PENDEKATAN INTERKULTURAL DALAM PENGAJARAN SASTRA ASING DI INDONESIA

  

PENDEKATAN INTERKULTURAL

DALAM PENGAJARAN SASTRA ASING DI INDONESIA

  Andriani Lucia Hilman Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia lucia155@yahoo.com

  

Abstract

The Indonesian society is diverse. It is formed by the various ethnic groups and belief systems

that exist in the archipelago. In retrospect, the Germans lived in a multicultural society,

especially after the Second World War in the 1950s. It was when the Federal Republic of

Germany hosted immigrants to work in the country, which was booming economically at that

time, but labors were lacking. The diversity shared by the Indonesian and the Germans has

become a context for the selections in this paper which expressed the problems represented in

the society. In this case, the problems raised are relevant for Germany and Indonesia. Therefore,

intercultural approach, particularly that of intercultural hermeneutics is best to improve

understanding process, or verstehen of students of culture in Germany as well as in Indonesia.

  

Verstehen process recognizes problems of understanding and respecting foreign elements, of

which Indonesian reader refers as firstly, das Fremde, and secondly, familiar elements, or das

Eigene. I use Inge Schubart’s Im Dschungel von Sumatra, titled Ramadan-Mekkapilger-

Indonesische Hochzeit. Here, in the case of das Eigene for the Indonesian is about

understanding two important events in Islam, fasting month and pilgrimage. The impact of

which influenced the medical examination procedure in the hospital for the pilgrims who were

leaving for Haj. As the process delayed the clearance process to obtain a letter from the Health

office, it also became the reason for the increasing number of patients in the hospital. Thirdly,

the selection was about wedding in Indonesia which has a complicated procedure regarding the

status and rank of the host and guess. Thus, the three cases represented das Fremde which is to

be understood and appreciated, or verstehen. In the case of which, the protagonist had to

understand the villagers of Tjurup village, a remote place in the jungle of Sumatra in the 50s.

  

Without a sence of tolerance toward the villagers’ habitual practice of shyness and ignorance of

promptness, the main character, a medical doctor faced every day, she would not be able to treat

her patients with empathy, especially when most of them were illiterate.

  Keywords: intercultural teaching, das Fremde & das Eigene verstehen.

A. Pendahuluan

  1. Latar Belakang: Globalisasi yang terjadi di abad 21 ini menyebabkan kita tidak bisa mengelak

  1

  dari komunikasi interkultural . Itulah sebabnya sejak beberapa tahun terakhir ini

1 Lihat Wierlacher Interkulturalitaet dalam Wierlacher, Alois/Bogner, Andrea (ed): Handbuch

  

interkulturelle Germanistik. Metzler. Stuttgart/Weimar 2003: 257). Terjemahan dari saya: “Dalam

artian luas interkulturalitas menurut Wierlacher menyatakan pemahaman suatu hubungan manusia baik Program Studi Jerman FIB UI, terutama untuk bidang sastra teks-teks sastra yang dipilih harus memungkinkan analisis interkultural. Dengan cara ini diharapkan pengkajian sastra asing mampu memperluas cakrawala wawasan mahasiswa di samping membuatnya semakin manusiawi. Agar mahasiswa juga menjadi lebih kritis dan peduli terhadap masalah yang terjadi di sekelilingnya, teks-teks sastra yang dipilih adalah teks- teks yang mengangkat permasalahan Jerman yang relevan bagi Indonesia dan sekaligus juga representatif bagi masyarakat Jerman .

  Mengingat bahwa seminar ini diselenggarakan oleh departemen Studi Indonesia, maka pada kesempatan ini saya mengambil cuplikan dari sebuah roman biografi yang ditulis oleh seorang dokter Jerman yang antara tahun 1950 dan tahun 1960 bertugas di Tjurup, sebuah desa di tengah hutan belantara Sumatra. Judul dari bukunya adalah

  

Ärztin im Dschungel von Sumatra. Pengceritaan yang diperankan oleh tokoh akuan

  merangkap tokoh utama teks menyebabkan penggambaran tentang masyarakat lokal bertolak dari sudut pandang tokoh akuan yang memang berperan sebagai dokter. Sebagai pembaca Indonesia kita tentunya sudah dapat membayangkan bagaimana kehidupan masyarakat desa di Indonesia, dan bagaimana kondisi pelayanan pengobatan di desa terpencil yang sering tidak ada dokter yang bertugas. Dengan demikian diharapkan bahwa proses pemahaman teks, baik dari segi bahasa maupun dari segi interpretasi interkultural menjadi lebih sederhana.

  Buku yang saya pilih ini terbagi dalam 24 bab. Bab pertama dimulai dengan persiapan keberangkatan tokoh akuan yang merangkap menjadi tokoh utama ke Indonesia dan di akhiri dengan kepulangannya kembali ke München, Jerman sepuluh tahun kemudian. Selama masa dinasnya sebagai dokter asing sebagian besar waktunya dihabiskannya di desa Tjurup di lereng gunung di hutan Sumatra. Penempatan dinasnya yang ke dua berlokasi di Bekasi, kira-kira 100 km dari Jakarta. Sebuah desa yang pada akhir tahun 50an digambarkan sebagai sebuah desa kecil yang jauh lebih kecil dari desa

2 Tjurup.

  Dalam perantauannya ini sang dokter yang berumur sekitar duapuluhlima tahun

  3

  ini mengalami banyak kendala. Pendidikannya sebagai orang Eropa membentuknya menjadi orang yang biasa berpikir nalar, menghargai efisiensi waktu, biasa dengan perencanaan dan keteraturan. Hal tersebut berbenturan dengan budaya masyarakat lokal yang pada masa itu mayoritas masih sangat sederhana, malah masih buta huruf. Meskipun demikian dengan dukungan dari mantrinya Ishak perlahan-lahan ia berhasil menerima dan beradaptasi dengan masyarakat sekitarnya. Empatinya terhadap panggilan pekerjaannya tercermin pada keberhasilannya memperbaiki kondisi rumah sakit setempat dalam waktu relatif singkat. Perbaikan ruang operasi, apotik,

  4

  labaratorium dan ruang bersalin menyebabkan para pasien meningkat drastis. Dokter muda Jerman ini menjadi tumpuan harapan segala macam penyakit mulai dari disentri, difteri sampai penyakit hati, persalinan sungsang sampai luka menganga di tengkuk akibat tusukan orang tidak waras pada seorang tentara . Tidak jarang operasi yang dilakukannya membutuhkan improfisasi akibat keterbatasan peralatan dan keadaan yang

  

yang nyata maupun digambarkan dalam situasi perjumpaan ..., di mana beberapa orang atau kelompok

yang berasal dari budaya yang beragam mengambil bagian secara berkelanjutan untuk jangka waktu 2 tertentu.“ 3 Lihat bab 13 Folgenreiche Begegnung: 296-297 4 Lihat bab 1 Mit der M.S. ,,Oranje” nach Indonesien: 9 Lihat bab 6 Eine andere Art zu leben: 72 mendesak. Juga tindakan operasi yang belum pernah dilakukannya dan hanya diketahuinya dari buku menyebabkan ia semakin mencintai tugasnya di belantara Sumatra ini. Cinta yang tidak bertepuk sebelah tangan ini tercermin pada upacara perpisahan delapan tahun kemudian, di mana semua perempuan menangisinya. Wakil rumah sakit tentara berbisik bahwa jasanya tidak akan dilupakan. Para pasien di rumah sakit menangisi kepergiannya, juga pasien-pasien di rumah pemasyarakatan. Hari-hari terakhirnya di Tjurup dibanjiri oleh kenalan-kenalannya dari berbagai kalangan, baik

  5 dokter kepala wilayah, bupati, wali kota, guru dan tak ketinggalan para tokoh agama.

  Tokoh akuan menyadari bahwa pengalamannya di desa ini tidak akan pernah berulang di dalam hidupnya. Saat di mana semua orang yang menmbutuhkan pertolongan medis bertumpu padanya, karena dialah satu-satunya dokter yang serba bisa di Tjurup:

  

Ich weinte meinem Paradies nach, ...“ Mit aller Deutlichkeit wurde mir bewußt,

daß es für mich nie wieder eine Situation geben konnte, in der ich so schwer zu

6 ersetzen sein würde.“

  Pada kesempatan ini saya membatasi pada bab 13 yang berjudul Ramadhan –

  

Mekkapilger – Indonesische Hochzeit (Ramadhan – Calon Jemaah Haji – Pernikahan

  Indonesia). Semua hal yang belum pernah dialami tokoh akuan di Jerman. Sebaliknya bagi para mahasiswa umumnya hal tersebut menjadi bagian dari kehidupan sehari- harinya.

2. Pemasalahan:

  Penceritaan yang bertolak dari sudut pandang tokoh akuan yang berlatar- belakang budaya Eropa membuka peluang untuk menganalisis cara pandangnya terhadap budaya dan kebiasaan masyarakat lokal, di samping itu proses adaptasi tokoh akuan dengan lingkungannya yang serba asing (das Fremde) tentunya membutuhkan keinginan untuk mengerti yang tinggi terhadap semua yang berbeda itu. Berangkat dari asumsi tersebut di atas permasalahan yang akan dibahas adalah:

  1. Bagaimana sudut pandang tokoh akuan terhadap budaya dan keadaan masyarakat sekitarnya?;

  2. Apa yang menggerakkan keinginan tokoh akuan untuk verstehen begitu banyak hal yang asing baginya itu (Fremde) ?

B. Metodologi

  Mengingat bahwa teks ini ditulis dari sudut pandang tokoh akuan, yang dalam hal ini berkebangsaan Jerman, maka pendekatan yang paling tepat adalah hermeneutik interkultural.

  Sudut pandang dalam konteks ini mengacu pada konsep Blickwinkel yang diartikan Wierlacher sebagai berikut. Sebuah sudut mempunyai dua kaki. Kedua kaki yang saling menjauh satu sama lainnya mencerminkan sebuah pluralitas dari cara pandang individual atau kultural. Cara pandang ini mencakup keadaan yang kompleks dari manusia yang terdiri dari sejarahnya, cara berpikirnya dan bahasanya. Ingatan tentang kejadian sehari-hari da n ingatan budayanya, pengetahuan tentang bidang yang 5 ditekuninya maupun pengetahuan umumnya serta identitas budayanya. Selain itu sudut 6 Lihat bab 22 Tjurup wird kopfstehen…: 287-290 Ibid:291 pandang juga dapat diartikan sebagai hubungan saling tarik-menarik antara yang kita

  7 kenal ( Eigene) dan yang tidak kita kenal ( Fremde) .

  Menurut Krusche Fremde itu bukanlah sebuah sifat yang dipunyai sebuah obyek yang menjadi perhatian sebuah subyek; Yang asing itu adalah sebuah hubungan, di mana sebuah subyek memiliki pengalaman dan pengenalannya terhadap benda

  8

  tersebut. Apakah seseorang atau sesuatu itu asing, pada dasarnya berkaitan dengan konstalasi pada saat itu. Selain itu yang asing itu juga mempunyai hubungan dengan konsep sudut pandang. Sebab sudut pandang dapat juga diartikan sebagai sebuah hubungan tarik menarik antara yang dikenal dan yang asing. Hubungan tarik menarik ini sekaligus juga membentuk diferensi cara pandang yang berbeda dari yang individual

  9 dan yang kolektif.

C. Analisis

  Bab yang ketigabelas ini langsung dimulai dengan deskripsi suasana pelayanan masyarakat setempat menjelang bulan Ramadhan yang sarat dengan hal-hal yang sebenarnya asing bagi tokoh akuan. Meningkatnya jumlah pasien yang terdiri dari calon haji yang ingin memeriksakan diri karena membutuhkan Surat Keterangan Sehat sebagai salah satu prasyarat keikutasertaan naik haji cukup merepotkannya:

  „ Invasi para calon jemaah haji ke Tjurup membebani para petugas rumah

  10

  sakit lebih dari biasanya. Suasana santai stoistik mulai berubah“ Pengamatan tokoh akuan cukup kritis, tetapi penuh pengertian. Ia bisa mengerti bahwa puasa di siang hari bisa mempengaruhi produktifitas kerja seseorang. Bahkan

  11

  terhadap Ishak kepala mantri yang biasanya selalu sigap. Dengan penuh pengertian (verstehen) tokoh akuan mengatakan bahwa peningkatan jumlah pasien ditambah faktor puasa di siang hari agaknya membawa pengaruh. Juga menarik adalah tanggapan tokoh akuan berkaitan dengan masa puasa. Ia tidak mengatakan bahwa pada siang orang tidak boleh makan minum, melainkan tidak boleh makan dan merokok. Tanggapan ini merupakan indikasi bahwa merokok membudaya di tengah masyarakat lokal.

  7 Die auseinandergehenden Blickstellungen der beiden Geraden des Blickwinkels spiegeln eine

individuelle oder kulturelle Pluralitaet von Sichtweisen. Diese Sichtweisen umfasst den komplexen

Zustand des Menschen, zu dem seine Geschichte, seine Denkweisen und seine Sprache, sein Alltags-

und sein kulturelles Gedächtnis, sein Fach- und Weltwissen und seine kulturelle Identitaet gehoeren...

Der Ausdruck Blickwinkel kann als Bezeichnung des Neigungsverhältnisses zwischen Eigenen und

Fremden oder zwischen der individuellen und kollektiven Identität des Einzelnen aufgefasst werden

und somit eine individuelle oder kulturelle Differenz von Sichtweisen spiegeln (Wiedenmann/

8 Wierlacher) (in Wierlacher, 2003: 212,213).

  

Fremde ist keine Eigenschaft, die ein Objekt für ein betrachtendes Subjekt hat; sie ist ein Verhältnis, in

9 dem ein Subjekt zu dem Gegenstand seiner Erfahrung und Erkenntnis steht“ (Krusche, 1990:143).

  

Ob jemand oder etwas fremd ist, hat demzufolge mit der jeweiligen Konstalation zu tun. Außerdem hat

es auch mit dem Ausdruck Blickwinkel zu tun. Denn Blickwinkel kann als Bezeichnung eines

“Neigungsverhältnisses zwischen Eigenen und Fremden aufgefaßt werden..., und dadurch einer

10

individuellen und kollektiven Differenz von Sichtweisen herstellen“ (Wierlacher/Bogner,2003:212,213).

  

Lihat Schubart hlm. 171. “Durch die Invasion der Pilger nach Tjurup wurde das Krankenhauspersonal

11 mehr als gewöhnlich beansprucht, die übliche stoische Gelassenheit began abzubröckeln.”

Lihat Schubart hlm.170,171. “Im bulan puasa (Fastenmonat) darf tagsüber weder gegessen noch

geraucht werden. ... “Möglicherweise waren die manteris durch das Fasten noch zusatzlich

beeinträchtigt. Selbst der immer einsatzbereite Ishak stöhnte,..” (Cetak tebal dari saya)

  Menyambung masalah dampak meningkatnya jumlah pasien sekitar 200 pasien sehari dan menurunnya produktifitas kerja stafnya, tokoh akuan menyatakan bahwa beban kerja yang terlalu tinggi secara terus menerus, tetapi terutama kelambanan para pasien maupun para mantri menyebabkan tokoh akuan kadang-kadang membanting

  12

  pintu untuk melampiaskan emosinya. Namun setiap kali hal itu sampai terjadi, ia pada akhirnya merasa malu atas tingkah lakunya itu. Menarik untuk disimak adalah keyakinannya sendiri bahwa ia tidak akan mampu mengubah keterbatasan dan budaya

  13

  santai yang sudah memasyarakat. Kembali kita melihat sikap kritis tetapi toleran terhadap das Fremde. Bahwa ia kadang-kadang dalam situasi beban kerja tinggi kehilangan pengendalian emosinya akibat kelambanan yang dihadapinya, merupakan indikasi bahwa pada dasarnya tokoh akuan biasa dengan cara kerja yang lebih efisien. Meskipun kelambanan ini kadang-kadang membuatnya kehilangan kesabaran, ia tetap menyalahkan dirinya sendiri yang tidak bisa santai.

  Toleransi yang tinggi terhadap das Fremde kita saksikan pula ketika ia menyadari bahwa kesalahan lebih terletak pada dirinya sendiri yang menuntut kerapihan, kebersihan dan kesempurnaan yang berlebih-lebihan hal yang dari sudut pandang penduduk lokal tidak berterima. Sedangkan baginya itu jutru merupakan

  14

  bagian mendasar dari budayanya, das Eigene. Di sini terlihat bagaimana tokoh akuan memahami dan peka terhadap kehidupan orang-orang di sekelilingnya yang sangat berbeda. Meskipun kadang-kadang di saat lelah ia tidak mampu mengendalikan emosi yang pada akhirnya dia sesali. Juga predikat berlebihan yang dikaitkan dengan kerapihan, kebersihan dan kesempurnaan merupakan indikasi bahwa ia sangat memahami dan menerima budaya setempat.

  Di lain pihak kita dapat mengetahui bahwa di tahun limapuluhan kebersihan masih merupakan hal asing di desa ini. Di antara mereka masih banyak yang berkutu

  15

  rambut dan sekaligus badannya . Menurut apa yang dia baca di text book kutu hanya hidup di rambut. Tetapi memang sebagian besar gejala penyakit yang ditemuinya di tempat ini tidak cocok dengan diagnosenya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa justru hal-hal seperti itu justru membuat pekerjaan tokoh akuan menjadi semakin menarik. Masih berhubungan dengan kebersihan, tokoh akuan malah berucap bahwa kamar operasi harus dibersihkan dulu dari kacoa sebelum digunakan. Namun demikian ia tidak merendahkan bahwa itu menjijikan misalnya. Ia seakan hanya melaporkan keadaan yang dihadapinya tanpa menilai.

  Menyambung budaya lamban yang telah disinggung sebelumnya, tokoh akuan mengkaitkannya dengan budaya malu. Baginya budaya malu berhubungan erat dengan 12 budaya lamban, karena pada dasarnya rasa malulah yang menyebaban orang tidak

  

Lihat Schubart hlm. 172-173. “Wir hatten täglich weit über zweihundert stationäre und ambulante

Patienten zu versorgen, wobei die DschungelßPolikliniken, das Militärhospital und die Privatprxis gar

nicht mitgerechnet waren. ... Überbeansprucht durch diese pausenlose Arbeit, platzte auch mir

manchmal der Kragen, denn es war wirklich nicht leicht, auch noch die Langsamkeit der Patienten und

Angestellten zu ertragen. ... .Allzuoft brachte ich es nicht fertig, das Gesicht zu wahren, und zuweilen

13 reagierte ich meinen Ärger ab und schmetterte krachend die Türen ins Schloß.”

  

Ibid. hlm. 173. “…, aber jedesmal, wenn ich die Beherrschung verloren hatte, schämte ich mich

hinterher.Außerdem wußte ich nur zu genau, daß es nichts bringen konnte, mich über die

14 Unzulänglichkeiten und die Indolenz der Einheimischen aufzuregen.

  

Ibid hlm. 173. “Viel Schuld traf mich selbst in meinem übertriebenen Streben nach Ordnung,

15 Sauberkeit und Perfektion, das meinen indonesischen Mitmenschen unverständlich bleiben mußte.“ Lihat Schubart hlm. 179. “Der Mensch kann eben “Läuse und Flöhe gleichzeitig” haben.

  berani langsung berbicara tentang keluhan yang dideritanya. Ditambah lagi rasa malu ketika harus membuka pakaian. Itulah sebabnya tokoh akuan menganggap budaya malu

  16 dan lamban sebagai bagian dari kepribadian nasional.

  Empatinya terhadap pekerjaan maupun masyarakat setempat terungkap pula lewat pernyataan, bahwa di desa Tjurup hidupnya dipenuhi dengan kesibukan, kepuasan dan semua hal yang baik. Meskipun kehidupannya sebagai seorang dokter di tengah belantara tentunya tidak akan terlepas dari masalah, tetapi itu merupakan pilihannya

  17 sendiri atas kemauan bebas.

  Ketika di Jerman kehidupannya sebagai dokter selalu diisi dengan usaha pencapaian tujuan yang egois belaka. Di tempat terpencil ini, di mana dia dianggap sebagai satu-satunya orang yang paling kompeten di bidang kedokteran empati terhadap para pasiennya berkembang. Belum pernah ia menjadi tumpuan harapan semua

  18

  orang sakit di sekitarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi pergeseran dalam diri tokoh akuan. Pada awalnya tujuan utama tokoh akuan ke Indonesia adalah

  19

  mengumpulkan uang agar dapat membuka praktek pribadi. Dalam perjalanan praktek kerjanya di desa terpencil di tengah masyarakat yang begitu sederhana, di mana tenaganya sebagai dokter sangat dibutuhkan, empati tokoh utama terhadap pekerjaan dan terhadap kehidupan masyarakat lokal menggumpal menjadi satu. Walaupun diakhir penugasannya ia harus menghadapi kenyataan bahwa uang yang sedikit demi sedikit berhasil dikumpulkannya lewat dedikasi tingginya, mengalami pemotongan tidak resmi

  20 dalam jumlah cukup besar oleh pihak petugas keuangan dan pejabat birokrasi lainnya.

  Menghadapi ketidakwajaran seperti itu, suatu hal yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat setempat, tokoh akuan dapat menerima dan pasrah saja. Komentar yang dilontarkannya sangat lugas: Dalam perjalanan birokrasi pengurusan gajinya yang melewati bigitu banyak tangan pejabat, banyak lembaran rupiah tersangkut. Tidak ada luapan emosi seperti halnya ketika tokoh akuan menjadi tidak sabar menghadapi kelambanan kinerja stafnya ataupun budaya malu para pasiennya. Padahal tujuan utama kedatangannya adalah mengumpulkan uang. Ini membuktikan toleransinya yang tinggi terhadap semua yang asing termasuk yang tidak wajar dan sangat merugikan dirinya.

  Bertentangan dengan ketika dia di Jerman, di mana semua berjalan dengan lancar apakah dia hadir atau tidak, di desa terpencil ini semua tergantung pada tokoh

  16 Ibid. Hlm. 180. “Malu ist eine indonesische Nationaleigenschaft, die mit Langsamkeit gepaart ist.Auch 17 aus meinen Erfahrungen im Umgang mit Patienten konnte ich bald ein malu-Lied singen. ...“

Ibid. hlm. 174. „ Hier war ich ausgefüllt, zufrieden und gutter Dinge. Ein Arztleben im .Urwald konnte

natürlich nicht sorgenfrei ablaufen, aber die Last dieser Sorgen hatte ich mir freiwillig aufgebürdet,

18 niemand hatte sie mir aufgezwungen, ...“

  

Ibid. hlm. 175. “Mein bisheriger Lebensweg war durch meine egoistischen Zielvorstellungan geprägt

gewesen, aber ich war nirgendwo unersetzlich gewesen. Anders hier in diesem abgelegenen

19 Erdenwinkel.

  

Ibid hlm 9. Bab 1 Mit der M.S. “Orangje” nach Indonesien. “Mein Plan, im Ausland Geld für einen

20 Praxisaufbau zu verdienen, ...”

Lihat Schubart hlm 288,290. Bab 22 Tjurup wird kopfstehen... . Finanzmann, den ich bisher noch nie

zu Gesicht bekommen hatte,... , aber als Entgelt für dieses Entgegenkommen mußte ich die doppelte

Summe zahlen. ..., denn es war ebenso üblich, daß auf dem bürokratischen Weg viele Rupienscheine in

den Händen zahlreicher Beamten hängen blieben. Diese landesüblichen Manöver konnte man nur mit

mehr oder weniger Gelassenheit hinnehmen.

  21

  akuan. Ia bertanggungjawab untuk semua hal. Kelihatannya inilah yang menyebabkan empati tokoh akuan terhadap pekerjaan sekaligus masyarakatnya. Empati yang tinggi terhadap masyarakat lokal yang sederhana dan sangat bergantung padanya menyebabkan dokter ini bisa toleran terhadap pemotongan gajinya yang telah dikumpulkannya dengan susah payah dan penuh dedikasi.

  Melalui penjelasannya tentang para calon jemaah haji yang menyebabkan peningkatan jumlah pasien pada awal pembahasan, kita sebagai pembaca juga mendapat informasi bahwa mereka belum mengetahui banyak tentang isi Al Quran oleh karena itu setengah tahun sebelum keberangkatan mereka mendapat penjelasan mengenai Al Quran. Lebih dari itu para pembaca juga menjadi tahu bahwa sebagian besar dari antara calon jemaah malah tidak dapat membaca serta menulis. Itulah sebabnya di akhir

  22 kursus mereka hanya mampu menulis namanya saja.

  Pemahaman tokoh akuan tentang ibadah puasa sudah disinggung di bagian awal analisis ini. Di halaman 176 pengetahuannya tentang ibadah puasa dilengkapi dengan pengamatannya terhadap das Fremde yang cermat dan relatif kritis. Para pemeluk Islam tidak makan minum sampai jam 18.10. Setelah mendengar gong dari mesjid, demikian sebutan tokoh akuan untuk bedug, barulah mereka diperbolehkan makan. Juga subuh sekitar jam 4, sebelum diperbolehkan makan untuk yang kedua kalinya bunyi gong dari mesjid terdengar. Pada mulanya ia merasa aneh, ketika malam hari ditengah jalan menyaksikan kesibukan orang layaknya siang hari. Mereka memasak, becengkerma dan melakukan ibadah puasanya. Tugas harian tetap dilaksanakan, meski dengan agak

  23 mengantuk.

  Unsur das Fremde selanjutnya yang masih berhubungan dengan bulan Ramadhan adalah kebiasaan menerima gaji dua kali lipat para pegawai pemerintah pada saat lebaran. Disamping kebiasaan memberi hadiah pribadi kepala rumah sakit kepada

  24 para pegawai.

  Sehubungan dengan hal di atas kembali kita menyaksikan betapa tokoh akuan menyesuaikan diri dengan juga menerapkan kebiasaan tersebut di atas dengan memberi hadiah kepada semua pegawainya di rumah. Padahal gaji yang diterimanya dari pemerintah dan dari tentara tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari apalagi jika ditambah dengan upah para pegawainya. Meskipun menyita banyak waktu dan uang ia 21 merasa wajib untuk membelikan hadiah stelan baju lengkap dengan sepatunya bagi

  

Ibid. hlm 175.”Im Gegensatz zu meiner klinischen Tätigkeit in Deutschland – dort life der Klinikbetrieb

wie am Schnürchen, ob ich nun daran beteiligt war oder nicht – hing alles von mir ab, war ich für alles

22 verantwortlich.

  

Ibid. Hlm. 170 – 171. Ein halbes Jahr vorher erhalten die Pilgeranwärter Unterweisungen im Koran

und müssen lesen und schreiben lernen. Letzteres stellt eine schwere Hürde dar, weil viele

Analphabeten sind, die nach Abschluß des Unterrichtes es gerade noch fertig bringen, ihren Namen zu

23 schreiben.

  

Ibid. Hlm. 176. “Die Gläubigen blieben bis zehn Minuten nach achzehn Uhr nüchtern, dann ertönte

der Gong der mesigit (Moschee), der die Nahrungsaufnahme erlaube. Auch nachts um vier Uhr, vor

der erlaubten zweiten Mahlzeit, klang das gong-gong-gong der mesigit.Es mutete mich seltsam an,

wenn ich nachts unterwegs war, daß die Menschen, geschäftig wie sonst am Tage, ihren privaten

Tätigkeiten nachgingen, kochten, plauderten und ihren religiösen Pflichten nachkamen. Der

24 Tagesdienst jedoch wurde eingehalten, wenn auch schläfriger.“

  

Lihat Schubart hlm. 176- 177. “Regierungsangestellte, wozu auch das Krankenhauspersonal zählte,

erhielten zu Lebarang ein doppeltes Gehalt und es war üblich, daß der Kepala Rumah Sakit

(Krankenhauschef) jedem pegawai (Angestellten) ein persönliches Geschenk gab.“

  setiap orang, termasuk anggota keluarga pegawainya. Keiklasannya terlihat ketika ia juga dapat menikmati proses berbelanja sambil memilih-milih sepatu, baju dan celana

  25 kecil untuk anak Achmat, pembantunya. Juga untuk istri dan kedelapan anaknya.

  Menanggapi hadiah sepatu yang dia belikan untuk Achmat, tokoh akuan berucap, bahwa sebenarnya Achmat tidak membutuhkan sepatu karena pada dasarnya ia bertelanjangkaki sepanjang hari.

  Malam setelah berbelanja ia masih menyempatkan diri untuk menengok pasiennya yang luka parah. Tindakan ini kembali merupakan indikasi dari empatinya terhadap para pasiennya. Proses penyembuhan berjalan dengan baik, dan Kasan

  26 pasiennya itu mau buru-buru pulang karena ingin merayakan lebaran di rumah.

  Pengetahuannya tentang pentingnya perayaan Lebaran menyebabkan tokoh akuannya mempertimbangkan untuk membolehkan Kasan pulang ke rumah untuk satu hari saja. Sebuah keputusan yang membutuhkan pengetahuan dan toleransi yang tinggi terhadap

  27 das Fremde.

  Baru selesai memeriksa Kasan, suster Sesidah dari bagian kebidanan sudah datang berlari menghampirinya. Ia harus menolong kelahiran yang bermasalah. Ia harus mengeluarkan bayi dengan jepitan. Hal yang tidak selalu berhasil baik, meskipun ia sudah hafal peta pertolongan bersalin di luar kepala. Meskipun kurang latihan, keadaan darurat memaksanya untuk bertindak. Kali ini ibu dan anak berhasil diselamatkannya, tetapi kejadian itu sendiri menyebabkan tangan tokoh akuan masih gemetar ketika

  28

  akan mengemudikan mobilnya. Sebuah indikasi bahwa sebenarnya hatinya galau tetapi keadaa darurat memaksanya untuk berani mengambil risiko untuk menyelamatkan ibu dan anak. Pengalaman-pengalaman yang seperti inilah yang membuat tokoh akuan semakin berempati.

  Bagian terakhir bab ini menggambarkan pengetahuan dan pemahaman tokoh akuan tentang budaya pesta di desa tersebut serta budaya malu. Baginya menghadiri 25 pesta merupakan suatu yang melelahkan dan membosankan, namun tidak dapat

  

Ibid. hlm. 177-178. “Mein Regierungsgehalt und das Gehalt von der Tentara reichten bei weitem nicht

zur Bestreitung meiner Lebenshaltungskosten und der Löhne meines Hauspersonals. ... Bei meinen

zahlreichen Angestellten bedeuteten die Lebaranggeschenke einen erheblichen Aufwand an Zeit und

Geld, denn als Arbeitsgeber war ich auch für die Haus- und Praxisangestellten der Sitte unterworfen,

jedem einzelnen ein sogenanntes stel (eine Garnitur Kleidung) zu kaufen. ... An einem Sonntag ... tätigte

ich mit Achmats Hilfe meine gigantischen Einkäufe. Es machte mir Spaß, für seine Sprößlinge Schuhe,

Kleidchen und Höschen auszusuchen. Für seine Frau kaufte ich einen kain sarong, ... .Darüber tragen

sie die halblange traditionelle Bluse, die kebaya,... Selbstverständlich durften auch Pantoffeln und ein

Schal nicht fehlen. Achmat bekam Hose, Hemd und Schuhe, welche letztere mir total überflüssig

26 schienen, weil er nur barfüßig herumlief.”

  

Ibid. hlm. 178. “Nach diesem Großeinkauf schaute ich nach meinem Patienten Kasan, dessen

Besserung erfreulicherweise deutliche Fortschritte machte. Er bat ständig um seine baldige

27 Entlassung, weil er Lebarang unbedingt mit seiner Familie verleben wollte.“ 28 Ibid.hlm.178. “… , vielleicht lasse ich Sie für einen Tag heim, aber dann müssen Sie wiederkommen.“

Lihat hlm. 178, 179. “Oberschwester Sesidah kam in den Männersaal gelaufenÖ ÄBitte, kommen Sie

schnell, Geburtsstillstand bei einer Erstgebärenden, sagt die bidan )Hebamme. ... Bei der

Untersuchung fand ich den Muttermund maximal erweitert, der kindliche Kopf stand bereits im

Beckenausgang, aber keine Wehen bei noch normalen kindlichen Herztönen. ... Der Eingriff verlief

glücklich, was ich von meinen vorangegangenen Zangenentbindungen nicht immer so behaupten

konnte,... . Nach dieser Großtat – Mutter und Zangenbaby wohlauf – zitterten meine Hände noch am

Steuerrad, …“

  29

  dihindari. Pengamatanya selama menghadiri pesta berhasil digambarkannya dengan sangat tepat dan kritis. Menurut pengakuannya sendiri pengamatannya ini dilakukannya

  30

  agar dapat membawakan diri seperti tamu-tamu lainnya. Jadi ritual pesta di sini dan di Jerman harusnya berbeda.

  Orang memasuki ruangan, tersenyum ramah, membuat gerakan permisi kesegala penjuru (gerakan membungkuk dengan menyilangkan tangan di dada) setelah itu orang dipersilahkan duduk untuk menikmati hidangan. Beberapa keluarga menghiasi meja makannya. Orang duduk, mencicipi gelas tehnya, memasukan sepotong kecil makan ke dalam mulut, tersenyum dan diam, karena tidak ada yang tahu apa yang harus dikatakannya. Menurut pendapat tokoh akuan orang Indonesia selalu malu. Tamu yang sopan membatasi dirinya ucapan dan komentarnya sebatas keadaan cuaca. Kesopanan menuntut menyisakan makanan di piring. Juga gelas dibiarkan tigaperempat penuh. Sesaat orang kembali malu, melihat ke bawah, hingga saatnya pantas untuk mengucapkan terima kasih. Setelah tokoh adat menunaikan tugasnya, mereka mulai beranjak pulang dengan gerakan merunduk terhadap para hadirin dan permisi pulang pada tuan rumah. Di rumah berikutnya hal yang sama berulang.

  Hal yang berbeda yang akan dialami tokoh akuan jika yang mengadakan pesta adalah pejabat ketentaraan, beberapa orang Cina, staf kerjanya di rumah sakit, terutama Ishak dan Sumiati.

  Misalnya pada pernikahan anak Bustami, kepala mantri yang pada saat itu belum sembuh dari penyakit yang dideritanya, pesta memang dimulai dengan upacara adat. Tetapi menjelang malam, ketika pasangan pengantin telah berganti dari pakaian adat ke pakaian Eropa Ishak mulai dengan cerita-ceritanya yang penuh humor. Perlu ditekankan di sini adalah bahwa yang dijadikan obyek leluconnya adalah tokoh akuan sendiri. Ia bercerita bahwa seorang Blanda, sebutan Ishak untuk orang kulit, yang baru datang dari negeri Belanda sering keliru antara jendela dan celana. Hal tersebut bisa berakibat cukup fatal ketika tokoh akuan meminta ”djongos”nya, untuk membuka jendela. Pada awalnya si pembantu menjawab bahwa ia malu. Ketika si nyonya memaksa ia menjatuhkan celananya. Alhasil si nyonya menjerit marah, karena ternyata ”djongos”

  31

  tidak memakai celana dalam. Semua yang hadir tertawa terbahak-bahak termasuk Bustami dan pasangan pengantin. Selanjutnya Ishak masih melanjutkan cerita tentang sang dokter ”Belanda” bahwa ia sering keliru antara gunting dan kancing, antara kucing dan kencing pada saat operasi, sehingga pada saat operasi ucapan-ucapan sang doktor bisa mengundang senyum.

  Dari kejadian di atas kita sebagai pembaca dapat menarik kesimpulan bahwa tokoh akuan begitu akrab dengan tim kerjanya, sehingga ia betah menghadiri pesta pernikahan kepala mantrinya dari siang sampai malam hari. Selain itu keakraban tadi 29 Ibid. hlm. 179. „Die Feiertage mit den ermüdenden Glückwunschbesuchen, eine höchst lästige, aber 30 unvermeidliche Angelegenheit, hatte ich aufatmend überstanden.

  

Ibid. hlm 179. “Bei meinen zahlreichen Pflichtbesuchen hatte ich das Zeremoniell gut beobachten

31 können und erwarb mir dadurch eine gewisse Sicherheit im Auftreten.

  

Lihat Schubart hlm 184: “Sie hat tjelana (Hose) und djendela (Fenster) verwechselt. So sagt sie zu dem djongos (Diener): minta membuka tjelana (öffne bitte die Hose). Der djongos windet sich:saja malu

(ich schäme mich). Die Njonja besteht unwirsch auf membuka tjelana. Schließlich läßt der Junge seine Hose fallen, eine Unterhose hat er nicht an. Die Njonja schreit empört: saja mau membuka tjelana,

tapih djongos membuka telandjang djendela (ich verlange die Hose zu öffnen, aber du stehst nackt im Fenster).“ juga terlihat ketika tokoh akuanlah yang dijadikan bahan lelucon oleh anak buahnya, dan ini terjadi di saat ia sendiri hadir. Sebuah hubungan yang selaras tanpa menghiraukan posisi di dunia kerja. Di samping itu indikasi kesederhanaan pendidikan tertangkap ketika Ishak, tangan kanannya di rumah sakit, menyebut tokoh akuan orang Belanda, padahal ia adalah orang Jerman. Bagi masyarakat lokal kulit putih identik dengan Belanda.

  Bab 13 ditutup dengan pernyataan tokoh akuan mengenai makanan di pesta pernikahan ini yang sangat pedas baginya. Selainnya itu ia mengatakan bahwa ia belum pernah mengalami mereka begitu lucu dan terbuka, walaupun pada pesta-pesta di

  32 Indonesia tidak diedarkan minuman beralkohol. Dari tanggapannya ini dapat kita

  ketahui bahwa makanan Jerman tidak pedas. Pesta orang Jerman pasti dilengkapi dengan minuman beralkohol yang membangkitkan suasana santai dan gembira, karena kalau tidak mereka sulit tertawa santai. Suatu perluasan wawasan bagi kita pembaca Indonesia. Di satu pihak kita menjadi tahu tentang budaya Jerman, di lain pihak kita menjadi sadar akan hal-hal yang sudah kita anggap biasa.

D. Kesimpulan

  Dari analisis teks tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa sudut pandang tokoh akuan terhadap budaya dan keadaan di desa Tjurup yang terletak di tengah belantara Sumatra pada umumnya sangat bersimpati. Berkaitan dengan budaya malu yang ia hubungkan dengan budaya lamban tanggapannya agak keras dengan mengatakan bahwa budaya malu merupakan bagian dari kepribadian nasional. Walaupun demikian ia dapat menerima dan mengerti bahwa puasa di siang hari dapat mempengaruhai produktifitas kerja. Komentarnya sama sekali tidak terkesan menghakimi malah cenderung mengerti. Padahal penurunan produktifitas kerja stafnya ini membawa dampak pada beban kerjanya yang terasa tidak kunjung selesai.

  Empati terhadap pekerjaannya sebagai dokter di tengah masyarakat lokal yang sederhana, mayoritas masih buta aksara dan belum mengenal kebersihan ini tercermin lewat ungkapan kepuasan selama hidup di desa ini serta menganggap semua pengalamannya baik. Awal tujuan kedatangannya adalah mengumpulkan uang agar kelak dapat membuka praktek dokternya sendiri di Jerman. Dengan berjalannya waktu dan pemahamannya akan kondisi masyarakat lokal, orientasinya lebih mengarah pada bagaimana dapat menolong orang sebanyak-banyaknya. Kemungkinan besar empati bagi pekerjaan dan masyarakat lokal ini justru berkembang dalam dirinya ketika ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa semua orang menggantungan kesembuhannya padanya. Dialah yang dianggap paling tahu di bidang kedokteran. Empati ini juga tercermin lewat kesabarannya ketika uang yang dikumpulkannya dengan susah payah dipotong dalam jumlah yang cukup besar oleh pejabat-pejabat yang berwewenang. Budaya pungli ini diterimanya dengan tenang. Ia sama sekali tidak menjadi emosional seperti halnya ketika ia kadang-kadang meluapkan emosinya dengan membanting pintu saat tekanan kerja secara berkepanjangan menderanya, sedangkan orang-orang 32 sekitarnya lamban.

  

Ibid. hlm 184-185: “Das Hochzeitessen war äußerst scharf gewürzt, ... . Meine Leute erlebte ich lustig

und ausgelassen wie noch nie, obwohl es bei indonesischen Festen keinen stimmungsfördernden Alkohol gibt.“

  Toleransinya yang tinggi terhadap segala kekurangan yang ada. Kebersihan, kerapihan apalagi kesempurnaan kerja tercermin lewat cara penceritaannya yang sekedar memberi informasi tanpa menghakimi. Terlebih berkaitan dengan kebersihan. Pasien yang berkutu di rambut dan badannya, ruang operasi yang harus dibersihan dari kacoa merupakan beberapa contoh dari kondisi masyarakat tersebut. Untuk tokoh akuan yang datang dari Jerman hal tersebut seharusnya merupakan suatu yang menjijikkan. Agaknya panggilannya sebagai dokternya menyebabkan ia malah semakin berempati dan toleran terhadap masyarakat lokal.

  Perluasan wawasannya tentang budaya setempat terutama yang berkaitan dengan budaya Islam terlihat pada toleransinya terhadap penurunan produktifitas kerja pada bulan Ramadhan. Tokoh akuan juga membelikan hadiah untuk semua anak buahnya, meskipun gaji yang diterimanya tidak cukup untuk kebutuhannya sehari-hari.

  Bagi tokoh akuan pesta resmi yang penuh ritual dan basa basi merupakan suatu keharusan yang membosankan. Sebaliknya pesta yang diselenggarakan kenalan- kenalannya baik dari tentara, beberapa orang Cina, apalagi stafnya sendiri selalu meriah penuh gelak tertawa walaupun tanpa minuman beralkohol.

  Dari kumpulan butir-butir analisis di atas tadi dapat disimpulkan bahwa pemilihan teks yang tepat, memungkinkan kita untuk mengetahui banyak hal asing (das

  

Fremde), dan sekaligus juga membuat kita menjadi lebih peka terhadap budaya sendiri,

sehingga kita dapat menempatkan diri ketika berhadapan dengan orang asing.

  Daftar Pustaka

  Bolten, Jürgen, 2001, Interkulturelle Kompetenz. Erfurt: LZT Krusche, Dietrich, 1980, Die Kategorie der Fremde. Eine Problemskizz dalam Alois

  Wierlacher (ed.), Fremdsprache Deutsch I. München: Wilhelm Fink Verlag Krusche, Dietrich/Wierlacher, Alois (ed.),1990, Hermeneutik der Fremde. München: Iudicium.

  Sundermeier, Theo, 1996, Den Fremden verstehen. Eine praktische Hermeneutik.

  Göttingen: Vandenhoeck und Ruprecht. Wierlacher, Alois/Bogner, Andrea, 2003, Handbuch interkulturelle Germanistik.

  Stuttgart: Metzler.