DUALISME KONSEP GEOPOLITIK DAN GEOSTRATE

BAB 1
PENDAHULUAN
“Aku Lebih suka lukisan Samudra yang bergelombangnya memukul, mengebu-gebu,
dari pada lukisan sawah yang adem ayem tentrem, “Kadyo siniram wayu sewindu
lawase.”
(Pidato Soekarno pada HUT Proklamasi 1964)

1.1 Latar Belakang
Semenjak zaman tradisional, kegiatan perdagangan di Asia Tenggara telah
berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Hal tersebut ditandai dengan
adanya dua jalur perdagangan yang ramai dilewati, yaitu jalur perdagangan darat dan
jalur perdagangan laut. Adapun jalur perdagangan darat yang dikenal dengan “Jalur
Sutera” dimulai dari Tiongkok melalui Asia Tengah, Turkestan hingga ke Laut Tengah.
Di sisi lain, jalur perdagangan melalui jalur laut juga dimulai dari Tiongkok melalui laut
Cina, melalui Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk Persia, melalui Syam (Suriah)
sampai ke Laut Tengah; atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut
Tengah. Dari berbagai jalur tersebut, Selat Malaka merupakan salah satu wilayah yang
memegang peranan penting. Hal tersebut lazim terjadi mengingat letak Selat Malaka
sangat strategis sehingga menjadi salah satu jantung perdagangan di Asia Tenggara.
Pada perkembangan selanjutnya, pedagang dari Arab mulai menguasai wilayah
Selat Malaka dan menjadikannya sebagai jalur perdagangan besar di Asia Tenggara

pada abad ke-14. Selanjutnya, memasuki abad ke-16, Selat Malaka jatuh ke tangan
Portugis. Kejatuhan tersebut menandai titik awal mulainya kedatangan bangsa Eropa
untuk melakukan kolonialisasi dan imperialisasi di Asia Tenggara.
Setelah masa koloniasasi dan imperialisme bangsa Barat berakhir, saat ini, Selat
Malaka yang berada di antara tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura
merupakan bagian penting dalam dunia maritim internasional. Hal tersebut terjadi
karena Selat Malaka mendukung sebagian besar perdagangan maritim antara Eropa dan

1

Asia Pasifik, dibuktikan dengan 50.000 kapal per tahun atau sama dengan 600 kapal per
hari melalui Selat Malaka dalam rangka perdagangan. 1
Secara geopolitik letak geografis Selat Malaka begitu penting bagi kepentingan
negara-negara di dunia dalam kegiatan ekonomi, lalu-lintas perdagangan, maupun
strategi militer terutama negara besar seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang dan India.
Posisi Selat Malaka termasuk jalur SLOC (Sea Lanes of Communication) terpadat untuk
perdagangan dan alur minyak dunia jika dibandingkan dengan selat-selat lainnya
Akibatnya Malaka yang tidak begitu luas banyak dilalui oleh kapal-kapal asing sehingga
sering terjadi di dalamnya kecelakaan kapal. Dari situ, keamananan Selat Malaka
selanjutnya menjadi fokus perhatian bagi tiga negara yang memilikinya.

Untuk menyelesaikan kasus di Selat Malaka, nampaknya bukan merupakan hal
yang mudah. Hal tersebut karena letak Selat Malaka yang diitari oleh tiga negara, rentan
mengalami gesekan akibat pembagian keuntungan dari kepemilikan Selat Malaka.
Sebagai contohnya adalah

kesulitan untuk menentukan perjanjian dan kesepakatan

mengenai pajak yang harus dipungut, hasil yang harus dibagi dan lain sebagainya.
Adapun salah satu faktor penyebab sulitnya tercapai kesepakatan di Selat Malaka adalah
ketidakstabilan hubungan politik antara Indonesia, Malaysia dan Singapura. Selain itu,
perbedaan pandangan tiap-tiap negara mengenai konsep geopolitik dan geostrategi
terhadap Selat Malaka juga menjadi penyulut konflik tiga negara tersebut.
Selama ini Indonesia dan Malaysia, hubungan keduanya diidentikan berjalan
penuh dengan konflik oleh media, baik konflik mengenai klaim perbatasan, budaya,
ataupun tenaga kerja. Konflik antara Indonesia dengan Singapura justru jarang muncul
di media, padahal dalam realitasnya kedua negara tersebut masih berkonflik mengenai
masalah Selat Malaka. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai
perbedaan konsep geopolitik dan geostrategi antara Indonesia dan Singapura sebagai
penyebab tarik ulur masalah perbatasan di Selat Malaka pada periode 1970—1982.


1.2 Rumusan Masalah
1

Rodrigue. Straits, Passages and Chokepoints: A Maritime Geostrategy of Petroleum Distribution. hlm.
369

2

Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan sebuah masalah, yaitu bagaimana
dualisme konsep geopolitik dan geostrategi terhadap Selat Malaka antara Indonesia dan
Singapura berpengaruh terhadap konflik antara keduanya pada periode 1970—1980.

BAB 2
3

KONFLIK SELAT MALAKA ANTARA INDONESIA DAN SINGAPURA
2.1 Konsep Geopolitik dan Geostrategi Indonesia
Membahas mengenai konsep geopolitik, pada dasarmnya mencakup pemikiran
strategis dalam dimensi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan keamanan suatu wilayah.
Berdasarkan latar belakang historisnya, Indonesia menjadi entitas geopolitik sejak awal

abad ke-20, sebagai hasil dari proses konsolidas administrasi dan territorial di bawah
otoritas kolonial Belanda. Indonesia memiliki letak yang sangat strategis, yaitu di antara
Samudra Hindia dan Pasifik dan Benua Asia dan Australia. Selain itu, juga didukung
dengan kepemilikan empat dari tujuh chokepoint maritim utama di dunia.
Di Indonesia sendiri terdapat Selat Malaka yang memiliki arti strategis di mata
dunia. Nilai strategis yang dimiliki Indonesia tersebut selanjut menjadi titik pengaruh
bagi geopolitik dan kebijakan asing negara lain, terutama di wilayah Asia-Pasifik.
Arsitektur geopolitik Indonesia berdasar pada ‘strategic trinity’ yakni geostrategi dalam
dimensi keamanan dan militer, geoekonomi dalam dimensi ekonomi dan sumber daya,
serta geopolitik dalam dimensi sosial dan politik .2
Akan tetapi, kekayaan sumber daya dan posisi Indonesia yang sebenarnya
memberikan keuntungan, dapat pula menjadi bumerang. Muncul rasa khawatir dan tidak
aman akan terjadinya eksploitasi sumber daya dan pengambilalihan kontrol maritim
Indonesia oleh negara besar dan kuat. Kondisi geografis Indonesia sendiri yang
dikatakan cukup dominan dan sebagai negara kepulauan berjumlah ribuan
menghadirkan sebuah komplikasi besar terkait pemerintahan maritim. Manajemen
domain maritim Indonesia berdasar pada United Nation Conference Law of the
Sea (UNCLOS) serta didukung dua peraturan pemerintah, memiliki yurisdiksi berlapis
yakni perairan di dalam dan di luar Indonesia. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi
Indonesia untuk mengatur kawasan perairan.3

Pada perkembangannya, kebijakan Indonesia dalam konteks geopolitik
menekankan pada aspek lokasi. Hal tersebut berdasarkan perjalanan historis Indonesia
dan hubungan Indonesia serta pergolakannya dengan negara-negara lain terkait dengan
2

Evan A. Laksmana. The enduring strategic trinity:explaining Indonesia's geopolitical architectur, hlm.
96.
3
Oegroseno, A.H. ‘Indonesia’s maritime boundaries’, in R. Cribb and M. Ford, eds., Indonesia beyond
the Water’s Edge: Managing an Archipelagic State. hlm.51

4

lokasi Indonesia yang dikenal sebagai posisi “silang” antara Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik serta antara Benua Asia dan Australia.4
Adapun arsitektur geopolitik modern Indonesia mulai terlihat pada periode 19561960, yang ditandai dengan ditetapkannya kebijakan luar negeri dan keamanan secara
sistematis dan mempertimbangkan letak geografis negara di dalamnya. 5 Pemerintah
mulai membentuk komite antardepartemen untuk mengkaji isu geopolitik yang
berkaitan dengan maritim negara dan batas teritorial hingga dibentuknya draf UU
Perairan Teritorial Indonesia dan Lingkungan Maritim dan Deklarasi Djuanda (1957).

6

Deklarasi Djuanda sendiri merupakan kebijakan eksplisit pertama Indonesia yang

bertujuan menyatukan nusantara dan menutup wilayah perairan terbuka, yang kemudian
membentuk geopolitik Indonesia melalui ‘Doktrin Nusantara’. Dua tahun berikutnya,
ratifikasi dilakukan untuk menyesuaikan dengan UNCLOS I untuk menguji kredibilitas
konseptual doktrin tersebut dan sebab kekuatan maritim AS, Inggris, dan Australia yang
menentang doktrin tersebut. Pada akhirnya, doktrin yang dibuat Indonesia baru disetujui
dalam hukum internasional pada UNCLOS III tahun 1982.7
Selat Malaka sebagai salah satu chokepoints yang berada di wilayah Indonesia
merupakan bagian penting dalam hal perdagangan internasional. Hal itu dibuktikan
dengan keberadaan Selat Malaka sebagai jalur dagang paling aktif sejak 1967. Namun
keberadaannya juga menimbulkan persoalan karena terletak dalam Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) beberapa negara, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Dari situ, tiap
negara yang memiliki Selat Malaka berusaha menjaga keamanan dan efektifitas aktivitas
perdagangan di sana, terlebih lagi terdapat berbagai hambatan atau ancaman pada lalu
lintas tersebut seperti perompak yang merupakan gerakan separatis, terorisme, serta
kondisi geografisnya sendiri yang rumit.
2.2 Konsep Geopolitik dan Geostrategi Singapura

Di samping kebijakan geopolitik Indonesia atas Selat Malaka, Singapura juga
memiliki kepentingan geopolitik di Selat Malaka. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh
4

Djalal, D.P. The geopolitics of Indonesia’s maritime territorial policy. hlm. 101
Ibid., hlm.18
6
Danusaputro, M. (1980), Tata Lautan Nusantara: Dalam Hukum dan Sejarahnya. Bandung: Binacipta,
hlm. 131—134
7
Op.Cit. Evan A.Laksmana, hlm. 100
5

5

kebutuhan terhadap kerja sama dengan negara lain melalui lalu lintas laut dan menjaga
sektor pariwisatanya yang berhubungan langsung dengan selat dan agar pelabuhan
Singapura dapat tetap berhubungan dengan 400 shipping lines dan 700 pelabuhan
lainnya di dunia. Oleh karena kepentingan besar tersebut, Singapura benar-benar
mengedepankan keamanan Selat Malaka, akibat maraknya aksi terorisme dan

perompakan liar. Peningkatan intensitas patroli keamanan laut dan penempatan kapal
militer dilakukan untuk berjaga-jaga.
Di satu sisi, terdapat kerja sama Singapura dan Amerika Serikat dalam menjadi
oposisi bagi Indonesia. Singapura menginginkan Selat Malaka menjadi kawasan bebas
internasional bagi semua negara. Hal tersebut didasari oleh keyakinannya terhadap
konsep transit bebas yang dirasa lebih menjanjikan dibandingkan konsep innocent
passage yang tidak memberi keuntungan. Dengan dijadikannya Selat Malaka sebagai
fasilitas pelayaran internasional maka negara lain tentu akan berpartisipasi dalam
menjaga keamanan, melihat kondisi selat yang kian strategis.8
2. 3 Awal Mula Konflik Indonesia—Singapura
Adanya perkembangan yang penting dalam bidang perkapalan dan perubahan
dalam strategi militer secara global di negara-negara besar telah menyulut timbulnya
persoaaln Selat Malaka antara Indonesia dan Singapura. Sejak tahun 1967, terutama
setelah pecahnya perang Arab—Israel, zaman kapal-kapal tangki raksasa telah lahir di
bidang perkapalan, dan banyak dari tangki –tangki raksasa tersebut membawa minyak
dari Timur Tengah ke Jepang. Di satu sisi, Selat Malaka merupakan urat nadi
perekonomian Jepang karena sekitar 90% dari kebutuhan minyak Jepang melalui selat
Malaka dan menggunakan kapal-kapal tangki. Dari situ, kapal-kapal tangki yang lewat
semakin besar sedangkan kemampuan Selat Malaka semakin sempit, dangkal, dan ramai
makin lama makin terbatas untuk melayani kapal-kapal tersebut. Oleh karena itu, sering

terjadi kecelakaan di sana yang mengakibatkan pengotorana laut kepada negara-negara
pantai yang kemudian berdampak pada kelestarian lingkungan laut dan kehidupan
rakyat di sekitarnya.9
8

Djalal, Hasjim (2006) Persoalan Selat Malaka dan Singapura (online) dalam
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=33, diakses pada 26
Desember pukul 12.25 WIB
9
Hasim Djalal. Perjuangan Indonesia di bidang hukum laut. hlm.138

6

Dengan banyaknya kecelakaan yang terjadi di Selat Malaka, hal tersebut
membuat banyak orang prihatin dengan kemungkinan-kemungkinan bahaya yang akan
dihadapi. Adapun berbagai kecelakaan yang terjadi adalah sebagai berikut.
1. Pada bulan Juni 1971, 2 kapal tangki raksasa kandas, yaitu kapal ARABIYAH yang
berukuran 208.000 dwt dan kapal Yunani EUGENE & NIARCHOS yang berukuran
212.000 dwt.
2. Pada tanggal 18 Mei 1972, kapal tangki raksasa Jepang, MEIJIN MARU yang

berukuran 201.319 dwt bertabrakan dengan segitiga dengan oiler Singapure
PROSPERITY yang berukuran 18.482 dwt dan dengan kapal tangki Liberia WORLD
DUALITY yang berukuran 96.000 dwt kira-kira 15 mil dari pelabuhan Singapura.
3. Pada tanggal 23 Maret 1973, kapal tangki Korea, KING STAR yang berukuran
134.000 dwt kandas di dekat pulau Sebarok, dan 4 hari berikutnya kapal tangki
Yunani juga kandas.
4. Pada tanggal 6 Januari 1975, kapal tangki raksasa Jepang, SHOWA MARU yang
berukuran 237.698 dwt kandas dan menyebabkan tumpahnya kira-kira 7.500 ton
minyak mentah dan menyebabkan pencemaran laut yang sangat serius di perairan
selat Singapura.
5. Pada tanggal 5 April 1976, kapal tangki raksasa Inggris yang berukuran 212.759 dwt
juga kandas.10
Intensitas kecelakaan yang terjadi disebabkan karena beberapa hal. Menurut
penelitian yang didasarkan pada kepadatan lalu lintas dan keadaan fisik selat Malaka,
ditemukan beberapa fakta sebagai berikut.
1. Dari hasil penyelidikan yang dilakukan menunjukkan bahwa kira-kira 150 kapa l
setiap hari melewati Selat Malaka. Pada tahun 1973, tercatat 4.019 kapal
melewati Selat Malaka, 1.115 di antaranya adalah kapal-kapal tangki minyak dan
40 di antaranya berukuran 180.000 dwt ke atas.
2. Bagian selat yang dapat dilayari Philip’s Channel hanya sekitar 800 meter untuk

lebarnya dan untuk kecepatan arusnya pernah mencapai 3 mil.
3. Banyak nelayan setempat menangkap ikan di perairan Malaka.

10

Ibid., hlm. 139—140

7

4. Terdapat kedangkalan kurang 23 meter yang banyak di Selat Malaka sehingga
membahayakan kapal-kapal tangki raksasa yang lewat.
5. Kondisi alam dalam hal ini juga berpengaruh, seperti hujan dan angin.
Adanya perubahan strategi militer negara-negara adidaya di dunia juga telah
menyeret persoalan bagi selat Malaka –Singapura. Sebagai contoh adalah perkembangan
Uni Soviet pada tahun 1960-an sebagai negara maritim yang memegang peran penting
di dunia yang kehadiran armadanya di Samudera Hindia semakin terasa. Kehadiran
tersebut ada sangkut pautnya dengan keinginan Uni Soviet melintas bebas ke Samudera
Pasifik melalui Selat Malaka –Singapura. Oleh sebab itu, semakin lama, peran Selat
Malaka semakin penting bagi strategi global Uni Soviet. Negara adidaya lainnya yaitu
Amerika Serikat mengubah strategi di Pasifik Barat sejak Guam Doctrine, yaitu
penetapan Amerika Serikat pada tahun 1969 dalam mengalihkan tulang punggung
pertahannya di wilayah tersebut dari kehadiran secara besar-besaran di daratan Asia
menjadi kehadiran di lepas pantai Asia. Offshore strategy tersebut membuthkan
mobilitas angkatan laut, termasuk kapal-kapal pengangkut kapal-kapal terbang dan
kapal-kapal yang digerakkan atau membawa tenaga dan senjata nuklir yang melalui
selat Malaka—Singapura.
2.4 Persoalan di Selat Malaka—Singapura
Semakin banyak kecelakaan yang terjadi di Selat Malaka-Singapura berpengaruh
terhadap kelestarian dan keamanan negara pantai, termasuk Indonesia dan Singapura.
Hal tersebut menjadi persoalan besar ,mengingt kemampuan negara pantai untuk
menanggulangi bahaya yang ditimbulkan kapal-kapal tangki raksasa, kapal-kapal
perang, dan kapal-kapal nuklir masih sangat minimal, bahkan tidak ada sama sekali.
Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa yang menjadi masalah di Selat Malaka—
Singapura, bukanlah kapal-kapal dagang yang melintas, namun adalah kapal-kaal yang
disebutkan di atas tadi.
Melihat hal tersebut, persoalan Selat Malaka—Singapura berkembang menjadi
masalah politis dan teknis. Dari segi politis, ditekankan terhadap upaya menggalang
kesatuan pandangan di antara tiga negara pantai untuk menghadapi dunia luar, terutama
menghadapi Jepang dan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet
8

yang berkepentingan besar di bidang lalu lintas kapal-kapal militer. Upaya penyatuan
pandangan dan sikap negara-negara pantai sangat penting mengingat posisi georafis tiga
negara sangat berbeda.
Singapura di satu sisi, merupakan negara yang “mini” dari segi luas wilayah,
maka kewaspadaannya terhadap negara lain menjadi tinggi. Namun, hal tersebutlah
yang menjadikan Singapura memiliki mentalitas baja dalam mempertahankan
wilayahnya.

Oleh

begitu perhatian pada

sebab

itu,

pertahanan

tidak

mengherankan

negaranya,

salah

apabila

satunya

dengan

Singapura
melalui

pemberlakuan anggaran pertahanan yang sangat besar. Nilai penting Selat Malaka bagi
negara ini bisa dlihat dari segi ekonomi dan strategis, navigasi, sumber daya laut, dan
pariwisata11 dengan pantainya yang tidak begitu panjang dan sebagai salah satu
pelabuhan besar di dunia yang hidup matinya banyak ditentukan dari kapal-kapal yang
melalui selatnya. Oleh karena itu, Selat Malaka dan Singapura bagi Singapura lebih
diutamakan sebagai wadah komunikasi atau pelayaran. Sementara itu, Indonesia dan
Malaysia yang pantainya begitu panjang dan dengan kehidupan masyarakat pantai yang
lebih banyak sebagai nelayan sehingga lebih mementingkan pemeliharaan lingkungan
laut untuk menjaga sumber-sumber perikanan. Oleh karena itu, harus banyak pula yang
melihat

fungsi

Selat

Malaka—Singapura

sebagai

sumber

penghidupan

bagi

masyarakatnya di samping fungsinya sebagai wadah komunikasi.
2. 5 Sudut Pandang Hukum Selat Malaka—Singapura
Indonesia sejak tahun 1957 menerima lebar laut wilayah 12 mil dan menyatakan
bahwa selat-selat yang lebarnya kurang dari 24 mil, garis batas laut wilayah Indonesia
ditarik di tengah laut. Pada tahun 1969, Malaysia juga telah menerima lebar laut wlayah
12 mil tersebut. Dengan persamaan pedoman tersebut, Indonesia dan Malaysia perlu
menetapkan garis batas yang jelas karena bagian selatan dari Selat Malaka kurang dari
dua kali 12 mil (di bagian paling selatan lebar Selat Malaka kurang lebih hanya 8 mil).
Dari situlah kemudian diadakan perjanjian di Jakarta pada bulan Maret 1970 mengenai
garis batas laut wilayah masing-masing negara di Selat Malaka yang umumnya adalah
garis batas tengah yang ditarik dari titik-titik terluar tiap-tiap negara di Selat Malaka.
11

Singapore Journal of International & Comparative Law. 1998. The Importance Of The Straits Of
Malacca and Singapore. Singapore: University of Singapore. hlm.315

9

Selanjutnya perjanjian ini diratifikasi oleh dua negara sejak penukaran piagam
ratifikasinya pada tanggal 8 Oktober 1971. Dengan demikian, bagian Selat Malaka yang
lebarnya kurang dari 24 mil termasuk ke dalam laut wilayah Indonesia dan Malaka
sehingga di bagian selatan selat tersebut berlaku kedaulatan Indonesia dan Malaysia.
Dari situlah kapal-kapal asing dapat melintas sesuai dengan prinsi-prinsip innocent
passage

sebagaimana yang terdapat dalam rezim hukum pelayaran melalui laut

wilayah.
Sementara itu, Selat Singapura tidak termasuk dalam persoalan karena luasnya
sangat sempit dan di bagian-bagaian tertentu lebarnya justru kurang dari 3 mil. Dari situ
Selat Singapura selamanya dianggap sebagai laut wilayah negara tepinya. Oleh sebab
itu, sesuai dengan pasal 16 ayat 4 konvensi Geneva tahun 1958 tentang Laut Wilayah
dan Zona Berdekatan, rezim pelayaran yang berlaku di wilayah tersebut adalah resim
innocent passage, dengan ketentuan bahwa innocent passage di selat tersebut tidak
boleh ditangguhkan.
Dengan demikian, persoalan hukum dan politik Selat Malaka—Singapura bagi
Indonesia

adalah

persoalan

mempertahankan

undang-undang

12

milnya;

mempertahankan ketentuan-ketentuan hukum interasional yang ada yang mana dapat
menjamin keseimbangan antara kepentingan negara-negara selat dengan negara-negara
maritim; dan memelihara kesatuan pandangan dan sikap tiga negara pantai sebagai
negara sahabat

dan yang bertetangga baik di dalam lingkungan ASEAN dalam

mengadapi sikap negara-negara maritim.

BAB 3
PANDANGAN INDONESIA DAN SINGAPURA TERHADAP MASALAH
DI SELAT MALAKA

10

3.1 Pandangan Indonesia

Sumber: http://research-group21.com/news/malacca-strait-1.gif.jpeg, diakses pada 25
Desember, pukul 19.20 WIB

Pada realitasnya Selat Malaka—Singapura merupakan bagian dari “laut wilayah”
negara tepi Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia merupakan negara yang sangat
berkepentingan mengenai keselamatan di selat tersebut. Dari situ, Indonesia beserta
Malaysia pada waktu itu menolak gagasan-gagasan yang mengarah kepada
internasionalisasi Selat Malaka—Singapura dan menentang intervenes pihak luar dalam
pengurusan selat tersebut.
Bagi Indonesia, penggunaan selat tersebut haruslah mengutamakan kepentingan
nasional negara tepinya dengan catatan tidak merugikan pelayaran internasional. Oleh
sebab itu, rezim pelayaran yang harus digunakan adalah innocent passage, bukan free
transit. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kapal yang melewati Selat Malaka—
Singapura haruslah dengan sepengetahuan negara pantainya atau tidak membahayakan
keamanan negara pantai. Di samping itu, apabila ada kapal selam yang melintas,
haruslah berlayar di atas permukaan.

11

3.2 Pandangan Singapura
Singapura adalah negara yang masih menganut lebar 3 mil yang belum bersedia
menyatakan Selat Singapura dan Selat Malaka sebagai laut wilayah (territorial sea)
negara tepinya atau bukan sebagai selat internasional. Hal tersebut terjadi karena
kekhawatiran Singapura akan mengganggu pelayaran internasional dan kepentingan
perdagangan dan perkapalannya akan dirugikan. Singapura lebih memilih untuk
menunggu resolusi masalah yang terjadi oleh Konferensi Hukum Laut.
Pada dasarnya, Indonesia dan Singapura memiliki pandangan berbeda mengenai
posisi kedua negara dalam kaitannya letak Selat Malaka. Adapun perbedaan tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Apabila Selat Malaka diakui sebagai “laut wilayah” negara pantainya, menurut
Hukum Internasional dan Konvens Geneva tahun 1958 tentang Laut Wilayah,
pelayaran kapal-kapal asing yang melalui perairan tersebut hanya akan dapat
diperkenankan atas dasar prinsip innocent passage,yaitu tidak merugikan peace,
good order, and security dari negara pantainya.Oleh sebab itu, negara pantai
memiliki lebih banyak hak untuk mengatur selat-selat tersebut karena penentuan
innocent tidaknya suatu passage ditentukan oleh negara pantai. Di sini Indonesia
berpegang pada prinsip ini.
2. Di sisi lain, apabila Selat Malaka—Singapura tidak diakui sebagai “laut wilayah”
namun merupakan “laut bebas” atau “selat internasional”, menyebabkan wewenang
negara pantai akan sangat terbatas di selat tersebut, karena perairan tersebut bukan
merupakan wilayah mereka. Di perairan tersebut dapat berlaku prinsip free transit
yang berarti negara pantai tidak dapat banyak melakukan sesuatu, walaupun suatu
passage dinilai non-innocent terhadap negara pantai.Dari situ, Singapura lebih
menyukai konsep ini karena untuk menjamin kepentingannya di situ.12
Dengan demikian, dapat dilihat pandangan Singapura lebih dekat dengan
negara-negara maritim lainnya, khususnya Amerika Serikat, Uni Soviet, Jepang, Inggris,
dan lainnya daripada dengan negara-negara pantai lainnya yang merupakan tetangganya
seperti Indonesia dan Malaysia. Begitu pula Indonesia juga lebih dekat terhadap negaranegara selat seperti Spanyol, Maroko, Iran, Oman, Yaman Selatan, dan lain-lain.
12

Op.Cit. Djalal. hlm.148—149

12

3.3 Usaha Menyamakan Persepsi Antara Indonesia dan Singapura
Dengan letaknya yang dbatasi oleh tiga negara pantai, keberadaan Selat Malaka
memerlukan penyatuan pandangan dan tindakan tiga negara pantai, yaitu Indonesia,
Singapura, dan Malaysia mengenai segala hal yang berhubungan dengan selat Malaka—
Singapura, seperti hal yang berhubungan dengan keselamatan pelayaran atau dalam
menghadapi reaksi-reaksi dari luar (non-coastal States).
Meninjau dari segala perbedaan pandangan di kalangan negara pantai, menjadi
sebuah politik Indonesia yang utama dalam usaha menyatukan pandangan ketiga negara
pantai dalam menghadapi pihak luar. Oleh karena itu, Indonesia menginisiasi berbagai
konsultasi yang salah satunya menghasilkan pernyataan bersama tiga negara pada
tanggal 16 November 1971. Adapun kesepakatan tersebut memiliki arti sebagai berikut.
1. Pernyataan tersebut menandakan dimulainya dalam soal keselamatan pelayaran,
Selat Malaka dan Selat Singapura dianggap sebagai satu selat, yaitu Selat Malaka
dan Singapura. Keputusan tersebut sangatlah penting mengingat telah menjadi
masalah segitiga (tripartite) antara Indonesia, Singapura, dan Malaysia mengenai
Selat Malaka dan Singapura.
2. Berdasarkan prinsip “unity”, antara Selat Malaka dan Selat Singapura, tiga negara
yang terlibat mengambil tanggung jawab untuk mengatur keselamatan pelayaran di
negara tersebut. Tiga negara yang terlibat menentang usaha-usaha ke arah
internasionalisasi Selat Malaka dan Singapura, seperti pengaturan selat tersebut
melalui badan internasional yang lain.
3. Masalah Selat Malaka telah dipecah menjadi masalah status selat dan masalah
keselamatan pelayaran. Hal tersebut menandakan sekalipun tiga negara bersedia
bekerja sama dalam persoalan keselamatan pelayaran, namun status atau kedudukan
hukum dari selat tersebut tidak terpercahkan. Tiga negara tidak sepakat dengan
“internationalization” dari selat Malaka dan Singapura. Di satu sisi Indonesia
membatasi pengertian non-internationalization Selat Malaka dan Singapura pada
soal manajemen, sedangkan Singapura soal non-internationalization dapat diartikan
lain.

13

4. Ketiga negara bersedia melanjutkan kerja sama dalam melakukan hydrographic
survey di Selat Malaka dan Singapura.13
Sebagai tindak lanjut dari Pernyataan tiga negara di atas, pada tanggal 4—5 Juli
1972, diadakan pertemuan konsultasi pertama tiga negara di Jakarta. Dalam pertemuan
tersebut dibahas pencarian jalan keluar untuk meningkatkan keselamatan pelayaran di
Selat Malaka dan Singapura. Selanjutnya, dilakukan konsultasi kedua yang terkesan
lebih terarah. Dalam konsultasi tersebut disepakati perlunya mengadakan traffic
separation scheme (TSS) di Selat Malaka dan Singapura, perlunya mengadakan
tindakan-tindakan keselamatan pelayaran tambahan , perlunya mengadakan suatu badan
kerja sama tiga negara pantai, dan perlunya melanjutkan survei Hydrographic
sebelumnya.
Perkembangan selanjutnya Indonesia menggagas untuk diadakannya pertemuan
tingkat Menteri Luar Negeri antara tiga negara. Pada tanggal 19 Februari 1975,
pertemuan tersebut diadakan di Singapura. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia dan
Malaysia bersepkat bahwa sering terjadinya kecelakaan di Selat Malaka dan Singapura
yang puncaknya adalah kecelakaan kapal SHOW MARU, sudah tiba waktunya bagi
negara-negara pantai mengambil tindakan konkret dalam mengatur keselamatan
pelayaran dan tindakan konkret membatasi kapal yang melintas.
Dari situ, Indonesia berdasarkan kedalaman selat Malaka dan Singapura, yaitu
23 meter selanjutnya mengusulkan pembatasan sarat kapal 19 meter yang kira-kira
mencakup kapal berukuran 200.00 dwt. Pembatasan tersebut akan memberikan safety
margin sekitar 20% sarat kapal. Di sisi lain, Singapura dengan memperhitungkan pasang
naik dan pasang surut yang menurutnya dapat mencapai 23 meter, merasa bahwa
pembatasan sarat haruslah 22 meter karena safety margin yang diperlukan di bawah air
cukuplah 10% dari sarat kapal. Singapura berargumen bahwa pembatasan tersebut
haruslah hanya didasarkan pada sarat kapal, bukan pada tonase kapal. Dengan demikian,
ketiga negara kemudian bersepakat mempelajari soal tersebut.

13

Ibid., hlm. 150—151

14

SIMPULAN
Mengacu pada arti strategis geopolitik Selat Malaka, Indonesia dan Singapura
masing-masing menjadikannya sebagai sasaran geopolitik dan geostrategi yang
menguntungkan bagi negaranya. Di satu sisi, Indonesia merasa lebih berhak memiliki
15

Selat Malaka karena merupakan bagian dari chokepoints di wilayah Indonesia. Selain
itu, sumber daya alam yang melimpah yang ada, dapat diperdagangkan melalui lalu
lintas selat tersebut sehingga memberikan keuntungan yang luar biasa. Dari situ, lazim
apabila Indonesia berupaya keras menetapkan Selat Malaka sebagai bagiannya. Di sisi
lain, Singapura juga mengklaim dari arti strategis geopolitik Selat Malaka menjadi basis
perekonomian dan mendulang keuntungan.
Hal tersebut kemudian menimbulkan ambiguitas perbatasan dan hukum laut
antara Indonesia dan Singapura yang selanjutnya memicu perseteruan dan secara tidak
langsung ikut mengganggu stabilitas regional Asia Tenggara meskipun permasalahan
terjadi secara bilateral. Untuk itu, dilakukanlah berbagai upaya untuk menyatukan
pandangan mengenai Selat Malaka supaya konflik yang terjad dapat diredam dan
keamanan Selat Malaka dapat diwujudkan dengan baik.

Daftar Acuan
Djalal, H. (1979). Perjuangan Indonesia di bidang hukum laut. Jakarta: Binacipta.
Djalal, H. (1995). Indonesia and the law of the sea. Jakarta: Centre for Strategic and
International Studies.
16

Djalal, D.P. (1996). The geopolitics of Indonesia’s maritime territorial policy. Jakarta:
Centre for Strategic and International Studies.
Djalal,

H.

(2006)

Persoalan

Selat

Malaka

dan

Singapura

(online)

dalam

http://www.setneg.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=22&Itemid=33, diakses pada 26 Desember
pukul 12.25 WIB
Laksmana.E.A. The enduring strategic trinity:explaining Indonesia's geopolitical
architectur. Centre for Strategic and International Studies and Indonesian
Defense University, Jakarta
Oegroseno, A.H. (2009), ‘Indonesia’s maritime boundaries’, in R. Cribb and M. Ford,
eds., Indonesia beyond the Water’s Edge: Managing an Archipelagic State.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 49—58
Rodrigue. Straits, Passages and Chokepoints: A Maritime Geostrategy of Petroleum
Distribution. Cahiers de Geographie du Quebec. Volume 48, no. 135, decembre
2004, 357-374
Singapore Journal of International & Comparative Law. (1998). The Importance Of The
Straits Of Malacca and Singapore. Singapore: University of Singapore., pp. 301322.

17