat dalam pergaulan sehari-hari, yang disebut

Sekalipun perilaku lahiriah atau etiket itu etiket

mengandung kualitas moral, namun etiket tidak bersifat

moral, atau etiket bukanlah etika. Tetapi etiket karena

mengandung nilai sopan santun dalam pergaulan maka

dapat dimasukkan sebagai bagian dari ajaran etika, yaitu

etika sosial. Semakin tinggi kebudayaan manusia semakin

banyak pula jenis etiket yang perlu dipelajari, namun etiket

sangat bergantung kepada kebudayaan suatu masyarakat.

Etiket masyarakat Timur seperti Indonesia dalam banyak

hal berbeda dengan etiket masyarakat barat.

  

Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas

oleh masyarakat karena menyangkut keselamatan dan

kesejahteraan masyarakat. Norma hukum itu lebih tegas

dan pasti karena dijamin oleh ada sanksi terhadap para

pelanggarnya. Norma hukum tidak sama dengan norma

moral, karena norma hukum tidak secara mutlak

menentukan bermoral atau tidaknya seseorang. Bisa trerjadi

misalnya seseorang melanggar norma hukum karena

menurut pertimbangan dan alasan yang rasional

tindakannya itu adalah yang terbaik baginya dan bagi

masyarakat, namun secara hukum ia tetap dihukum. Karena

  

tidak bisa didasarkan pada pelaksanaan norma hukum.

Dengan kata lain, moralitas tidak sama dengan legalitas.

  

Norma moral adalah aturan mengenai sikap dan perilaku

baik atau buruk seseorang sebagai manusia. Norma moral

menjadi tolok ukur yang dipakai oleh masyarakat untuk

menentukan baik baik buruknya perilaku manusia sebagai

manusia. Walaupun pada akhirnya setiap orang dinilai

dalam kaitan dengan tugas dan profesi yang

dilaksanakannya, namun penilaian moral itu bukan

terutama didasarkan pada tugas atau profesinya itu, tetapi

terutama didasarkan pada perilakunya sebagai manusia

yang melaksanakan tugas atau profesi tertentu. Misalnya,

suatu norma moral tidak dipakai untuk menilai tepat

tidaknya seorang dokter mengobati seorang pasien, tetapi

terutama untuk menilai bagaimana dokter itu menjalankan

tugasnya dengan baik sebagai manusia. Yang ditekankan

ialah sikap dalam menjalankan atau menghadapi tugasnya

sebagai dokter.

  

4. Pentingnya Etika dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Sejak pertumbuhannya ilmu tidak bisa dilepaskan

dengan masalah-masalah moral. Contoh Gelileo yang

pandangan ilmiahnya mendapat tantangan dari kaum gereja

yang dogmatis. Dalam perkembangannya, seperti

dikemukakan oleh Bertrand Russell, bahwa ilmu telah

berubah dari sifatnya yang konsepsional-kontemplatif ke penerapan konsep ilmiah dan masalah-masalah praktis, atau dari kontemplasi ke manipulasi.

  Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah menimbulkan banyak persoalan moral yang berakibat destruktif pada manusia. Tetapi apakah itu salahnya iptek atau salahnya manusia, yaitu orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang tidak peduli pada etika, atau yang telah mengarahkan tujuan ilmu kepada yang tidak baik.

  Mahdi Ghulsyani mengatakan bahwa pengetahuan akal

telah mengalami distansi karena faktor-faktor sbb:

a. ketiadaan iman

  b. Mengikuti hawa nafsu, keinginan-keinginan Cinta, benci buta, prasangka c.

  d. Takabur

  e. Taklit buta terhadap pendapat nenek moyang, jumud Tergesa-gesa dalam memutuskan f.

  g. Kebodohan, menolak tanpa alasan

  h. Pengetahuan yang dangkal, tidak mau berpikir mendalam i. Ketidak pedulian terhadap kerinduan dan penerimaan kebenaran

5. Tanggung Jawab Ilmuan

  Mengingat pentingnya nilai-nilai etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan maka tugas dan tanggung jawab ilmuan bukan hanya mengembangkan ilmu pengetahuan tetapi juga mengembangkan etika dalam

  

Seorang ilmuan dituntut untuk tetap konsekwen dengan

nilai moral yang dituntut oleh ilmu itu sendiri. Ini

menyangkut moralitas yang diperlukan oleh ilmuan.

Dalam pandangan Islam seorang ilmuan (ulama)

mempunyai kedudukan yang sangat terhormat. Sesuai

dengan kedudukannya maka dalam Islam tanggung jawab

orang yang berilmu (orang alim) adalah mengajarkan ilmu

yang dimilikinya kepada orang-orang yang belum

mengetahui, dan lebih dari itu tanggung jawab mereka

sebenarnya adalah untuk meningkatkan peradaban manusia

karena ia adalah orang yang mampu untuk itu. Tuhan telah

memberikan nikmat kepandaian kepadanya yang

sebenarnya nikmat itu disediakan kepada seluruh umat

manusia. Kerana itu seorang ilmuan harus berpikir pada

nilai-nilai kemanusiaan, dimana ilmu harus dinikmati oleh

semua manusia.

Menurut Andi Hakim Nasution (1999) tanggung jawab

utama ilmuan terhadap dirinya sendiri, sesama ilmuan, dan

masyarakat ialah: “menjamin kebenaran dan keterandalan

penyataan-pernyataan ilmiah yang dibuatnya dan dapat

dibuat oleh sesama ilmuan lainnya”. Ini berarti selain

menjaga agar semua pernyataan ilmiah yang dibuatnya

selalu benar, ia harus memberikan tanggapan apabila ia

merasa ada pernyataan ilmiah yang dibuat oleh ilmuan lain

tidak benar. Ini adalah tanggung jawab masyarakat ilmiah

sejak dari dulu. Karena itu seorang ilmuan tidak begitu saja

menerima pernyataan ilmuan lain walaupun ia sangat

terkenal. Ia hanya menerima pernyataan sebagai kebenaran

  

“ketidak jujuran ilmiah”, seperti yterjadi pada kasus Cyril

Burt (seorang ahli psikologi di Inggeris) dan T.D. Lyssenko

(genetika) di Rusia ketika zaman Stalin (memanipulasi

teori Mendel).

  

Karena itu Andi Hakim menyarankan pedoman kerja bagi

ilmuan atau masyarakat ilmuan, yaitu sbb:

  1. Bekerjalah dengan jujur

  2. Jangan sekali-kali menukangi data 3. Selalulah bertindak tepat, teliti dan cermat.

  4. Berlakulah adil terhadap pendapat orang lain yang muncul terlebih dahulu.

  5. Jauhilah pandangan berbias terhadap data dan pemikiran ilmuan lain.

  6. Jangan berkompromi tetapi selesaikanlah permasalahan yang dihadapi dengan tuntas.

  

Yusuf Al-Qardlawi (1989) bahwa moralitas yang

diperlukan oleh ilmuan diantaranya yang terpenting adalah:

  • Bertanggung jawab, yaitu rasa tanggung jawabnya di hadapan Allah, karena ulama adalah pewaris nabi-nabi.

  Semakin luas penguasaan ilmu seseorang semakin berat pula tanggung jawabnya.

  • Amanah. Sifat amanah termasuk moralitas yang

  diperlukan atau yang dituntut dari seorang ilmuan, karena tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah, dan sebaliknya sifat khianat termasuh kriteria orang munafik.

  • Rendah hati. Sikap rendah hati (tawadhu”) merupakah
ilmuan atau ulama. Orang yang benar-benar berilmu tidak akan diperbudak oleh perasaan ujub (mengagumi diri senmdiri) atau sombong karena ia yakin benar bahwa tidak ada seorangpun yang lengkap dan sempurna pengetahuannya. Tuhan berfirman yang artinya: “Dan tidaklah aku berikan kepadamu ilmu kecuali hanya sedikit” (Al-Isra’: 85).

  • Mulia (‘Izzah) merupakan salah satu moralitas hukum

  intelektual. Allah berfirman yang artinya: “Barangsiapa menghendaki kemuliaan, maka sesungguhnya semua kemuliaan adalah milik Allah” (Fathir:10).

  • Mengamalkan ilmu. Kehancuran kebanyakan manusia

  adalah karena mereka berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmu itu.

  • Menyebarluaskan ilmu merupakan salah satu moralitas

  yang diperlukan oleh ilmuan atau ulama. Ilmu yang disembunyikan tidak mendatangkan kebaikan.

  

Menurut Jujun Suriasumantri, dalam bukunya

“Pengantar ke Filsafat Ilmu”, tanggung jawab seorang

ilmuan adalah:

  

1. Memberikan perspektif yang benar, apa untung ruginya,

baik dan buruknya, sehingga penyelesaian suatu obyek dapat dimungkinkan.

  

2. Harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap

masalah-masalah yang seyogianya mereka ketahui.

  

3. Dalam bidang etika, tanggung jawab ilmuan bukan saja

memberikan informasi melainkan juga memberikan

BAB II FILSAFAT KOMUNIKASI I. PENDEKATAN TERHADAP FILSAFAT KOMUNIKASI Filsafat komunikasi ialah suatu disiplin yang menelaah secara mendalam,

  menyeluruh (holistic), sistematis, analitis, dan kritis mengenai teori dan proses komunikasi. Filsafat komunikasi merupakan penerapan ilmu filsafat dalam ilmu komunikasi. Filsafat merupakan pula salah satu landasan filosofis bagi proses komunikasi.

  Ada dua pendekatan berbeda mengenai pembahasan filsafat komunikasi. Pertama pendekatan filsafat, dan kedua pendekatan Pers, yaitu mengenai kebebasan dan pengawasan Pers.

  1. Pendekatan Filsafat Richard L. Lanigan dalam bukunya Communication Models in Philosophy, komunikasi dari sudut ontology (filsafat metafisika), epistemology (filsafat ilmu), aksiologi (filsafat nilai), dan logika (filsafat tentang berpikir logis)..

  

Ontologi penting dalam membahas filsafat komunikasi, karena ontology (metafisika)

menyangkut pembahasan mengenai hakekat manusia yang berkomunikasi.

  Tinjauan epistemologi penting dalam membahas filsafat komunikasi, karena epistemology membahas tentang pengetahuan manusia, mengenai metode dan pengetahuan yang ilmiah serta mengenai kebenaran. Tinjauan aksiologis (mengenai nilai) juga penting dalam membahas filsafat komunikasi, karena aksiologi merupakan kajian tentang nilai-nilai manusiawi dan bagaimana mengekspresikan nilai-nilai itu. Jadi nilai-nilai itu sangat penting bagi seorang komunikator ketika ia mengemas pemikirannya sebagai isi pesan dengan terlebih dahulu melakukan pertimbangan nilai (value judgement), apakah pesan yang akan dikomunuikasikan itu etis atau tidak etis, estetis atau tidak estetis. Tinjauan logika juga perlu sekali dalam membahas teori dan proses komunikasi, karena logika berkenaan dengan bagaimana berpikir logis, berpikir secara tepat dan benar. Dalam berkomunikasi berpikir logis itu sangat perlu, karena suatu pemikiran harus dikomunikasikan kepada orang lain, dan yang dikomunikasikan itu harus merupakan keputusan sebagai hasil dari berpikir logis.

  2. Pendekatan Teori Pers Whitney R.Mundt dalam bukunya Global Media Philosophies, tidak menjelaskan komunikasi dari sudut ilmu filsafat umum, tetapi dari sudut hubungan antara pemerintah dengan jurnalistik, yaitu mengenai kebebasan dan pengawasan dalam jurnalistik. Dalam membahas hal itu ia bertolak dari 4 tipologi Teori Pers (Four Theories of the Press) yang dikemukakan oleh Fred Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm. Keempat teori pers yang dimaksud ialah: authoritarian, libertarian, social responsibility,

  

dan Soviet Communist. Menurut Mundt dari ke-4 teori itu hanya dua yang benar-benar

  teori, yakni authoritarian dan libertarian, sedangkan dua konsep lainnya merupakan perkembangan dan modifikasi dari yang dua itu. Menurut Mundt, dalam teori authoritarian pers adalah pelayan Negara. Peranannya tidak usah dipertanyakan karena merupakan filsafat kekuasaan mutlak dari pemerintah suatu Negara. Perintisnya ialah Hobbes, hegel, dan Machiavelli, dan contohnya disebutkan oleh Munt Negara-negara Iran, Paraguay, dan Nigeria. Dalam teori libertarian media tidak bisa tunduk kepada pemerintah, tetapi bersifat otonom, bebas untuk menyampaikan pendapatnyua tanpa intervensi pemerintah. Perintisnya adalah Locke, Milton, dan Adam Smith, sedangkan Negara sebagai contohnya ialah: Amerika Setrikat, Jepang dan Jerman Barat. Dalam teori social responsibility fungsi pers adalah sebagai media untuk mendiskusikan konflik, dan pers diawasi oleh opini komunitas, kegiatan konsumen, dan etika professional.

  Mengenai teori soviet communist, disebutkan bahwa pers melayani partai yang berkuasa dan dimiliki oleh Negara. Tipologi Pers tersebut itu sangat berpengaruh dan banyak ditulis atau dibicarakan. Tetapi pada tahun 1971, timbul saran untuk merevisi teori itu, yang dikemukakan oleh Ralp L. Wenstein, karena dianggap teori itu tidak bersifat fleksibel. dan tidak dapat diaplikasikan pada semua sistem pers. Dalam bukunya Media, Messages, and Men Wenstein mengemukakan two–tiered approach (pendekatan dua deretan bertingkat), yaitu kepemilikan pers (press ownership) dan filsafat pers (press philosophy). Kepemilikan pers, mencakup :

  1. Kepemilikan pribadi. Pers bisa dimilikimoleh perorangan atau lembaga pemerintah; dibiayai terutama oleh periklanan dan langganan.

  2. Kepemilikan partai politik. Dimiliki oleh partai politik, diosubsidi oleh partai atau anggota partai. 3. kepemilikan pemerintah. Dimiliki oleh pemerintah atau partai pemerintah yang dominant; disubsidi terutama oleh dana pemerintah.

  Filsafat Pers, meliputi :

  1. Otoritarian. Dengan lisensi dan sensor pemerintah untuk menekan kritik dan dengan demikian memelihara kekuasaan penguasa.

  2. Sosial ororitarian. Dimiliki oleh pemerintah atau partai pemerintah untuk melengkapi pers guna mencapai tujuan ekonomi nasional dan tujuan filsafati.

  3. Libertarian. Ketiadaan pengawasan pemerintah (kecuali undang-undang tentang fitnah dan pornografi), untuk menjamin pemasaran gagasan secara bebas dan pengoperasian proses kemandirian pers.

  4. Sosial libertarian. Pengawasan pemerintah secara minimal untuk menyumbat saluran-saluran komunikasi dan untuk menjamin semangat operasional dari filsafat libertarian.

  5. Sosial sentralis. Kepemilikan pemerintah atau lembaga umum dengan saluran komunikasi terbatas untuk menjamin semangat dari filsafat libertarian.

  II. PERSPEKTIF ONTOLOGIS MENGENAI KOMUNIKASI Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa pada garis besarnya ilmu filsafat terbagai atas tiga bagian, yaitu Ontologi (Filsafat metafisika), Epistemologi (Filsafat Ilmu pengetahuan), dan Axiologi (Filsafat Nilai). Ontologi mempersoalkan tentang hakekat realitas, epistemology berkenaan dengan cara mengenal realitas itu, dan axiology bekenaan dengan cara menilai realitas itu. Ketiga macam filsafat itu berkaitan satu dengan yang lain. Kalau kita mempersoalkan tentang suatu disiplin ilmu pengetahuan, misalnya ilmu komunikasi, maka disiplin ilmu komunikasi itu dapat ditinjau dari perspektif ontologis, epistemologis, dan perspektif axiologis. Pada bagian ini ilmu komunikasi dari filsafat metafisika (Ontologi).

  Salah satu kajian filsafat ontologis tentang realitas (yang ada) adalah tentang manusia. Manusia adalah factor utama yang terlibat dalam komunikasi antar manusia. Namun siapa sesungguhnya manusia itu? Inilah yang menjadi salah satu obyek pemikiran filsafat yang sangat penting.

  Manusia itu adalah makhluk yang sangat rumit atau sangat unik, karena manusia memang sangat unik sifatnya. Seorang dramawan Yunani kuno, bernama Sopokles, mengatakan bahwa di dunia ini banyak keajaiban, tetapi tidak ada yang lebih ajaib daripada manusia. Siapakah manusia? Dalam kamus Besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa manusia ialah makhluk yang berakal budi. Secara filosofis dapat dijelaskan tentang manusia, misalnya menurut filosof Aristoteles (384-322 SM). Ia mengatakan bahwa dalam alam ini ada tiga macam makhluk dengan roh (anima) yang tarafnya bertingkat-tingkat.

  1. Roh vegetatif, yaitu tumbuh-tumbuhan, yang fungsinya terbatas pada makan.

  2. Roh sensitif yang dimiliki binatang. Binatang lebih tinggi dari tumbuh-tumbuhan karena dalam binatang terdapat juga roh vegetatif di samping roh sensitif. Jadi selain menjadi besar dan berkembang biak, binatang memiliki juga naluri, nafsu sehingga mampu mengamati dan bertindak.

  3. Roh intelek, yaitu manusia. Roh ini paling tinggi diantara makhluk karena memiliki ketiga macam roh itu pada dirinya (vegetatif, sensitive dan intelek). Manusia bukan hanya mampu bergerak dan berkembang biak, tetapi juga mampu berpikir dan berkehendak.

  Berbeda dengan makhluk lain, manusia mempunyai kesadaran, sadar tentang apa yang dilakukannya, baik masa kini, masa lampau dan masa yang akan datang. Manusia bukan hanya terdiri dari jasmani dan rohani, tetapi merupakan kesatuan keduanya, kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan. Roh (anima) berbeda dengan rohani (jiwa). Roh atau nafas, adalah sesuatu yang membuat jasad kita hidup. Dengan kata lain, roh adalah penyebab hidup bukan penyebab kesadaran. Contoh nya ketika orang tidur, roh tetap ada pada badannya, tetapi yang tidak ada (sementara) adalah kesadaran dirinya. Pada waktu manusia sadar ada sesuatu yang berperan pada dirinya, yaitu aku nya. Aku nya itulah yang disebut rohani. Rohani atau aku nya itulah yang membuat manusia merasakan senang, susah, sedih sakit, dsb. Bukan jasmaninya.. Jadi proses rohaniah “aku” menyebabkan kesadaran, (sadar untuk berkehendak atau berbuat), dan itu adalah proses kegiatan roh bersama panca indera manusia. Pusat dari kesadaran itu berada pada otak manusia, yang semuanya berhubungan dengan roh atau jiwa (akal dan perasaan), dan panca indera manusia (melihat, mencium, mendengar, merasa, dan meraba). Akal menggunakan indera manusia untuk bersikap dan berbuat atau berperilaku. Sikap dan perilaku manusia itulah yang merupakan obyek telah yang penting dalam proses komunikasi.

  Ada beberapa aliran filsafat metafisika yang membahas tentang manusia, antara lain aliran materialisme, idealism/rasionalisme, eksistensialisme, dan humanisme.

  a.

  Pandangan Aliran Materialisme tentang Manusia

  Materialisme ialah aliran filsafat yang memandang bahwa yang hakiki ialah materi atau benda. Segala sesuatu dikembalikan kepada materi. Demikian juga manusia. Menurut materialisme manusia adalah benda, yaitu badan atau jasmani. Bahwa manusia juga memiliki jiwa tidak diakuinya. Memang diakui bahwa manusia berbeda dengan batu atau hewan, tetapi pada dasarnya semua itu (batu, hewan, dan manusia) adalah benda atau materi. Filosof materialism apada zaman Yunani Juno ialah Demokritos, dan pada zaman modern, antara lain: De Lametrie, Holbach, Feuerbach, dll.

  b. Pandangan Aliran Idealisme dan Rasionalisme tentang Manusia Sebaliknya idealisme dan rasionalisme memandang bahwa manusia adalah jiwa atau idea atau pikiran. Manusia adalah manusia karena ia berpikir, karena ia mempunyai idea, karena ia sadar akan dirinya. Manusia mungkin belum pernah melihat atom tetapi mengerti tentang atom, belum pernah pergi ke bulan tetapi mengerti tentang bulan.

  Pada zaman Yunani Kuno, seorang filosof idealisme terkenal ialah Plato. Ia mengatakan bahwa idea itu sudah ada pada kita sejak lahir, yang disebutnya doktrin innate ideas. Pengetahuan bukan datang pada kita dari luar diri kita melalui panca indera, tetapi telah ada pada diri kita, tinggal kita memikirkannya atau mengingatnya kembali. Bagi idealisme, walaupun manusia diakui terdiri dari kesatuan badan dan jiwa, atau jasmani dan rohani, tetapi yang hakiki adalah jiwa atau roh, sedangkan badan adalah pelengkap saja. Tokoh idealisme pada zaman modern antara lain ialah: Fichte, Schelling, dan Frederick Hegel.

  Pada zaman modern, filsafat idealisme itu dikembangkan oleh aliran Rasionalisme. Salah seorang tokoh filosof rasionalisme modern itu ialah filosof Pernacis bernama Rene Descartes. Menurut Descartes, seorang manusia sama saja dengan kesadarannya, dan kesadaran atau akal itu tidak ada hubungannya dengan dunia jasmani atau dunia benda. Dalam kesadaran itu terdapat idea atau akal atau rasio. Dengan akal manusia berpikir. Ia terkenal dengan ucapannya : “cogito ergo sum” yang artinya saya berpikir, jadi saya

  ada.

  Dalam menjelaskan pandangannya mengenai mana yang lebih penting, akal atau alat dria, Descates membedakan dua hal yang disebutnya res extansae dan res cogitans. Res extansae ialah hal-hal yang berada di luar diri kita, hal yang dapat diamati (hal yang bersifat benda, materi, terikat dengan hukum alam), sedangkan res cogitans adalah hal- hal yang dapat dipikirkan (hal yang bersifat rohaniah, tidak terikat dengan hukum alam). Dengan pandangan dualisme seperti itu, maka manusia dipandang sebagai dualisme antara badan dan jiwa.

  Eksistensialisme ialah aliran filsafat yang muncul pada abad ke-20 yang memusatkan perhatiannya kepada cara manusia berada di dunia ini. Eksistensialisme menentang aliran materialisme dan idealisme. Menurutnya kedua aliran itu tidak melihat manusia sebagai suatu keseluruhan, hanya melihat manusia dari satu segi saja. Manurut materialism manusia adalah makhluk jasmani, sedangkan menurut idealism manusia adalah makhluk rohani. Sedangkan menurut Eksistensialisme, manusia itu adalah sekaligus makhluk jasmani dan rohani. Manusia adalah hubungan antara jasmani dan rohani, satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kalau salah satu tidak ada maka ia bukanlah manusia. Beberapa criteria yang diperjuangkan oleh Eksistensialisme, yang merupakan cirri dari aliran ini, yaitu:

  (1). Manusia adalah sebagai subyek. Maksudnya bahwa janganlah manusia itu

  diperlakukan sebagai objek, sebagai materi, sebagai benda karena manusia itu pada hakekatnya adalah subjek, yang berkepribadian, yang memiliki individualitet, yang tidak terpisah dengan dunia sekitarnya. Yang menjadi objek ialah dunia sekitarnya, tetapi dunia sekitar itu selalu berhubungan dengan diri manusia sebagai subjek itu. Misalnya, manusia dengan masa lampaunya tidak dapat dipisahkan.

  (2). Keberadaan manusia yang otentik. Manusia yang otentik (yang sesungguhnya)

  adalah manusia yang selalu dalam hubungannya dengan manusia lain, bukan manusia yang terisolir, yang terasing sendiri. Manusia yang tidak berhubungan dengan orang lain adalah manusia yang belum bereksistensi, manusia yang hidup dalam dunia yang semu. Menurut eksistensialisme, manusia dalam dunia dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, sudah cenderung terisolir atau teralienasi, malah banyak yang ingin melarikan diri dari dunia kehidupan yang sesungguhnya.

   (3). Kebebasan dan keterbukaan. Kaum eksistensialis menuntut manusia yang terbuka, yang tidak menutup diri dalam keberadaannya dengan manusia lain.

  Manurut eksistensialisme, manusia itu harus membuka diri, artinya harus menceburkan diri dalam kehidupan di dunia ini, bukan mengasingkan diri, sebab manusia dan dunia adalah satu. Untuk mengenal dunia haruslah kita masuk ke dalamnya. Manusia harus memiliki kebebasan menceburkan diri dalam kehidupan di dunia ini.

  d.

  Pandangan Aliran Humanisme tentang Manusia

  Humanisme adalah aliran filsafat yang member tekanan pada kemanusiaan sebagai hakekat manusia. Penganut humanisme memandang manusia sbb:

  1. Manusia merupakan totalitas aspek kepribadian, merupakan manusia seutuhnya

  (a total person), yaitu yang kesatuan jasmani dan rohani (pikiran, perasaan,

  2. Manusia mempunyai potensi-potensi dalam dirinya, yaitu pikiran, perasaan, kemauan, dan untuk menjadi manusia seutuhnya potensi itu perlu dikembangkan atau diaktualkan semaksimal mungkin (mengaktualkan semua potensi) 3. Manusia dipandang sebagai subjek yang berhubungan dengan manusia lain. Humanisme memberi tekanan pada pentingnya hubungan pribadi (personal relations) yang bersifat manusiawi.

  4. Manusia memiliki kebebasan dalam mengaktulisasikan diri. Tokoh-tokoh humanism pada zaman Yunani antara lain ialah Aristoteles. Aristoteles mementingkan segi keindahan dan segi moral dari manusia, di samping segi intelek atau akal pikiran. Pada zaman modern sampai abad ke-19 tokoh humanism yang terkenal antara lain: Thomas Aquina, Erasmus, Johan Amos Comenius, Jean Jacques Rousseau, dan Peztalozzi. Mereka semua adalah para pendidik humanis. Tokoh-tokoh humanism pada abad ke 20, antara lain pendukung psikologi humanistic, yaitu: Abraham Maslow, Carl Rogers, Don Hamachek, dan Arthur Combs.

  III. PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI MENGENAI KOMUNIKASI Epistemologi adalah bagian filsafat yang mempesoalkan tentang ilmu pengetahuan, yaitu mengenai sumber pengetahuan, metode pengetahuan, luas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan. Epistemologi disebut juga sebagai teori ilmu pengetahuan. Ada beberapa aliran filsafat Barat yang berkenaan dengan epistemology atau teori ilmu pengetahuan. Berikut ini akan dibahas mengenai Filsafat Positivisme, Post Positivisme, Konstruksionisme, dan Filsafat Kritis.

  1. Filsafat Positivisme Positivisme adalah aliran filsafat yang berorintasi pada ilmu pengetahuan alam. Aliran ini dilahirkan oleh dua orang filosof Perancis, yaitu Henry Sain Simon (1760- 1825), yang mencetuskan gagasan aliran itu, dan muridnya Auguste Comte (1798-1857) yang selanjutnya meneruskan dan mengembangkannya. Comte membangun suatu studi ilmiah terhadap sosiologi yang berlandaskan prinsip atau metode yang dipakai pada ilmu pengetahuan alam.

  Ada tiga asumsi dasar yang didukung oleh positivisme, yaitu:

  a. Alam semesta ini digerakkan oleh hukum-hukum alam yang bersifat mekanis sesuai hukum kausalitas (hUkum sebab akibat). Jadi ilmu pengetahuan bertujuan untuk menemukan hukum kausalitas itu.

  b. Teori pengetahuan berusaha melukiskan alam semesta ini sebagaimana apa adanya tanpa keterlibatan nilai-nilai subjektif yang dianut oleh peneliti.

  c. Hipotesa dirumuskan dalam bentuk preposisi dan diverifikasi dalam situasi yang benar-benar terkontrol. Dengan ketiga asumsi tersebut dapat dikatakan bahwa aliran positivisme menganut 3 Menurut Gahlan Adian (2002:68), positivisme memiliki ciri-ciri sbb: bebas nilai, fenomenalisme, nominalisme, reduksionisme, dan naturalisme. Positivisme berpegang pada 5 ciri metodologi ilmu pengetahuan, (lihat Budiman Hardiman, 2003:55), yaitu: 1). Semua pengetahuan harus terbukti secara pasti melalui kepastian metodis, yaitu pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif. 2). Kesahihan ilmu pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode. 3). Kesahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh bangunan teori yang kokoh 4). Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis, artinya memungkinkan control teknis baik terhadap proses alam maupun proses social. 5). Pengetahuan pada prinsipnya bersifat relative dan tidak pernah selesai.

  Komunikasi menurut Positivisme

  Filsafat positivism mendefinikan komunikasi sebagai suatu proses linear atau satu arah. Proses komunikasi berlangsung satu arah itu menurut Michael Burgon disebut

  

“source oriented”, artinya bahwa komunikasi terjadi secara sengaja dilakukan oleh

  seseorang yang menyampaikan rangsangan untuk membangkitkan respons dari orang lain. Dan menurut Mulyana, 2000:58), metode linear itu mencerminkan bahwa pengirim pesan (komunikator) bersifat pasif dalam upaya mengubah pengetahuan, sikap atau perilaku penerima pesan (komunikan). Komunikasi linear atau satu arah itu merupakan model komunikasi yang paling banyak dikenal dan mudah dipahami. Model linear itu bersifat mekanistis, sehingga karena itu dalam model ini metode yang dipakai pada ilmu pengetahuan alam berpengaruh pada ilmu komunikasi. Artinya metode itu dipakai dalam meneliti, merumuskan dan menyimpulkan kebenaran tindakan komunuikasi. Dalam metode ilmu pengetahuan alam ada jarak antara pengamat dengan objek yang diamati. Fakta alamiah dihadapi hanya sebagai objek. Selain itu pengamat harus melihat objek kajiannya sebagai fakta yang bersifat “netral” atau bersifat objektif. Artinya data yang diperoleh bebas nilai (valuie free), tidak dipengaruhi oleh unsur subjektif si pengamat. Dengan demikian pengamat dapat memanipulasi objeknya dalam ekperimen untuk memperoleh pengatahuan yang sesuai dengan hokum sebab akibat (hkum kausalitas). Hasil manipulasi itu merupakan sebuah pengetahuan tentang hokum- hukum yang pasti (nicaya). Misalnya: “kalau air dipanaskan 100 derajat maka air itu mendidih”, “kalau besi dipanaskan maka besi itu akan memuai” dll. Inilah yang disebut “hukum jika… maka…” atau logika induktif, atau deduktif monologis. Selanjutnya teori yang dihasilkan merupakan teori pengetahuan yang bersifat universal, artinya dapat diterapkan kapanpun dan dimanapun. Pada abad ke-19 metode ilmu pemngetahuan alam yang berdasarkan hokum sebab- akibat dan bersifat mekanistis itu digunakan untuk mengembangkan ilmu-ilmu social oleh penganut paham positivisme atau aliran sosiologi August Comte.

  Aliran post positivisme merupakan reaksi kritis terhadap aliran positivism. Penyamaan ilmu-ilmu manusia dengan ilmu-ilmu kealaman mendapat kritik yang keras dari filosof yang datang sesudah masa positivism. Manusia buklanlah benda mati yang gampang diukur. Kalau sebuah benda diukur maka ukurannya akan tetap, akan berlaku untuk benda itu tanpa berubah. Tetapi manusia adalah makhluk hidup yang berubah.

  Iklmu-ilmu social yang mencoba memahami perilaku manusia akan mengalami kesulitan bila hendak membuat ukuran yang pasti dan tetap, karena manusia berubah, dan tindakannya tidak dapat diperkirakan secara pasti. Pada era 70-an dan 80-an muncullah berbagai kritik atau gugatan terhadap asumsi dan kebenaran positivisme dari sejumlah tokoh seperti: Karl Popper, Thomas Kuhn, Feyerabend dan Richard Rotry. Karl Popper misalnya mengeritik kelemahan penggunaan penggunaan metode verifikasi (mencari yang benar) dalam menentukan kebenaran. Popper justru menyarankan sebaliknya, yaitu penggunaan metode falsifikasi (mencari kesalahan).

  Post positivisme berdiri atas asumsi dasar sbb: (lihat Elvinaro dan Bambang Q- Anees, 2009:100) (1). Fakta harus selalu berlandaskan teori (2). Tidak ada satu teoripun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris. Bukti empiris memiliki kemungkinan menghasilkan fakta yang anomali.

  (3). Fakta tidak bebas nilai (value free) tetapi saran nilai (value laden). (4). Hasil penelitian bukanlah laporan objektif, melainkan hasil interaksi manusia dengan alam semesta yang sifatnya penuh persoalan dan selalu berubah.