EKONOMI KREATIF Rencana Pengembangan PEN

Galih Bondan Rambatan PT. REPUBLIK SOLUSI

iv Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019

RENCANA PENgEmbANgAN PENERbITAN NAsIoNAl 2015-2019

Tim Studi dan Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif: Penasehat

Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Sapta Nirwandar, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI

Pengarah

Ukus Kuswara, Sekretaris Jenderal Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Harry Waluyo, Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif berbasis Media, Desain dan IPTEK Cokorda Istri Dewi, Staf Khusus Bidang Program dan Perencanaan

Penanggung Jawab

Poppy Safitri, Setditjen Ekonomi Kreatif berbasis Media, Desain, IPTEK M.Iqbal Alamsjah, Direktur Pengembangan Ekonomi Kreatif berbasis Media Anna Suharti, Kasubdit Pengembangan Tulisan Fiksi dan Nonfiksi

Tim Studi

Galih Bondan Rambatan

ISBN

978-602-72387-0-1 Tim Desain Buku

RURU Corps (www.rurucorps.com) Rendi Iken Satriyana Dharma Sari Kusmaranti Subagiyo Yosifinah Rachman

Penerbit

PT. Republik Solusi

Cetakan Pertama, Maret 2015

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

Terima Kasih kepada Narasumber dan Peserta Focus Group Discussion (FGD):

Dra.Lucya Andams, Ketua Asosiasi Ikatan Penerbit Indonesia Hikmat Darmawan, Komunitas Komik Sinta Yudisia, Lingkar Pena Indonesia Aulia Halimatussadiah, Nulisbuku.com Hary Candra, Direktur Pesona Edukasi Sweta Kartika, Komikus

vi Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019

Kata Pengantar

Ekonomi kreatif memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu sektor penggerak yang penting untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Ekonomi kreatif adalah ekonomi yang digerakkan oleh sumber daya terbarukan dan tersedia secara berlimpah di Indonesia, dimana kita memiliki sumber daya manusia kreatif dalam jumlah besar, sumber daya alam terbarukan yang berlimpah dan sumber warisan budaya yang unik dan beragam. Ketiganya menjadi kekuatan pendorong pertumbuhan ekonomi kreatif yang berkelanjutan.

Kita, secara bersama-sama telah meletakkan dasar pengembangan ekonomi kreatif yang akan membawa bangsa menuju pembangunan ekonomi yang berkualitas. Sehingga diperlukan upaya pengembangan ekonomi kreatif yang berkesinambungan untuk memperkuat ekonomi kreatif sebagai sumber daya saing baru bagi Indonesia dan masyarakat yang berkualitas hidup.

Bagi Indonesia, ekonomi kreatif tidak hanya memberikan kontribusi ekonomi, tetapi juga memajukan aspek-aspek nonekonomi berbangsa dan bernegara. Melalui ekonomi kreatif, kita dapat memajukan citra dan identitas bangsa, mengembangkan sumber daya yang terbarukan dan mempercepat pertumbuhan inovasi dan kreativitas di dalam negeri. Di samping itu ekonomi kreatif juga telah memberikan dampak sosial yang positif, termasuk peningkatan kualitas hidup, pemerataan kesejahteraan dan peningkatan toleransi sosial.

Penerbitan, sebagai salah satu dari 15 subsektor di dalam industri kreatif, merupakan kegiatan mengelola informasi dan daya imajinasi untuk membuat konten kreatif yang memiliki keunikan tertentu, dituangkan dalam bentuk tulisan, gambar dan/atau audio ataupun kombinasinya, diproduksi untuk dikonsumsi publik, melalui media cetak, media digital, ataupun media daring untuk mendapatkan nilai ekonomi, sosial ataupun seni dan budaya yang lebih tinggi. Saat ini masih ada masalah-masalah yang menghambat pertumbuhan industri penerbitan di Indonesia, termasuk didalamnya jumlah dan kualitas orang kreatif yang masih belum optimal, ketersediaan sumber daya alam yang belum teridentifikasi dengan baik, keseimbangan perlindungan dan pemanfaatan sumber daya budaya, minimnya ketersediaan pembiayaan bagi orang-orang kreatif, pemanfaatan pasar yang belum optimal, ketersediaan infrastruktur dan teknologi yang kurang memadai, serta kelembagaan dan iklim usaha yang belum sempurna.

Dalam upaya melakukan pengembangan industri penerbitan di Indonesia, diperlukan pemetaan terhadap ekosistem penerbitan yang terdiri dari rantai nilai kreatif, pasar, nurturance environment, dan pengarsipan. Aktor yang harus terlibat dalam ekosistem ini tidak terbatas pada model triple helix yaitu intelektual, pemerintah dan bisnis, tetapi harus lebih luas dan melibatkan komunitas kreatif dan masyarakat konsumen karya kreatif. Kita memerlukan quad helix model kolaborasi dan jaringan yang mengaitkan intelektual, pemerintah, bisnis dan komunitas. Keberhasilan ekonomi kreatif di lokasi lain ternyata sangat tergantung kepada pendekatan pengembangan yang menyeluruh dan berkolaborasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

vii

Buku ini merupakan penyempurnaan dari buku Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 yang diterbitkan pada tahun 2009, di mana terjadi pergeseran definisi dan pemahaman penerbitan secara mendasar. Pada buku sebelumnya, pemakaian definisi mengacu pada penerbitan dan percetakan secara umum. Pada buku ini, subsektor penerbitan dan percetakan bergeser dan berfokus menjadi hanya penerbitan saja. Hal ini disebabkan karena dalam alur proses penerbitan sendiri sudah terdapat kegiatan percetakan, sehingga penerbitan tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan produksi karya tetapi lebih kepada proses penciptaan konten berkualitas meliputi kegiatan penyuntingan, proof reading, penyiapan disain dan layout, serta kegiatan penyebarluasan atau distribusi karya.Dalam melakukan penyempurnaan dan pembaruan data, informasi, telah melakukan sejumlah Focus Group Discussion (FGD) dengan berbagai pemangku kepentingan baik pemerintah, pemerintah daerah, intelektual, media, bisnis, orang kreatif dan komunitas penerbitan secara intensif. Hasilnya adalah buku ini, yang menjabarkan secara rinci pemahaman mengenai industri penerbitan dan strategi-strategi yang perlu diambil dalam percepatan pengembangan penerbitan lima tahun mendatang. Dengan demikian, masalah-masalah yang masih menghambat pengembangan industri penerbian selama ini diharapkan dapat diatasi dengan baik, sehingga dalam kurun waktu lima tahun mendatang, Penerbitan Indonesia dapat bertumbuh secara merata, berkualitas, berbudaya, berdaya saing dan berkelanjutan.

Salam Kreatif

Mari Elka Pangestu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

viii Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019

Ringkasan Eksekutif

Buku ini merupakan penyempurnaan dari buku Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 yang diterbitkan pada tahun 2009. Seperti halnya terbitan sebelumnya, buku ini menerangkan pemahaman, ruang lingkup, serta evaluasi dan analisa permasalahan yang dihadapi oleh industri penerbitan dewasa ini hingga ke depannya. Walau menjelaskan kondisi industri penerbitan secara umum, buku ini lebih berorientasi pada pengembangan industri lima tahun ke depan.

Metode utama yang digunakan dalam penyusunan laporan di buku ini adalah wawancara mendalam ( In-Depth Interview atau IDI) dengan berbagai tokoh industri, serta tiga kali grup diskusi terfokus ( Focus Group Discussion atau FGD) bersama para pemangku kepentingan industri yang dianggap dapat mewakili suara dan aspirasi industri secara umum, baik dari segi bisnis, komunitas, akademisi, pemerintah, maupun orang-orang kreatif. Selain itu, kajian literatur dari berbagai sumber yang dianggap relevan, baik nasional maupun internasional, juga dimanfaatkan sebagai pendukung.

Hasil analisa dalam buku ini menunjukkan bahwa pemahaman industri penerbitan dan percetakan sebagai salah satu dari lima belas subsektor industri kreatif di Indonesia hendaknya difokuskan menjadi industri penerbitan saja. Namun, industri ini juga kini meliputi bukan hanya penerbitan cetak namun juga penerbitan digital dan daring. Terlepas dari itu, bagaimanapun, permasalahan- permasalahan lama seperti kurangnya minat baca masyarakat, minimnya keawasan dan apresiasi terhadap sastra Indonesia secara umum, pengadaan bahan baku kertas dan jalur distribusi buku yang masih terpusat dan kurang efisien, dan sebagainya masih kurang lebih sama dengan yang telah dialami selama dua puluh tahun terakhir. Sesungguhnya permasalahan-permasalahan ini dapat kurang lebih diatasi dengan memanfaatkan teknologi dan jejaring komunitas kreatif yang tersedia. Sayangnya, belum ada data komprehensif mengenai berbagai komunitas ini, dan kesadaran pemanfaatan teknologi bagi orang kreatif maupun wirausahawan kreatif juga dirasa masih kurang.

Penelitian yang telah dilakukan sepanjang penulisan buku ini mengindikasikan tren yang positif, namun dengan beberapa rambu yang harus diwaspadai. Para pelaku menyarankan bahwa pengembangan yang dilakukan hendaknya berfokus pada empat hal utama berikut.

• Pembuatan portal pendataan orang kreatif, wirausaha dan usaha kreatif penerbitan meliputi penerbit mandiri dan penerbit digital, karya kreatif penerbitan serta komunitas terkait industri penerbitan.

• Perencanaan alternatif untuk menjaga kestabilan harga kertas dan tinta untuk menekan biaya produksi pencetakan serta alternatif jalur distribusi karya penerbitan cetak sehingga karya penerbitan dapat dinikmati secara merata di seluruh Indonesia.

• Pengadaan festival buku tingkat nasional maupun internasional dan sejenisnya secara berkala yang bertujuan untuk promosi sekaligus penghargaan kepada pelaku industri penerbitan

• Kegiatan sosialisasi kekayaan intelektual (IP) berkaitan dengan hak cipta karya kreatif penerbitan sehingga diakui dan memiliki daya saing tinggi.

xiv Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019 xiv Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019

memperluas dan meningkatkan pendapatan usaha penerbitan Indonesia.

Disarankan bahwa tindak lanjut pertama yang harus dilakukan adalah melakukan koordinasi untuk merancang teknis pelaksanaan berbagai kegiatan yang telah direncanakan lima tahun kedepan bersama tim perumus profesional, pelaku industri kreatif penerbitan dan para pemangku kepentingan lainnya bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (KEMENPAREKRAF) untuk mewujudkan Penerbitan Indonesia yang bertumbuh secara merata, berkualitas,

berbudaya, berdaya saing dan berkelanjutan.

xv

“ . il

a of

2 0 enerbitan Nasional 2015-2019

gt in

nn

la

engembangan P

re p

ana P

ua enc o

,y eatif: R n

la

onomi Kr

op Ek il t in

a n kl

I 5 2 1 0 1 0 uf 2 o in F m a

A “ 5 E K K U MEN U J U 0 2 2

A J KN

G A S TEK

e If y nj b

IA S E N DO N UI R

N BA A T

xvi

2 Ekonomi Kreatif: Rencana Aksi Jangka Menengah Penerbitan 2015-2019

BAB 1

Perkembangan Penerbitan di Indonesia

bAb 1: Perkembangan Penerbitan di Indonesia 3

1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Penerbitan di Indonesia

Di Indonesia seringkali definisi penerbitan disamakan dengan definisi percetakan. Hal ini tidak hanya dipahami oleh masyarakat awam, tetapi juga oleh pelaku bisnis. Bahkan pemerintah sendiri masih sulit membedakan proses di antara kedua kegiatan tersebut. Padahal bila dilihat secara etimologis dan konseptual, kedua kata tersebut memiliki makna yang sangat berbeda. Selain itu, definisi penerbitan dan percetakan juga telah mengalami pergeseran makna, ruang lingkup, bahkan karakteristik proses dan model bisnis searah dengan perkembangan informasi dan teknologi yang semakin maju.

Pergeseran substansi industri penerbitan itu merupakan pergeseran pusat kreativitas dari kegiatan penerbitan dan percetakan ke arah yang lebih menitikberatkan pada produksi konten. Peran percetakan yang integral terhadap industri ini kini makin dapat digantikan oleh teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Pergeseran ini tentunya amat penting untuk dipahami jika kita ingin memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan relevan mengenai industri penerbitan sebagai salah satu subsektor industri kreatif di Indonesia. Oleh karena itu, walau pada praktiknya industri penerbitan dan percetakan masih sering berjalan sebagai satu kesatuan, ada baiknya jika dalam pemahaman ekonomi kreatif kita lebih menitikberatkan pada industri penerbitan sebagai pusat terjadinya kreativitas itu sendiri.

Untuk memahami hal ini, sekaligus untuk menghindari berbagai kerancuan yang ada dalam pemahaman industri penerbitan dalam konteksnya sebagai salah satu subsektor industri kreatif di Indonesia, menjadi penting bagi kita untuk melihat definisi dan ruang lingkup pengembangan industri penerbitan di Indonesia.

1.1.1 Definisi Penerbitan

Penerbitan berasal dari kata “ publish” yang mulai dicatat pada awal 1570 dengan pemahaman “ the issuing of a written or printed work” atau informasi yang ditulis atau pekerjaan yang dicetak. Pemahaman penerbitan mulai dikembangkan pada 1650 dari bahasa Prancis kuno yang menyebutkan bahwa kata “ publish” berasal dari kata ‘publier’ yang mengandung arti “the act of making publicly known”. Sedangkan definisi “printing” berasal dari kata “preinte” yang diambil dari Prancis kuno dan bahasa Latin “ premere” yang mengandung arti “top press” atau cetak.

Berdasarkan pengertian tersebut, definisi penerbitan dan percetakan yang dikembangkan oleh European Commission and Skillset Assesment UK (2011) adalah:

1. Penerbitan dapat didefinisikan sebagai proses produksi dan penyebaran informasi, yaitu membuat informasi tersedia untuk publik. Informasi tersebut dapat berupa karya-karya seperti buku, majalah, koran, dan rekaman suara dalam bentuk cetak maupun elektronik. Fokusnya adalah menciptakan konten bagi konsumen.

2. Percetakan adalah proses untuk mereproduksi teks dan gambar, termasuk kegiatan pendukung yang terkait, seperti penjilidan buku, jasa pembuatan piringan, dan pencitraan data. Fokusnya adalah mereproduksi konten dalam bentuk media.

Berdasarkan definisi tersebut, maka aktivitas dalam penerbitan lebih bersifat kreasi dan menitikberatkan pada muatan konten, sedangkan aktivitas pada percetakan lebih bersifat pada produksi dan replikasi hasil karya berisikan muatan konten tersebut. Dengan demikian, penerbitan dan percetakan memiliki aktivitas utama yang berbeda, tetapi sama-sama memiliki tujuan untuk memperoleh keluaran berupa produk informasi yang baik dan bermutu kepada masyarakat.

4 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019

Gambar 1 - 1 Perbedaan Alur Percetakan

Sumber: Lucya Andam, IKAPI (2014)

Hassan Pambudi, penulis buku Dasar dan Teknik Penerbitan Buku (1981), mendefinisikan kegiatan menerbitkan sebagai kegiatan yang “mempublikasikan kepada umum, mengetengahkan kepada khalayak ramai, kata dan gambar yang telah diciptakan oleh jiwa-jiwa kreatif, kemudian disunting oleh para penyunting untuk selanjutnya digandakan oleh bagian percetakan.” 1

Penerbitan adalah kegiatan mempublikasikan kepada

umum, mengetengahkan kepada khalayak ramai, kata dan gambar yang telah diciptakan

oleh jiwa-jiwa kreatif.

Hasan Pambudi (1981)

(1) Hassan Pambudi, Dasar dan Teknik Penerbitan Buku (Jakarta: Sinar Harapan, 1981)

bAb 1: Perkembangan Penerbitan di Indonesia 5

Publication is the distribution of “

copies or content to the public.

WIPO (2012).

6 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019

Hal ini tentunya konsisten dengan padanan kata “penerbitan” dalam bahasa Inggris, yaitu “ publishing”. Badan hak milik intelektual dunia, WIPO, mengembalikan pemahaman penerbitan pada asal katanya, yaitu “publik”. Dengan kata lain, penerbitan adalah industri yang mendistribusikan konten kepada publik.

Di Indonesia, kita mengenal penerbitan dan percetakan sebagai salah satu subsektor industri kreatif yang perlu dipahami lebih jauh definisi dan ruang lingkupnya sesuai dengan konteks serta perkembangannya saat ini. Beberapa negara maju di Eropa, yaitu Inggris, Jerman, Spanyol, dan Prancis memfokuskan pengembangan ekonomi kreatifnya dalam ruang lingkup penerbitan ( publishing), tanpa terlalu menekankan pada “printing” atau industri percetakan.

Inggris

Jerman

Spanyol Prancis

Industri Kreatif

Istilah

Industri Kreatif

dan Budaya

Industri

yang digunakan

(Creative

(Culture &

Budaya Sektor Budaya

(Culture (Cultural Sector)

Industries) Arsitektur

X X - X Audio-visual (Film, TV,

X X X X Radio)

seni Pertunjukan X X X X Perpustakaan

X X Desain

X X - - Pasar barang seni /

X X X X seni Rupa

Penerbitan X X X X mode

- - Perangkat lunak /multi

X X - - media

museum/ Warisan

X X budaya

musik X X X X Kerajinan

- - Periklanan

X X - - Sumber: Diadaptasi dari British Council’s Creative and Cultural Economy Series, Singapore (2010); Hotzl.K (2006)

Creative Industries in Europe and Austria: Definition and Potential; dan Soenderman,.M et.al (2009) Culture and Creative Industries in Germany

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, hal tersebut disebabkan karena sesungguhnya kegiatan kreatif lebih berpusat pada penerbitan, sementara percetakan seringkali sekadar merupakan industri pendukung saja. Orang dan usaha kreatif di industri ini lebih menekankan pada konten, sesuatu yang berpusat pada rantai nilai penerbitan dan bukan percetakan. Jika dirunut perkembangannya, maka model kegiatan penerbitan mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan teknologi, yaitu:

bAb 1: Perkembangan Penerbitan di Indonesia 7 bAb 1: Perkembangan Penerbitan di Indonesia 7

tampilan buku. 2

2. Penerbitan Elektronik (Digital). Penerbitan elektronik mulai berkembang sehubungan dengan perkembangan Internet. Hal ini memengaruhi keluaran produk dan juga rantai nilai penjualan. Produk yang dulunya berbentuk fisik berubah menjadi bentuk digital. Dalam hal pemasaran, penerbitan model elektronik ini memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara pihak penerbit dengan konsumen akhir. 3

3. Penerbitan Mandiri/Self-publishing. Penerbit memfasilitasi para penulis untuk mempublikasikan karya mereka sendiri dengan pencetakan sesuai permintaan ( print on demand). Hal ini membantu para penulis pemula untuk menerbitkan dan memasarkan hasil karyanya tanpa harus mengajukan ke penerbit mayor. Keberadaan self-publishing memberikan efisiensi dalam hal produksi. 4

Dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, maka penerbitan saat ini tidak selalu diikuti dengan kegiatan percetakan dalam bentuk fisik ketika menciptakan sebuah konten informasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi mulai berkembang ke arah media digital/media baru. Berdasarkan alur penerbitan yang disusun oleh Ikatan Penerbitan Indonesia (IKAPI), aktivitas percetakan masuk ke dalam alur proses penerbitan, yang dilakukan setelah proses penyuntingan dan pemeriksaan aksara , sebelum didistribusikan ke toko buku baik secara konvensional maupun daring (dalam jaringan atau online).

Gambar 1 - 2 Alur Penerbitan

Sumber: IKAPI, 2014

(2) (Gennard dan Dunn, 1983). Tolong ditulis dengan format yang sudah disepakati dengan Kemenparekraf. (3) (Ronte, 2001, Behar, et al., 2011). Tolong ditulis dengan format yang sudah disepakati dengan Kemenparekraf (4) (Wiener, 2013). Tolong ditulis dengan format yang sudah disepakati dengan Kemenparekraf

8 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019

Berdasarkan konsep yang telah dikembangkan oleh IKAPI, maka definisi percetakan tidak lagi dimaknai secara terpisah, tetapi menjadi satu bagian dalam proses penerbitan. Dengan demikian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa fokus utama dalam penerbitan adalah penciptaan konten kreatif yang membutuhkan sumber daya manusia kreatif yang bekerja mengelola informasi dengan mengandalkan ide atau gagasan (pemikiran kreatif).

Oleh karena itu, lingkup pengembangan ekonomi kreatif akan berfokus pada penerbitan yang sarat dengan unsur kreativitas, sehingga dapat disimpulkan bahwa definisi penerbitan sebagai bagian dari ekonomi kreatif adalah:

“ bentuk tulisan, gambar dan/atau audio ataupun

Suatu usaha atau kegiatan mengelola informasi dan daya imajinasi untuk membuat konten kreatif yang memiliki keunikan tertentu, dituangkan dalam

kombinasinya, diproduksi untuk dikonsumsi publik, melalui media cetak, media digital, ataupun media

daring, untuk mendapatkan nilai ekonomi, sosial

ataupun seni dan budaya yang lebih tinggi.

Sumber: Focus Group Discussion Subsektor Penerbitan dan Percetakan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mei—Juni 2014

Dalam definisi penerbitan tersebut, terdapat beberapa kata kunci yang dapat menjelaskan makna penerbitan secara lebih mendalam, yaitu:

1. Konten kreatif adalah informasi yang dikelola melalui proses kreativitas.

2. Keunikan adalah karya kreatif yang memiliki kekhususan atau keistimewaan, berbeda dari yang lain.

3. Diproduksi untuk konsumsi publik adalah karya kreatif yang langsung memenuhi keperluan hidup masyarakat (produk massal).

4. Media adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi, meliputi:

a. Media Cetak, yaitu media yang terdiri atas lembaran kertas dengan sejumlah kata, gambar, atau foto dengan tata warna dan halaman;

b. Media Digital, yaitu media yang terdiri atas data-data digital dan ditampilkan berupa kata-kata, gambar, video, maupun audio di layar;

c. Media Daring, yaitu media digital yang dapat diakses secara luas melalui Internet.

5. Nilai adalah manfaat yang diperoleh, meliputi:

a. Nilai ekonomi, yaitu nilai yang berhubungan dengan keuntungan secara finansial;

b. Nilai sosial, yaitu penghargaan yang diberikan masyarakat terhadap sesuatu yang dianggap baik, luhur, pantas, dan mempunyai daya guna;

c. Nilai seni dan budaya, yaitu nilai yang berkaitan dalam pembuatan konten kreatif dengan pengejawantahan estetika dan rasa seni yang di dalamnya mengandung aspek kebudayaan.

bAb 1: Perkembangan Penerbitan di Indonesia 9

1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Penerbitan

Penerbitan memiliki tiga fungsi utama yaitu publikasi, reproduksi, dan penyebarluasan. Fungsi publikasi menjadi kunci utama dalam membangun pencitraan sebuah karya agar dapat diapresiasi oleh masyarakat dengan baik dan akhirnya meningkatkan nilai ekonomis karya yang dihasilkan. Proses publikasi erat kaitannya dengan kontrol kualitas di mana sebelum dipublikasikan sebuah karya harus melewati proses seperti penilaian ahli atau review, penyuntingan konten, penyuntingan bahasa, penggarapan desain, dan konversi format yang sesuai. Tujuannya adalah agar konten karya yang telah dipublikasikan layak untuk dikonsumsi publik dan bernilai ekonomis.

Selain itu, penerbitan memiliki fungsi penggandaan atau reproduksi konten, yang dapat dilakukan melalui pencetakan ataupun media lainnya. Wadah penyimpanan konten yang dihasilkan penerbitan akan dikemas dalam media. Media yang dimaksud adalah media cetak, media elektronik, dan media daring, ataupun kombinasinya seperti pemanfaatan multimedia serta fitur-fitur media sosial, maupun potensi media lainnya yang mengikuti perkembangan teknologi. Dan yang terakhir, fungsi yang tak kalah penting dari penerbitan adalah penyebarluasan, yaitu bagaimana konten tersebut disalurkan ke masyarakat.

Berdasarkan pemahaman di atas, maka penerbitan memiliki makna yang luas dan tidak terbatas pada penerbitan dalam bentuk buku, majalah, surat kabar, atau jurnal dan buletin, tetapi mencakup pula konten-konten lainnya, seperti: musik, piranti lunak, atau film. Dengan kata lain, penerbitan merupakan media perantara yang mempertemukan antara produsen dengan konsumen. Setiap produsen bertujuan untuk memberikan informasi produk ataupun karyanya kepada konsumen. Sedangkan konsumen membutuhkan informasi mengenai sebuah produk ataupun karya agar dapat dikonsumsi. Oleh karena itu, posisi penerbitan di dalam peta industri kreatif dapat dijadikan forward linkage (sebagai penerbit) maupun backward linkage (sebagai penyedia referensi) terhadap tujuh belas subsektor ekonomi kreatif maupun industri lainnya dalam rangka menyebarkan karya kreatifnya.

Di negara-negara maju seperti Inggris dan Singapura, ruang lingkup penerbitan yang dimaksudkan berfokus pada publikasi karya kreatif yang memiliki hak cipta, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1-1.

Tabel 1 - 1 Perbandingan Ruang Lingkup Penerbitan di Inggris dan Singapura INGGRIS

SINGAPURA Penerbitan buku

Penerbitan buku

Penerbitan surat Kabar Penerbitan surat Kabar Penerbitan Jurnal dan buletin

Penerbitan Jurnal dan buletin Penerbitan lainnya

Penerbitan lainnya

Penerbitan Permainan Komputer Kegiatan Pemberitaan Penerbitan software lainnya Penerbitan Rekaman musik

Sumber: Department for Culture, Media & Sport Classifying and Measuring the Creative Industries (UK), 2011. British Council’s Creative and Cultural Economy Series, Singapore, 2010

10 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019 10 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019

Gambar 1 - 3 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Penerbitan 2015–2019

Ruang lingkup penerbitan dalam konteks pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia dijelaskan secara lebih detail sebagai berikut:

1. Penerbitan Buku. Penerbitan buku adalah penerbitan yang mempublikasikan informasi atau gambar dalam bentuk buku. Di sini, buku dipahami sebagai kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu pada salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar. Pendaftaran atau pendokumentasian karya dalam bentuk buku dilakukan menggunakan International Standard Book Number (ISBN).

Berdasarkan jenis kontennya, buku dapat memuat konten fiksi maupun nonfiksi dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Konten fiksi adalah konten kreatif berupa tulisan, gambar ataupun kombinasinya yang berisi kisah rekaan, baik yang berlandaskan fakta-fakta nyata yang dibubuhi karangan pengarang maupun yang murni merupakan rekayasa semata. Orang kreatif yang mendukung karya fiksi meliputi novelis, cerpenis, dramawan, penyair, komikus, dan lain-lain.

bAb 1: Perkembangan Penerbitan di Indonesia 11 bAb 1: Perkembangan Penerbitan di Indonesia 11

Selain itu, penerbitan buku berdasarkan kategori jenis penerbitan dapat dikelompokkan menjadi:

a. Penerbitan Buku Umum, yaitu penerbitan buku-buku bertemakan umum. Kategorisasinya sebagai berikut: agama dan filsafat, bahasa, buku anak dan remaja, buku sekolah, buku teks, hobi dan interest, hukum, kedokteran, perempuan, komputer, manajemen dan bisnis, pertanian, psikologi dan pendidikan, referensi dan kamus, sastra dan novel, sosial politik, pariwisata dan peta.

b. Penerbitan Buku Direktori, yaitu penerbit yang memproduksi milis, buku telepon, dan berbagai jenis direktori lainnya. Dalam perkembangannya, buku direktori ini makin banyak diterbitkan secara daring.

2. Penerbitan Media Berkala (Periodik). Penerbitan Media Berkala adalah penerbitan kumpulan tulisan yang muncul dalam edisi baru pada jadwal teratur, termasuk surat kabar, majalah, tabloid, buletin, jurnal, dan sebagainya. Ciri khas dari media berkala yaitu memiliki nomor yang menandakan volume dan isu penerbitan. Volume biasanya mengacu pada jumlah tahun publikasi yang telah beredar, sedangkan isu mengacu pada berapa kali media yang bersangkutan telah terbit selama tahun itu. Pendaftaran atau pendokumentasian media berkala dilakukan menggunakan International Standard Serial Number (ISSN).

Jenis-jenis media berkala adalah sebagai berikut:

a. Surat Kabar, didefinisikan sebagai publikasi yang menyajikan konten nonfiksi berupa informasi terbaru terkait kegiatan pemberitaan (jurnalistik) atau informasi lainnya, menggunakan jenis kertas murah yang disebut kertas koran. Hasil karyanya diterbitkan dan didistribusikan kepada konsumen atau pelanggan secara harian. Dalam perkembangannya, penerbitan koran juga makin sering disajikan menggunakan media daring, misalnya: The New York Times, Kompas, Suara Pembaruan, dan sebagainya.

b. Majalah dan Tabloid, yaitu publikasi yang menyajikan informasi populer atau informasi dengan tema tertentu, disajikan dengan jadwal teratur secara mingguan atau bulanan. Konten yang dimiliki berfokus pada tema tertentu dan mengacu pada pembaca tertentu. Isinya dapat berupa fiksi dan nonfiksi. Contoh majalah, misalnya: majalah Time, National Geographics, Tempo, Intisari, Femina, hingga majalah-majalah remaja seperti Gadis dan Animonster.

c. Buletin, yaitu publikasi oleh organisasi yang mengangkat perkembangan suatu topik atau aspek tertentu dan diterbitkan secara berkala dalam rentang waktu yang relatif singkat, dari harian hingga bulanan. Buletin ditujukan kepada khalayak yang sempit, yang berkaitan dengan bidang tertentu saja. Tulisan dalam buletin umumnya singkat dan padat, menggunakan bahasa yang formal dan banyak istilah teknis yang berkaitan dengan bidang tersebut.

12 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019 12 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019

3. Penerbitan Perangkat Lunak (Software) Komputer. Secara teknis, penerbitan perangkat lunak komputer menerbitkan hasil-hasil karya kreatif dalam bentuk data yang diformat dan disimpan secara digital, termasuk program komputer, dokumentasi, dan berbagai informasi yang bisa dibaca dan ditulis oleh komputer. Walaupun berkaitan dengan penyediaan informasi kepada khalayak luas, pada praktiknya, penerbitan ini seringkali lebih terkait dengan subsektor teknologi informasi dan permainan interaktif. Yang termasuk dalam produk perangkat lunak komputer adalah:

• Perangkat lunak sistem yaitu program dasar yang berfungsi untuk mengontrol perangkat keras sehingga berinteraksi dengan komputer untuk menjalankan aplikasi perangkat lunak, contohnya adalah sistem operasi komputer seperti Ubuntu, Windows, Android.

• Aplikasi perangkat lunak yaitu perangkat lunak yang melakukan tugas tertentu atau fungsi sebagai pengolah kata, misalnya Microsoft Word; Spreadsheet, misalnya Microsoft Excel; pengolah grafis, misalnya Adobe Photoshop, Corel Draw, ACDSee; software Internet browser, misalnya Internet Explorer, Mozilla Firefox.

• Produk multimedia yaitu produk yang menyajikan dan menggabungkan teks, suara, gambar, animasi, dan video dengan alat bantu dan koneksi sehingga pengguna dapat melakukan navigasi, berinteraksi, berkarya, dan berkomunikasi. Multimedia sering digunakan dalam dunia hiburan dan game.

Walau demikian, tidak jarang juga buku-buku panduan pemrograman dan sejenisnya yang diterbitkan bersamaan dengan CD yang berisi perangkat lunak yang bersangkutan. Dalam pengembangan subsektor penerbitan, bagaimanapun kita akan lebih berfokus pada konten yang disebarluaskan terutama dalam bentuk buku, tanpa mengabaikan potensi dan keterkaitan dengan subsektor-subsektor lain ini.

4. Penerbitan Audio-Visual Recording

Penerbitan karya-karya kreatif dalam bentuk perekaman audio ataupun audiovisual, termasuk di dalamnya film, musik, dan video ataupun kombinasinya.

5. Penerbitan Lainnya. Penerbitan hasil karya kreatif berupa foto-foto, grafir ( engraving) dan kartu pos, formulir, poster, reproduksi karya seni, dan material periklanan serta materi cetak lainnya dengan tujuan komersial, ataupun penerbitan yang tidak termasuk ke dalam poin 1-4 tetapi konten ataupun pengembangan konten yang terdapat pada media yang diterbitkannya mempublikasikan dan mendistribusikan informasi untuk dikonsumsi publik.

bAb 1: Perkembangan Penerbitan di Indonesia 13

Adapun jenis-jenis media yang umum digunakan adalah sebagai berikut:

1. Media Cetak. Media cetak adalah media massa yang berbentuk printing yang dapat dinikmati atau diakses langsung oleh pengguna akhir. Media ini terdiri atas lembaran dengan sejumlah kata, gambar, atau foto dalam tata warna dan halaman.

2. Media Elektronik. Media elektronik adalah media yang untuk mengakses kontennya diperlukan perangkat elektronik. Sumber media elektronik yang umum antara lain adalah rekaman video, rekaman audio, presentasi multimedia, dan konten daring. Media elektronik dapat berbentuk analog maupun digital, walaupun saat ini yang berkembang pada umumnya berbentuk digital. Pada media elektronik, data/konten disimpan ke dalam media penyimpan data seperti CD, DVD, dll.

3. Media Daring. Daring adalah singkatan dari “dalam jaringan” ( online), yaitu keadaan ketika seseorang terhubung dalam sebuah jaringan atau sistem yang lebih besar dalam situasi interaksi langsung antara manusia, komputer, dan internet. Sedangkan yang dimaksud dengan media daring adalah media yang digunakan untuk mengakses atau menyajikan informasi/konten dengan menggunakan bantuan atau perantara teknologi Internet. Yang termasuk dalam media daring antara lain adalah situs web, portal web, weblog (blog). Berikut penjelasannya:

a. Situs web adalah halaman informasi yang disediakan kantor berita/perusahaan pers melalui jalur Internet, sehingga informasi bisa diakses dari seluruh dunia selama terkoneksi. Pada umumnya, situs web secara konvensional dikelola oleh suatu pihak.

b. Portal web adalah situs web yang lebih menitikberatkan pada basis data dan interaksi pengguna, tidak jarang dengan menawarkan layanan lainnya seperti fasilitas surel, forum, basis data pengguna, interaksi media sosial, dan sejenisnya.

c. Web log atau blog adalah media publikasi yang memuat tulisan ( posting) berupa artikel atau sejenisnya secara berkala, yang diurutkan sesuai waktu dan dikelompokkan sesuai kategori jenis tulisan. Blog dapat dikelola secara perseorangan maupun organisasi atau komunitas, dan merupakan alternatif media bagi penulis pemula, karena media digital terbuka bagi siapa pun yang ingin membuat blog dan menerbitkan tulisan mereka sendiri secara berkala.

Penerbitan permainan interaktif, teknologi informasi, musik, dan film merupakan bagian subsektor yang berdiri sendiri dan sudah memiliki peran penerbitan secara spesifik dalam mengelola penyebarluasan dan pengelolaan hak cipta kontennya. Namun, dalam praktik pengembangan konten di industri kreatif, seringkali konten mengalami pengalihan media, misalnya dari novel menjadi film, film menjadi komik, komik menjadi mainan, dan lain sebagainya. Keterkaitan ini mengindikasikan kecenderungan kolaborasi yang kuat antarsubsektor ekonomi kreatif. Dalam kolaborasi ini, seringkali industri penerbitan menjadi kunci awal bagi pengembangan konten yang akan dialihmediakan, terutama dalam dunia komik dan buku-buku nonfiksi. Salah satu contohnya adalah novel Laskar Pelangi dan Perahu Kertas yang telah difilmkan, serta karakter komik fiksi terkenal Si Juki yang dikembangkan untuk menjadi sebuah ikon di Indonesia.

Karakter komik fiksi terkenal: si Juki yang dibuat oleh Faza Meonk 14 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019

Dengan berbagai pertimbangan dan pemahaman tersebut, maka ruang lingkup industri penerbitan dalam konteks pengembangan subsektor industri kreatif di Indonesia meliputi dua kegiatan utama berikut ini:

1. Penerbitan Buku Umum. Dilaksanakan dengan fokus pengembangan pada keberlangsungan penerbitan buku cetak, khususnya buku-buku yang memiliki genre buku anak, sastra dan novel, komik ataupun buku-buku yang mencerminkan nilai budaya bangsa serta buku yang menjadi penunjang keberadaan ke-15 subsektor ekonomi kreatif lainnya.

2. Penerbitan Media Berkala. Penerbitan media berkala adalah penerbitan karya kreatif dalam jangka waktu tertentu. Fokus pengembangan industri penerbitan ini meliputi surat kabar, majalah, tabloid, buletin dan jurnal akademik yang terkait dengan penyampaian informasi ataupun konten publikasi yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan pola pikir masyarakat secara umum.

1.2 Sejarah dan Perkembangan Penerbitan

1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Penerbitan Dunia

Perkembangan industri penerbitan tentunya sangat terkait dengan perkembangan teknologi pendukungnya. Berikut akan kita lihat sejarah perkembangan penerbitan dunia dari akar tradisionalnya hingga revolusi digital yang terjadi di masa kini, yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa masa, yaitu era pramodern, era modern (1800–1980), dan era digital (1980 sampai sekarang).

Era Pramodern. Kegiatan penerbitan, yang didefinisikan sebagai penyebarluasan konten dalam wujud buku, telah ada jauh sebelum gagasan mengenai industri itu sendiri. Masa ini dikenal dengan masa pramodern, yaitu masa sebelum Revolusi Industri.

1. Tradisional (1000–1400). Kegiatan penerbitan mulai berkembang setelah bangsa Tiongkok memperkenalkan kertas kepada bangsa Eropa pada abad ke-11. Pada masa tradisional ini, kegiatan penerbitan bertujuan untuk penyampaian informasi atau korespondensi, serta untuk penyebarluasan ajaran-ajaran agama, terutama agama Kristen. Media yang digunakan adalah kertas dari serat papirus dengan ciri tulisan tangan atau cap.

2. Moveable Type (1400–1800). Mesin cetak diciptakan oleh Johann Gutenberg di Mainz, Jerman, pada abad ke-15. Moveable type menjadi awal Revolusi Gutenberg, yaitu ketika media mulai dapat diduplikasi dan disebarkan secara massal. Reproduksi tulisan secara massal ini pulalah yang mendorong orang untuk memikirkan hak cipta, hingga pada 1710 dikeluarkan Statute of Ann yang menjadi awal bagi perkembangan Undang-Undang Hak Cipta. Statute of Ann memperkenalkan dua konsep baru mengenai hak cipta, yaitu penulis sebagai pemilik hak cipta dan prinsip perlindungan untuk jangka waktu tertentu bagi karya yang diterbitkan.

Era Modern (1800–1980). Revolusi Industri di Inggris mendorong pula berdirinya kegiatan penerbitan sebagai suatu industri tersendiri. Teknik-teknik litografi dan offset makin mempercepat kegiatan penerbitan. Berbagai kemelut sosial, politik, dan ekonomi dunia yang didorong oleh Revolusi Industri dan kapitalisme awal melahirkan permintaan yang tidak sedikit atas media massa yang tanggap dan informatif. Berbagai karya sastra, sains, dan filsafat di luar ajaran agama juga mulai banyak diminati seiring dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran Era Pencerahan.

bAb 1: Perkembangan Penerbitan di Indonesia 15

Pada era ini registrasi dan pengembangan hak cipta menjadi marak, sebagai cara perlindungan teknologi dan inovasi baru agar dapat dikembangkan secara massal tanpa kekhawatiran pencurian ide. Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan, memperbanyak, atau memberikan izin penggunaan karya ciptaannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada 1974 berdirilah WIPO, sebuah badan khusus di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan mandat untuk mengelola hal-hal kekayaan intelektual dari negara-negara anggota PBB.

Dengan kebijakan-kebijakan tersebut dan makin berkembangnya teknologi media, kini telah banyak negara maju yang menetapkan kebijakan-kebijakan yang mendorong pertumbuhan sektor swasta dan menguatkan perlindungan hak cipta berkaitan dengan industri penerbitan.

Dalam industri penerbitan, terdapat dua hak cipta yang berlaku, yakni hak cipta pembuat karya (penulis) dan hak cipta penerbit. Hak cipta pembuat karya adalah hak yang menyangkut isi/ konten. Hak cipta penerbit adalah hak atas bentuk buku, desain sampul, ilustrasi dalam buku, dan tata letak penulisan.

Jika seorang pembuat karya menyetujui naskahnya diterbitkan oleh penerbit, maka pembuat karya tersebut akan menyerahkan hak cipta karyanya kepada penerbit secara tertulis dalam surat perjanjian kerja sama. Melalui surat perjanjian kerja sama itu, pihak pembuat karya akan mengetahui apa saja hak dan kewajibannya sebagai pemegang hak cipta. Sebaliknya, penerbit bisa mendapatkan hak-hak antara lain untuk menerjemahkan, memperbanyak, dan menjual hasil terjemahan karya penerbitan dalam bentuk cetakan, e-book ataupun konten lain. Pembuat karya selaku pemegang hak cipta berhak melarang perbanyakan karya oleh pihak lain tanpa seizinnya.

Berkaitan dengan meningkatnya kesadaran pencipta bahwa suatu karya penerbitan bisa diterjemahkan ke dalam berbagai format atau lintas media, maka hak cipta menjadi penting (misalnya novel yang diterjemahkan ke dalam komik atau diadaptasi ke dalam film). Gagasan ini semakin meledak seiring menjamurnya format multimedia dan teknologi digital, yang kian memudahkan suatu karya untuk disalin, disebarluaskan, dan diterjemahkan ke dalam berbagai format baru. Sebagai contoh, menjelang pertengahan abad ke-20, komik-komik Amerika seperti Superman dan Flash Gordon mulai diadaptasi ke dalam kartun, film, dan serial televisi, tokoh-tokoh seperti Mickey Mouse digunakan dalam suvenir dan pakaian, dan raksasa-raksasa konten seperti Walt Disney dan DC Comics mulai bermunculan.

Era Digital (1980 ke atas). Pada penghujung abad ke-20, industri penerbitan mulai memasuki Era Digital. Era ini ditandai dengan kelahiran Internet sebagai alternatif penyebarluasan informasi— yang dalam konteks penerbitan, semula hanya terbatas pada media cetak—serta fokus yang lebih tajam pada produk-produk kekayaan intelektual sebagai konten industri penerbitan itu sendiri. Hal ini merupakan pergeseran dari fokus sebelumnya pada teknologi-teknologi percetakan dan menandakan awal mula berdirinya industri percetakan dan penerbitan sebagai dua industri yang terpisah.

Pada masa ini, aktivitas industri penerbitan semakin terkait dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) Perkembangan ini membawa perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi konten informasi, misalnya, minat masyarakat terhadap e-books, media sosial, maupun jasa print on demand (POD), sehingga industri penerbitan pun mengalami perubahan untuk beradaptasi dengan

16 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019 16 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019

Kemajuan informasi dan teknologi terbaru telah mengguncang keberlangsungan industri penerbitan yang ada. Hal ini, diperkuat dengan berbagai isu pemanasan global dan gerakan-gerakan pengurangan penggunaan kertas yang makin marak, berkontribusi terhadap tren masyarakat yang bergeser dari konsumsi media cetak ke media digital. Perubahan ini pada akhirnya menjadi ancaman sekaligus tantangan bagi industri penerbitan yang ada agar dapat bertahan. Oleh karena itu, usaha kreatif pada industri penerbitan membutuhkan inovasi dalam penciptaan karya yang menjawab kebutuhan pasar akan tren dan gaya hidup digital secara efektif dan efisien.

Di sisi lain, perkembangan TIK juga menumbuhkembangkan keberadaan penerbit mandiri (s elf- publisher). Kemajuan teknologi seperti print on demand dan e-book maupun media-media baca-tulis baru seperti situs web, blog, dan media sosial mendorong pertumbuhan pesat generasi penulis yang menerbitkan karya mereka secara mandiri. Kini, para penulis tidak memerlukan sumber daya yang banyak untuk mempublikasikan karya tulis mereka, sehingga kegiatan penerbitan menjadi jauh lebih demokratis, tanpa harus bergantung pada industri-industri besar. Penulis selaku penerbit mandiri bisa menerbitkan karya-karya tulis menggunakan berbagai sumber daya terbuka yang memfasilitasi penerbitan karya tulis mereka atau mempublikasikan sendiri karya mereka dalam blog maupun situs web.

Tentunya, berbagai kebebasan tersebut datang dengan ragam tantangannya sendiri. Media yang terlalu terbuka dinilai kurang dapat mengasah kualitas insan kreatif yang berkarya di dalamnya, sedangkan longgarnya penyensoran disayangkan sebagian kalangan masyarakat yang dengan maraknya konten-konten yang dinilai kurang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Selain itu, teknologi digital juga memudahkan pembajakan karya dan penyebarluasannya, sebuah fakta yang kerap kali membuat panik para penerbit besar karena dinilai amat merugikan bisnis mereka.

1.2.2 Sejarah dan Perkembangan Penerbitan Indonesia

Sejarah penerbitan di mana pun tentunya terkait erat dengan sejarah pers, tak terkecuali di Indonesia yang kemudian dapat dirunut ke dalam beberapa masa, yaitu: masa penjajahan Belanda, Era Orde Lama, Era Orde Baru, Era Reformasi.

Masa Penjajahan Belanda. Usaha penerbitan di Indonesia pada awalnya dimulai pada zaman penjajahan Belanda yang berfokus pada kegiatan pers, hal ini ditandai dengan diterbitkannya surat kabar pertama kali terbit pada 1615, yaitu Memoria der Nouvells, di mana teksnya ditulis dengan tangan. Lembar tersebut memuat informasi pemerintah VOC mengenai mutasi pejabat di wilayah Hindia Belanda. Lebih daripada satu abad kemudian, tulisan tangan tersebut diterbitkan kembali di surat kabar Bataviaasche Nouvelles pada 17 Agustus 1744 sebagai surat kabar pertama di Hindia Belanda. Surat kabar ini merupakan surat kabar pemerintah Hindia Belanda yang diterbitkan dan dicetak oleh VOC. Dalam surat kabar ini hampir seluruh halamannya dipenuhi oleh iklan. Setelah itu muncul pula penerbitan buku-buku sastra Melayu dan buku bahasa daerah.

Pelaku usaha penerbitan pada zaman Belanda cenderung dikuasai oleh para pendatang dan pribumi. Dalam rangka mengimbangi perusahaan penerbitan yang dilakukan bangsa Indonesia, maka pada 1908 Pemerintah Belanda membangun usaha penerbitan milik Belanda bernama

bAb 1: Perkembangan Penerbitan di Indonesia 17

Commissie voor de Volkslectuur yang selanjutnya dikenal dengan nama Balai Pustaka. Sebagai badan penerbitan, Balai Pustaka mencitrakan sekumpulan orang terhormat, terpelajar, dan paling berjasa dalam membangun sastra, bahasa, dan kebudayaan Indonesia.

Salah satu penerbitan yang juga penting dalam sejarah kebudayaan dan sastra adalah Boekhandel Tan Khoen Swie. Boekhandel Tan Khoen Swie adalah penerbit yang menerbitkan buku-buku dengan penggunaan bahasa maupun gaya penulisan yang membangun nilai kultural dan estetik dalam setiap terbitannya. Kehadirannya memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan sastra, sehingga sampai saat ini buku-bukunya masih dianggap penting. Karya yang diterbitkan adalah versi-versi awal Serat Kalatidha (Ranggawarsita) dan Serat Wedhatama (Mangkunagara IV). 5

Penerbit Balai Pustaka Sejarah perkembangan industri penerbitan sangat erat kaitannya dengan berdirinya perusahaan pener-

bitan dan percetakan milik negara pertama bernama Balai Pustaka pada abad ke-18. Balai Pustaka didirikan dengan nama Commissie voor de Volkslectuur (bahasa Belanda: Komisi untuk Bacaan Rakyat) oleh pemerintah Hindia-Belanda pada 1908 kemudian berubah menjadi Balai Poestaka pada 1917. Tujuan pendirian Balai Pustaka adalah untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia Belanda. Bahasa-bahasa ini adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura. Melalui Balai Pustaka, Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat kuat dalam karya sastra melayu, seperti Sitti Nurbaya karya Marah Rusli dan Serat Rijanto karangan Raden Bagoes Soelardi. Tetapi dalam perkembangannya, karya-karya yang dihasilkan oleh Balai Pustaka tidak lagi kompetitif dengan munculnya perusahaan penerbitan swasta yang menguasai industri dari hilir ke hulu.

Era Orde Lama. Setelah masa kemerdekaan, pada 1950-an penerbit swasta nasional mulai bermunculan. Sebagian besar berada di Pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka ingin mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan pada 1950 masih diizinkan beroperasi di Indonesia.

(5) (Kristyowidi, B.I dan Moordiati, 2012).

18 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019

Pada 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia, termasuk Balai Pustaka. Setelah itu, pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan memberikan subsidi dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku nasional dan mewajibkan penerbit menjual buku- bukunya dengan harga murah.

Pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional dapat meningkat dengan cepat. Di samping itu, pada 1950, berdirilah Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang beranggotakan 13 penerbit Indonesia dan bertujuan untuk menaungi keberadaan penerbit-penerbit Indonesia.

Masa tersebut juga ditandai oleh munculnya apa yang dikenal sebagai sastrawan angkatan 1945, yang mempunyai karakteristik revolusioner dan penuh dengan nasionalisme, bebas berkarya sesuai dengan alam kemerdekaan dan hati nurani. Para sastrawan angkatan ini antara lain Chairil Anwar ( Kerikil Tajam), Idrus (1948), dan Achdiat K.Miharja (Atheis). Selain itu, sejak 1950–1960-an, muncul pula komik-komik silat seperti Sri Asih (1954) karya R.A. Kosasih dan Si Buta dari Goa Hantu (1967) karya Ganes T.H.

Terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B Jassin menandakan munculnya sastrawan angkatan 1950–1960-an, antara lain Pramoedya Ananta Toer ( Bukan Pasar Malam), N.H. Dini (Dua Dunia), Mochtar Lubis (Tak Ada Esok), Ajip Rosidi (Tahun-Tahun Kematian), dan W.S. Rendra ( Balada Orang-Orang Tercinta).

Era Orde Baru. Pada 1965, penerbit yang menjadi anggota IKAPI telah berjumlah lebih daripada 600, namun saat itu terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akibat dari perubahan itu adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Pada akhir 1965, subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, hanya 25% penerbit yang bertahan dan situasi perbukuan mengalami kemunduran.

Masa Orde Baru dikenal sebagai masa kelam bagi industri penerbitan maupun pers. Pada masa ini, aktivitas penerbitan ditandai dengan pembredelan dan penahanan, dan tidak sedikit wartawan ataupun penulis yang dikucilkan dan dianiaya. Buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan beberapa pengarang lainnya tidak dapat dipasarkan karena dianggap bertentangan dengan ideologi yang berlaku pada masa itu.

Namun, bukan berarti dunia sastra Indonesia mati. Pada 1966–1970-an, ditandai dengan terbitnya majalah Horison pimpinan Mochtar Lubis, muncul generasi sastrawan baru, antara lain Taufik Ismail ( Puisi-Puisi Langit), Umar Kayam (Para Priyayi), Sapardi Djoko Darmono (Dukamu Abadi) dan Leon Agusta (Monumen Safari).

Pada 1980 pemerintah Indonesia menyadari pentingnya peran buku untuk memajukan peradaban bangsa sehingga pada 17 Mei 1980 pemerintah membangun Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang berlokasi di Jakarta. Selanjutnya pada 17 Mei diperingati sebagai hari buku nasional

bAb 1: Perkembangan Penerbitan di Indonesia 19