DEMOKRASI DAN TEORI DISKUR SUS

DEMOKRASI DAN TEORI DISKURSUS
Taufiq Rahmat H
Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
taurahida@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini merupakan telaah kritis terhadap teori politik Jürgen Habermas dalam
menghadapi persoalan fakta pluralisme. Habermas mengelaborasi gagasan tentang validitas
dan legitimasi politik di atas tindakan komunikatif. Penelitian ini berusaha menunjukkan
bahwa politik demokrasi adalah ruang serba mungkin yang tidak dapat dipagari oleh eksklusi
atau inklusi terhadap kategori tertentu. Melalui perspektif teori diskurus Habermas, penelitian
ini berusaha mengupas defisit dalam praktik demokrasi dewasa ini. Sasarannya adalah
mencapai suatu pemahaman tentang keadilan politik yang tidak beku dan senantiasa terbuka
terhadap segala rupa kemungkinan baru.
DEMOCRACY AND DISCOURSE THEORY
ABSTRACT
This undergraduate thesis is a critical analysis of the political theory Jürgen Habermas in
terms of addressing the pluralism. Habermas elaborated the notion of political validity and
legitimacy above the communicative action. This critical analysis aims to prove that
democracy is a room with unlimited probability, which is most unlikely to be restricted with
neither exclusivity nor inclusivity towards particular groups. Through the perspective of

Habermas’ discourse theory, this analysis seeks to unravel the deficit of democracy to day.
The objective is to achieve an understanding of political justice that is not frigid and open to
all sorts of new possibility.
Keywords : communicative action, discourse, intersubjectivity, lebenswelt, rationality.

Pendahuluan
Habermas adalah filsuf yang banyak mencurahkan perhatian pada persoalan agama,
masyarakat sosial, kebudayaan, dan problematika politik. Ia lahir 18 Juni 1929 di Dusseldorf,
Jerman. Pemikiran filsafat politik dan teori tindakan komunikatif Habermas dapat kita
tafsirkan sebagai suatu usaha menjelaskan bagaimana suatu masyarakat kompleks dewasa ini
menghasilkan produk hukum yang legitim. Habermas berusaha menjawab pertanyaan tentang
dimungkinkan atau tidaknya kehidupan bersama secara politis dalam masyarakat majemuk
yang plural dan kompleks. Habermas memusatkan perhatiannya untuk mencari bentuk
prosedural yang menurutnya paling relevan bagi masyarakat demokratis. Kemajemukan gaya
hidup, kepentingan, dan orientasi nilai, menurutnya, tidak lagi dapat diartikulasikan melalui
konsep-konsep

metafisis

tradisional.


Habermas

memfokuskan

pandangannya

pada

pendasaran-akhir akal budi dan moral dalam mencapai konsensus rasional. Ia mengajukan
kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan suatu praksis pencapaian konsensus dapat
dilakukan secara bebas dan fair.
Dengan meradikalkan proses-proses komunikasi, Habermas menunjukkan bahwa
dalam diri masyarakat modern terdapat potensi untuk mencapai keadilan bersama. Habermas
menggali prinsip-prinsip komunikasi yang imanen di tubuh masyarakat modern dan
memuarakan konsep-konsepnya pada model deliberatif guna mencari prosedur praktis dalam
mencapai keadilan bersama.
Reinterpretasi Konsep Rasio
Kata rasio sudah sangat termashur di dunia filsafat, utamanya sejak dicetuskannya
cogito ergo sum oleh Descartes. Dalam tradisi Cartesian, rasio selalu dielu-elukan sebagai

fondasi epistemologis pengenalan atas realitas. Rasio Cartesian dipostulasikan sebagai sumber
pengetahuan. Di tangan Kant, konsep rasio epistemologis Cartesian diubah menjadi konsep
rasio praktis. Kant mengandaikan subjek tindakan sebagai sesuatu yang mempertimbangkan
secara sendirian apa yang seharusnya ia lakukan. 1 Subjek dalam model filsafat Kant adalah
subjek otonom. Subjek otonom, melalui rasio praktis, mampu mempertimbangkan maksim
tindakan legitim sebagai norma penetapan undang-undang untuk semua orang. Maksim
tindakan tersebut Kant rumuskan dalam imperatif kategoris.2
1
2

F. Budi Hardiman, Etika Politik Habermas (Makalah), (Jakarta: Salihara (2010). Hlm. 2.
Ibid.

Menurut Habermas, subjek dari rasio praktis mengambil keputusan secara monolog,
yakni tanpa adanya kesepakatan dengan subjek-subjek lainya. Habermas menafsir ulang etika
solipsme metodis Kant dalam horizon filsafat model intersubjektif. Tradisi filsafat subjek
memang sudah muncul sejak era Yunani, yakni era Aristoteles. Pada Aristoteles, masih ada
hubungan internal antara rasio praktis dan komunitas kultural. Para warga polis pada zaman
Yunani kuno berupaya mencapai kesepakatan untuk menentukan tujuan bersama yang hendak
mereka wujudkan dalam kehidupan bersama. Menurut Habermas, Kant melepaskan rasio

praktis dari konteks komunitas dan melucuti ciri-ciri sosialnya sedemikian rupa sehingga
rasio praktis menjadi kemampuan subjektif belaka.3
Rasio praktis Kantian merujuk pada otonomi individu, yaitu mengenai hakikat
manusia yang universal dan tak tergantung pada konteks soso-historis. Hegel kemudian
menerapkan kemampuan subjektif individu pada ranah sejarah. Ia menyatakan bahwa
kemampuan subjektif individu identik dengan kemampuan subjektif suatu bangsa. Ia
memperluas konsep rasio praktis Kant dari taraf individu ke taraf masyarakat. Sejarah suatu
bangsa dalam memperjuangkan otonominya bersesuaian dengan riwayat sejarah individu
otonom.
Melalui proses dialektika sejarah, rasio akan menemukan dirinya sendiri sebagai
entitas yang absolut. Dialektika hegel adalah proses dialog terus-menerus antara tesis (realitas
afirmatif) berhadapan dengan antitesis (realitas negasi), dan didamaikan oleh realitas jalan
tengah yang disebut sintesis. Dialektika Hegel juga dimaksudkan untuk menunjukkan
perjalanan panjang individu dan masyarakat dalam menentukan atau membentuk dirinya
sendiri.
“Hegel remained convinced, just like Aristotle, that society finds its unity in the political life
and organization of the state.... However, modern societies have since become so complex
that these two conceptual motifs-that of a society concentrated in the state and that of a
society made up of individuals-can no longer be applied unproblematically.” 4
“Hegel seperti juga Aristoteles masih percaya bahwa masyarakat memperoleh keutuhannya

di dalam kehidupan politis dan di dalam negara... Akan tetapi masyarakat-masyarakat
modern sementara itu telah menjadi sedemikian kompleks sehingga kedua model pemikiran
tersebut (baik yang memandang negara sebagai pusat masyarakat maupun yang memandang
masyarakat sebagai kesatuan individu-individu) tidak dapat begitu saja diterapkan ke dalam
masyarakat-masyarakat tersebut.”

3

Ibid. Hlm. 3
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, (Cambridge: The MIT Press, 1996), P. 2. Translated by William
Rehg.
4

Habermas hendak membuktikan bahwa model rasio praktis Kantian sudah tidak lagi
relevan dengan realitas sosial dan realitas politik. Rasio praktis bersifat monolog dan
mengandung benih-benih absolutisme totalitarian. Muatan absolutisme totalitarian itu
terkandung dalam imperatif kategoris yang bersifat a priori. Imperatif kategoris menunjukkan
adanya perintah yang harus dipatuhi tanpa syarat. Dalam mengenali imperatif kategoris secara
monolog, subjek tidak membuka dialog dengan subjek-subjek lain. Hasil pegenalan monolog
dari rasio praktis adalah klaim yang bisa jadi bersifat hakiki dan tidak mau lagi dikritisi.

Segala sesuatu yang hakiki mengandung kebutuhan atas afirmasi. Kebenaran yang diperoleh
oleh subjek monolog menuntut legitimasi seluruh makhluk rasional. Subjek rasio praktis
menerapkan pengetahuan moral yang diperolehnya kepada subjek-subjek rasional lain tanpa
adanya dialog. Asas utama yang menjadi titik tumpu adalah universalitas. Universalitas rasio
praktis mengandaikan rasio yang ada sebagai rasio instrumental, yakni rasio pelengkap bagi
rasio yang sudah hakiki. Universalitas konsep rasio praktis membawa model rasio ini terjebak
pada

esensialisme.

Esensialisme

dalam

filsafat

politik

kontemporer,


dicurigai

menyembunyikan tendensi-tendensi kekuasaan totaliter. Dengan demikian, model rasio
praktis Kantian sudah tidak lagi memadai jika dijadikan sebagai fondasi hidup bersama demi
mencapai keadilan bersama.
Fakta tentang kebangkrutan rasio praktis Kantian tersebut hendak diatasi Habermas.
Ia mengajukan konsep rasio gaya baru yang ia sebut sebagai konsep rasio komunikatif. Rasio
komunikatif inilah yang akan bertransformasi dalam kehidupan sosial. Hasil-hasil dialog rasio
komunikatif tersebut dapat digunakan sebagai pedoman untuk merumuskan kesepakatan
mengenai konsepsi keadilan. Rasio komunikatif Habermas menjadi konsep yang real dan
membumi, serta dapat dengan mudah kita kenali dalam kehidupan sehari-hari.
Kecenderungan filsafat politik pasca modernisme adalah melakukan kritik keras
terhadap fondasi esensial suatu bangunan konsep filsafat. Habermas tidak menampik
kecenderungan itu. Ia juga mencurigai esesialisme sebagai biang keladi totalitarianisme.
Tetapi, kecurigaan Habermas itu tidak disertai dengan penolakan terhadap rasionalitas. Ia
tetap mempertahankan konsep rasio kritis yang masih berkembang dalam tradisi filsafat
Barat. Habermas mendefinisikan rasio gaya barunya sebagai rasio prosedural, atau rasio yang
‘menggugat dirinya sendiri’. Frasa rasio prosedural Habermas gunakan sebagai strategi untuk
menghadapi berbagai pihak yang tidak menaruh kepercayaan pada konsep rasio, lalu
kemudian menyebarluaskan konsep relativisme sebagaimana yang dilakukan oleh kaum pasca

strukturalisme dan kebanyakan teoritikus pasca modernisme. Berikut pernyataan Habermas:

“After a century that, more than any other, has taught us the horror of existing unreason,
the last remains of an essentialist trust in reason have been destroyed. Yet modernity, now
aware of its contingencies, depends all the more on a procedural reason, that is, on a reason
that puts itself on trial. The critique of reason is its own work: this double meaning, first
displayed by Immanuel Kant, is due to the radically anti-Platonic insight that there is
neither a higher nor a deeper reality to which we could appeal.” 5
“Setelah satu abad yang tidak ada bandingannya dalam sejarah telah mengajarkan kepada
kita betapa mengerikan sikap irasional itu, sisa terakhir kepercayaan terhadap rasio
esensialistis hancur. Namun modernitas yang sadar akan relativitas-relativitasnya tetap
berpegang teguh pada rasio prosedural, yakni pada rasio yang menggugat dirinya sendiri.
Kritik atas rasio adalah karya dari rasio prosedural ini: makna ganda dari kritik Kantian ini
bersumber pada pandangan antiplatonis bahwa tidak ada hal-hal yang lebih tinggi ataupun
yang lebih rendah yang dapat menjadi sumber otoritas bagi kita”

Rasio prosedural memunculkan model intersubjektivisme sebagai pengganti model
subjektivisme yang sudah tidak memadai. Prosedur yang diakui secara intersubjektif menjadi
sangat penting. Melalui rasio prosedural, proses-proses rasional memperoleh kesahihannya.
Rasionalitas tidak dapat dicapai oleh subjek tunggal semata-mata. Sifat rasional dari suatu

klaim rasio hanya dapat dicapai secara komunikatif, yaitu melalui pemahaman timbal-balik
dengan subjek-subjek lainnya. Rasio prosedural adalah rasio komunikatif. Prosedur
digunakan untuk memastikan agar sebuah klaim dapat bersifat rasional dan partisipan yang
melahirkan klaim tidak mendapat tekanan paksaan atau tekanan kuasa. Mekanisme
pemeriksaan secara intersubjektif dan prosedur yang diterima secara intersubjektif adalah
syarat-syarat formal yang mengandung rasio prosedural.6 Berikut pernyataan Habermas:
“The phenomena in need of explication are no longer, in and of themselves, the knowledge
and mastery of an objective nature, but the intersubjectivity of possible understanding and
agreement-at both the interpersonal and intrapsychic levels. The focus of investigation
thereby shifts from cognitive-instrumental rationality to communicative rationality.” 7
“Fenomen-fenomen yang harus diterangkan tidak lagi pengetahuan dan manipulasi alam
yang diobjektifikasikan, melainkan intersubjektivitas tentang konsensus yang mungkin - baik
pada taraf interpersonal maupun intrapsikis. Fokus penelitian demikian bergeser dari
rasionalitas kognitif-instrumental ke rasionalitas komunikatif.”

Bagi Habermas, intersubjektivitas menjadi penting. Karena itulah ia memunculkan
konsep rasio komunikatif dan mencoba kembali melakukan refleksi kritis atas model yang
sudah ada dan selama ini berlaku dalam masyarakat modern, yakni model rasio kognitifinstrumental.
5


Ibid., P. XLI.
F. Budi Hardiman, Teori Diskursus dan Demokrasi (jurnal Vol 7), (Jakarta: 2008), Hlm. 9.
7
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1, (Reason and The Rationalization of Society),
(Boston: Baecon Press, 1984), P. 392. Translated by Thomas McCarthy.
6

Teori Tindakan, Lebenswelt, dan Sistem Mayarakat
Demokrasi deliberatif Habermas dibangun dari konsep-konsep kunci yang saling
berhubungan satu sama lain. Dalam bukunya yang berjudul Theorie des Kommunikativen
Handelns / Theory of Comuunicative Action (Teori Tindakan Komunikatif)8 Habermas
menghubungan konsep rasio prosedural dengan konsep tindakan sosial. Unsur utama
pembentuk masyarakat adalah tindakan sosial. Melalui konsep tindakan sosial Habermas
mengembangkan konsep masyarakat dengan paradigma teori komunikasi. Habermas
menentukan tindakan komunikatif sebagai tindakan sosial paling ideal yang dapat difungsikan
secara maksimal di kehidupan masyarakat plural.
1. Tindakan Komunikatif
Dalam teori tindakan komunikatif, Habermas meyakini bahwa tindakan antar
manusia dalam sebuah masyarakat tidak terjadi secara semena-mena, melainkan bersifat
rasional. Sifat rasional tindakan tersebut dalam pandangan Habermas bersifat instruktif. Ia

mengasumsikan bahwa para partisipan komunikasi mengorientasikan diri pada pencapaian
pemahaman satu sama lain. Pemahaman pada Habermas berarti ‘mengerti’ suatu ungkapan
bahasa. Kata pemahaman juga dapat diartikan sebagai persetujuan atau konsensus. Sifat
rasional tindakan mengacu pada arti konsensus.9 Tindakan yang mengarahkan diri pada
konsensus merupakan tindakan rasional. Tindakan komunikatif tidak lain adalah tindakan
rasional yang mengarahkan diri pada konsensus. Habermas menyatakannya demikian:
“...concept of communicative action is presented in such a way that the acts of reaching
understanding, which link the teleologically structured plans of action of different participants and
thereby first combine individual acts into an interaction complex, cannot themselves be reduced to
teleological actions.”10
“...konsep tindakan komunikatif diperkenalkan melalui jalan bahwa tindakan-tindakan demi mencapai
pemahaman, yang mana secara teleologis tersusun rencana-rencana dari tindakan partisipan yang
berbeda dan dengan demikian kombinasi pertama tindakan-tindakan individu ke dalam suatu interaksi
yang kompleks, tidak dapat direduksi oleh mereka menjadi tindakan-tindakan teleologis.”

Konsep rasio komunikatif mengacu pada rasionalitas yang secara potensial
terkandung di dalam tindakan komunikatif. Rasio komunikatif membimbing tindakan
8

Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Thomas McCarthy dan diterbitkan oleh Beacon
Press pada tahun 1984.
9
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif. (Yogyakarta: Kanisius, 2009), Hlm. 34.
10
Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1, op. cit., P. 288.

komunikatif untuk mencapai persetujuan bersama berupa konsensus tentang sesuatu.
Konsensus tersebut tidak serta merta terjadi begitu saja. Prasyarat utama terjadinya konsensus
adalah adanya rasa saling mengerti dan adanya pinjam-meminjam perspektif. Seseorang harus
mencoba memahami persoalan orang lain atau mencoba berperan sebagai yang lain agar
mengetahui secara persis (atau paling tidak mendekati) persoalan yang dihadapi orang lain.
Rasio komunikatif mengarahkan seluruh proses pendekatan dan pengenalan terhadap
perspektif yang lain agar dapat mencapai pemahaman bersama.
Pada kenyataannya tidak semua persetujuan dapat dicapai melalui media dialog
secara rasional dan bebas tekanan. Ada model pemaksaan kehendak agar terjadi pemahaman
yang seragam dengan yang lain. Model ‘setujuh’ semacam itu bukanlah persetujuan. Term
persetujuan menunjukkan adanya kesalingan, yakni afirmasi antara subjek satu dan subjek
lain. ‘Setujuh’ yang dipaksakan pada dasarnya bukanlah konsensus rasional. ‘Setujuh’ yang
dipaksakan adalah bentuk banalisasi rasio. Banalisasi rasio terjadi jika dalam pencapaian
kesepahaman dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan. Mengenai persoalan tersebut,
Habermas membahas tentang dua macam mekanisme tindakan, yakni “mencapai persetujuan
secara intersubjektif” atau konsensus, dan tindakan “mempengaruhi”. 11 Mekanisme tindakan
yang berupa konsensus terbentuk lewat pengetahuan bersama yang diterima secara
intersubjektif, sedangkan mekanisme tindakan mempengaruhi berangkat dari keyakinan
monolog yang dianggap tepat dan benar oleh seseorang tanpa adanya pengakuan rasional dari
orang lain. Tindakan komunikatif bersifat situasional sebagaimana dinyatakan oleh Habermas
berikut ini:
“...communicative action is dependent on situational contexts, which represent in turn segments of the
life-world of the participants in interaction.”12
“...tindakan komunikatif tergantung pada konteks situasional, yang mewakili bagian dari dunia 13
kehidupan partisipan dalam interaksi.”

Konsep lain yang juga diajukan oleh Habermas adalah konsep tindakan strategis,
yaitu tindakan yang berorientasi pada keberhasilan seperti terjadi dalam tindakan
mempengaruhi.14 Tindakan strategis mengandaikan bahwa orang mengerti ungkapanungkapan bahasa dan juga dapat menjelaskan pendapatnya. Tindakan strategis bukanlah
sebuah alternatif bagi tindakan komunikatif. Dalam tindakan strategis, orang menggunakan
11

Hardiman, Demokrasi Deliberatif, op. cit., Hlm. 35.
Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1, op. cit., P. 278-279.
13
Frasa “dunia kehidupan” penulis jelaskan dalam subbab selanjutnya.
14
Hardiman, Demokrasi Deliberatif, op. cit., Hlm. 35.
12

bahasa tidak sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai alat untuk memaksakan
kehendak. Khusus mengenai tindakan sosial dan konsensus, Habermas menyatakannya
demikian:
“...Social actions are institutionalized in the framework of legitimate orders; and the latter
rest in part on consensus [Einverstandnis]. This consensus is grounded in the intersubjective
recognition of norms...”15
“...Tindakan sosial diinstitusionalisasi dalam kerangka aturan-aturan yang legitim; dan
berakhir pada suatu bagian konsensus. Konsensus ini didasarkan pada pengakuan
intersubjektif atas norma-norma...”

Melalui keterangan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa aturan-aturan yang
legitim melembagakan tindakan sosial. Tindakan sosial yang dimaksud dapat kita artikan
sebagai tindakan komunikatif, yang tentunya berlandaskan pada rasio kominukatif. Karena
hanya melalui pelandasan itu lah suatu tindakan dapat mencapai konsensus. Konsensus adalah
bentuk kesepahaman atau persetujuan yang diafirmasi secara intersubjektif.
Jika kita menggunakan medium bahasa untuk saling memahami, menurut Habermas
kita mengandaikan berbagai macam sikap performatif terhadap dunia kita. Persoalan ini
lazimnya terdapat pada masyarakat modern. Yang dimaksud Habermas adalah bahwa orang
dapat membedakan macam-macam pernyataan bukan hanya dari isinya, melainkan juga dari
acuan pernyataan-pernyataan itu.16 Kita dapat menggunakan contoh pernyataan “di luar
sedang hujan” yang secara mendasar berbeda dengan pernyataan “saya sakit kepala”.
Pernyataan pertama bersifat empiris-objektif, sedangkan pernyataan kedua bersifat subjektif.
Kemudian ada pernyataan lain berupa “korupsi itu salah”. Maka penyataan terakhir ini
bersifat normatif. Ketiga pernyataan tersebut mengacu pada bidang-bidang pemahaman yang
berbeda yang oleh Habermas disebut Dunia (Welten).17 Klasifikasi mengenai tiga pernyataan
tersebut dapat lebih mudah kita pahami dengan membaca skema berikut18:

15

Habermas, The Theory of Communicative Action Vol 1, op. cit., P. 254.
Hardiman, op. cit., Hlm. 36.
17
Ibid.
18
Skema disesuaikan dengan skema yang telah dirancang oleh Hardiman dalam Demokrasi Deliberatif.
16

A
I
N
U
D

KLAIM KEBENARAN

KLAIM KEJUJURAN

“Di luar sedang
hujan”

“Saya sakit
kepala”

Dunia Objektif
(Alam)

Dunia Subjektif
(Individu)

Dunia Intersubjektif
(Masyarakat)

“Korupsi itu
salah”

KLAIM KETEPATAN

Gambar : Skema 1

Skema di atas menunjukan adanya tiga klaim kesahihan yang dapat dilakukan oleh

pelaku tindakan komunikatif. Klaim-klaim tersebut adalah klaim kebenaran (wahr) yakni
klaim yang validitasnya dapat di verifikasi, klaim ketepatan (richtig) yakni klaim yang
kebenarannya menuntut afirmasi sosial, dan klaim kejujuran (wahrhftig) yakni klaim subjektif
yang menuntut afirmasi kebenaran performatif sesuai dengan situasi dan kondisi faktual
subjek.19

Seperti telah diutarakan Habermas dalam kutipan di atas, bahwasanya tindakan
komunikatif merupakan tindakan yang mengarahkan diri pada konsensus. Konsensus dalam
kerangka pikir Habermas adalah model konsensus rasional. Keberhasilan model konsensus

rasional adalah adanya indikasi kebebasan argumentasi namun tidak melukai yang lain.
Artinya, tidak ada kekerasan dan paksaan dalam transaksinya. Untuk mencapai konsensus

rasional, klaim yang dihasilkan oleh tindakan komunikatif harus secara serentak bersifat

benar, tepat, dan jujur, agar partisipan komunikasi dapat menentukan sikap dan keputusannya
dalam merespons klaim yang dihasilkan.
2. Lebenswelt

19

Pernyataan ini diperkuat oleh F. Budi Hardiman sebagai berikut: “Para pelaku tindakan komunikatif
mengeluarkan klaim-klaim kesahihan, yaitu klaim-klaim bahwa pernyataan-pernyataan mereka itu benar, tepat
atau jujur.” Ibid., Hlm. 37.

“He begins his discussion by examining phenomenological notions of the Lebenswelt as the
ever- present horizon of social action, as its Verweisungszusammenhang (Referential
context), as the taken for-granted background that is "always already"there when we act.”20
“Dia (Habermas) mengawali diskusi dengan menguji pendekatan gagasan mengenai
Lebenswelt (dunia kehidupan) sebagai kehadiran horizon tindakan sosial, sebagai
Verweisungszusammenhang (konteks referensial), sebagai latar belakang
(berperan
dibelakang panggung) bahwa ia “selalu siap” ketika kita melakukan tindakan”

Proposisi itu dinyatakan oleh Thomas McCarthy dalam bagian pengantar
penerjemahan buku Habermas. Sebagaimana yang Mc Carthy katakan, memang benar
Habermas membahas konsep Lebenswelt (Lifeworld) atau penulis menyebutnya sebagai
‘dunia kehidupan’ sebagai pelengkap untuk konsep tindakan komunikatif. Dunia kehidupan
mempunyai keterkaitan erat dengan tindakan komunikatif.
Tiga macam klaim kesahihan mengenai kebenaran, kejujuran, dan ketepatan dalam
kehidupan sehari-hari jarang dipersoalkan. Klaim-klaim tersebut dinaifkan dan diandaikan
ada begitu saja. Justru karena dinaifkan, maka klaim-klaim tersebut menjadi punya peran
penting untuk memungkinkan terjadinya pemahaman. Klaim-klaim itu merupakan basis
kognitif komunikasi yang membentuk pengetahuan bersama dengan sifat pre-reflektif dan
implisit. Pengetahuan itu hadir sebagai latar belakang, atau berwilayah “di belakang
panggung”. Habermas menyebutnya sebagai Hintergrundwissen (pengetahuan latar
belakang).

21

Pengetahuan latar belakang membentuk konteks komunikasi dan beroprasi

dibelakang proses-proses komunikasi verbal. Habermas menyatakan demikian:
“I can introduce here the concept of the Lebenswelt or lifeworld, to begin with as the
correlate of processes of reaching understanding. Subjects acting communicatively always
come to an understanding in the horizon of a lifeworld. Their lifeworld is formed from more
or less diffuse, always unproblematic, background convictions. This lifeworld background
serves as a source of situation definitions that are presupposed by participants as
unproblematic. In their interpretive accomplishments the members of a communication
community demarcate the one objective world and their intersubjectively shared social
world from the subjective worlds of individuals and (other) collectives. The world-concepts
and the corresponding validity claims provide the formal scaffolding with which those
acting communicatively order problematic contexts of situations, that is, those requiring
agreement, in their lifeworld, which is presupposed as unproblematic.” 22
“Saya dapat memperkenalkan disini konsep tentang Lebenswelt atau dunia kehidupan, untuk
memulai dengan menghubungkan proses-proses mencapai pemahaman. Tindakan
komunikatif subjek selalu datang untuk suatu pemahaman dalam horizon di dunia
kehidupan. Latar belakang dunia kehidupan ini menjadi sebuah sumber definisi situasi yang
diisyaratkan oleh para partisipan sebagai hal yang tidak dipersoalkan. Dalam kecakapan
20

Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1, op. cit., P. XXIV. Pernyataan tersebut ditulis oleh
Thomas McCarthy dalam pengantar penerjemahan karya Habermas.
21
Hardiman, Demokrasi Deliberatif, op. cit., Hlm. 38.
22
Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1, op. cit., P. 70.

interpretif mereka, para anggota komunitas komunikasi mendemarkasi dunia objektif dengan
intersubjektivitas mereka, lalu membagikan dunia sosial dari dunia subjektif baik dalam
ranah individu maupun kolektif. Konsep dunia dan hubungannya dengan validitas klaim
menyediakan perancah formal dengan aturan tindakan komunikatif itu dalam konteks situasi
yang problematis, bahwa, hal tersebut membutuhkan persetujuan, dalam dunia kehidupan
mereka, dengan diandaikan sebagai sesuatu yang tidak dipersoalkan.”

Lebenswelt diandaikan sebagai suatu horizon yang memiliki batas-batas dan bersifat
elastis. Ia lentur dan dapat disesuaikan dengan posisi atau perspektif partisipan. Jika kita
membahas mengenai “Pemilu Presiden 2014” misalnya, maka pengetahuan latar belakang kita
adalah mengenai apa-apa yang berhubungan dengan “Pemilu Presiden 2014”. Horizon kita
dengan sendirinya akan difokuskan pada tema dan apa-apa yang menyangkut persoalan itu.
Otomatisasi fokus inilah yang disebut Habermas sebagai Lebenswelt atau ‘dunia kehidupan’.
Dunia kehidupan tidak pernah kosong karena setiap saat subjek selalu dapat mengubah tema
dan perspektif komunikasinya, bahkan tanpa disadari.
Dunia kehidupan tidak dapat dikalkulasi secara matematis. Ia kebal dari bentukbentuk problematisasi. Karenanya, para pelaku tindakan komunikatif dimungkinkan
senantiasa dapat bergerak di dalam dunia kehidupan. Habermas menganggap dunia kehidupan
sosial dan kultural sebagai “tempat transendental di mana pembicara dan pendengar bertemu”
seolah-olah konsensus potensial sudah terkandung di dalamnya.23
Bagi Habermas, dunia kehidupan mempunyai hubungan yang erat dengan tindakan
komunikatif. Habermas menyebut dunia kehidupan sebagai “gudang” (vorrat). Dari gudang
tersebut para peserta komunikasi mengambil dan memakai interpretasi-interpretasi tertentu.
Dunia kehidupan dapat dipelihara, diteruskan dan diproduksi lewat tindakan komunikatif.
Orang dapat membayangkan komponen-komponen dunia kehidupan, yaitu pola-pola budaya,
tatanan-tatanan legitim dan struktur-struktur kepribadian sebagai pemadatan dan endapan
proses-proses pemahaman, koordinasi tindakan dan sosialisasi yang berlangsung, melalui
tindakan komunikatif.24
Konsensus yang didasari fakta-fakta dan klaim-klaim kesahihan yang berhubungan
dengan dunia kehidupan dapat dipahami secara intersubjektif. Partisipan komunikasi selalu
dalam perspektif pengetahuan mereka yang juga selalu dapat diperbaharui. Karenanya
solidaritas antar partisipan dapat terbentuk, meskipun diawali dari proses yang bertahap.
Dalam prosesnya tentu akan ada konflik. Namun justru konflik yang muncul akan menambah
wawasan pengetahuan dalam dunia kehidupan kemudian dapat dijadikan pertimbangan baru
23
24

Hardiman, Demokrasi Deliberatif, op. cit., Hlm. 39.
Ibid., Hlm 40. Mengutip Habermas dalam karya Nachmetaphisisches Denken (Pemikiran Pasca Metafisika).

untuk merumuskan kebaikan bersama diantara para partisipan dan masyarakat yang
berkepentingan.
3. Sistem Masyarakat dan Lebenswelt
“Habermas tells us that The Theory of Communicative Action has three interrelated
concerns: (1) to develop a concept of rationality that is no longer tied to, and limited by, the
subjectivistic and individualistic premises of modern philosophy and social theory; (2) to
construct a two-level concept of society that integrates the lifeworld and system paradigms;
and, finally, (3) to sketch out, against this background, a critical theory of modernity which
analyzes and accounts for its pathologies in a way that suggests a redirection rather than an
abandonment of the project of enlightenment.”25
“Habermas menjelaskan kepada kita bahwa Teori Tindakan Komunikatif mempunyai tiga
konsentrasi yang saling terhubung: (1) untuk mengembangkan suatu konsep tentang
rasionalitas dan meningkatkannya, dan dibatasi oleh, premis-premis subjektif dan
individualis dari filsafat dan teori sosial. (2) untuk membangun suatu konsep dua tingkat
tentang masyarakat yang terintegrasi dengan dunia kehidupan dan paradigma sistem; dan,
akhirnya, (3) untuk menguraikan, berkaitan dengan latar belakang itu, suatu teori kritis bagi
modernitas dengan analisis dan catatan patologis dalam sebuah jalan yang menganjurkan
suatu petunjuk dan kembali pada proyek pencerahan.”

Sebagaimana telah dinyatakan oleh McCarthy tersebut, tujuan akhir teori tindakan
komunikatif Habermas adalah mencerahkan, atau suatu emansipasi dari keterkungkungan
masyarakat akan belenggu-belenggu ideologi. Namun ada konsentrasi kedua yang perlu
penulis bahas terlebih darulu, yaitu “membangun suatu konsep mengenai masyarakat yang
terintegrasi dengan dunia kehidupan dan paradigma sistem”. Konsep sistem (System), dalam
filsafat politik Habermas, tidak dapat dipisahkan dengan konsep Lebenswelt (dunia
kehidupan). Dalam Teori Tindakan Komunikatif memang Habermas menjelaskan Lebenswelt
sebagai bentuk teori sosiologi. Penggunaan Lebenswelt dalam teori sosiologi Habermas
berarti bahwa dunia kehidupan berfungsi sebagai kategori dasar teori sosial. Habermas
memakai konsep “sistem” dan konsep “dunia kehidupan” secara bersama-sama dan
menyebutnya sebagai konsep dua tingkat (two-level concept). Kita akan melihat bagaimana
argumentasi Habermas menjelaskan keterkaitan dua konsep tersebut untuk mengusahakan
suatu bentuk integrasi sosial dalam masyarakat. Berikut pernyataan Habermas:
“...system and lifeworld are differentiated in the sense that the complexity of the one and the
rationality of the other grow. But it is not only qua system and qua lifeworld that they are
differentiated; they get differentiated from one another at the same time.” 26
25

Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1., op. cit. p. VI. Pernyataan tersebut ditulis oleh
Thomas McCarthy dalam pengantar penerjemahan karya Habermas The Theory of Communicative Action.
26
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 2, (Lifeworld and System: A Critique of
Funcionalist Reason), (Boston: Baecon Press, 1987), P. 153. Translated by Thomas McCarthy.

“... sistem dan dunia kehidupan dibedakan dalam pengertian bahwa kompleksitas dari yang
satu dan rasionalitas dari yang lain, tumbuh. Tetapi ini tidak hanya qua-sistem dan qua-dunia
kehidupan, bahwa mereka dibedakan; mereka dibedakan satu sama lain dalam waktu yang
sama.”

Menurut Habermas, jika dilihat dari perspektif para pelaku (Teilnehmerperspektive),
masyarakat tampak sebagai “jaringan kerjasama-kerjasama yang dimungkinkan lewat
komunikasi”.27 Kerjasama tersebut memungkinkan munculnya integritas dan stabilitas suatu
masyarakat. Para aktor sosial dapat menghasilkan konsekuensi-konsekuensi sosial melalui
kerjasama. Tetapi jika dilihat dari perspektif para pengamat (Beobachterperspektive),
masyarakat memperlihatkan dirinya sebagai “jaringan fungsional dari rentetan tindakan”. 28
Jika dilihat melalui perspektif pengamat, tindakan-tindakan masyarakat seolah-olah terjadi
secara mekanis. Tindakan tersebut terjadi diluar intensi para pelaku. Pada tataran tersebut lah
masyarakat muncul sebagai “sistem”. Sistem tersebut, dalam kehidupan masyarakat modern,
muncul pada kekuasan negara dan ekonomi. Sistem diperkuat oleh komponen integritas
masyarakat yang berupa “solidaritas” (dalam Lebenswelt), “uang” (dalam kapitalisme) dan
“kuasa” (dalam System).29
Dalam bukunya Teori Tindakan Komunikatif, Habermas banyak membahas
persoalan teori rasionalisasi Max Weber. Ia menerima teori tersebut dan menyatakan adanya
“hilangnya sambungan antara sistem dan dunia kehidupan”. Proses tersebut bersangkutan
dengan evolusi sosial atau modernisasi yang disebut Weber sebagai rasionalisasi. 30 Bagi
Habermas, sebelum terjadinya proses rasionalisasi, terdapat identitas antara dunia kehidupan
dan sistem, utamanya dalam tradisi kehidupan masyarakat tradisional. Dalam keadaan ideal,
dunia kehidupan berkembang dalam bentuk rasionalitas komunikatif yang semakin diskursif,
sedangkan sistem berkembang dalam bentuk kompleksitas yang fungsional.
Habermas merumuskan proses rasionalisasi yang seimbang sebagai berikut: “Pada
tingkat analitis ini hilangnya sambungan antara sistem dengan dunia kehidupan dapat
digambarkan sebagai berikut: Dunia kehidupan yang dulu masih sama luasnya dengan
sistem sosial yang sedikit terdiferensiasi lama-kelamaan direndahkan menjadi sebuah
subsistem di samping subsistem-subsistem lainnya.”31

27

Hardiman, Demokrasi Deliberatif, op. cit., Hlm. 41. Mengutip Teori Tindakan Komunikatif Habermas, Hlm.
223.
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Ibid.
31
Ibid., Hlm. 42. Mengutip Habermas dalam Teori Tindakan Komunikatif (versi Jerman), Hlm. 230.

Dunia kehidupan semakin sempit posisinya karena didesak oleh sistem lain yang
juga menjadi semakin rumit. Dalam proses itu, sistem justru mendapat tempat yang lebih luas.
Mengenai persoalan itu dapat lebih mudah kita pahami dengan membaca skema berikut ini32:
Kolonisasi
Lebenswelt

Rasionalisasi
Lebenswelt

SYSTEM
SYSTEM
KAPITALISME + KUASA NEGARA
DAN
LEBENSWELT

LEBENSWELT

SYSTEM
KAPIT
ALISME

KUASA
NEGAR
A

LEBENSW
ELT

Gambar : Skema 2
Awalnya, antara sistem dan dunia kehidupan masing-masing mampunyai identitas.
Hal tersebut lazimnya terjadi dalam masyarakat tradisional yang belum didera persoalan
kompleks dan orientasi-orientasi plural. Namun dalam masyarakat modern, ketika sistem
mulai berkembang dengan segala kerumitannya, sistem-sistem yanga ada dalam realitas
menekan dunia kehidupan sedemikian rupa (secara tidak disadari) hingga porsi dunia
kehidupan dalam realitas menjadi semakin kecil. Bentuk sistem yang paling dominan dalam
masyarakat modern adalah kapitalisme dan kuasa negara. Subsistem-subsistem tersebut
melakukan kolonisasi dunia kehidupan. Memahami persoalan itu, Habermas menggagas
adanya rasionalisasi dunia kehidupan. Upayanya dimaksudkan untuk mengembalikan posisi
dunia kehidupan ke porsi yang memadai. Sebenarnya menciutnya dunia kehidupan dapat kita
pahami dalam dua perspektif, pertama, dunia kehidupan didesak oleh sistem melalui kerja
subsistem, dan kedua, dunia kehidupan menarik diri dari dan memberi tempat bagi sistem.
Keberhasilan merasionalisasi dunia kehidupan melalui tindakan komunikatif lah yang
menurut Habermas dapat dijadikan emansipasi bagi masyarakat modern dalam mengambil
jarak terhadap belenggu sistem modernitas.
Teori Diskursus dan Proseduralisme
Habermas memberi posisi sentral pada rasionalitas. Namun harus diingat bahwa,
rasionalitas yang dimaksud Habermas terbatas pada rasio komunikatif. Baginya, suatu
pernyataan atau tindakan seseorang akan bersifat rasional sejauh alasan argumentatifnya dapat
32

Skema disesuaikan dengan skema yang telah dirancang Hardiman dalam Demokrasi Deliberatif.

dijelaskan dan dipertanggungjawabkan serta diakui secara intersubjektif. Adanya penjelasan
dan pemberian alasan merupakan ciri dasar dari adanya klaim-klaim kesahihan yang bersifat
rasional. Rasionalitas klaim dapat terjadi hanya jika komunikasi yang digunakan adalah
komunikasi rafleksif, bukan komunikasi naif. Komunikasi naif adalah komunikasi yang biasa
kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, dan kebenarannya kita andaikan begitu saja
sebagai komunikasi yang wajar. Sementara komunikasi reflektif adalah komunikasi yang
menuntut adanya refleksi atas wacarna yang sedang dikomunikasikan. Komunikasi reflektif
memerlukan alasan-alasan dan tindak rasionalisasi atas wacana dalam dunia kehidupan
masing-masing partisipan. Melalui komunikasi reflektif inilah partisipan mulai membangun
pemahaman untuk mencapai konsensus.
Wacana yang dibahas dalam komunikasi reflektif bukan wacana biasa, namun berupa
diskursus. Menurut Habermas, diskursus adalah bentuk komunikasi yang mengandung klaimklaim kesahihan sebagai objek problematisasinya. 33 Dalam diskursus, dunia kehidupan
kehilangan cirinya sebagai pengetahuan latar belakang, sebab setelah dijadikan tema
komunikasi pengetahuan latar belakang berubah menjadi pengetahuan latar depan yang
bersifat eksplisit. Komunikasi yang terjadi diantara peserta dikursus yaitu, para partisipan
berusaha keluar dari dunia kehidupan masing-masing untuk menyelesaikan secara rasional
berbagai persoalan yang mereka temukan dalam dunia kehidupan bersama. Jadi, ada proses
abstraksi antar partisipan dalam membayangkan diskursus dari partisipan lain. Ujung dari
proses tersebut, lagi-lagi adalah suatu konsensus. Namun konsensus yang prosesnya
dilakukan secara komunikatif diskursif akan melahirkan konsensus reflektif. Karena,
diskursus adalah bentuk reflektif dari tindakan komunikatif. Ia melanjutkan skema yang telah
dijalankan oleh tindakan komunikatif dengan sarana yang lebih reflektif, yaitu berupa
argumentasi. Model diskursus ini, menurut Habermas, relevan dengan kondisi masyarakat
modern. Habermas menyatakannya demikian:
“The construction of an unlimited and undistorted discourse can serve at most as a foil for
setting off more glaringly the rather ambiguous developmental tendencies in modern
societies.”34
“Konstruksi dari sebuah diskursus yang tidak terbatas dan tidak terdistorsi dapat berfungsi
sebagai sebuah upaya untuk menggagalkan penerapan (diskursus) yang ambigu dengan
tendensi pembangunan (pengembangan sistem yang mengkolonisasi Lebenswelt) dalam
masyarakat modern”
33

Hardiman, op. cit., hlm. 34. Mengutip Habermas dalam Teori Sosial atau Teknologi Sosial (versi Jerman),
Hlm. 115.
34
Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 2, op. cit., P. 107.

Melalui keterangan tersebut Habermas menunjukkan adanya upaya untuk
memurnikan diskursus dari belenggu-belenggu yang mendistorsi. Ia mengupayakan diskursus
reflektif untuk memecahkan persoalan kesepahaman (misalnya untuk merumuskan keadilan)
dalam masyarakat modern. Dalam masyarakt modern berkembang diskursus yang ambigu.
Diskursus yang ada sudah diboncengi oleh tendensi pembangunan, yaitu pengembangan
sistem yang mengolonisasi dunia kehidupan.35 Diskursus yang tidak reflektif akan
mempersempit porsi dunia kehidupan dalam realitas yang akhirnya menutup ruang-ruang
komunikatif dalam masyarakat. Partisipan perlu kembali memurnikan diskursus dari berbagai
belenggu yang menyelubung di dalam kehidupan masyarakat modern. Adapun jika terdapat
kritik dalam mekanisme tersebut, maka pendalaman dan abstraksi terhadap dunia kehidupan
partisipan lain digunakan sebagai usaha untuk menyelesaikan persoalan.
Habermas membagi diskursus menjadi dua, yaitu diskursus teoritis dan diskursus
praktis. Dalam diskursus teoritis, orang mempermasalahkan klaim kebenaran pernyataanpernyataan teoritis-empiris. Dalam diskursus praktis, orang mempersoalkan klaim ketepatan
pernyataan-pernyataan normatif. Dalam usahanya mengajukan solusi persoalan bagi
masyarakat modern, Habermas memusatkan diri pada model diskursus praktis. Diskurus
praktis yang dimaksud oleh Habermas adalah prosedur komunikasi. Dalam diskursus praktis,
para peserta mempersoalkan klaim ketepatan dari norma-norma yang mengatur tindakan
mereka.36
1. Prosedur Komunikasi sebagai Diskursus Praktis
Diskursus praktis adalah bentuk komunikasi khusus dengan niveau (level) yang
tinggi. Peserta diskursus praktis mencoba memecahkan norma-norma problematis secara
kooperatif agar konsensus yang dicapai secara intersubjektif sesuai dengan kehendak semua
peserta.37 Tujuan adanya diskursus praktis adalah mencapai pemahaman timbal-balik atas
norma-norma tindakan yang dipatuhi bersama. Pemahaman timbal balik yang dimaksud
adalah konsensus rasional yang legitim. Habermas meradikalkan intuisi sehari-hari sebagai
cara untuk mencapai konsensus legitim. Prasyarat yang dibutuhkan untuk mencapai
konsensus legitim adalah melalui idealisasi (Idealisierung). Konsep idealisasi ini tidak jauh
berbeda dengan konsep dunia idea Plato. Kita butuh abstraksi untuk menyatakan sesuatu
dengan cara mengartikulasikan asosiasi paling ideal dari sesuatu tersebut. Melalui cara
tersebutlah prinsip idealisasi dijalankan.
35

Silakan baca Skema 2 dalam subbab sebelumnya agar lebih mudah memahami maksud pernyataan ini.
Hardiman, Demokrasi Deliberatif, op. cit., Hlm. 46.
37
Ibid., Hlm. 47.
36

Habermas mendefinisikan idealisasi komunikasi sebagai suatu “proses memikirkan
proses-proses komunikasi sedemikian rupa seolah-olah proses-proses tersebut berlangsung di
dalam kondisi-kondisi ideal”.38 Idealisasi bentuk-bentuk komunikasi dapat diwujudkan secara
memadai melalui diskursus praktis. Diskursus praktis mengacu pada proses komunikasi yang
ideal. Aturan-aturan komunikasi yang ideal diformalisasikan dari proses komunikasi yang
ideal pula. Tepat-tidaknya tujuan komunikasi mensyarakatkan prosesnya. Hal tersebut
sebenarnya menunjukkan bahwa diskursus praktis tidak lain berlaku sebagai prosedur
komunikasi.
Habermas juga menunjukkan prasyarat-prasyarat komunikasi untuk mencapai
konsensus rasional. F. Budi Hardiman mengutip prasyarat tersebut sebagai berikut:
(...1.) Semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut serta dalam diskursus.
(...2.) a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan setiap pendapat. b. Setiap peserta boleh
mengajukan pendapat apapun di dalam diskursus. c. Setiap peserta boleh mengungkapkan
sikap-sikap, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya. (...3.) tak seorang
pembicarapun boleh dihalangi untuk melaksanakan hak-haknya yang tercantum dalam
(...1.) dan (...2.).”39

Suatu diskursus dituntut untuk bersifat inklusif. F. Budi Hardiman menunjukkan
adanya asumsi tersembunyi dibalik diskursus, yakni: Pertama, keikutsertaan di dalam sebuah
diskursus hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara konsisten
mematuhi aturan-aturan logis dan sistematis dari bahasa tersebut. Kedua, kesamaan dalam
memperoleh kesempatan dalam diskursus hanya dapat terwujud, jika setiap peserta memiliki
maksud untuk mencapai konsensus yang tidak memihak dan memandang para peserta lainnya
sebagai pribadi-pribadi otonom yang tulus, bertanggungjawab dan sejajar dan tidak
menganggap mereka ini hanya sebagai sarana belaka. Ketiga, harus ada aturan-aturan yang
dipatuhi secara umum yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi.
Aturan-aturan tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat “paksaan
tidak memaksa dari argumen yang lebih baik” (zwangloser Zwang des besseren Arguments).40
Diskursus praktis tidak menyodorkan norma-norma tertentu yang dianggap paling
benar. Diskursus praktis bersifat prosedural dalam rangka menguji kesahihan norma-norma
secara intersubjektif. Dalam diskursus praktis tidak ada jaminan mengenai legitimitas dan
kebenaran hasil dialog. Sebagaimana Habermas menyatakan bahwa “diskursus praktis
38

Ibid., Hlm. 37. Mengutip Habermas dalam bukunya Penjelasan-Penjelasan untuk Etika Diskursus (versi
Jerman), Hlm. 160.
39
Ibid., Hlm. 48. Mengutip Habermas dalam bukunya Kesadaran Moral dan Tindakan Komunikatif (versi
Jerman), Hlm. 99.
40
Ibid., Hlm. 48-49.

merupakan suatu prosedur bukan untuk menghasilkan norma-norma yang legitim, melainkan
untuk menguji kesahihan norma-norma yang dipertimbangkan secara hipotesis.”41 Proses
yang dikemukakan Habermas tersebut disebut juga sebagai proseduralisme. Proseduralisme
merupakan pengujian diskursif proses penetapan norma-norma dalam dialog antar partisipan
komunikasi.
2. Prinsip Etika Diskursus
Setiap subjek yang menggabungkan diri untuk berdialog dalam rangka mencapai
konsensus tidak selalu punya niatan murni demi konsensus itu sendiri. Dalam diri subjek
terkandung pluralitas kepentingan dan kebutuhan. Konsep kepentingan dan kebutuhan ini
juga dibicarakan oleh Habermas. Ia menganggap kepentingan bukan sesuatu yang statis dan
terisolasi dari kepentingan yang lainnya. Kepentingan bersama akan terbentuk melalui kontak
secara intersubjektif. Konfrontasi kepentingan, menurut Habermas, justru dapat dimanfaatkan
untuk menentukan mana kepentingan terbaik untuk dilaksanakan bersama. Diantara pluralitas
kepentingan tersebut ada kepentingan yang dapat di universalisasi dan ada yang tidak. Untuk
menentukan apakah suatu kepentingan dapat diuniversalisasi ataukah tidak, diperlukan sebuah
pengujian secara diskursif.
Konsepsi Habermas mengenai etika diskursus dibedakan dalam beberapa hal sebagai
berikut:42
1.

Etika diskursus bersifat teleologis dalam maknanya yang berkonsentrasi pada
‘pilihan akhir’ dan ‘penafsiran secara rasional mengenai tujuan’.

2.

Etika diskursus mengevaluasi tujuan dari taksiran apa yang ‘baik bagi saya’ atau
‘bagi kita’.

3.

Etika diskursus dapat menunjukkan bahwa: ia terfokus pada jalan di mana kita
dapat mengatur hasrat-hasrat dan tujuan-tujuan dengan pandangan yang tidak
hanya hadir sekarang tetapi juga kebahagiaan di masa yang akan datang dan
untuk kebahagiaan segala bentuk pertimbangan.

4.

Etika diskursus mementingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan dan
sejarah individu dan tradisi khusus atau kelompok budaya yang berhubungan
dengan individu tersebut.

41

Ibid., Hlm. 49. Mengutip Habermas dalam bukunya Kesadaran Moral dan Tindakan Komunikatif (versi
Jerman), Hlm. 132.
42
James Gordon Finlayson, Habermas - A Very Short Introduction (New York: Oxford University Press, 2005),
P. 92.

5.

Pemahaman Habermas mengenai konsep kebaikan dan nilai menghasilkan suatu
keutamaan logis dari etika diskursus. Nasehat, keputusan, dan aturan-aturan dari
preferensi yang berhubungan dengan persoalan etika diskursus, validitasnya
bersifat ‘relatif’ dan ‘kondisional’.

6.

Etika diskursus terfokus pada pemahaman terhadap diri sendiri oleh individu
atau kelompok.

7.

Etika diskursus mambuat suatu validitas klaim demi otentisitas.

Melalui keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dasar konsep dari etika
diskursus Habermas adalah mengenai persoalan mana yang baik dan mana yang buruk untuk
individu maupun kelompok. Etika diskursus mengkaji mengenai nilai-nilai yang berlaku
dalam kehidupan masyarakat. Hasil konsep etika diskursus bersifat relatif dan kondisional.
Melalui pertimbangan-pertimbangan di dalamnya, Habermas berusaha menunjukkan suatu
prosedur kepada masyarakat untuk mengatur preferensi.
Kepentingan-kepentingan individu dalam etika diskursus di universalkan. Preferensiprefernsi individu yang dipertemukan dalam dialog (diskursus praktis) mengalami seleksi
kepentingn, yakni dari yang sangat privat ke yang sangat publik. Prinsip universalisasi
Habermas pada dasarnya menunjukkan sebuah prosedur untuk mencapai yang publik melalui
dialog-dialog diskursif.
Dalam etika diskursus, Habermas membedakan antara prinsip yang bersifat normatif
dan yang bersifat evaluatif. Persoalan-persoalan normatif menyangkut persoalan tentang
‘keadilan universal’, sementara persoalan-persoalan evaluatif menyangkut tentang ‘hidup
yang baik’. Mengenai persoalan normatif, Habermas menyebutnya sebagai ‘yang moral’,
sedangkan mengenai persoalan evaluatif, Habermas menyebutnya sebagai ‘yang etis’.
Proseduralisme Habermas memisahkan secara tegas antara yang moral dan yang etis. Yang
etis harus mengalah demi yang moral, karena yang moral bersifat universal dan tidak
memihak. Yang etis bersifat sebaliknya. Proposisi yang muncul dalam konteks ‘yang moral’
adalah proposisi-proposisi yang menyangkut keadilan, kebahagiaan, atau kesejahteraan, yang
menyangkut segala aspek kehidupan universal yang manfaatnya dapat dirasakan bersama.43
Etika diskursus, universalisasi, dan proseduralisme yang telah kita baca dalam
penjelasan di atas membawa kita pada muara filsafat politik Habermas mengenai keterkaitan
konsep-konsep yang ia gagas dengan politik, hukum, dan demokrasi. Habermas memasukkan
konsep-konsep krusial dalam teori tindakan komunikatifnya sebagai komponen pembangun
demokrasi, hukum, dan teori politik.
43

Hardiman, op. cit., Hlm. 53.

Penutup : Teori Diskursus dalam Politik, Hukum, dan Demokrasi
Dalam subbab sebelumnya telah dijelaskan konsep-konsep kunci Habermas dalam
membangun pemikiran filsafatnya. Keseluruhan konsep-konsep tersebut menjadi dasar bagi
konstruksi pemikiran politik Habermas mengenai keterkaitan teori-teorinya dengan persoalan
politik, hukum, dan demokrasi. Pada dasarnya, teori-teori Habermas tidak terlalu radikal.
Maksudnya, Habermas tidak menggugat seluruh kecacatan teori politik liberal sebelumnya
dari presuposisi dan asumsi-asumsi mendasarnya.
Ada dasar pijak yang Habermas tetap pertahankan, yaitu rasionalitas. Memang
rasionalitas yang ia maksud bukan bentuk rasio Kantian murni. Habermas mengembangkan
konsep rasionalitas dengan mengandaikan model rasio prosedural yang bersifat komunikatif
sebagai proposal untuk mengajukan prosedur, yang menurutnya, bukan sebagai tujuan akhir.
Karenanya, model teori politik Habermas tidak terlepas dari proposal tersebut. Bentuk teori
politik Habermas bersifat prosedural. Ia merumuskan seperangkat aturan tertentu yang
dilekatkan pada institusi-institusi politik yang sudah ada dalam negara hukum demokratis.
Habermas tetap mempertahankan beberapa asumsi yang terka